Share

1. Kencan Buta

 “Apa begitu sulit untuk meminta maaf?”

Stiletto setinggi 11 cm yang dipakai wanita berambut cokelat itu sama sekali tidak tampak akan bergerak mendekat. Memiringkan kepalanya sedikit, ia hanya melirik ke arahku sekilas. Aku menangkap mimik jijik raut wajahnya ketika melihatku berjongkok memunguti koin-koin logamku yang menggelinding berserakan di atas lantai. 

Aku baru saja menarik kartu ATM dari mesin saat wanita itu menabrakku. Ia tidak terlihat merasa bersalah sama sekali. Padahal gara-gara dia isi dompetku berhamburan.

“Iihh.”

Hanya desisan sinis yang kudengar, lalu wanita itu melangkah pergi ke arah pria yang sedang menunggunya di luar.

“Punya BMW aja belagu!” omelku kesal melihat mobil yang ditumpangi wanita itu pergi meninggalkan parkiran bank. 

“Orang punya BMW emang boleh  belagu. Siapa sih?!”

Aku menggumamkan terimakasih pada seorang bapak yang membantu memungut koin terakhirku sebelum menjawab teriakan Gina di earphone

Kupastikan dulu dompetku sudah tertutup rapat dan masuk ke dalam tas lenganku sebelum kejadian beberapa menit lalu terulang.  “Keturunan Emak Lampir.”

“Ugh, sayang dong, mobil bagus tapi muka miris,” komentar Gina sepedas biasanya.

“Honestly, dia indo dan cantik. Tapi tata krama nol besar.” Aku mendengus sambil berjalan lunglai ke arah mobil box putih yang terparkir paling ujung.

“Gue nggak indo, tapi gue cantik,” sahut Gina penuh percaya diri. Sebelum aku sempat mengomentarinya, Gina berkata cepat-cepat, “Eh, ada panggilan masuk dari Hendrik. Pokoknya ntar jam delapan tet, elo harus datang. Kalo enggak, jangan anggap gue temen lo lagi.”

Bahkan sebelum aku sempat membuka mulut, Gina sudah memutus sambungan telepon.

Aku merutuki layar ponsel yang menggelap. Ajang adu argumen kami yang sudah berlangsung berpuluh-puluh menit akhirnya dimenangi Gina. Lagi.

Berteman selama sepuluh tahun bermanfaat bagi Gina untuk tahu trik jitu membuatku merasa bersalah dan bersedia menuruti keinginannya. Ia memang ahli tentang itu.

Sekarang, sakit kepalaku bertambah.

Pertama, akibat kurang tidur. Mimpi buruk itu terus muncul berulang  dalam tidurku, menggangguku selama hampir dua minggu. Dan sekarang aku baru saja dipaksa setuju untuk datang di acara kencan buta.

Kencan buta yang dibuat Gina khusus bagi wanita dengan sejarah kehidupan cinta yang menyedihkan.

Ya Tuhan, mimpi dan kenyataan sama-sama buruknya.

ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ

“Kamu punya kaki jenjang yang cantik dan sexy. Mau jadi modelku?” tanya Putra.

Aku sudah punya firasaat buruk tentang acara ini. Saat aku menginjak ruangan karaoke VIP ini, sudah ada enam laki-laki dan lima wanita menunggu. Gina melemparkan pria ini padaku sebagai pasangan ngedate.

Mini dress selutut yang kupakai adalah sebuah kesalahan fatal. Pengalaman, para pria yang merayu kaki jenjangku hanya bertujuan mengajakku jadi teman tidur.

Menahan erangan, aku mengambil kaleng minuman bersoda dari tengah meja, meneguknya cepat-cepat. “Ide buruk. Aku tidak pandai bergaya.”

Setelah lancang memainkan rambutku, kini ujung tangan Putra mulai turun membelai lenganku. “Bukan masalah. Aku ahli membuat orang, terutama para wanita, jadi percaya diri di depan kamera. Kamu pasti menyukainya. Let me show you.” 

Dari seringaian si fotografer mesum itu, bisa kutebak berapa banyak gadis ingusan yang sudah ia rayu. Sekarang aku menjadi kandidat potensial berikutnya untuk melengkapi koleksi mesum pribadinya.  Ia adalah satu dari sekian banyak pria brengsek yang bersembunyi di balik wajah tampan. 

“No, thanks,” jawabku geram.

Ugh. Kencan buta sialan. 

Kalau saja bukan karena merasa bersalah pada Ibuku, aku tidak akan mau menuruti ide konyol Gina. Ibuku yang tinggal dalam radius lebih dari 150 km dari tempatku sekarang, percaya bahwa anak gadis berusia 27 tahun dan tidak berhubungan dekat dengan seorang pria lebih mengkhawatirkan dari pada naik turunnya harga sembako.

“Kamu cantik.” Hidung Putra hampir berhasil mengendus leherku. Aku tidak menyadari ia sudah sedekat ini.

Menahan diri untuk tidak menonjok muka Putra, aku menggeser pantatku menjauhinya. 

Duet Gina bersama Hendrik menjadi pembuka. Pria manis berpipi chubby itu dikenal Gina sekitar sebulan lalu dan alasan Gina untuk mengadakan kencan konyol ini. Mereka menyanyikan lagu dengan suara kacau yang bisa membakar telinga sambil berjoget tak beraturan.

Beberapa orang ikut berjoget dan bersorak.

“Bangun, Ana. Ayo, ngedance sama aku,” bujuk Putra.

Demi Tuhan, apa ini salah satu cara liciknya agar bisa diam-diam mengerayangiku?

“Sorry, tarianku buruk.” Aku menggeleng dan mendorong paksa―nyaris menendang― agar Putra bergabung dengan yang lain. 

Nafas putus asa keluar dari mulutku. Baru pertama kali ini aku mengikuti kencan buta dan tidak tertarik untuk mengulanginya lagi.

Oke, sebenarnya aku tidak perlu ikut acara sekonyol ini kalau saja bukan trauma akibat ulah si  Revi. Sembilan tahun telah berlalu, tapi sakit hati yang diajarkan Revi padaku masih membekas. Aku masih bertahan single. Sulit menjalin hubungan karena tidak bisa lagi mempercayai pria dengan mudahnya.

Menembus keremangan ruang karaoke dengan mata yang berakomodasi maksimal, aku mencoba mengamati para pria. Tadi aku datang terlambat, jadi tak sempat berkenalan dengan semuanya. Mungkin saja di sini ada laki-laki lain sesuai kriteriaku.

Tidak ada salahnya kalau aku melihat-lihat.

Pria ketiga yang kulihat selain Putra dan Hendrik adalah orang berbadan gempal dengan tubuh tidak terlalu tinggi. Terlihat begitu puas diri dengan tonjolan-tonjolan besar ototnya, entah dari hasil rajin nge-gym atau memanggul dua sak semen tiap harinya. Aku menyadari bahwa ia juga terlihat sangat puas oleh ukuran payudara teman kencannya. Lima menit berlalu aku perhatikan tatapan mata pria itu masih terpusat ke sana dan air liurnya sudah mau menetes keluar. Uhhh… Sangat beruntung payudaraku tidak sebesar buah semangka yang sudah pasti tidak bakal menarik perhatian laki-laki itu. Next.

Laki-laki ke empat, memakai kaca mata dan sedikit canggung. Tipe kutu buku yang cukup manis, karena aku perhatikan laki-laki itu berusaha menyimak obrolan teman kencannya. Sayangnya mataku juga sedikit minus. Andaikan saja aku terjebak di lubang gelap mengerikan─entah lubang apa itu─bersama lelaki itu tanpa ada kacamata, softlens dan korek api, keadaan akan berakhir mengerikan dan hanya penuh jeritan. Oh God, next!

Ke lima, laki-laki tampan berdarah campuran Eropa setinggi hampir dua meter dengan badan sekurus stik es krim yang rasanya akan segera tersapu oleh angin puting beliung. Aku ragu laki-laki itu sanggup mengangkat galon air mineral tanpa bantuan dongkrak hidrolik, apalagi menggendongku. Tentu saja aku tidak mengharapkan seorang pria menggendongku tanpa alasan yang kutolerir. Tapi tetap saja. Nexttt

Laki-laki terakhir, yang baru kusadari tidak turut ngedance dan tengah duduk beradu sudut denganku, adalah tipe lelaki yang paling kubenci dan kuhindari. Laki-laki yang sadar diri kalau dia tampan,  yang memancarkan  uang serta kekayaan. Lengkap juga dengan sikapnya yang dingin mengintimidasi seolah dialah sang penguasa dunia. Tambahan, dia juga terlihat pemarah. 

Pemarah? Oh, BANGET! Karena saat aku kepergok mencuri pandang ke arahnya, laki-laki itu memicingkan matanya padaku kesal dan mengangkat dagunya seolah menantangku. Bahkan wanita berpakaian nyaris transparan yang menempel manja dan berbicara padanya kelihatan tak digubris. Tatapan laser matanya terus tertuju padaku.

Suhu badanku rasanya mendadak naik. Malu, gerah dan sebal bercampur jadi satu. Aku membuang muka dan menegak sodaku sampai habis.

Sial, apa masalah pria itu? Kenapa dia menatapku terus?

ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status