Aku baru saja menarik kartu ATM dari mesin saat wanita itu menabrakku. Ia tidak terlihat merasa bersalah sama sekali. Padahal gara-gara dia isi dompetku berhamburan.
“Iihh.”
Hanya desisan sinis yang kudengar, lalu wanita itu melangkah pergi ke arah pria yang sedang menunggunya di luar.
“Punya BMW aja belagu!” omelku kesal melihat mobil yang ditumpangi wanita itu pergi meninggalkan parkiran bank.
“Orang punya BMW emang boleh belagu. Siapa sih?!”
Aku menggumamkan terimakasih pada seorang bapak yang membantu memungut koin terakhirku sebelum menjawab teriakan Gina di earphone.
Kupastikan dulu dompetku sudah tertutup rapat dan masuk ke dalam tas lenganku sebelum kejadian beberapa menit lalu terulang. “Keturunan Emak Lampir.”
“Ugh, sayang dong, mobil bagus tapi muka miris,” komentar Gina sepedas biasanya.
“Honestly, dia indo dan cantik. Tapi tata krama nol besar.” Aku mendengus sambil berjalan lunglai ke arah mobil box putih yang terparkir paling ujung.
“Gue nggak indo, tapi gue cantik,” sahut Gina penuh percaya diri. Sebelum aku sempat mengomentarinya, Gina berkata cepat-cepat, “Eh, ada panggilan masuk dari Hendrik. Pokoknya ntar jam delapan tet, elo harus datang. Kalo enggak, jangan anggap gue temen lo lagi.”
Bahkan sebelum aku sempat membuka mulut, Gina sudah memutus sambungan telepon.
Aku merutuki layar ponsel yang menggelap. Ajang adu argumen kami yang sudah berlangsung berpuluh-puluh menit akhirnya dimenangi Gina. Lagi.
Berteman selama sepuluh tahun bermanfaat bagi Gina untuk tahu trik jitu membuatku merasa bersalah dan bersedia menuruti keinginannya. Ia memang ahli tentang itu.
Sekarang, sakit kepalaku bertambah.
Pertama, akibat kurang tidur. Mimpi buruk itu terus muncul berulang dalam tidurku, menggangguku selama hampir dua minggu. Dan sekarang aku baru saja dipaksa setuju untuk datang di acara kencan buta.
Kencan buta yang dibuat Gina khusus bagi wanita dengan sejarah kehidupan cinta yang menyedihkan.
Ya Tuhan, mimpi dan kenyataan sama-sama buruknya.
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ“Kamu punya kaki jenjang yang cantik dan sexy. Mau jadi modelku?” tanya Putra.
Aku sudah punya firasaat buruk tentang acara ini. Saat aku menginjak ruangan karaoke VIP ini, sudah ada enam laki-laki dan lima wanita menunggu. Gina melemparkan pria ini padaku sebagai pasangan ngedate.
Mini dress selutut yang kupakai adalah sebuah kesalahan fatal. Pengalaman, para pria yang merayu kaki jenjangku hanya bertujuan mengajakku jadi teman tidur.
Menahan erangan, aku mengambil kaleng minuman bersoda dari tengah meja, meneguknya cepat-cepat. “Ide buruk. Aku tidak pandai bergaya.”
Setelah lancang memainkan rambutku, kini ujung tangan Putra mulai turun membelai lenganku. “Bukan masalah. Aku ahli membuat orang, terutama para wanita, jadi percaya diri di depan kamera. Kamu pasti menyukainya. Let me show you.”
Dari seringaian si fotografer mesum itu, bisa kutebak berapa banyak gadis ingusan yang sudah ia rayu. Sekarang aku menjadi kandidat potensial berikutnya untuk melengkapi koleksi mesum pribadinya. Ia adalah satu dari sekian banyak pria brengsek yang bersembunyi di balik wajah tampan.
“No, thanks,” jawabku geram.
Ugh. Kencan buta sialan.
Kalau saja bukan karena merasa bersalah pada Ibuku, aku tidak akan mau menuruti ide konyol Gina. Ibuku yang tinggal dalam radius lebih dari 150 km dari tempatku sekarang, percaya bahwa anak gadis berusia 27 tahun dan tidak berhubungan dekat dengan seorang pria lebih mengkhawatirkan dari pada naik turunnya harga sembako.
“Kamu cantik.” Hidung Putra hampir berhasil mengendus leherku. Aku tidak menyadari ia sudah sedekat ini.
Menahan diri untuk tidak menonjok muka Putra, aku menggeser pantatku menjauhinya.
Duet Gina bersama Hendrik menjadi pembuka. Pria manis berpipi chubby itu dikenal Gina sekitar sebulan lalu dan alasan Gina untuk mengadakan kencan konyol ini. Mereka menyanyikan lagu dengan suara kacau yang bisa membakar telinga sambil berjoget tak beraturan.
Beberapa orang ikut berjoget dan bersorak.
“Bangun, Ana. Ayo, ngedance sama aku,” bujuk Putra.
Demi Tuhan, apa ini salah satu cara liciknya agar bisa diam-diam mengerayangiku?
“Sorry, tarianku buruk.” Aku menggeleng dan mendorong paksa―nyaris menendang― agar Putra bergabung dengan yang lain.
Nafas putus asa keluar dari mulutku. Baru pertama kali ini aku mengikuti kencan buta dan tidak tertarik untuk mengulanginya lagi.
Oke, sebenarnya aku tidak perlu ikut acara sekonyol ini kalau saja bukan trauma akibat ulah si Revi. Sembilan tahun telah berlalu, tapi sakit hati yang diajarkan Revi padaku masih membekas. Aku masih bertahan single. Sulit menjalin hubungan karena tidak bisa lagi mempercayai pria dengan mudahnya.
Menembus keremangan ruang karaoke dengan mata yang berakomodasi maksimal, aku mencoba mengamati para pria. Tadi aku datang terlambat, jadi tak sempat berkenalan dengan semuanya. Mungkin saja di sini ada laki-laki lain sesuai kriteriaku.
Tidak ada salahnya kalau aku melihat-lihat.
Pria ketiga yang kulihat selain Putra dan Hendrik adalah orang berbadan gempal dengan tubuh tidak terlalu tinggi. Terlihat begitu puas diri dengan tonjolan-tonjolan besar ototnya, entah dari hasil rajin nge-gym atau memanggul dua sak semen tiap harinya. Aku menyadari bahwa ia juga terlihat sangat puas oleh ukuran payudara teman kencannya. Lima menit berlalu aku perhatikan tatapan mata pria itu masih terpusat ke sana dan air liurnya sudah mau menetes keluar. Uhhh… Sangat beruntung payudaraku tidak sebesar buah semangka yang sudah pasti tidak bakal menarik perhatian laki-laki itu. Next.
Laki-laki ke empat, memakai kaca mata dan sedikit canggung. Tipe kutu buku yang cukup manis, karena aku perhatikan laki-laki itu berusaha menyimak obrolan teman kencannya. Sayangnya mataku juga sedikit minus. Andaikan saja aku terjebak di lubang gelap mengerikan─entah lubang apa itu─bersama lelaki itu tanpa ada kacamata, softlens dan korek api, keadaan akan berakhir mengerikan dan hanya penuh jeritan. Oh God, next!
Ke lima, laki-laki tampan berdarah campuran Eropa setinggi hampir dua meter dengan badan sekurus stik es krim yang rasanya akan segera tersapu oleh angin puting beliung. Aku ragu laki-laki itu sanggup mengangkat galon air mineral tanpa bantuan dongkrak hidrolik, apalagi menggendongku. Tentu saja aku tidak mengharapkan seorang pria menggendongku tanpa alasan yang kutolerir. Tapi tetap saja. Nexttt…
Laki-laki terakhir, yang baru kusadari tidak turut ngedance dan tengah duduk beradu sudut denganku, adalah tipe lelaki yang paling kubenci dan kuhindari. Laki-laki yang sadar diri kalau dia tampan, yang memancarkan uang serta kekayaan. Lengkap juga dengan sikapnya yang dingin mengintimidasi seolah dialah sang penguasa dunia. Tambahan, dia juga terlihat pemarah.
Pemarah? Oh, BANGET! Karena saat aku kepergok mencuri pandang ke arahnya, laki-laki itu memicingkan matanya padaku kesal dan mengangkat dagunya seolah menantangku. Bahkan wanita berpakaian nyaris transparan yang menempel manja dan berbicara padanya kelihatan tak digubris. Tatapan laser matanya terus tertuju padaku.
Suhu badanku rasanya mendadak naik. Malu, gerah dan sebal bercampur jadi satu. Aku membuang muka dan menegak sodaku sampai habis.
Sial, apa masalah pria itu? Kenapa dia menatapku terus?
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥSatu jam berikutnya aku sudah duduk manis di dalam SUV Range Rover Daniel yang mewah mengkilat. Rombongan kerabat jauh datang menjenguk Kakek. Takut membuat canggung suasana aku pamit setelah mendoakan kesembuhan Kakek Daniel dan menyarankan agar lain kali beliau lebih berhati-hati. Sebetulnya aku berniat pulang dengan taxi, tapi Kakek berkeras agar Daniel mengantarku. Sama sekali tidak menyadari raut muka protes cucu kesayangannya. Kami pergi setelah Kakek Daniel sukses membuatku berjanji untuk segera menjenguknya kembali.“Kamu tidak merindukan orangtuamu?”Daniel bertanya sesaat setelah aku menutup telepon dari Ibuku. Seperti biasa, ibu mengecek keadaanku. Kulempar senyum sekilasku pada Daniel.“Dasar penguping! Tentu saja aku sangat merindukan mereka. Biasanya dua minggu sekali aku pulang mengunjungi mereka sekaligus mengambil stok dagangan. Tapi belakangan ini aku terlalu sibuk. Beruntung, berkat kemajuan teknologi saat ini, mereka terasa jauh lebih dekat dari kenyataannya. Aku m
Kakek Daniel benar-benar seorang pria tua yang luar biasa. Aku masih ingat keadaannya kemarin begitu mengkhawatirkan. Siang ini, melihatnya duduk bersandar di atas ranjang terbaik rumah sakit sambil tersenyum cerah menyambutku, membuat kejadian kemarin hanya seperti mimpi belaka. Kakek Daniel punya semangat hidup yang tinggi dan sama seperti cucunya, tidak mau terlihat lemah di depan orang lain.“Apa kabar, Kek? Aku berharap Kakek benar-benar sudah membaik.”Pelan-pelan aku melepas pelukan Kakek Daniel, berharap selang infusnya tidak aku senggol. Begitu melihatku datang tadi, Kakek menyuruhku mendekatinya dan sambil membentangkan kedua lengannya, ia memintaku memeluknya.Aku usap cepat sudut mataku yang berair. Belakangan ini aku menjadi cengeng.Suara tawa serak meluncur. “Setelah melihatmu aku merasa sangat sehat, Nak. Sebenarnya aku sudah menyuruh Daniel untuk membawaku secepatnya pergi dari tempat ini, tapi dia tidak mau. Aku benci rumah sakit, seolah aroma kematian menantiku di s
Aku pernah ingat Nenek mengatakan kalau manusia itu sulit lepas dari sifat munafik. Apa yang dipikir, diucap, dirasa, dan dilakukannya sering kali saling bertolak belakang. Meskipun aku mengatakan dengan lantang kalau aku membenci Daniel,faktanya hatiku menolaknya.Sejak dulu Daniel membenciku. Seharusnya aku tidak heran.Tapi sembilan tahun berlalu, waktu yang cukup lama untuk membuat perasaanku kepadanya berubah. Awalnya aku mengira juga semakin membencinya. Faktanya, aku mulai mendamaikan diri dengannya, diam-diam berharap Daniel bisa bersikap baik padaku, memandangku sebagai seorang wanita yang bisa diajaknya bercanda dan tempat keluh kesahnya.Seharian kepalaku dipenuhi bayangan Daniel dan mengingat bagaimana menyakitkannya dia memperlakukan aku kemarin di rumah sakit. Aku putus asa. Aku tidak bisa berkonsentrasi melakukan apapun. Kecewa, sedih, dan gelisah bercampur menjadi satu.“Kak, ketipung ini terbuat dari kayu apa, sih?”Dua
Roda dari brankar dan kereta peralatan medis bergesekan dengan ubin rumah sakit yang berwarna putih ketika ditarik melintasi ruangan, menimbulkan suara gaduh mengganggu telinga. Pengunjung rumah sakit berlalu-lalang layaknya iklan dalam televisi yang tak perlu terlalu disimak. Beberapa perawat bergerak dalam langkah cekatan yang terlatih, keluar masuk ke dalam ruang bertuliskan ‘ICU’ mengikuti sang dokter. Lagi, seorang dokter bergabung ke dalam ruangan itu dengan wajah cemas yang tak berhasil ia sembunyikan dengan baik di balik wajahnya yang ramah.“Sebaiknya kamu duduk, Adik Kecil. Kamu juga kelihatan pucat, dan aku yakin kakimu itu masih sakit,” saran Revi tulus.Aku menggeleng, tidak memperdulikan deretan bangku di sepanjang lorong. Aku lebih memilih bersandar pada dinding rumah sakit yang dingin, tanpa peduli dengan kaki terkilirku mulai membengkak dan berdenyut sakit. Sebelum salah seorang dokter di ICU itu keluar dan memberitahuku bahwa K
Akhirnya aku membawa koran Gina pulang. Berharap itu kelak bisa aku tunjukkan ke Daniel dan menjadi tambahan bukti. Meskipun aku tahu Daniel tidak akan percaya begitu saja. Karena malas berjalan menuju lantai dasar dan bersesakkan di eskalator yang ramai dipadati oleh orang-orang yang selesai dari acara di hallroom,kami berdua melangkah lunglai menuju lift. Rombongan orang telah terangkut di dua box lift pertama yang terbuka. Aku menunggu datangnya lift ketiga. Dari arah belakang, muncul sekelompok orang yang menyalipku tergesa-gesa untuk mendahului masuk lift ketiga yang baru datang dan pintunya terbuka. Sepertinya mereka kawanan orang penting, karena mengusir keluar dua orang yang sebelumnya sudah berada di dalam lift. Pintu lift bergerak menutup. Hanya sekilas, tapi cukup jelas untuk melihat kakek Daniel ditengah pria-pria aneh yang salah satunya kuingat sebagai…pria yang kusuruh mengangkut kursi di rumah Daniel. “Mereka se
Gina dan Hendrik akhirnya berpamitan dan pergi berkencan. Sebenarnya, Gina tadi mengajakku makan siang hanya untuk menemaninya sementara menunggu Hendrik menyelesaikan pekerjaannya.Melihat mereka berdua bergandengan tangan mesra sambil tersenyum satu sama lain, mau tak mau membuatku iri. Gina saja yang mudah bosan dengan pria tampaknya kali ini bisa serius dengan Hendrik. Sedangkan aku, tetap menjadi Si Lajang yang menyedihkan.Menghentikan aksi meratapi diri, aku beralih pada Revi yang bergerak gelisah, seakan-akan ia ingin segera menghilang dari hadapanku. “Apa semua itu tadi benar?”“Apa?” tanya Revi sok polos.“Kamu tahu apa maksudku, Rev.”Revi memasang muka cemberut, sebelum mengacak-acak sendiri rambutnya dengan frustasi. “Ya, begitulah. Daniel memang sedang membalasku. Dia cukup senang melihatku tidak bisa mendekati Cherry lagi.”“Pantas saja aku sering memergokimu memandang Cher