Share

Mencari Restu Mertua

Alan menghela napas. Dirinya merasa tegang, karena harus mengunjungi orang tuanya. Bukan untuk meminta restu, tapi untuk memberitahu soal pernikahannya yang sudah terjadi.

"Bisa berhenti menghela napas? Jangan bawa sial." Gita menggerutu kesal dengan Alan yang sudah berulang kali menghela napas. Membuat sang suami hanya bisa minta maaf, karena merasa mengganggu.

Hari ini, seperti biasanya Alan menyopiri Gita. Bedanya, sekarang dia menggunakan mobil pribadi dan bukan mobil mewah yang biasa digunakan sang atasan. Semua ini atas permintaan mama mertuanya. Gita yang tidak pernah bisa membantah Julie mau tidak mau harus menurut.

Honda brio silver Alan berbelok masuk ke perumahan sedehana di daerah Bogor. Maybach milik Alex menyusul dibelakangnya. Untungnya Gill memilih menumpang di mobil ayahnya dan membiarkan Bentley kesayangannya di rumah, jika tidak iring-iringan kendaraan mereka akan terlihat timpang.

"Ini rumah orang tuamu?" Gita bertanya begitu keluar dari mobil, sambil mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.

Rumah satu lantai bercat cerah itu, terlihat sederhana. Tentu berbeda jauh dengan rumah Gita. Rumah yang dicicil Alan saja masih sedikit lebih luas. Padahal Alan sudah meminta orang tuanya untuk pindah ke rumah yang baru, tapi mereka menolak.

"Ya, ini memang rumah orang tua saya. Maaf kalau terlalu sederhana buat anda."

Gita melirik mobil ayahnya yang terparkir di belakang mobil suaminya. Ibunya sudah keluar dan berdiri di samping mobil, menunggu sang suami mematikan mesin mobil. Adik-adiknya berdiri di bagian belakang mobil, mengambil beberapa buah tangan untuk mertuanya. Itu membuat Gita merapat ke arah Alan agar ucapannya tidak didengar orang lain. Julie yang kebetulan melihat itu tersenyum senang karena dua orang itu akur.

“Perhatikan cara bicaramu. Ada keluargaku di belakang dan kita akan bertemu orang tuamu, akan aneh kalau kau terlalu formal,” desis Gita dengan kesal.

Alan mengangguk mengerti. "Akan sa ... Aku usahakan."

"Good. Untuk rumahnya memang kecil, tapi bagus kok. Adem." Gita tak segan memuji.

Alan melirik Gita dengan tatapan tidak percaya. Seorang Gita Bramantara memuji rumah kecil seperti punya orang tuanya. Itu luar biasa baginya.

"Kok malah berdiri saja sih di situ? Gak mau masuk emang?" Julie menegur putri dan menantunya.

"Iya, Bu ini mau masuk." Alan yang menjawab.

"Kok Bu sih Al? Kalau gak mau panggil Mom, panggil Mama dong." Julie kembali bersuara untuk melayangkan protes.

“Iya, Ma,” jawab Alan dengan canggung.

Baru juga Alan mau beranjak dari tempatnya untuk mengetuk pintu, pintu rumah yang dimaksud terbuka. Dari dalam, muncul seorang wanita paruh baya yang terlihat lebih tua dari Julie dengan menggunakan daster.

"Bu." Alan berjalan mendekati wanita itu dan langsung mengecup pelan pipinya.

"Loh, Alan? Kok kamu pulang gak bilang-bilang sih?"

"Em, iya Bu. Memang agak sedikit tiba-tiba, soalnya ada yang mau saya kenalin ke Ibu."

Fika yang adalh ibu dari Alan, mengangkat kedua alisnya dengan bingung. Sang putra kemudian berbalik ke belakang dan menemukan Gita sudah berdiri di belakangnya dengan senyuman manis. Sangat manis dan cantik, bahkan dia sempat tidak berkedip.

"Perkenalkan Bu, nama saya Gita." Gita mengulurkan tangan sambil membungkuk sedikit dengan sopan. "Dan saya juga datang bersama keluarga saya." Gita memperkenalkan keluarganya secara singkat.

"Siapa anak cantik ini Al?" tanya Fika dengan tatapan penasaran. Apalagi Gita datang membawa keluarganya, pasti bukan gadis sembarangan untuk anaknya.

"Kita bicara di dalam saja ya Bu. Gak enak kan ngobrol diluar."

Fika yang baru menyadari itu, terburu-buru mengarahkan tamunya masuk ke rumah. Begitu masuk, langsung terlihat rak sepatu di sisi dekat pintu.

Sekitar lima langkah dari rak sepatu, ada ruang tamu merangkap ruang nonton. Terlihat seorang pria dengan kaos kutang dan celana pendek duduk menonton sambil mengipasi dirinya.

"Aduh Pak. Kok gayanya gitu sih? Buruan ganti baju." Perempuan paruh baya tadi memukul suaminya.

"Apa sih Bu? Orang lagi san ...." Kata-kata pria berkaos kutang itu, terhenti begitu melihat barisan tamu di belakang anaknya. “Kalau ada tamu bilang-bilang dong.,” lanjutnya dalam gerutuan, tapi langsung melangkahkan kaki ke kamar.

Setelah itu, barulah Gita menatap ke sekeliling. Jika dilihat sepintas, rumah itu memiliki tiga kamar tidur dengan desain minimalis. Ruang makan dan dapur menyatu di sisi kiri ruang tamu, dibatasi oleh counter pantry.

Tidak semewah rumah keluarga mereka, tapi Gita menyukai rumah itu. Terasa hangat dan nyaman, terasa sama seperti rumahnya sendiri.

"Duduk saja dulu ya. Biar saya siapin minuman dulu, sekalian ganti baju." Fika membuat Gita tersadar dari lamunannya.

"Gak usah repot-repot Mbak. Kami gak apa-apa kok." Julie yang bersuara, karena tidak ingin merepotkan besannya itu.

"Sudah sewajarnya kalau tamu datang disuguhi minuman. Sebentar saja kok."

Setelah berdebat sebentar, Julie akhirnya membiarkan Fika pergi ganti baju dan menyiapkan teh. Disaat bersamaan lelaki berkutang tadi keluar dari kamar dengan gaya lebih rapi dan memperkenalkan diri sebagai Anton. Gita dan keluarga pun berdiri dari duduknya, kala Alan memperkenalkan mereka dengan ayahnya.

"Kamu pulang-pulang bawa tamu kok gak bilang-bilang sih Al? Setidaknya Bapak bisa lebih rapi."

"Maaf Pak, soalnya ini sedikit diluar rencana." Anton hanya mengangguk pelan dan mencondongkan badan gempalnya ke arah Alan.

"Siapa? Pacarmu? Yang tempo hari kamu bawa bukan yang ini," Anton berbisik tepat di telinga Alan.

"Nanti saja Pak ya dijelasinnya, tunggu Ibu dulu."

"Yang mana calonmu? Yang galak rambut sebahu atau yang rambutnya lebih pendek disebelahnya?" Alan nyaris saja tertawa ketika mendengar ayahnya menyebut Gita galak, untungnya ibunya datang tepat waktu.

"Kebetulan saya tadi baru menyeduh teh." Fika berucap seraya berjongkok, agar lebih mudah membagikan cangkir. Dengan sigap Gita berdiri dan membantu mertuanya itu membagikan cangkir teh.

"Aduh, kok malah dibantuin. Kamu duduk saja Nak, kan kamu tamunya."

"Gak apa-apa kok Bu. Sudah sewajarnya." Gita memberikan senyuman terbaiknya dan tetap membantu sampai semua orang mendapatkan secangkir teh hangat.

Julie tersenyum melihat anaknya yang pengertian dan cekatan itu, sementara Alan terlihat sedikit terkejut. Dia baru pertama kali melihat sisi Gita yang perhatian seperti ini. Sungguh pemandangan yang langka.

"Jadi begini Bu, Pak. Kami semua datang ke sini untuk memperkenalkan diri, terutama pada anda berdua." Julie memulai acara ramah tamah dadakan ini.

"Mungkin ini sedikit terlambat, tapi biar kami memperkenalkan diri sekali lagi." Julie menyebut satu persatu nama anggota keluarganya, sengaja menyisakan Gita untuk yang terakhir.

"Dan ini anak sulung saya, namanya Gita. Sejak kemarin sudah sah menjadi istri Alan." Julie berbicara dengan sangat hati-hati, berusaha agar dua orang di depannya itu tidak merasa tersinggung.

"Maksudnya pacar?" tanya Fika.

"Atau tunangan mungkin?" Anton menambahkan mengingat anak muda zaman sekarang, langsung main lamar anak orang.

"Tidak Bu, Pak. Saya istrinya Alan." Gita menjawab dengan penuh keyakinan. Tak lupa ditambah dengan senyum mempesona yang sejak tadi ditunjukkannya.

Raut wajah Anton terlihat tidak senang. Di tatapnya anak sulungnya dengan tatapan bertanya, bahkan menuduh. Sekarang nyali Alan jadi sedikit menciut dihadapan ayahnya.

"Maaf Alan baru ngomong sekarang, tapi Gita memang istri Alan."

Tiba-tiba saja Anton berdiri dan menampar anaknya dengan keras. Membuat semua orang, bahkan Gita tersentak kaget.

"Sejak kapan Bapak pernah mengajari kamu jadi orang brengsek seperti ini?" Suara Anton terdengar seperti petir di siang bolong.

***To be continued***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status