Aku memasukkan beberapa map berisi dokumen-dokumen penting ke dalam tasku. Valerie sedang memoleskan blush-on ke pipinya. Aku melirik ke jam tanganku. Baru saja aku mematikan Macbook-ku, dan sedang menghafalkan skenario yang Radit berikan.
“Ayo Val, 30 menit lagi meeting mulai lho.” Aku bergegas ke rak sepatu dan memakai wedges berwarna gold.
“Iya bentar, jemputan belum miss call gue nih.”
Aku mengerutkan dahiku. Menautkan alis tipisku seraya memandang Valerie heran.
“Jemputan? Sejak kapan perusahaan kita bilang ada fasilitas jemputan?” Valerie tersenyum simpul sambil memandangi layar iPhone-nya. “Yuk udah miss call nih.”
Kami berdua bergegas menuju lobby. Aku hanya bingung dengan ‘jemputan’ yang Valerie maksud. Kenapa Radit tidak bilang kalau ada fasilitas jemputan? Atau apakah karena hotel yang kami tinggali kelewat mewah, sehingga ada extra priviledge? Ah, bodoamat lah. Aku hanya ingin serius memikirkan meeting yang sebentar lagi harus kuhadapi.
Valerie nampak celingak-celinguk mencari jemputan yang dia maksud. Aku mencoba membantunya, menoleh ke sayap kiri dari pintu utama hotel ini. Aku menangkap sesosok yang sangat aku kenal sedang melambaikan tangannya ke arah kami. Aku menatap pria itu tak percaya. Dia tersenyum ke arahku, dengan sangat manisnya. Dan lihat bajunya! Hanya dengan polo shirt berwarna putih dipadukan dengan blue jeans yang mendekap erat kakinya. Dipermanis dengan sepatu Vans berwarna biru muda. Aku gemetar! Bahkan aku merasa duniaku berhenti sesaat.
“Kavaleri???” Akhirnya suaraku keluar juga. Dia tersenyum dan mendekat ke arahku.
“Apakah nona sudah siap? Captain Kavaleri siap mengantar nona cantik kemana pun di setiap sudut Singapura ini.” Jelasnya sambil menggandeng tanganku. Aku sempat mendengar suara kikikan Valerie saat aku mulai menuruti langkah kaki Kava menuju mobil.
Apakah ini mimpi? Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling Intercontinental Hotel ini. Rasanya semua begitu nyata, sampai akhirnya aku merasakan sebuah cubitan yang cukup pedas di lenganku.
“Ughhhh!” Aku berteriak sambil memandang ke arah datangnya cubitan itu. Valerie! Dia tersenyum sangat manis.
“Lu nggak mimpi Dis, dan ini semua adalah ide dari Radit.”
☺☺☺
Selama di perjalanan aku hanya terdiam. Sibuk dengan pikiranku yang melayang kemana-mana. Dan tak terasa aku sudah sampai di kafe yang digunakan untuk meeting.
“Dis, udah sampai lho. Kamu nggak mau turun?” Suara bening itu mengusik gendang telingaku. Dan tanpa sadar aku menoleh ke arahnya dan tersenyum.
“Senyuman manis yang udah lama nggak aku dapetin. Kamu semangat ya, semoga meeting-nya lancar dan perusahaan kamu bisa ambil tendernya. Aku nunggu di mobil.”
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Terima kasih pun tidak. Aku langsung membuka pintu mobil dan berjalan masuk bersama Valerie.
“Lu diem aja sih Dis? Nggak marah kan?” Suara Valerie memecah keheningan. Aku menoleh ke arahnya, tersenyum sangat gembira. “I'm so happy Val!” suaraku terdengar seperti orang menahan teriakan saking bahagianya.
Perasaanku kali ini sungguh-sungguh berbeda dari sebelumnya. Meeting yang awalnya kupikir berat, ternyata bisa kulalui dengan cukup mudah. Para staf perusahaan lain bertepuk tangan dan memberikan ucapan selamat kepada kami atas pencapaian kami memenangkan tender besar ini! Bayangkan saja, menjadi investor utama dalam pembangunan sebuah hotel berbintang lima di Dubai! Ini akan menjadi liburan terpanjangku karena hasil yang gemilang ini. Aku menatap Valerie, dan tersenyum puas.
“Congrats sweety!!” Valerie mendekapku dan mengelus punggungku. Aku tidak bisa menyembunyikan kegiranganku saat ini. “Kita berhasil Val! Dan gue nggak sabar ngerancang rencana liburan!” Aku dan Valerie tertawa terbahak-bahak. Untung saja saat ini meeting room sudah sepi.
“Yaudah yuk balik hotel. Gue capek mau tidur bentar trus abis itu jalan-jalan deh. Mau kan?!” tawar Valerie girang. Aku mengangguk dan mulai membereskan barang bawaanku. Saat aku keluar dari meeting room, aku teringat sesuatu bahwa ada lelaki tampan yang sedang menungguku. Oh tidak, kami lebih tepatnya. Seketika senyuman di wajahku menghilang, digantikan dengan rasa takut, yang bercampur dengan gembira tentunya.
Sembari menunggu mobil Kavaleri muncul, kami berdua sedang merancang rencana hangout nanti malam sebagai perayaan kecil-kecilan atas keberhasilan kami. Tapi memang aneh, Valerie menolak semua saranku dengan mengatakan bahwa dia sudah menyiapkan segalanya. Valerie yakin bahwa aku akan berhasil dalam tender ini, sehingga dia sudah menyiapkan rencana ini jauh-jauh hari. Begitulah kira-kira ucapannya. Dari kejauhan, mobil yang akan segera kami tumpangi sudah terlihat.
“Kav cewek lu hebat deh! Kita menang tender nih! Lu harus kasih selamat ke pacar lu!!” teriak Valerie histeris sesaat setelah pintu mobil tertutup. Tapi... apa dia bilang? Pacar? Aku seketika tertegun. Memandang Valerie tak percaya. Kavaleri pun juga tidak jauh berbeda ekspresinya denganku. Menyadari ada kejanggalan, Valerie langsung membungkam mulutnya.
“Ups sori, gue nggak ada maksud apa-apa. Bener deh gue cuma kelepasan aja tadi saking senengnya. Maaf ya kalian berdua jangan marah...” Valerie memohon dengan pandangan ibanya. Aku memaksakan senyumku dan menatap Valerie serta Kava bergantian. Sejujurnya, aku ingin tau bagaimana ekspresi Kava saat ini. Tapi, entahlah. Tak bisa ku baca.
“Yuk balik hotel, katanya tadi lu capek kan Val? Gue juga, pengen istirahat. Yuk Kav.” Aku tertegun sendiri menyadari perkataanku. Aku melihat ke Kava dengan hati-hati. Dia tersenyum. Dan seperti biasa, manis.
.
Aku dan Valerie turun di lobby hotel, berjalan ke dalam dan tanpa sadar saat aku memasuki lift, Kavaleri ada di hadapanku.
“Wops, kamu ngapain Kav?” tanyaku heran. Dia hanya cengar-cengir. “Kamar kita sebelahan Dis.” Lalu ia memencet tombol angka 20. Badanku menegang.
“Lu ambil libur berapa hari Kav?” Suara Valerie memecah keheningan. Aku meremas ujung rokku dan diam-diam menunggu jawabannya. “Cuma 3 hari buat minggu ini Val. Tapi kalo cuti rutin sih minggu depan. Kenapa emangnya?” Valerie tersenyum ke arahku. Aku melempar pandangan ada-apa-melihatku.
“Nggak papa sih, cuma mau minta tolong aja ntar anterin kita muter-muter Singapur ya? Kan nggak aman kalo nggak ada cowoknya. Ya kan Dis?” Valerie berusaha meminta persetujuanku, dengan nada yang penuh dengan paksaan.
Aku melongo. Sedikit kaget saat namaku dicatut dalam percakapan itu. Dan dengan bodohnya aku hanya tersenyum bego mengiyakan. Kavaleri mengelus rambutku pelan. Sontak membuat jantungku ingin lepas dari tempatnya. Valerie hanya membuang muka ke dinding lift dan tersenyum jahil.
Kami sudah sampai di lantai 20, aku segera berjalan ke kamarku dan memencet pin. Sayup-sayup aku dengar Valerie dan Kava membuat sebuah perjanjian. Tak kuhiraukan, aku hanya ingin mendinginkan perasaan dan otakku akibat perlakuan Kava tadi.
“Btw, thanks a lot ya Kav lu mau anter jemput kita. Dis, say thanks dong ke Kava!” paksa Valerie sambil memasang wajah sok marah. Emangnya aku ini anak kecil apa?!
“Makasih ya Kav. Kamu sangat membantu.” Tak kupungkiri memang dia membantu meeting-ku hari ini. Selain menyediakan transportasi dia juga menyuntikkan rasa semangat di hatiku, hehe...
“Sama-sama Dis, istirahat yang cukup ya sama jangan lupa makan. Sampai nanti...”
Aku hanya tersenyum dan masuk ke kamarku.
KAVALERIAku merebahkan tubuhku di sofa dekat jendela. Memandangi jalanan yang cukup ramai di bawah, sambil memikirkan gadis cantik yang ada di kamar sebelah. Tiba-tiba iPhone-ku berdering.Asha Incoming Call.Aku mendesah frustasi. Ku lempar hpku menjauh dan mulai melepaskan sepatuku. Tapi wanita licik itu tidak gentar meneleponku. Akhirnya aku menggeser layar handphone-ku.“Kamu tuh lagi dimana sih sayang? Kok telfon aku dianggurin gitu kayanya?” suaranya yang memuakkan membuatku memutar bola mataku saat mendengar sapaannya tadi.“Aku sibuk.” Jawabku sekenanya. Aku mendengar dia menghembuskan nafas sebalnya. “Kamu tuh selalu sibuk! Nggak pernah ada waktu buat aku! Kav bentar lagi kita tuh nikah, apa kamu nggak mau nemenin aku ke bridal buat milih konsep dan busana pernikahan kita?” ocehnya yang membuat kepalaku pening. Nikah? Aku baru sadar jika dalam waktu dekat ini aku
GADISAku memasukkan iPad-ku ke dalam tas setelah aku mendengar panggilan untuk segera masuk ke ruang tunggu bandara. Aku melirik sekitarku, kupastikan bahwa keadaan aman, tanpa ada Kavaleri!“Dis lu nggak ke duty free dulu beliin oleh-oleh?" Tanya Valerie dengan menenteng berbagai merk tas belanja. Aku menggeleng dan tersenyum. Yang aku inginkan sekarang adalah kembali bersarang di apartemenku yang super nyaman, dan terlindungi dari bahaya luar (baca: Kavaleri). Tapi aku teringat sesuatu, dan membuatku ingin mati saja.“Apa gue harus pindah apartemen ya?”Velerie melirikku dan mengerutkan dahinya sekilas. “Why?”“Gue pengen hidup tenang, tanpa ada gangguan dari Kava maupun Asha. Gue pengen ngubur semua masa lalu gue. Apartemen itu kan juga sering ditiduri Kava kalo dia nginep di sana. Belum lagi yang setiap pagi ketemu Asha di lift. Gue bisa gila!” Tak ada respon
GADISAku membuka mataku, mengerjap sesekali untuk membiasakan cahaya yang menusuk pupilku. Gelap. Aku melihat pergelanganku, 19.20 WIB. Aku terperanjat kaget dan langsung terduduk di tengah-tengah kasurku.Berantakan. Aku melihat bayanganku di cermin dekat kasur. Eyeliner-ku luntur, rambutku kusut terikat seadanya. Aku menghela nafas kasar. Mencoba meraba dimana iPhone-ku berada.8 Missed Call2 New MessagesAku menggeser layar kunci, dan membuka satu persatu notifikasi tadi. Valerie dan kak Celine yang menelepon. Dan Radit yang mengirim sms.“Dis, lu sama Valerie dapet off day seminggu ya. Gunain waktu dengan maksimal, holiday maybe. Jangan terlalu capek dan jangan terlalu mikirin seseorang^.^”Aku tersenyum membaca secuil perhatiannya. Dulu, yang sering begini ya Kavaleri. Lebih manis dan lebih perhatian dari ini. “Ah...” aku mendesah kecil saat menyadari
GADISAku menikmati semilir angin Kuta yang menerpa rambutku. Ibu duduk di sampingku sambil mengelus pelan rambutku. Kak Celine sedang ada di kasir bersama Bapak. Memesan menu mungkin.“Tumben Dis kamu nggak ganti warna rambut? Dua bulan lalu kamu ke sini rambutnya masih ini kan?” Suara Ibu memecah keheningan dan aku memegang ujung rambutku.“Belum nemu warna yang bagus dan cocok buat aku Bu, mungkin kalo besok ke salon nemu yang cocok langsung ganti."“Oh begitu ya, Ibu pikir karena Kavaleri suka yang warna ini.”DEG.Aku masih belum memberitahu Ibu maupun Bapak perihal undangan pernikahan itu.“Kavaleri kabarnya baik-baik aja kan Dis? Ini kedua kalinya ya kamu ke Bali tanpa dia.”Aku membeku. Tubuhku menegang. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Sebenarnya bukan pilihan tepat aku berada di Bali dalam kondisi dan situasi seperti ini. Bapak dan Ibu pasti akan selalu mena
Kata-kata Kavaleri masih membekas di telingaku. Aku mencari jawaban ke segala penjuru otakku. Nafasku terasa berat sekarang, Kavaleri masih berdiri di depanku, dan aku mendongakkan kepalaku untuk tetap menatap mata indahnya. Nafasnya bisa kurasakan menyapu hangat wajahku, dan tangannya masih setia menangkup kedua pipiku.“Aku mohon Dis, kamu mau nemenin aku berjuang.” Aku menangkap nada memohonnya dengan sangat jelas. Ada harapan yang digantungkan di sana. Aku menghelas nafas panjang. Menyingkirkan tangannya dan mencoba berdiri untuk menyeimbangkan tinggi kami.“Gimana sama Asha? Aku nggak mau buat dia kecewa.” Balasku seraya berjalan ke arah jendela balkon kamarku. Aku mendengar decakan yang sangat jelas dari belakangku.“Tsk, kamu ngapain mikir dia? Dia aja waktu ngrebut aku dan berhasil ngedoktrin Papa nggak mikirin perasaan kamu.” Aku merasakan kedua tangan melingkar di pinggulku, Kavaleri memelukku dari belakang. Na
GADISAku sangat bosan, ingin rasanya pergi bersama Kak Celine. Tapi Kak Celine sendiri juga sedang pergi bersama Ibu dan Bapak. Aku melihat Kavaleri mematikan sambungan teleponnya dan berjalan ke arahku.“Gimana, udah nentuin?” Ah suara itu lagi. Aku lupa jika sedang satu atap dengannya. Aku menggeleng pelan. Dia nampaknya gemas dengan jawabanku.“Dari dulu tuh kamu selalu ya kalo dikasih pilihan nggak bisa milih.” Kavaleri duduk di sampingku sambil memandangiku intens.“Apa?” Tanyaku saat kami bertemu pandang.“Kamu nambah cantik deh perasaan. Apa kamu juga belum punya pacar selama putus sama aku kemarin?” tanyanya menyelidik diselingi dengan senyuman jahilnya.Pertanyaan bodoh!“Kalo aku punya cowok di luar sana aku nggak mungkin mau kamu ajak ketemu Papa kamu! Nggak mungkin mau berjuang buat cinta kita!” jawabku kesal. Tanpa sengaja aku menamp
Soekarno Hatta International Airport, 13.52 WIBAku dan Kavaleri berjalan hendak turun. Tapi teman-teman seprofesi Kavaleri memanggilnya dan itu membuat ia berbincang sejenak.“Kav! Lu habis bulan madu ya?” Tebak salah satu temannya yang berseragam pilot.“Gue belum nikah woy! Eh Rick, lu masih inget Gadis kan? Cewek gue yang dulu gue kenalin ke elu?”Aku tersenyum ke arahnya, dan dia pun membalasnya. Aku sedikit canggung saat Kavaleri mengenalkan aku sebagai pacarnya, seperti dahulu. Ya walaupun saat ini aku memang pacarnya, tapi yang sah di mata Papanya adalah Asha. Bukan aku.“Yaudah gue duluan ya Rick, udah ditungguin Bokap. Lu ati-ati kerjanya!”Kami berdua keluar dari bandara. Aku menata hati dan perasaanku. Aku berusaha membaca doa yang aku bisa agar nanti tidak terjadi sesuatu yang buruk. Kavaleri yang menyadari kegugupanku langsung menggenggam erat jariku.“Rileks don
GADISAku memasukkan beberapa pin di mesin yang menempel di pintu apartemenku.“Mau mampir dulu?” Tanyaku saat aku berhasil membuka pintu.“Pastilah.” Ucapnya yakin dan penuh semangat.Aku berjalan ke arah sofa dengan langkah gontai. Memijat pelipisku dengan gerakan perlahan sambil memejamkan mataku.“Sayang, kenapa?” Kavaleri menghampiriku dan berusaha menuntunku ke sofa. Aku menggeleng cepat. “Capek Kav. Sedikit pusing.” Aku duduk di sofa dan jarak kami sangatlah dekat.“Mau aku buatin sesuatu? Kamu udah minum obat kamu belum?”Aku lupa! Aku belum meminum obatku sejak tadi pagi! Sebenarnya, aku ini menderita suatu penyakit, tapi entahlah aku tidak mau mengumbarnya disini.“Aku ambilin obat kamu ya, di tas kan?” Aku mengangguk. Hatiku merasa damai saat kehadirannya mengisi apartemenku lagi. Wanginya menguar ke seluruh penjuru apartemenku.