KAVALERI
Aku merebahkan tubuhku di sofa dekat jendela. Memandangi jalanan yang cukup ramai di bawah, sambil memikirkan gadis cantik yang ada di kamar sebelah. Tiba-tiba iPhone-ku berdering. Asha Incoming Call. Aku mendesah frustasi. Ku lempar hpku menjauh dan mulai melepaskan sepatuku. Tapi wanita licik itu tidak gentar meneleponku. Akhirnya aku menggeser layar handphone-ku.
“Kamu tuh lagi dimana sih sayang? Kok telfon aku dianggurin gitu kayanya?” suaranya yang memuakkan membuatku memutar bola mataku saat mendengar sapaannya tadi.
“Aku sibuk.” Jawabku sekenanya. Aku mendengar dia menghembuskan nafas sebalnya. “Kamu tuh selalu sibuk! Nggak pernah ada waktu buat aku! Kav bentar lagi kita tuh nikah, apa kamu nggak mau nemenin aku ke bridal buat milih konsep dan busana pernikahan kita?” ocehnya yang membuat kepalaku pening. Nikah? Aku baru sadar jika dalam waktu dekat ini aku akan memiliki seorang istri. Istri, yang tak pernah kucintai.
“Kav?! Kok diem sih?” Bentak suara di seberang sana. Aku menghela nafas. “Aku usahain libur minggu depan buat nemenin kamu ke bridal. Aku mau take off. Udahan ya, bye!”
Ya, aku memang bohong kepadanya. Jika dia tau saat ini aku ada di Singapura, mungkin dalam hitungan jam dia akan menyusulku. Apalagi jika dia tau aku disini dengan maksud apa.
Aku menekan tombol speed dial nomer 1.
“Halo?” sapanya dengan suara lembut. Aku tersenyum, dan hatiku sangat damai saat mendengarnya.
“Dis ini aku, Kavaleri.” Satu detik. Dua detik. Tidak ada jawaban dari Gadis. “Dis? Apa kamu masih disana?” tanyaku menguji keberadaannya.
“Ya, ada apa Kav?”
“Dis, ada banyak hal yang pengen aku bicarain sama kamu. Aku minta waktu kamu nanti sore, bisa?” Aku pikir Gadis sedang menimang penawaranku. Karena dia tidak menjawabnya dengan segera. “Apa cuma kita berdua? Gimana sama Valerie?” tanyanya dengan nada menyelidik.
“Kalau dia mau ikut, ya nggak papa juga sih. Yang penting aku bisa ngobrol sama kamu.”
GADIS
“Dis kayanya gue nggak bisa ikut deh. Perut gue sakit banget nih.” Valerie yang baru saja keluar dari kamar mandi mengelus perut datarnya. Aku melongo. “Yaudah kalo gitu gue juga nggak jadi. Nggak lucu kan kalo gue sama Kava jalan berdua?” Aku melepas sepatu Nike-ku.
“Eh jangan dong! Kasihan Kava kalo sampai batal. Dia udah nunggu loh.” Tangan Valerie berusaha mencegahku melepas sepatu. Aku mencium gelagat aneh dari Valerie. Tiba-tiba bel pintu hotel berbunyi.
“Nah kan bener! Tuh sana berangkat! Uww perutkuuhh...” Valerie berlari membuka pintu sambil memegangi perutnya.
Aku rasa juga tidak etis jika aku membatalkan acaranya mendadak. Jadi aku pikir, untuk sekali ini saja setelah kami putus. Aku berjalan ke arah pintu. Dan lihat! Kava berdiri di ambang pintu menggunakan t-shirt berwarna Hitam pemberianku! Ia selalu tampil modis, dengan celana pendek selutut berwarna biru dongker dan sepatu vans kesayangannya.
“Kav maafin gue ya, gue nggak jadi ikut. Perut gue sakit banget nih, kayanya gara-gara gue minum cocktail di kafe tadi. Tuh nih sekarang aja kontraksi lagi, yaudah lu berdua berangkat sono! Ati-ati ya byee!!”
Valerie mendorongku keluar hingga aku jatuh di pelukan Kava, dan ia menutup pintu dengan cukup keras. Aku yang sadar sedang ada di pelukan Kava, langsung melepaskannya dan mengucapkan maaf. Kami berdua memutuskan untuk segera menuju ke suatu tempat yang sudah dipilih Kavaleri.
☺☺☺
Aku menikmati semilir angin yang menerpa rambut ungu kehitaman milikku. Ya, sekarang aku dan Kava ada di Merlion. Ia ingin mencari suasana sejuk untuk berbicara. Kava ngotot banget untuk ngobrol dan katanya hal yang sangat penting. Sepertinya juga aku tau akan ke mana arah pembicaraan kami nantinya.
“Dis, apa rasa itu masih ada?”
DEG.
Suara itu menginterupsi gendang telingaku, membuatku diterpa topan dan hilang pegangan. Aku tersenyun kecut. Pertanyaan itu di luar perkiraanku.
“Perasaan apa? Kamu tuh jangan ngaco deh.” Ia mengarahkan pandangannya ke diriku.
“Tatap aku Dis!” perintahnya.
“Kamu kira kamu tukang sulap?” candaku. Sebenarnya itu adalah salah satu usahaku untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba tegang ini, sih… Sungguh aku tidak menduga jika Kavaleri seberani itu menanyakan perihal perasaanku.
“Aku serius Dis!” Ada nada menuntut di sana. Yang membuatku tak berkutik dan mengikuti instruksinya.
“Aku tau, kamu adalah cewek yang nggak gampang ngelupain suatu hal, sekecil apapun hal itu. Aku tau, cinta kita terpisah bukan karena kemauan kita sendiri. Aku tau saat itu, baik kamu maupun aku masih sama-sama saling mencintai. Aku masih inget gimana mimpi kamu tentang kehidupan rumah tangga kita kelak. Aku inget kamu pengen punya rumah yang semuanya serba kaca. Aku masih inget, kalo aku punya janji bawa kamu ke Eropa buat liburan. So i just wanna say something, i still love you Dis. No matter what.”
Kava mengakhiri pidato singkatnya dengan mengecup keningku. Aku terhenyak. Aku seperti dibius oleh sorot matanya. Shit.
Saat aku tersadar, aku langsung melepaskan tangan Kava yang sedari tadi menggenggam erat jari-jariku. Ada tamparan keras di hatiku, karena membiarkan calon suami orang mencium keningku.
“Kav, kita, uh maksudnya aku sama kamu udah nggak ada hubungan apa-apa semenjak lima bulan yang lalu. Kamu salah kalo nilai aku masih cinta sama kamu atau apapun lah yang ada di pikiran kamu. Kamu salah Kav, aku udah berhasil lupain semuanya tentang, tentang aku dan kamu. Dan sebentar lagi kamu akan jadi suami orang lain. Aku harap kamu bahagia sama dia.”
Kava mendengus kasar. Membuang pandangannya ke laut yang ada di hadapannya. Aku melihat sorot kekecewaan dan amarah yang membuncah di mata indahnya.
“Aku bodoh Dis! Aku lemah! Aku nggak bisa apa-apa saat Papa ngancem aku! Aku milih mertahanin pekerjaanku dari pada kamu! Aku yakin suatu saat ada jalan keluar buat kita! Tapi selama ini, yang ada malah kamu semakin jauh dari aku! Aku semakin nggak berkutik dan aku nggak bisa ngapa-ngapain!” Aku memandanginya iba.
“Kav, maaf. Semoga kamu bahagia sama Asha.” Aku memegang bahunya, lalu pergi dari tempatnya berdiri.
.
Aku melangkahkan kakiku memasuki kamar hotel. Sepi. Valerie tidak ada. Yah, masa bodoh. Aku hanya ingin sendiri sekarang. Baru saja aku ingin menyandarkan punggungku di sofa, handphone-ku berdering. Celine Incoming Call.
“Halo?” sapaku lemah.
“Gue denger lo berhasil menang tender yah? Selamat ya Dis! Gue harap semuanya lancar.”
Aku tersenyum mendengarnya. Entah, terkadang aku heran. Aku dan Kak Celine sudah seperti teman, sahabat, bahkan lebih dari sebuah jalinan di dunia ini.
“Thanks ya Kak, Aamiin… Doain ya semoga lancar pembangunannya. Sukses deh pokoknya.”
“Iya pasti gue doain. Mmm, gue denger dari Valerie sih, lo tadi pergi sama Kava ya? Nggak salah denger kan gue Dis?”
Aku memutar bola mataku. Aku sudah menduga bahwa si setan neraka itu melapor ke Kak Celine.
“Ehem.” Aku berdeham mengetes suaraku. “Iya tadi niatnya mau jalan bertiga. Tapi katanya Valerie sakit, jadi gue sama Kava aja sih.”
“Ya bagus lah, hubungan kalian berarti baik-baik aja kan? Gue nggak mau lu sama Kava musuhan.”
“Yaa kayanya sih baik-baik aja kak… Soal musuhan juga nggak mungkin kak, kaya bocah aja pake musuhan.”
Aku bercerita banyak dengan Kak Celine, tetapi aku memilih untuk bungkam perihal peristiwa di Merlion tadi. Cukup hanya aku yang merasakaan kesedihan itu, aku hanya ingin berbagi kebahagiaan dengan orang lain.
GADISAku memasukkan iPad-ku ke dalam tas setelah aku mendengar panggilan untuk segera masuk ke ruang tunggu bandara. Aku melirik sekitarku, kupastikan bahwa keadaan aman, tanpa ada Kavaleri!“Dis lu nggak ke duty free dulu beliin oleh-oleh?" Tanya Valerie dengan menenteng berbagai merk tas belanja. Aku menggeleng dan tersenyum. Yang aku inginkan sekarang adalah kembali bersarang di apartemenku yang super nyaman, dan terlindungi dari bahaya luar (baca: Kavaleri). Tapi aku teringat sesuatu, dan membuatku ingin mati saja.“Apa gue harus pindah apartemen ya?”Velerie melirikku dan mengerutkan dahinya sekilas. “Why?”“Gue pengen hidup tenang, tanpa ada gangguan dari Kava maupun Asha. Gue pengen ngubur semua masa lalu gue. Apartemen itu kan juga sering ditiduri Kava kalo dia nginep di sana. Belum lagi yang setiap pagi ketemu Asha di lift. Gue bisa gila!” Tak ada respon
GADISAku membuka mataku, mengerjap sesekali untuk membiasakan cahaya yang menusuk pupilku. Gelap. Aku melihat pergelanganku, 19.20 WIB. Aku terperanjat kaget dan langsung terduduk di tengah-tengah kasurku.Berantakan. Aku melihat bayanganku di cermin dekat kasur. Eyeliner-ku luntur, rambutku kusut terikat seadanya. Aku menghela nafas kasar. Mencoba meraba dimana iPhone-ku berada.8 Missed Call2 New MessagesAku menggeser layar kunci, dan membuka satu persatu notifikasi tadi. Valerie dan kak Celine yang menelepon. Dan Radit yang mengirim sms.“Dis, lu sama Valerie dapet off day seminggu ya. Gunain waktu dengan maksimal, holiday maybe. Jangan terlalu capek dan jangan terlalu mikirin seseorang^.^”Aku tersenyum membaca secuil perhatiannya. Dulu, yang sering begini ya Kavaleri. Lebih manis dan lebih perhatian dari ini. “Ah...” aku mendesah kecil saat menyadari
GADISAku menikmati semilir angin Kuta yang menerpa rambutku. Ibu duduk di sampingku sambil mengelus pelan rambutku. Kak Celine sedang ada di kasir bersama Bapak. Memesan menu mungkin.“Tumben Dis kamu nggak ganti warna rambut? Dua bulan lalu kamu ke sini rambutnya masih ini kan?” Suara Ibu memecah keheningan dan aku memegang ujung rambutku.“Belum nemu warna yang bagus dan cocok buat aku Bu, mungkin kalo besok ke salon nemu yang cocok langsung ganti."“Oh begitu ya, Ibu pikir karena Kavaleri suka yang warna ini.”DEG.Aku masih belum memberitahu Ibu maupun Bapak perihal undangan pernikahan itu.“Kavaleri kabarnya baik-baik aja kan Dis? Ini kedua kalinya ya kamu ke Bali tanpa dia.”Aku membeku. Tubuhku menegang. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Sebenarnya bukan pilihan tepat aku berada di Bali dalam kondisi dan situasi seperti ini. Bapak dan Ibu pasti akan selalu mena
Kata-kata Kavaleri masih membekas di telingaku. Aku mencari jawaban ke segala penjuru otakku. Nafasku terasa berat sekarang, Kavaleri masih berdiri di depanku, dan aku mendongakkan kepalaku untuk tetap menatap mata indahnya. Nafasnya bisa kurasakan menyapu hangat wajahku, dan tangannya masih setia menangkup kedua pipiku.“Aku mohon Dis, kamu mau nemenin aku berjuang.” Aku menangkap nada memohonnya dengan sangat jelas. Ada harapan yang digantungkan di sana. Aku menghelas nafas panjang. Menyingkirkan tangannya dan mencoba berdiri untuk menyeimbangkan tinggi kami.“Gimana sama Asha? Aku nggak mau buat dia kecewa.” Balasku seraya berjalan ke arah jendela balkon kamarku. Aku mendengar decakan yang sangat jelas dari belakangku.“Tsk, kamu ngapain mikir dia? Dia aja waktu ngrebut aku dan berhasil ngedoktrin Papa nggak mikirin perasaan kamu.” Aku merasakan kedua tangan melingkar di pinggulku, Kavaleri memelukku dari belakang. Na
GADISAku sangat bosan, ingin rasanya pergi bersama Kak Celine. Tapi Kak Celine sendiri juga sedang pergi bersama Ibu dan Bapak. Aku melihat Kavaleri mematikan sambungan teleponnya dan berjalan ke arahku.“Gimana, udah nentuin?” Ah suara itu lagi. Aku lupa jika sedang satu atap dengannya. Aku menggeleng pelan. Dia nampaknya gemas dengan jawabanku.“Dari dulu tuh kamu selalu ya kalo dikasih pilihan nggak bisa milih.” Kavaleri duduk di sampingku sambil memandangiku intens.“Apa?” Tanyaku saat kami bertemu pandang.“Kamu nambah cantik deh perasaan. Apa kamu juga belum punya pacar selama putus sama aku kemarin?” tanyanya menyelidik diselingi dengan senyuman jahilnya.Pertanyaan bodoh!“Kalo aku punya cowok di luar sana aku nggak mungkin mau kamu ajak ketemu Papa kamu! Nggak mungkin mau berjuang buat cinta kita!” jawabku kesal. Tanpa sengaja aku menamp
Soekarno Hatta International Airport, 13.52 WIBAku dan Kavaleri berjalan hendak turun. Tapi teman-teman seprofesi Kavaleri memanggilnya dan itu membuat ia berbincang sejenak.“Kav! Lu habis bulan madu ya?” Tebak salah satu temannya yang berseragam pilot.“Gue belum nikah woy! Eh Rick, lu masih inget Gadis kan? Cewek gue yang dulu gue kenalin ke elu?”Aku tersenyum ke arahnya, dan dia pun membalasnya. Aku sedikit canggung saat Kavaleri mengenalkan aku sebagai pacarnya, seperti dahulu. Ya walaupun saat ini aku memang pacarnya, tapi yang sah di mata Papanya adalah Asha. Bukan aku.“Yaudah gue duluan ya Rick, udah ditungguin Bokap. Lu ati-ati kerjanya!”Kami berdua keluar dari bandara. Aku menata hati dan perasaanku. Aku berusaha membaca doa yang aku bisa agar nanti tidak terjadi sesuatu yang buruk. Kavaleri yang menyadari kegugupanku langsung menggenggam erat jariku.“Rileks don
GADISAku memasukkan beberapa pin di mesin yang menempel di pintu apartemenku.“Mau mampir dulu?” Tanyaku saat aku berhasil membuka pintu.“Pastilah.” Ucapnya yakin dan penuh semangat.Aku berjalan ke arah sofa dengan langkah gontai. Memijat pelipisku dengan gerakan perlahan sambil memejamkan mataku.“Sayang, kenapa?” Kavaleri menghampiriku dan berusaha menuntunku ke sofa. Aku menggeleng cepat. “Capek Kav. Sedikit pusing.” Aku duduk di sofa dan jarak kami sangatlah dekat.“Mau aku buatin sesuatu? Kamu udah minum obat kamu belum?”Aku lupa! Aku belum meminum obatku sejak tadi pagi! Sebenarnya, aku ini menderita suatu penyakit, tapi entahlah aku tidak mau mengumbarnya disini.“Aku ambilin obat kamu ya, di tas kan?” Aku mengangguk. Hatiku merasa damai saat kehadirannya mengisi apartemenku lagi. Wanginya menguar ke seluruh penjuru apartemenku.
Aku melihat sekali lagi undangan pernikahan yang menampilkan kedua nama mempelainya. Kavaleri Avicenna Sadega dan Asha Putri Aurora. Aku menghembuskan nafasku entah sudah yang ke berapa kali.“Aku harap namaku yang bersanding dengan namamu, Kav. Secepatnya...”Panggilan skype membuyarkan lamunanku.“Hai!” Sapaku bersemangat setelah wajah di seberang sana terlihat di layar handphone-ku. Ya Tuhan! Dia sangat tampan dengan baju kebesarannya dan rambut yang sedikit berantakan.“Hai sayang, udah makan?” tanyanya sembari menyisir rambutnya menggunakan jari.“Tiap ngehubungin aku pasti nanyanya makan. Ntar kalo aku gendut gimana? Kamu mau punya istri gendut?” Aku berpura-pura cemberut. Dia tertawa.“Gendut atau enggak yang penting itu kamu. Bukan yang lain.” Pertahananku yang sok cemberut runtuh saat laki-laki di layar handphone-ku mencium layarnya, berniat menciumku.