"Ngapain lu senyam-senyum?" tegur Arnold ketika ia keluar dari kamar dengan bathrope yang menutupi tubuhnya itu.
"Kepo amat sih jadi orang?" salak Sisca galak, ia kemudian melangkah menyusuri lorong hotel, menuju lift guna turun ke lantai bawah.
Arnold memanyunkan bibirnya, pasti chatting-an sama dokter hewan itu! Entah kenapa Arnold makin tidak suka dan penasaran dengan sosok itu. Namun ia belum punya daya apa-apa untuk cari tahu perihal sosok itu untuk saat ini. Mungkin ketika ia pulang dari Jakarta besok, ia baru bisa sedikit demi sedikit mencari info perihal dokter hewan yang sudah mencuri start darinya itu.
Arnold mengekor di belakang langkah Sisca, melihat Sisca yang juga memakai bathrope itu membuat Arnold ingin merengkuh tubuh itu dari belakang, menyusuri leher dan pundak Sisca yang begitu menggoda. Entah, Arnold terkadang heran dengan dirinya sendiri, kenapa hanya karena gadis seperti Sisca ia jadi begitu lemah dan tidak berdaya?
Padahal siapa Si
Sisca sontak melotot ketika taxi online yang mereka tumpangi masuk ke sebuah halaman rumah yang luasnya satu lapangan bola itu. Baru halaman depannya saja sudah seluas ini? Total tanah yang dibangun rumah memang berapa? Halaman depan itu begitu rindang dan sejuk dan setelah mengikuti jalan beraspal itu, sampailah mereka pada sebuah istana megah dengan arsitektur Eropa itu.Sisca menyebutnya istana, karena memang tidak mirip rumah! Ia lebih mirip istana. Mungkin kalau sama Istana Negara hampir sama luasnya. Sisca masih melonggo ketika kemudian Arnold menyenggol lenganya, membuatnya melonjak kaget."Lu jadi mau ikut turun nggak?""Ja-jadi." Sisca membuka pintu mobil lalu melangkah turun. Ia berdercak kagum melihat bagunan megah yang berdiri di hadapannya itu. Bukan main."Sis! Ayolah, ngapain sih berdiri di situ?" Arnold geleng-geleng kepala ketika menyadari Sisca masih celingak-celinguk di tempatnya berdiri, padahal Arnold sudah sampai depan pintu masuk.
Sisca benar-benar tidak percaya, saat ini dia tengah berada di atas supercar berwarna merah itu. Arnold benar-benar membawa Sisca berkeliling dengan mobil berharga milyaran rupiah yang ia miliki. Sisca menoleh, menatap Arnold yang tengah begitu serius dengan kemudinya itu. Laki-laki tiga puluh tahun itu benar-benar makin tampan dan mempesona ketika membawa supercar seperti ini."Sekarang gue sadar kenapa elu begitu stress dan syok ketika harus menjalani kehidupan elu yang sekarang, Bos." guman Sisca sambil bersandar di joknya. "Lu punya segalanya di sini, bahkan rumah elu udah macam istana Buckingham di Inggris sana. Belum koleksi mobil mewah elu.""Sudah lah, sekarang gue udah mulai bisa terima kondisi kok. Terlebih setelah elu memutuskan buat mau bantuin gue," Arnold menoleh dan tersenyum, hanya sekilas karena ia harus kembali fokus pada jalanan yang ada di depannya itu.Sisca merasa hatinya menghangat, kenapa ketika dalam kondisi seperti ini bos rese-nya yang
Sisca langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur begitu mereka kembali ke kamar hotel masing-masing. Pikirannya masih memutar ingatan bagaimana luar biasanya kekayaan yang keluarga Argadana miliki. Ahh ... Sisca jadi merasa berdosa sudah sering berlaku kurang ajar pada sosok bosnya itu, nyatanya bosnya itu bukan orang sembarangan.Sisca merubah posisinya dari berbaring jadi tengkurap, beruntung benar yang besok wanita yang diperistri Arnold? Pasti semua yang ia inginkan akan begitu mudahnya terwujud. Dia tidak akan kekurangan materi, bisa beli barang-barang mewah dan mahal. Ahh ... indahnya hidup jika punya banyak uang.Tapi, bukankah jodoh Arnold sudah dipilihkan oleh keduan orang tuanya? Seorang wanita berpendidikan tinggi lulusan luar negeri yang pasti juga sangat kaya. Karena seperti cerita Arnold, biasanya pernikahan di kalangan mereka adalah sebuah usaha untuk mengkokohkan bisnis dan kekayaan keluarga mereka.Bagaimana pun Sisca masih terheran-heran dengan
Arnold mengerjapkan matanya, gila! Kepalanya terasa begitu berat. Ia mencoba membuka matanya dan melihat sosok itu tengah tertidur pulas di sofa, tunggu ini kan bukan kamarnya, jadi ini kamar siapa?Arnold menoleh ke sekeliling, ah ... dari koper dan barang-barang yang dia lihat, ini kamar hotel Sisca! Arnold kembali menoleh menatap sosok itu yang tengah duduk dan tertidur di sofa itu. Darah Arnold berdesir seketika, melihat Sisca hanya hanya pakai kaos oblong dan celana pendek yang mengekspos semua pahanya itu.Ia memijit pelipisnya dengan gemas, kenapa sih ia selalu ada dalam posisi menyebalkan seperti ini? Kenapa Sisca begitu menggoda luar biasa? Kenapa dia begitu sulit untuk Arnold taklukkan. Arnold menghela nafas panjang, ia bangkit dan melangkah mendekati Sisca yang tampak begitu pulas tertidur di sofa.Bangun kah nanti Sisca jika Arnold menyentuhnya? Namun sungguh pandangan itu benar-benar mengusik pikiran Arnold. Dengan sisa kesadarannya, Arnold membawa
Sisca menatap bayangan dirinya di cermin, bagaimana ia bersikap setelah ini? Apakah tetap biasa-biasa saja atau harus jaga jarak? Lebih baik pura-pura tidak tahu bukan?Mana dia tahu kalau Arnold jatuh hati padanya? Padahal selama ini sikap Sisca begitu menyebalkan bukan? Lantas apa yang membuat sosok Arnold Argadana itu lantas jatuh cinta kepadanya?"Tok ... Tok ... Tok ...."Pintu kamar Sisca di gedor dengan begitu heboh, siapa lagi yang melakukannya kalau bukan bos rese itu?"Tok ... Tok ... Tok ...."Nggak sabaran banget sih? Sisca jadi naik pitam, ia bergegas membuka pintu kamar hotelnya, sosok itu sudah berdiri dengan jas rapi di depan pintu kamarnya."Jam berapa ini? Lu dandan lama banget sih, Sis? Mau kondangan?" gerutu sosok itu kembali pada mode menyebalkan."Sabar kenapa sih? Meeting masih tiga puluh menit lagi!" Salak Sisca galak. Dasar lak
Sisca celingak-celinguk mencari keberadaan bosnya itu, di loby depan tidak ada. Tadi dia pergi mengantarkan koleganya keluar dari ruangan meeting bukan? Harusnya kan dia berada di sekitar sini, tapi kenapa orang itu tidak nampak batang hidungnya? Kemana perginya?Sisca mengedarkan pandangannya ke sekeliling, nihil! Tidak ada sosok Arnold Argadana di sana. Sisca menghela nafas panjang, ia bergegas membalikkan badannya dan melangkah menuju lift, paling dia sudah balik ke kamar kan? Jadi kenapa Sisca harus panik mencarinya? Toh dia sudah besar bukan? Nggak mungkin kan sosok itu kemudian hilang atau diculik?Eh ... kalau diculik sih kemungkinan besar bisa terjadi, kan bapak dia konglomerat. Jadi diculik terus minta tebusan berapa milyar gitu, bisa saja kan? Sisca menahan senyum, ia bergegas masuk ke lift guna kembali ke kamarnya.Mendadak ia teringat apa yang tadi Rizal katakan kepadanya. Dia mau ngomong apa sih sebenarnya? Kenapa rasanya Sisca jadi tidak sabar hend
Arnold hendak menyumpalkan headset ketika Sisca mencolek-colek lengannya. Ia menoleh dan mendapati Sisca tersenyum lebar sambil mengangkat kedua alisnya."Apaan sih?" tanya Arnold tidak mengerti."Bos, tukeran kursi mau? Pengen yang dekat jendela," renggek Sisca sambil menaikkan kedua alisnya sambil memasang puppy eyes yang sontak langsung membuat Arnold luluh seketika.Arnold menghela nafas panjang, ia bergegas bangkit lalu memberikan kursinya untuk Sisca. Senyum Sisca merekah sempurna, laki-laki satu itu memang walaupun soplak tapi tidak tegaan."Makasih bos, love banget deh!" guman Sisca yang sontak langsung melihat ke jendela, pesawat belum take off, masih terparkir dengan begitu rapi di bandara."Elah, pret!" Arnold mencibir, ia menyumpalkan headset ke telinganya sambil bersandar di kursi pesawat.Love banget katanya, orang dia sukanya sama dokter hewan itu kan? Pakai acara bilang love segala. Dasar tukang ghosting! Arnold memejamkan ma
Sisca bersorak ketika benar di teras rumahnya sosok itu sudah duduk menanti dirinya. Ia segera melepas seat belt-nya dan melangkah turun. Arnold hanya mendengus kesal melihat betapa antusiasnya Sisca dengan kehadiran sosok itu. Ia buru-buru memarkirkan mobilnya dan ikut melangkah turun guna melihat sosok dokter hewan yang digilai Sisca itu."Hai, lama ya? Sebentar aku ambil koper dulu!" Sisca bergegas membuka pintu belakang, meraih kopernya dan berbisik pada Arnold yang berdiri di dekatnya."Gue izin bentar malam ini, jangan khawatir besok langsung kerja kayak biasanya, oke?" tanpa menunggu jawaban dari Arnold, Sisca langsung menarik kopernya menuju rumah.Cukup lumayan sih penampilan laki-laki itu. Kulitnya bersih, tubuhnya proposional, cukup ganteng untuk ukuran dokter hewan. Pantas saja Sisca sampai tergila-gila! Tapi kalau dibandingkan dengan Arnold, ia tidak kalah ganteng kok. Dan jangan lupa, dia punya banyak uang! Itu bukan nilai plus Arnold yang belum tentu