"Kenapa lo? Muka dilipet aja kayak baru abis ditagih utang."
"Sialan! Mana ada ceritanya anak Narendra Rafardhan Candra punya utang." Yara mengibaskan rambutnya dengan (sok) cantik.
"Untung beneran tajir. Kalo cuma bacot doang, udah gue siram lo pake kopi panas."
Yara mengabaikan ucapan Rian. Ia memilih meletakkan kepalanya di atas meja dengan beralaskan tangannya yang terlipat. "Pesenin gue yang enak-enak dong, Yan."
Rian menghela napas pasrah melihat kelakuan sahabatnya. Ia terpaksa menyeret langkahnya menuju counter untuk memesankan minuman dan makanan ringan untuk Yara.
"Lo beneran dari apartemen Adam, Ra?" tanya Rian. Meskipun ia tidak pernah sekelas dengan Adam, tapi tentu saja ia mengenalnya. Tidak ada seorang pun pacar Yara yang tidak dikenalkan Yara pada Rian.
"Hmm," jawab Yara singkat.
"Udah sering ke sana lo?"
"Hmm."
"Adam makin ganteng?"
"Hmm." Yara langsung mengangkat kepalanya ketika menyad
"Kamu pengen ke mana dulu, Ra?" tanya Bisma yang tidak henti-hentinya tersenyum sejak mereka berangkat dari coffee shop miliknya hingga mereka tiba di mall. "Aku masih kenyang sih, Kak. Jadi jangan ke tempat makan ya. Selain itu, terserah Kak Bisma aja." "Tiket nonton udah pesen online dan masih lama ke waktu nonton. Hmm ... mau ke toko buku? Atau kamu mau beli sesuatu? Baju atau sepatu gitu?" Yara menimbang-nimbang sejenak. "Toko buku aja deh, Kak. Ada buku yang mau kubeli." Bisma mengangguk, setia berjalan di samping Yara tanpa melakukan kontak fisik seperti berusaha menggandengnya, karena kontak fisik yang tergesa, apalagi di pertemuan pertama seperti itu bisa dipastikan akan membuat Yara lari tunggang langgang darinya. "Kamu mau nyari buku apa?" "Komik Grey & Jingga." "Komik? Kamu bilang buku." "Lah emangnya komik bukan buku?" Bisma terkekeh. "Iya sih, komik ya buku. Komik lokal ya?' "Iya. Komiku
“Kamu mau ke mana, Ra?” “Mau ke apartemen, Pa. Nanti malem aku pergi ke pesta temen ya, Pa,” pamit Yara. “Sama siapa?” “Sama … senior di kampus. Kebetulan baru ketemu minggu lalu, jadi sekarang keep contact. Lumayan nambah ilmu juga, Pa. Kan dia lulusan luar.” “Cowok?” Yara memutar bola matanya dengan malas. Kalau papanya sudah mulai menanyainya seperti ini pasti urusannya akan lama. Ini juga yang membuatnya menyewa apartemen berdua dengan Rian, yang hanya akan disambanginya di saat tertentu, seperti saat ini contohnya. Ketika ia akan pergi ke luar dengan seseorang berjenis kelamin laki-laki, Yara yang tidak ingin dijemput di rumah dan harus memperkenalkan lelaki itu ke semua keluarganya, memilih apartemen sebagai meeting point. Sementara Rian hanya akan menempati apartemen itu jika mendekati ujian dan butuh ketenangan. Mengambil kuliah jurusan kedokteran memang membuat sahabatnya itu mengenyam pendidikan yang jauh lebih lama d
Yara mencoba mengabaikan keberadaan Adam dan calon istrinya. Tujuannya hanya menemani Bisma. Jadi ia tidak perlu mencoba berbasa-basi lagi dengan Adam. "Ayo, Ra. Kukenalin sama temen-temenku," ajak Bisma. Yara mengangguk mengiakan. Teman-teman Bisma kemungkinan memiliki latar belakang pendidikan yang sama dengannya, jadi selain menambah teman, siapa tahu ia juga bisa menambah ilmu dan wawasannya. "Babe, kamu merhatiin dia banget sih!" ucap Lintang kesal. Sejak bertemu lagi di depan ballroom, mata Adam beberapa kali melirik ke arah Yara. "Nggak kok, perasaanmu aja. Orang aku lihatin kamu dari tadi, sama lihatin makanan apa yang kira-kira kamu suka." Lintang seketika tersipu. "Kukenalin ke temenku yang ulang tahun yuk. Dia temenku dari SMA. Trus kuliah di luar negeri. Walaupun jarang ketemu, tapi aku sama dia masih keep contact." Adam mengikuti langkah kekasih sekaligus calon istrinya itu, dan helaan napas kembali keluar dari bibirnya. K
Yara berdecak kesal, berusaha mengatur emosinya yang sudah naik sejak Adam menemuinya di lorong menuju toilet. Serius, sampai detik itu Yara masih belum paham, apa urusan Adam dengan kehidupannya. Yara berhak melakukan apa pun tanpa perlu direcoki olehnya yang hanya merupakan masa lalu. "Langsung pulang, Mbak Yara?" tanya orang suruhan papanya yang duduk di balik setir. Sementara seorang yang lain hanya melirik Yara melalui rear view mirror. "Iya lah, Pak. Mau ke mana lagi. Tolong bilangin supir yang standby di apartemen untuk pulang juga, Pak." Yara menghela napas lelah, tidak biasanya ia memerintah orang seperti itu. Tapi ia sudah terlalu malas, bahkan untuk mengetikkan pesan kepada supirnya. Sampai ponselnya bergetar berkali-kali pun masih diabaikannya. 'Paling papa atau Adam, biarin lah.' Baru setelah beberapa saat kemudian, getaran ponselnya tidak juga berhenti dan akhirnya Yara mengalah untuk mengecek siapa sang penelepon. "Astaga! Kak B
Adam berjalan tergesa menuju restoran yang ada di Lantai 2, hotel tempatnya bekerja. Beberapa menit sebelumnya, ponselnya bergetar menandakan sebuah pesan masuk, dan ia langsung meneguk salivanya ketika membaca pesan itu. Papanya Yara: Adam, lagi sibuk nggak? Adam mengetik dengan cepat balasan untuk lelaki paruh baya yang sampai detik itu masih sangat diseganinya. Adam: Nggak terlalu om, ada apa ya om? Papanya Yara: Om baru kelar meeting di restoran hotel tempat kamu kerja Papanya Yara: Bisa temenin om makan siang? Adam: Ok om, saya ke sana sekarang Pasti ada hubungannya dengan dirinya yang memaksa Yara pulang malam sebelumnya. Tidak mungkin dengan iseng seorang Narendra Rafardhan Candra mengajak makan siang mantan pacar anaknya. Mudah untuk menemukan sosok lelaki paruh baya yang akan ditemuinya itu. Adam harus mengakui kalau postur tubuh dan sikap yang ditunjukkan lelaki itu memiliki kharisma yang sulit terelakkan.
"Kenapa aku nggak tenang ya?" Adam mondar-mandir di dalam kamar apartemennya dengan gelisah. Ucapan Yara yang akan membalas kelakuan Bisma lah yang menjadi alasannya. Wanita itu, sepanjang pengetahuannya bisa melakukan hal-hal gila ketika ia merasa diusik. Kadang hal gila itu berakhir membahayakan bagi dirinya sendiri. Seperti ketika Yara dulu dirundung kakak kelasnya di SMA, Yara memilih diam. Namun entah bagaimana caranya, beberapa hari setelahnya Yara berhasil memacari satu per satu pacar atau incaran dari setiap kakak kelas yang merundungnya. Cara itu cukup berhasil mempecundangi kakak kelasnya, tapi kemudian Yara kesulitan sendiri saat akan menghempaskan para laki-laki yang sebenarnya ia pacari hanya untuk membalas dendam. Bagaimana kalau kali ini Yara menggunakan cara absurd lagi untuk membalas dendam? Karena rasa tidak tenangnya itu, Adam akhirnya menghubungi Yara. Panggilannya baru diangkat setelah dua kali ia mencoba. 'Dasar, sok sibu
"Babe, semalem ke mana? Whatsappku nggak kamu bales?" Pagi itu Adam menyempatkan waktunya untuk menghubungi Lintang yang semakin lama semakin susah dihubungi. "Sorry, Babe. Ada klien yang minta ketemu sambil makan malam. Abis pulang aku kecapekan, langsung tidur jadinya." "Oooh, lain kali kasih tau ya, aku khawatir." "Iya. Udah ya, Babe, aku ada meeting sama supplier habis ini." "Ok, ya udah. Nanti aku telepon lagi." "Hmm." Usai Lintang memutus panggilan telepon itu, Adam memandang layar ponsel dan mengulir history chat-nya dengan Lintang akhir-akhir ini. Entah dia yang terlalu sensitif karena memikirkan interior rumah dan persiapan pernikahan mereka, atau memang Lintang belakangan ini seperti berjarak darinya. Setiap pesan yang dikirimnya, baru dibalas Lintang beberapa jam kemudian, kadang malah tidak berbalas. Telepon juga hanya di saat-saat tertentu diangkat Lintang, sisanya pasti menjadi panggilan tak terjaw
"It's not your business, Yara!" gumam Yara untuk mengingatkan dirinya sendiri. "Itu urusan dia, mau diselingkuhin kek, mau dianya yang selingkuh, itu urusan Adam, yang cuma seorang mantan. Fokus Ra! Fokus!" Sejak ia melihat Lintang bersama Sakti di depan lift hotel, otaknya terus membuat berbagai pertanyaan dan asumsi. Pertemuannya dengan kliennya yang seorang influencer terkenal berjalan lancar, walau ia terpaksa mengeluarkan recorder karena otaknya sedang tidak fokus. Biasanya catatan-catatan hasil meeting-nya dengan klien cukup ia catat dalam notes-nya, tapi kali ini benar-benar tidak bisa. Ia khawatir ada detai yang tertinggal karena ketidakfokusannya. Sampai saat ia sudah kembali ke kantor dan berhadapan dengan komputernya pun, pikiran Yara masih terusik dengan apa yang disaksikannya siang tadi. Beruntung dering ponselnya berhasil membuyarkan lamunannya. "Kenapa, Yan?" tanya Yara begitu mengetahui kalau sahabatnya lah yang menghubungi.