"Sayang, bisakah aku mengantar putrimu ke kamarnya? Ku lihat wajahnya sangat pucat. Aku takut bisa-bisa dia terjatuh saat berjalan!" ucap Bryan meminta izin kepada ibu.
Aku tercegang. Begitu lebar bibirku menganga. Jantungku serasa meluncur ke perut ketika dia mengucapkan kalimatnya barusan. Apa maksud dari ucapan pria keji ini! Di mana otaknya? Apakah dia memang tidak pernah berpikir dulu sebelum berucap! Kenapa dia sama sekali tidak memiliki perasaan terhadapku! Setidaknya tunjukan sedikit saja rasa malu atau rasa bersalahnya di hadapan wanita yang sudah dia tiduri ini! Ke mana sikap wibawanya yang selama ini aku kenal?
Aku menatap matanya dengan tatapan intimidasi. Penuh kebencian dan rasa jijik. Sampai aku merasa semua urat-urat di wajahku menegang karena menahan amarah pada pria yang tidak tahu malu ini. Aku menghela nafas berat.
"Tidak perlu! Kau tidak perlu mengantarku ke kamar! Aku bisa sendiri!" semburku dengan tidak melepa
"Dasar kau laki-laki bajingan! Apa hakmu kepada diriku hingga kau memperlakukan aku seperti ini!" cercahku keras dan tajam."Kau yang membuatku seperti ini!" jawabnya, namun tidak dengan nada keras. Hanya jari jemarinya yang kulihat sangat erat mengepal kemudi mobil yang sedang dia jalani."Aku tidak mengerti apa maksudmu! Dan aku juga tidak ingin memahaminya! Sekarang tolong hentikan mobil ini! Kalo tidak ... aku akan teriak!" Sebisa mungkin aku mengancamnya, meski aku tahu ancamanku itu pasti tidak akan mempengaruhi dirinya."Teriak saja Anandita! Teriaklah sekeras-kerasnya dan sepuas hatimu. Jika itu akan membuat hatimu lega! Tapi jangan salahkan aku jika kau nantinya mendapatkan ganjaran yang setimpal dariku!" tantangnya. Bukannya tersentak dengan ancamannku, dia malah mengancam ku balik. Membuat mulutku gagu dan tidak dapat bersuara lagi. Ganjaran apa yang dia maksud itu?Melihatku yang termangu dengan tatapan
Seperti biasa, aku melakukan tugasku di store ini. Ku rapikan rak-rak yang sudah terisi dengan produk yang berlambang lebel perusahaan tempatku bekerja. Hari ini adalah hari terakhirku bekerja. Tekadku sudah bulat. Aku tidak ingin bertemu dengan manusia hiperseks itu lagi. Aku ingin menuruti permintaan ibu untuk fokus pada kuliahku yang tertunda.Entah kenapa setiap detik pikiranku menjadi tidak tenang. Selalu terlintas di otakku perlakuan buruk Bryan tempo hari. Yang mana sudah membuat diriku menjadi trauma. Aku tidak tahu sampai kapan perasaan sakit ini akan menghilang. Atau bahkan tidak akan pernah menghilang sama sekali seumur hidupku. Laki-laki itu sudah meninggalkan jejak traumatis di dalam hidupku."Anandita!"Suara seseorang menghentakku. Ku tolehkan pandanganku ke belakang."Raisa!"Raisa, SPG sabun mandi ternama itu mendekatiku dengan senyum manisnya."Anandita, kamu kenap
Tidak! Tidak! Tidak! Aku tidak harus menemuinya! Apa maksud dari ucapannya tadi! Kenapa dia ingin aku menemuinya di kantor?Aku menggerutu ketika kakiku sudah menginjak halaman kantor. Ku putar badanku lagi. Berbalik ke belakang. Segala keraguan muncul di benakku."Tapi jika aku tidak menuruti perintahnya, apakah dia tidak akan melakukan perbuatan sesuai ancamannya kemarin?!"Oh ...Tuhan! Tolong aku!"Anandita!"Panggilan seseorang menghentakku. Aku menoleh ke belakang. Perasaanku mulai tidak enak. Aku sangat mengenal suara itu. Perlahan aku membalikkan badan. Dan benar saja, Bryan sudah berdiri tak jauh di belakangku. Tepatnya di depan pintu masuk kantor. Berdiri tegak dengan kedua tangannya yang tersembunyi di masing-masing saku celana.Seperti yang pernah aku katakan sebelumnya, bagaimanapun pesona yang dia tunjukkan kepadaku, kedua bola mataku hanya melihat sosok iblis ketika memandangnya."Anandita." Dia mulai melangkahkan kakiny
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Aku keluar dari ruangan Bryan yang di mataku sudah seperti neraka jahanam. Sesekali aku melihat ke belakang, menilik Bryan. Wanti-wanti jika laki-laki itu tiba-tiba mengikuti langkahku. Namun, sepertinya Bryan tidak berniat menghentikan langkah kakiku. Itu terbukti karena Bryan tidak muncul di balik pintu."Permisi Pak!" pamitku membungkukkan badan kepada pak satpam penjaga pintu masuk kantor."Iya Neng!" balas pak satpam sembari ikut membungkukkan badannya. Dia tersenyum.Aku langsung keluar dari gedung kantor, berusaha mencari taksi, atau ojek atau apa sajalah yang bisa membawaku pergi jauh dari tempat ini.***"Terima kasih, Kang!" ucapku setelah turun dari motor kang ojek. "Ini!" Aku menyerahkan beberapa lembar uang kepada tukang ojek. Dia menerimanya."Terima kasih, Neng!""Sama-sama Kang!"Lantas kang ojek berlalu dengan motor bebeknya. Ku pandangi punggungnya
Mentari pagi menyapa dunia. Sinarnya menghangatkan seisi bumi, tapi tidak berhasil menghangatkan hatiku yang sudah membeku. Tetesan embun yang berada di setiap kelopak bunga terlihat sangat indah, sangat menyejukkan mata. Udara pagi yang masih lembab menyapa dan membelai wajah serta rambutku. Ah! Semerbak harumnya bunga-bunga ini sedikit menenangkan pikiranku yang sedang kacau.Aku duduk di gazebo belakang rumah. Di sini terdapat banyak tanaman hias yang sengaja ditanam oleh ibuku. Pagi ini aku sama sekali tidak berniat kemanapun. Aku bahkan sudah memutuskan untuk tidak lagi bekerja. Tidak mau bertemu banyak orang apalagi sampai berjumpa dengan supervisor brengsek itu.Dalam kekacauan hatiku, aku berharap mendapatkan ketenangan disisa usiaku. Aku sudah tidak tahu lagi akan kemana langkah kaki ini akan aku gerakan. Aku merasa masa depanku musnah seketika. Aku merasa telah menjadi wanita paling hina di dunia ini. Jikapun beribu kata penyesalan aku ucapkan, apakah itu aka
Belum lagi aku mengizinkan Mang Deden untuk mempersilakannya menemuiku. Bryan sudah muncul di hadapanku. Membuat mataku terbelalak kaget dengan perasaan yang bercampur aduk. Kesal setengah mati."Mau apa kau kemari! Ibu sedang tidak ada di rumah! Silakan pergi dari sini sekarang juga!"Mang Deden langsung bergegas meninggalkan kami, sementara laki-laki brengsek ini, masih tetap tegak berdiri menatapku dengan tatapan mata yang serius. Jujur, aku mengangumi ketampanannya. Dia terlihat begitu gagah dan berwibawa. Wajahnya yang maskulin dengan sedikit brewok yang mengelilingi rahangnya semakin membuat dirinya terlihat sensual. Garang. Tapi tetap cool. Namun, semua rasa kagum itu musnah, ketika aku mengingat kembali perbuatan bejatnya kepadaku beberapa hari yang lalu."Aku tidak mencari ibumu, Anandita. Aku sengaja datang kemari hanya untuk menemuimu." Bryan melangkah mendekatiku. Aku gemetaran. Kemudian, mundur dengan perlahan. Tapi dia semakin mendekat ke arahku.
Devan POV~ Sesaat setelah aku keluar dari gerbang rumah Anandita, dari kaca spion mobil, tak sengaja aku melihat sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depan gerbang rumah megah itu. Aku menyipitkan mata. Melihat dengan baik siapa pemilik mobil tersebut. Pria yang tidak pernah aku kenal sebelumnya, turun dari mobil tersebut. Mendekati pos satpam, dia terlihat sedang menyampaikan sesuatu. Sekelumit pertanyaan menyerang batinku. Siapakah pria itu? Tidak berapa lama kemudian, salah satu satpam mendekati mang Deden yang sedang menyiram tanaman. Entah apa yang dia sampaikan. Yang jelas didetik berikutnya, mang Deden bergegas masuk ke dalam rumah dan pria itu mengikuti langkahnya. Batinku semakin bertanya-tanya, untuk apa pria itu masuk ke dalam rumah Anandita, yang aku tahu ibu Anandita sedang tidak berada di rumah. Hanya ada Anandita dan beberapa asisten rumah tangga di dalam rumah tersebut. Tidak mungkinkan pria yang berstelan rapi itu ingi
Anandita POV~Aku menunduk saat kedua bola mata Devan menyorot seakan ingin membunuhku. Biarlah dia menganggapku sebagai perempuan murahan. Asal perdebatan ini selesai. Tapi, sepertinya malah akan lebih rumit lagi. Aku tidak tahu ekspresi apa yang ditunjukkan Bryan ketika dia mendengar ucapanku tadi. Aku sudah pasrah pada keadaan.Bukan tidak ada alasan aku mengatakan itu pada Devan. Bohong, jika aku menikmati persetubuhan yang didasari keterpaksaan itu. Malah aku sangat membencinya. Ketika aku mengingat kejadian itu, ingin rasanya aku meludahi diriku sendiri. Jijik!Ku lihat Devan sangat serius dengan ucapannya tadi. Bahwa dia ingin melaporkan hal yang menimpaku ini kepada pihak yang berwajib. Langsung aku teringat pada ancaman Bryan yang mengatakan kalau sampai perbuatannya terbongkar dan sampai menjadi urusan polisi, maka dia tidak segan-segan menyebarkan rekaman panas kami. Bahkan, masih jelas terngiang di telingaku, saat dia mengatakan akan meny