SMA Garuda. Tempatnya berbagai spesies langka di Bandung, di antaranya : Titan Darmawan, si cewek lemot, keras kepala, belum lagi rakus. Suatu hari, dengan tidak penuh pertimbangan ia membuang kopi panas dari kelasnya di lantai dua yang sukses membasahi Tristan yang lagi bolos cantik. Punya sahabat bernama Rheva, geulisnya turunan Jawa-Surga. Sayang hatinya turunan malaikat pencabut nyawa. Sah-sah saja ketika menonton sahabatnya jadi bulan-bulanan siswa lain. Ada lagi Tristan Sagara. Si perokok, tukang bolos, tapi syukur-syukur diberkahi wajah yang oke. Dengan senang hati membalas dua kali lipat perbuatan cewek yang berani menyiramnya hingga ia ketahuan bolos. Sifatnya sudah macam penjajah jaman kolonial. Hari-harinya juga tidak lupa ditemani Bams yang selalu menjadi yang terdepan dalam memberi ide jahanam untuk menjahili Titan. Ada pula Nyong si pujangga pantun, dan terakhir Sandi si sadboy. Berbagai hal mewarnai hari-hari Titan dan Tristan di tahun terakhir mereka memakai seragam abu-abu. Mulai dari cerita yang berasa asin macam micin hingga manis rasa gulali, maupun pahit rasa obat.
View MoreSaat ini, Titan Darmawan, sedang berusaha mengingat-ingat apa saja dosa yang telah ia lakukan dari kemarin hingga harus berakhir berurusan dengan Tristan, si tukang bolos SMA Garuda. Gadis itu merenung mengamati luka di lututnya yang berdarah dan lebam biru-biru. Ia meringis merasakan perih dan nyeri sekaligus. Untuk berdiri saja, lututnya bahkan terasa terlalu lemas.
Satu hari yang lalu ....
Titan, seorang gadis berperawakan mungil di bawah 160 sentimeter yang memiliki wajah imut. Rambutnya panjang, jatuh lurus hingga ke punggung. Matanya bulat, dengan bulu mata panjang walau tidak lentik. Hidungnya tidak mancung tapi juga tidak pesek. Bibirnya mungil dan merah alami. Kalau diam saja, orang-orang tentu akan berpikir dirinya adalah seorang gadis feminim. Padahal, semuanya kontras dengan sifat dan mulutnya yang bar-bar. Belum lagi hobinya adalah tidur di kelas dan membuat orang lain frustasi karena tingkahnya. Ia juga malas, tepatnya terlalu malas untuk melakukan banyak hal selain bernapas, makan, dan tidur. Itu juga kenapa ia selalu berusaha menghindari segala macam bentuk drama dalam hidupnya, tapi sepertinya, keinginannya untuk hidup tenang akan berakhir setelah ini.
Kelas XII IPA 4 saat itu sedang mengikuti jam pelajaran Olahraga. Kali ini mereka harus ambil nilai maraton di bawah teriknya matahari yang sedang bersinar cerah di langit Bandung. Tentu saja berhasil membuat semua siswi perempuan mengeluh setiap saat karena takut kulitnya akan gosong. Maka, setelah jam pelajaran yang melelahkan, semua anggota kelas itu langsung berhamburan untuk ganti baju ataupun membeli minum sebentar ke kantin. Termasuk Titan yang ingin segera membasahi tenggorokannya yang sudah kering kerontang sejak tadi. Ia merogoh kantong celana olahraganya yang berwarna merah, ingin memastikan dirinya membawa sejumlah uang di saku. Senyumnya mengembang kala berhasil menarik selembar uang sepuluh ribu dari dalamnya.
"Titan mau ke kantin beli es kopi. Rev, lo temenin Titan mau, nggak?" tanya Titan sambil mengipas-ngipas wajahnya yang kemerahan sehabis lari maraton barusan. Kulit wajahnya yang sensitif, terasa sedikit perih.
Ia melirik temannya yang terlihat ngos-ngosan, terlihat sedang berusaha menetralkan napas setelah ambil nilai maraton barusan. Temannya satu ini tinggi, hampir 170 cm. Merupakan defisi nyata dari kutilang, alias kurus, tinggi, dan langsing. Tiap orang pasti setuju kalau sahabatnya ini sangat cantik, termasuk salah satu jejeran cewek populer di sekolahnya. Namun, Rheva sedikit susah bergaul. Pemikirannya dewasa, dan dengan ajaibnya entah kenapa ia justru bisa merasa nyaman berteman dengan Titan yang kerjaannya suka bikin pusing kepala orang dengan tingkah kekanakannya.
"Nggak deh. Gue mau cepetan ke toilet, kebelet sekalian mau cepat-cepat ganti baju biar nggak kena semprotnya Bu Damara. Lo aja sendiri." Rheva memilih menelantarkan temannya dan masuk zona aman. Memang, guru PPKN mereka, Bu Damara, sangat menakutkan. Bisa membuat semua murid otomatis sungkem kalau sudah berhadapan langsung dengan beliau.
"Rev, lo pasti mau boker sekebon lagi," tebak Titan dengan mata menyipit menatap Rheva. Tahu sekali kebiasaan aneh temannya.
"Nah, pinter emang lo jadi sahabat gue, kayak cenayang nebaknya. Udah ngerti gitu sampai urusan perut gue. Terbaik deh pokoknya." Rheva cengegesan sambil mengacungkan dua jempol. Merasa geli karena sahabatnya sudah hafal betul kebiasaan perutnya yang sering mules di sekolah. Bahkan, tiap bilik toilet perempuan di sekolah, sudah pernah dipakai Rheva untuk boker. Kenapa semua dicoba? Biar ganti suasana supaya tidak bosan katanya.
"Yaudah, Titan ke kantin kalau gitu. Udah nggak nahan ini hausnya. Tenggorokan kering kerontang." Titan lalu berdiri sambil menepuk-nepuk celananya, membersihkan debu yang menempel.
"Ingat, jangan kelamaan lo di kantin. Jangan semua lo pengen beli, lo kan juga belom ganti baju." Rheva memperingati Titan yang notabenenya memang doyan banget makan. Kalau tidak begitu, pasti temannya akan memborong banyak jajanan dan lupa waktu. Bahaya, kalau sampai dihukum.
"Iya-iya. Nitip baju ganti Titan ya. Bawain ke toilet biar nggak usah bolak-balik." Titan lalu beranjak menuju kantin sendirian.
"Aman. Ingat loh ya, jangan kelamaan! Bu Damara tuh galak!" Rheva pun juga beranjak namun ke arah yang berlawanan, menuju kelas XII IPA 4 yang terletak di ujung lantai dua SMA Garuda.
Titan harus naik tangga untuk bisa sampai ke kantin sekolahnya yang berbentuk seperti aula persegi panjang. Lengkap dengan jejeran kios-kios persegi di tiap sisi yang menjual kebutuhan perut para siswa dan guru. Di sana juga terpajang banyak meja persegi panjang dengan bangku kayu berhadapan. Kantinnya juga merupakan area terbuka, jadi hanya dilengkapi kipas-kipas yang menggantung di tiang-tiang kayu peyangga.
Sampai di kantin yang memang lenggang karena masih jam pelajaran, Titan langsung nyelonong ke kiosnya Mang Asep. Begitu panggilan pemilik kios tersebut, yang jajanannya selalu ludes karena menjual gorengan kegemaran semua murid.
"Mang, es kopinya dong satu!" ucap Titan ke Mang Asep.
"Lah si Eneng kenapa dah mukanya merah banget? Shy-shy cat ya ketemu Mang Asep?" Mang Asep mengeluarkan seribu jurus gombalan recehnya.
"Aduh, shy-shy berak kucing iya kali. Cepetan atuh nggak nahan kepanasan ini." Titan mulai mengomel, sudah biasa dikerjai oleh Mang Asep.
"Masalahnya Mang Asep nggak bawa es batu hari ini, Neng. Gara-gara mati lampu kemarin jadi meleleh semua es di kulkas rumah Mang Asep, gimana nih?"
"Alamak. Tega banget sih PLN sama Titan. Titan bakar kantornya baru tau." Oke, sampai sini Titan mulai ngawur.
"Aduh si Eneng mah ada-ada aja. Gimana kalau beli kopi panas setengah cup sama air mineral dingin baru nanti dicampur?" tawar Mang Asep sambil menunjuk kulkas minuman yang terpajang di depan kios.
"Itu mah Mang Asep yang untung. Yaudah deh yang penting es kopi jadinya. Cepetan ya nanti keburu Bu Cemara ngajar," ujar Titan benar-benar tidak sabaran. Dalam hati juga sudah kalang kabut takut terlambat dan harus berhadapan dengan amukan sang guru yang terkenal mampu membuat segala jenis spesies siswa membandel jadi kiceup.
"Bu Cemara siapa, Neng? Guru baru?" Mang Asep kebingungan, secara dia sudah kenal baik dengan guru-guru di SMA Garuda. Namun, tak tahu ada yang namanya Bu Cemara.
"Itu yang doyannya marah-marah kalau upacara. Yang kalau sekali buka mulut depan mikrofon langsung bersabda."
Titan sangat mudah lupa dengan nama orang lain. Bawaan diri gadis itu yang memang cuek. Sehingga, ia selalu berujung hanya mengingat samar-samar dan berakhir memelesetkan nama orang lain. Bahkan nama gurunya pun sering jadi korban.
"Itu mah Bu Damara atuh Neng, namanya," ucap Mang Asep setelah berpikir keras siapa guru yang dimaksud Titan. Mang Asep lalu segera membuatkan kopi panas. Merobek bungkus kopi saset dan menuang air panas dari teko ke dalam cup kertas.
"Eh iya, terserah mau apalah itu namanya," ujar Titan tak peduli, "cepetan Mang, lima menit lagi bel pelajaran kedua. Titan campur sendiri aja nanti kopi sama air dinginnya di kelas kalau sempat." lanjutnya buru-buru sembari mengambil air mineral dingin di kulkas.
"Nih, Neng. Hati-hati bawanya." Mang Asep menyerahkan kopi panas dalam gelas kertas.
"Oke, Mang. Nih uangnya pas ya." Titan mengeluarkan jumlah uang total Rp.7.000,00. Saking seringnya makan di kantin Mang Asep, ia sampai hafal semua harga dagangannya. Sungguh pelanggan yang baik dan tidak mau merepotkan sang penjual untuk berbicara berlebih.
"Makasih, Neng," balas Mang Asep sambil menerima uang tersebut.
Titan segera menuju toilet. Di depan toilet perempuan ia berpapasan dengan Bimo, ketua kelasnya. Kebetulan toilet perempuan memang bersebelahan dengan toilet laki-laki. Cowok itu nampaknya juga baru selesai berganti baju sehabis olahraga tadi. Wajahnya basah sehabis cuci muka, namun warnanya masih memerah seperti tomat. Akibat lari maraton sambil dipanggang di bawah sinar matahari yang sedang naik karena mendekati siang hari.
"Eitsss... Bimoli, nitip kopi sama airnya Titan ya! Lo minum sedikitpun Titan sumpahin lo jadi mandul!" Tanpa menunggu persetujuan dari Bimo ataupun merasa bersalah dengan panggilan serta kutukan yang ia berikan barusan, Titan langsung masuk ke dalam toilet perempuan.
"Lama banget lo di kantin dah. Udah mau bel ganti jam pelajaran ini," ujar Rheva yang sudah selesai dengan ritual ngeden dan ganti bajunya. Ia hendak keluar toilet.
"Wah... tungguin dong," Titan memelas.
"Ogah, entar gue kena amuk bu killer. Gue duluan, itu baju lo ada di samping wastafel." Rheva melenggang keluar dari toilet, dengan segala bentuk tidak berpriketemanannya.
"Elah, punya temen satu kagak pernah mau nungguin. Untung aing teh sabar dan mandiri," Titan mengoceh sambil bergegas ganti baju. Setelah itu ia segera naik ke lantai dua menuju kelasnya yang ada di ujung.
Kelas masih berisik. Guru killer belum datang rupanya. Keberuntungan sepertinya memihak Titan. Ia menghembuskan napas lega lalu tersenyum lega dan segera duduk di kursinya yang berada dekat dengan jendela. Ia menyimpan baju ganti di laci meja dan mulai membuka bungkus plastik kemasan dari botol air mineralnya. Belum sempat ia menghirup aroma kopinya, tiba-tiba terdengar sebuah alarm tanda bahaya.
"WOY PARA MANUSIA!!! BU DAMARA LIMA METER LAGI NYAMPE!!!" Alarm XII IPA 4, yaitu Arham memberi komando sambil mengintip dari jendela di sisi lain kelas.
Serentak semua murid ngacir ke kursi masing-masing. Semuanya panik, menghentikan segala aktivitas masing-masing yang tadinya sedang berlanjut. Segala rutinitas seperti bergosip, selfie, bahkan nobar yang iya-iya pun terhenti serentak, bersiap menyambut datangnya sang "iblis" SMA Garuda.
Titan otomatis juga kalang kabut. Pasalnya, Bu Damara tidak memperbolehkan membawa minuman dari kantin kecuali air mineral. Tidak ada juga tempat menyelundupkan kopinya karena guru tersebut selalu merazia laci dan tas para murid sebelum pelajaran dimulai. Maklum, guru PPKN. Disiplin dan teganya mungkin turunan penjajah kolonial jaman dulu.
"Aduh, mesti diapain nih kopi. Mampus kalolau ketahuan Bu Cemara."
Tiba-tiba lalu muncul ide cemerlang di otaknya. Tanpa perlu pikir panjang, dengan penuh keyakinan Titan membuka jendela di samping tempat duduknya dan membuang kopi tersebut ke bawah dengan mulusnya. Sampai akhirnya ia dikagetkan dengan suara lain yang segera menyusul.
"PAAANAAAASSS!!!"
Terdengar jeritan dari bawah. Titan melongok keluar jendela, mendapati seorang cowok yang tidak sengaja ia siram sedang memegang rokok dengan tiga temannya yang juga memiliki benda yang sama di masing-masing tangan. Mereka adalah spesies yang selalu ada di tiap sekolah, kaum bolos. Kapanpun ada kesempatan, keempat orang itu selalu bolos di belakang sekolah atau entah di mana. Berpindah-pindah tempat agar tak ketahuan. Keberadaan mereka inilah yang membuat para guru harus rajin keliling untuk piket harian.
"Aduh... mampus kena orang lagi," ujarnya dengan polos dan wajah tanpa dosa.
"PANAS BANGET SIALAN!!!" Si korban mengumpat sambil masih kepanasan dan meringis. Mengipas-ngipas bagian tubuhnya yang dirasa melepuh. Saat cowok itu mendongak ke atas, mencari siapa pelaku kejahatan yang barusan menganiayanya, ia mendapati seorang siswi perempuan yang juga tampak terkejut sedang melongok padanya dengan muka cengo dan tampak bodoh.
"LO-" Belum sempat ia mengeluarkan segala makiannya pada cewek itu, jendela sudah ditutup di atasnya.
•••••
"Sayang-sayang pala lo peyang!" sentak Titan kesal seraya meninju bantal tidurnya tak henti-henti. Setelah meninjunya, ia melempar bantal itu ke sembarang arah. Iya, Titan sedang dalam mode siluman ekor rubah. Ia benar-benar kesal kala mengingat bagaimana Tristan memanggilnya sayang tadi saat di aula ketika latihan. Satu aula benar-benar menyorakinya dan ia langsung bingung harus menaruh muka di mana. "Sayang-sayang lo banyak! Bukan cuma Titan doang!" geramnya lagi. Bahkan sekarang ia mulai menggigiti sarung guling saking kesalnya. Ia semakin kesal kala mengingat bagaimana Tristan begitu dekat dengan teman-teman ceweknya yang lain. Mungkin saja kan ada si sayang nomor dua, nomor tiga, dan seterusnya. Mau marah juga rasanya aneh, statusnya bukan siapa-siapa walau tak bisa juga dibila
"Cie... habis kena marah ya? Kusut bener mukanya kayak keset depan WC." Titan terkikik geli sekembalinya Tristan setelah sesi berbincang-bincang tidak ria dengan papanya di atap rumah sakit barusan.Sekarang mereka ada di taman rumah sakit, setelah Tristan selesai dengan papanya dan langsung menghubungi Titan untuk bertemu di sana."Kamu juga kusut mukanya," balas Tristan."Hah, masa? Udah cuci muka tadi pakai air padahal." Titan memegang pipinya sendiri dengan punggung tangannya."Iya kusut, kayak kurang asupan perhatian dari aku.""Jijik banget dengernya tahu nggak?" Ekspresi Titan langsung berubah sedatar mungkin."Aku kayaknya y
Setelah mendapat lokasi balapan motor dengan lagi-lagi harus menelpon Bams, maka Rheva semakin menggas mobilnya. Ia jarang ngebut apalagi kebut-kebutan begini. Alhasil, ia hampir menabrak seorang pejalan kaki yang menyeberang jalan di tengah gelapnya malam ditambah guyuran hujan. Syukur-syukur selamat."Rev." Titan memanggil."....""Rev.""Hm?""Rev!""Apa, sih?!""Lo bawa mobil mahal apa bawa bajaj sih!""Mobil mahal lah ini.""Lelet banget tahu nggak?! Saingan sama siput?!""Yang penting jalan mobilnya.""INI CUMA 20 KILOMETER PER JAM REPPPP!!!! KAPAN NYAMPENYA ISHHH!!! LIMA BELAS MENIT LAGI TENGAH MALEM NIH UDAH MULAI BALAPANNYA ENTAR!!!""Udah cepet ini! Lo mau kita hampir nabrak lagi apa?! Jantung gue tadi rasanya mau loncat keluar tahu nggak?!""Ishhh Rhevaaaaa...." Titan merengek."Entar lagi juga sampe elah. Gue kapok ngebut! Lagian ini hujan, buram kacanya!""Entar mere
"Aku sayang sama kamu, Tan!" teriak Aundy di ujung lorong yang sudah sepi.Tristan ada di hadapannya, menatap dirinya dengan tatapan datar dan tak tertarik sama sekali."Guenya nggak.""Bohong! Kamu meluk aku waktu itu! Waktu di parkiran aku nangis kejer-kejer bahkan di rumah sakit kamu temenin aku sampai malem." Mata gadis itu berkaca-kaca, berusaha meyakinkan dirinya sendiri pada sebuah harapan kosong."Waktu itu, cuma itu yang bisa gue lakuin buat nolongin lo. Jangan kegeeran.""Nggak mungkin cuma gara-gara itu. Kalau emang iya kamu sukanya sama Titan, kamu harusnya ninggalin aku gitu aja. Kamu tahu Titan nggak suka sama aku deketin kamu."
Tristan seharian ini tidak sempat bertemu dengan Titan. Entah ke mana gadis itu saat ia mencarinya, mereka tidak berpapasan sama sekali. Mereka juga sudah sibuk dihadang berbagai ujian menjelang UN, membuat kesempatan bertemu semakin sulit karena gadis itu biasanya langsung ngacir pulang begitu selesai ujian.Sekolah tidak pernah terasa seluas ini bagi Tristan, namun ketika dia tidak bisa bertemu Titan, semua berbeda. Hari ini, ketika ia bertemu salah satu siswa laki-laki yang diingatnya sekelas dengan Titan, maka ia pun bertanya di mana keberadaan cewek itu. Cowok itu menjawab, hari ini seharusnya anakbandakan latihan.Maka ia bergegas, mencari ke aula tapi tak ada siapapun di sana. Ia lalu berlari ke ruang musik, namun melihat dari jendela luar saja sudah kelihatan jelas bahwa tempat itu juga kosong, pintunya pun
Tristan mengerang, pusing. Ia masih terjebak di tempat ini, Rumah Sakit Medika. Orang tua Aundy mengalami kecelakaan cukup parah, yang memerlukan operasi untuk segera menangani mereka. Luka-luka dan patah tulang. Sementara keluarga Aundy yang lain yaitu om dan tantenya baru saja datang.Pengurusan untuk surat tindakan medis semuanya ditangani mereka yang sudah berusia di atas 21 tahun. Sementara Aundy sendiri hanya bisa menangis sedari tadi, terlebih setelah mendengar penjelasan dokter sebelumnya mengenai kondisi papa dan mamanya yang akan segera ditangani."Tolong temani Aundy dulu, ya. Biar saya dan omnya yang mengurus semua."Tristan tadi dimintai tolong oleh Arini dan Budi yaitu tante dan om dari Aundy agar bantu menenangkan Aundy yang masih histeris. Setelah Arini dan Budi menguru
Tristan bergegas keluar kelas begitu bel tanda istirahat berbunyi. Ia tidak bolos pagi ini, berhasil memposisikan pantatnya untuk tetap menempel pada kursi walau tidak betah. Jika pantatnya punya nyawa sendiri, sudah pasti pantatnya itu bakalan kabur duluan.Ia uring-uringan sejak kemarin, ketika sempat berselisih dengan Titan sebelum pulang sekolah. Ia sadar ia yang salah. Seharusnya ia tidak boleh egois dengan meminta Titan menunggunya sementara ia akan berdua dengan Aundy walau hanya untuk sekadar latihan drama. Ia seharusnya memilih salah satu antara latihan atau mengantar Titan pulang. Satu yang ia tahu, ia tidak akan senang memilih salah satunya. Ada konsekuensi di antara kedua pilihan itu.Pentas seni sialan,batinnya.Ia akan meminta maaf pada Titan, oleh
Esoknya, Tristan datang ke kelasnya seperti kebiasaannya belakangan ini untuk mengajak Titan makan ke kantin. Titan pun tak bisa pura-pura seolah biasa saja. Senyumnya langsung merekah begitu melihat penampakan cowok itu muncul di ambang pintu kelasnya bahkan sebelum Bu Endah yang sedang mengajar di XII IPA 4 keluar kelas."Ngapain kamu mejeng di sini?" Bu Endah yang hendak keluar tentu saja bertemu dengan Tristan di ambang pintu."Mau nyari anak didiknya Bu Endah buat ngajakin makan berdua di kantin. Kenapa? Ibu mau ikutan? Jangan jadi orang ketiga di antara kami dong Bu," jawab Tristan sambil senyum-senyum."Hah, ngawur aja kamu nih. Emang kamu ngajakin siapa toh?""Ini Bu, anaknya udah ketemu." Tristan langsung merangkul pundak Tit
Tristan menahan napas ketika melihat wujud manusia di depannya. Seketika, bayangan wajah cemburu Titan tergambar di otaknya dan membuatnya berasa sedang selingkuh. Padahal pacaran aja mereka tidak.Aundy.Sesosok gaib-eh manusia yang belakangan ini selalu absen di depan wajahnya tiap hari. Menggerayanginya ke mana-mana sampai terkadang membuat Tristan berasa punya penunggu di punggungnya.Kadang ia kesal sendiri, tapi pernah beberapa kali ia bersikap cukup baik pada cewek itu ketika ingin melihat reaksi Titan bila ia berdua dengan perempuan lain. Makan bersama di kantin beberapa kali dan mengantarnya pulang.Sekarang rasanya ia ingin ganti muka saja. Biar tak terus-terusan dikejar sana-sini. Toh cewek satu ini juga cuma naksir sama ta
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments