"Oh ya, Paman ingatkan. Keluarga Milosevic adalah mafia. Jadi pertimbangkan betul pilihanmu!" ujar Victor memperingatkan Fafa.
Fafa merasakan genggaman Ian semakin erat pada telapak tangannya. Dia bisa merasakan betapa keputusannya akan berdampak besar pada Ian. Jika merujuk pada yang dikatakan Victor, tentu saja potensinya bersama Ian hanya bertahan dua tahun. Padahal Fafa sudah mulai nyaman dengan semua perlakuan Ian. Sikap semena-mena, perintah sana-sini, merajuk, dan keusilannya. Fafa menatap lekat Ian, manik hitam penuh pengharapan. Apabila dia memilih bercerai sekarang, otomatis dia akan menikah dengan Mike. Fafa mengalihkan pandangannya. Dia menatap Mike sejenak, lalu memalingkan wajah dan menatap Victor yang memejamkan mata. 'Ya Allah, ujian macam apa ini! Bagaimana bisa, Fa menikahi kedua pria dewasa ini bergiliran,' keluh Fafa dalan hati.
Kegelisahan semakin tampak di wajah Ian. Bagaimanapun keputusan Fafa sekarang adalah puncak ketidakberdayaannya sebagai
"Yang masih menjadi mafia, Paman Victor dan Kak Mike, memangnya By juga mafia?" Skak MatAndrian terdiam untuk sesaat. 'Benar, aku juga mafia,' jawab Ian dalam hati. "Emm, tidak semua mafia selalu melenyapkan dan dilenyapkan, apalagi melenyapkan nyawa sembarangan. Pantang bagi keturunan Milosevic bersikap seperti itu. Kami hanya melenyapkan, jika memang dia pantas lenyap, terutama seorang pengkhianat! Kami tidak turun tangan langsung, Sayang. Ada bagian sendiri yang mengurusnya," jelas Ian. "Ha ..., Apa jika Fa berkhianat, By juga akan melenyapkan?" "Kenapa berfikir begitu, hhmm?" tanya Ian sembari mengeratkan pelukannya. Fafa menggeleng. "Ternyata menjadi ketua mafia sekeren itu! Pantas saja Paman Victor dan Kak Mike ...." Ian mendengar hal itu menjadi gusar, dia langsung melepaskan pelukannya dan menyentak tubuh Fafa. Ian menatap tajam Fafa. 'Ada apa dengan istriku, dia terus menyebut nama mereka! Apa dia mulai s
"Persembahan?" ulang Rahman dengan mengernyitkan dahi. Rahman merasa, dia harus hati-hati terhadap David. Bagaimana bisa, dia menceritakan rahasia sahabatnya. Apalagi ini soal proyek. Sepertinya, David bicara pada orang yang salah. Rahman adalah bodyguard Ian. Keluarga besar Rahman telah mendedikasikan seluruh keturunan mereka untuk melindungi keluarga Andrinof. Apa ini! Sahabatnya sendiri mencoba membuka aib boss? Rahman memutuskan akan lebih intens mengawasi David. Rahman tidak ingin kecolongan lagi. Dia cukup tenang karena penculikan istri Andrian beebrapa hari lalu, dilakukan oleh kerabatnya sendiri. Jadi, sesuatu yang buruk sangat minim terjadi, karena sudah ada Save Eagle yang mengawasi mereka. Akan tetapi, bagaimana jika dilakukan oleh orang di luar lingkaran Milosevic? Rahman sungguh tidak bisa membayangkan. Apalagi Andrian adalah orang yang begitu dicari celahnya untuk dihancurkan. Dia sendiri kurang paham dengan jalan pikiran orang-orang. Bagaimana b
Dengan sigap Anto membantu Ian turun di lobby rumah sakit. Ian dan Fafa langsung menuju ke ruang meeting yang ada di gedung utama Rumah Sakit Medika, yang tidak terlalu jauh dari lobby. Di depan pintu ruang meeting, team dokter Ian menyambutnya."Kak!" sapa Julian."Hhmm."Ian langsung masuk ke ruang meeting. Dokter Thomas memaparkan tentang semua prosedur yang harus dilalui oleh mereka berdua dan jadwal sudah ditentukan. Pertama kali adalah General Check Up yang akan dilakukan besok pagi. Setelah hampir dua jam meeting selesai, Ian membiarkan Julian dan Fafa ngobrol, sementara dirinya masih membicarakan tentang permasalahan rumah sakit bersama dokter yang lain. Ian melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganya. 'Jam 8:45,' batin Ian."Baiklah, Sudah cukup Jul ngobrol sama kakakmu! Ayo Sayang," ajak Ian. Fafa langsung bangkit kemudian menganggukan kepala dan tersenyum kecil, dia berjalan c
Setelah mengeringkan badan Ian dan melilitkan handuk besar di tubuhnya, Fafa membantu Ian duduk ke atas kursi roda. "By, bisa keluar dulu!" pinta Fafa. Ian menggeleng. Fafa langsung memutar kursi roda Ian menghadap dinding. Bagaimanapun Fafa masih malu, risih berganti pakaian di depan Ian walaupun status mereka sekarang sudah suami istri. Dia secepatnya melepaskan gamis dan dalaman, kemudian memakai bathrobe. Fafa benar-benar bergerak cepat kali ini. Dia sesekali melirik jam dinding, sebelum pukul 08:15 WIB mereka berdua harus sudah siap. Setelah membaringkan Ian dan memakaikan pakaian, dia melihat Ian sudah memejamkan mata. Fafa tersenyum dan bergegas berganti pakaian. Fafa segera membangunkan Ian dengan beberapa kali mengecup pipi tirus itu. Entah keberanian darimana, dia juga tidak tahu. Sepertinya, Fafa yang malu-malu di depan Ian saat awal pernikahan dahulu, sekarang ini sudah mulai terkikis. Hei, mereka juga baru dua minggu. Catat!
Seperti apa sebenarnya sosok Ahmed ini? Entahlah, Sander tidak ambil pusing. Baginya, Ahmed bisa dia manfaatkan, sudah cukup. Sander memasuki Club El dengan gaya bossy-nya. Berjalan dengan dagu sedikit terangkat dan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Jangan lupakan, bagaimana aura angkuh darah Milosevic begitu kental tampak di wajah tampannya. Tatapan mata tajam dengan manik berwarna abu, serta ekspresi wajah datar. Beberapa pria di club itu langsung menyingkir, begitu mereka tahu siapa yang berada di dekatnya. Mereka jelas tidak mau ambil perkara dengan Sander. Dari kejauhan, Sander melihat Ahmed duduk di kursi depan bartender. Sander tersenyum menyeringai. 'Dia memang orang yang on time dan sangat bisa diandalkan,' batinnya. Sander langsung menepuk bahu Ahmed. "Hey, Dude!" Ahmed langsung menoleh dan dia hanya mengangguk setelah mengetahui siapa yang telah mengganggu kesenangannya menikmati wine. "C'mon
"Ini lebih ringan dosisnya. Seperti yang Jul katakan, jika Kak Fa berperan penting di sini," lanjut Julian. Fafa merona mendengar perkataan julian. Dia paham betul apa maksudnya. Ian melihat itu semakin gemas."Kalo tidak berhasil!""Kak! Kita lakukan yang ini dulu.""Kalo tidak berhasil lagi!" Fafa sudah tidak tahan. Dia mencengkeram lengan Ian. Ian langsung tertawa terbahak, suaranya membahana di ruangan itu. Julian tersenyum lebar, dia tidak menyangka jika Ian akan sejahil ini. 'Semoga berhasil, Kak. Semoga dua tiga kali membuahkan hasil. Aamiin!' batin Julian."Adu-aduh ... sakit ini, Sayang." Fafa paham Ian pura-pura mengadu untuk semakin menjahilinya."By, nggak usaha Le Bay!" bisik Fafa penuh penekanan. 'Kita lihat saja nanti, sepertinya terapi dari Julian ini, mengasyikan untuk menjahili Fafa, ha ... ha ...,' batin Ian. Dia membayangkan betapa menggemaskan Fafa jika dia m
Ian membuka mata. 'Apa dia sudah benar-benar siap!' batinnya. "Benarkah?" tanya Ian tak percaya. "Mau bukti?" tantang Fafa. Ian tersenyum penuh kemenangan. 'Ha ... ha ..., dasar anak kemarin sore. Kena kau! Masuk perangkap,' batinnya. Sejak kapan dia senarsis sekarang. Ian geleng-geleng tak percaya, ternyata punya istri muda memang membuat jiwanya ikut muda. "Nanti malam buktikan!" "A-aku ...," Fafa tidak meneruskan perkataannya. Ian memincingkan mata. "Bukankah tadi kamu bilang nanti malam?" tanya Ian. Fafa mematung. "I-iya, nanti malam. T-tapi Fa ...." "Tidak mau, apa takut! Aa kamu mau disebut apa itu ya, orang yang suka mengingkari janji," pancing Ian. "Pengkhianat!" jawab Fafa cepat. "Nah, itu sudah tau." Ian tersenyum puas. Fafa segera membantu Ian d
Setelah memastikan suaminya benar-benar tenang, Fafa meminta Dokter Thomas dan yang lainnya untuk meninggalkan paviliun. Fafa berjanji akan menemui di ruang meeting. Dia menghubungi Rahman melalui ponsel Ian, agar datang dan segera masuk ke paviliun. Dari percakapan dengan Ian beberapa hari lalu, Fafa semakin yakin jika suaminya itu sudah menduga akan seperti sekarang. Setelah menunggu 15 menit, Rahman datang. Fafa segera meminta dia masuk dan menjaga Ian, selama dia pergi ke ruang meeting. Fafa melihat Dokter Thomas telah menunggunya di koridor. Mereka berjalan berdampingan menuju ruang meeting yabg tidak jauh dari paviliun dan tidak ada permbicaraan apapun diantara keduanya. Dokter Thomas mempersilakan Fafa masuk terlebih dahulu, di dalam ada empat dokter lain yang sudah menunggu. "Baik, silakan Dokter Thomas! Oh, iya. Tolong katakan semua tentang suamiku sejak kecelakaan," tegas Fafa-sesaat setelah duduk. Ucapannya begitu mengintimidasi. Semua dokter