Share

Bab 5. Akan Kubuat Kau Menderita

RAHASIA DI KOPER SUAMIKU (5)

Setelah kupastikan Mas Hakam benar-benar pergi. Cepat aku bangkit dari ranjang dan mengunci pintu dari dalam kamar. 

Ya cari aman saja, takutnya seperti di sinetron-sinetron ikan salto. Lupa mengunci pintu dan semua ketahuan. 

Aku tak ingin itu terjadi pada rencanaku saat ini. 

Aku melangkah menuju laci tempat penyimpanan semua berkas-berkas penting menyangkut harta keluargaku. 

Kubaca semua dengan seksama. Termasuk surat kendaraan milik Mas Hakam. Hanya ada BPKB saja di laci ini. Sedangkan STNK'nya tentu berada di mobilnya.

Oke tak apa. BPKB ini lebih penting dari surat itu. Mungkin aku akan menyuruh preman untuk membegal mobil Mas Hakam. Tentu ia akan kalah, karena inti dari surat kendaraan mobilnya berada di tanganku. 

Beberapa berkas kantor dan surat rumah ini sudah aman di genggamanku. Cepat kuringkus semua dan menyembunyikannya di tempat yang aman. 

Besok 'kan hari senin. Aku akan mengurus semuanya. Sudah muak juga aku berlama-lama tinggal dengan lelaki penghkianat seperti dia. 

Semua masalah berkas ini sudah selesai. Aku kembali membuka kunci pada kamarku. Agar Mas Hakam tak curiga saat ia pulang. 

Kepalaku terasa berdenyut nyeri. Lebih baik aku menyegarkan badan. 

Guyuran air yang mengalir dari shower sedikit menyingkirkan beban berat di kepala. Tak kusangka air mataku pun ikut luruh bersama aliran air. Sekuat-kuatnya wanita, pasti akan menangis bila cinta yang dijaga dihancurkan begitu saja. Menjalani mahligai rumah tangga selama delapan tahun. Bukan lah waktu yang sebentar. Namun sekarang, semua sudah di ujung tanduk. Antara berbisah atau bertahan. Jika bertahan, kurasa tidak mungkin. Aku paling anti dengan yang namanya perselingkuhan. 

Bagiku selingkuh itu hal yang paling memuakkan. Karena apa? Orang yang pernah selingkuh. Bisa jadi selingkuh lagi dikemudian hari. Meski sudah dimaafkan. Akan tetap mengulangnya, kecuali burungnya disembelih. Itu baru kapok! 

Tok! 

Tok! 

Tok! 

"Wi, udah belum mandinya?" suara Mas Hakam memanggil dari luar. Diiringi ketukan pintu beberapa kali. 

Lantas kumatikan shower ini. Dan menyudahi ritual mandiku. Bola mataku bergerak ke sana ke mari mencari benda perlengkapan seusai mandi. Sial, aku lupa membawa handuk.

Langkahku pelan menuju pintu dan sedikit membukanya. Kepalaku menengadah di daun pintu. 

"Mas, bisa ambilkan aku handuk?" titahku pada Mas Hakam. Ia tersenyum sambil mengerling nakal. 

"Nggak usah pakai handuk, Wi. Kayak sama siapa aja, di kamar ini 'kan cuma kita berdua. Lagian, aku juga sedang ingin itu ...," netra Mas Hakam menatapku dengan tatapan yang biasanya aku tahu, ia sedang ingin sesuatu dariku. Aku malah semakin jijik melihatnya, Kurang kah? Ia bergumul dengan wanita simpananya itu. Hingga masih ingin juga melakukannya denganku. Dasar mata keranjang!

"Maaf, Mas. Aku sedang tanggal merah." tolakku pelan. Lagi, Tuhan menyelamatkanku dari dosa. Menolak ajakan suami itu dosa 'kan. Beruntung, baru saja tamu bulanan ini datang. Seperti tahu saja apa yang akan terjadi. Kau memang maha baik ya Rabb. 

Lagi-lagi ingatan tentang pembalut petaka di koper Mas Hakam melintas di kepalaku. Rasa pusing yang hampir mereda kini hinggap kembali. 

Mas Hakam berlalu mengambil handukku yang tertenteng di gantungan sana. Sejurus kemudian ia berikan handuk berbulu lembut itu padaku. 

Tanganku menyambutnya dan tentu aku langsung memakainya. 

Aku sengaja berganti pakaian di depannya. Biar tahu rasa dia, pasti jiwa lelakinya akan berontak menyaksikan punggung mulusku tengah terbuka dengan leluasa. 

"Kau sengaja menggodaku?" protes Mas Hakam padaku. Ia mendekat dan memeluk pinggangku dari belakang. Sesekali ia berbisik lirih di tengkuk leherku. Membuat aku meremang dan bergidik jijik dengan perlakuannya. Pasti ini ia lalukan juga dengan Intan. 

"Lepas, Mas. Aku mau makan." kulepas tangan kekarnya yang masih bertolak di pinggangku. Ia mendengkus pelan. Mungkin kesal. Tapi di sini aku yang jauh lebih kesal darinya. 

Aku mematut diri di depan cermin. Memandangi setiap inci wajahku. Bagiku aku cantik, bahkan Intan tak ada apa-apanya dibandingkan denganku. Apa yang membuat Mas Hakam tega mendua? Di mana letak kekuranganku. Apa karena aku belum bisa memiliki anak? Kurasa aku tak mandul.

 Memang aku dulu pernah keguguran. Ada insident yang membuat janinku tak bisa diselamatkan. Hingga sekarang, Allah belum mempercayai aku untuk mengandung lagi. Tapi Mas Hakam bilang, itu tidak masalah. Tapi kenyataannya, bocah bernama Albert itu memanggil Mas Hakam dengan sebutan Ayah. Jadi, sudah sangat jelas. Jika itu anak Mas Hakam. Keputusanku sudah bulat. Berpisah jalan yang terbaik. 

"Katanya mau makan. Kok ngelamun." tepukan di pundak membuatku terhenyak kaget. Semua rutukan dalam hati entah buyar  ke mana. 

"Mas, bisa tolong bawakan makanannya ke sini. Aku lagi malas turun ke lantai bawah." ucapku manja. Lihat saja, dia menuruti perintahku atau tidak. 

"Iya, Sayang. Mas bawa ke sini." tumben sekali dia memanggilku 'sayang' kayak ada manis-manisnya gitu. Tapi membuatku enek dan pengen membogem mulutnya. 

Lelaki bertubuh atletis itu pun ke luar dari kamar. Tanpa melontarkan pertanyaan padaku. Lumayan lah, mumpung dia masih di sini. Bisa disuruh-suruh. Sebelum masa aktifnya di rumah ini segera berakhir. 

Kimono yang aku kenakan menempel sempurna di tubuhku. Sengaja aku, biar Mas Hakam makin tersiksa dengan yang ia sebut junior itu. Tapi ya, bodo amat. Hatiku teramat dongkol untuknya. 

Kusenderkan kepalaku di meja rias. Tahan Wi, jangan nangis. Air matamu terlalu mahal untuk menangisi lelaki tidak tahu diuntung seperti Hakam. 

Derap langkah terdengar mendekat. Segera kuangkat kepalaku dan berpindah duduk di atas ranjang. Tentu memasang wajah elegan. Tak mau gurat sedih berhias di sana. 

Mas Hakam datang membawa sate pesananku. Lengkap dengan lontong yang sudah teriris rapi di piring. 

"Mas, aku ngantuk. Kamu makan aja ya satenya. Aku sedang tidak berselera makan." ucapku lalu berbaring. Dan menarik selimut hingga sebatas dadaku. Perutku memang sedang tidak bersahabat. Menatap makanan itu tidak membuatku lapar sama sekali. 

"Tadi 'kan kamu bilang, lapar! Kok sekarang gitu?" terdengar nafas Mas Hakam yang berderu berat. Aku tahu, dia mungkin jengkel dengan tingkahku. 

Itu tidak ada apa-apanya Mas. dibandingkan dengan sakit hatiku. 

"Itu 'kan tadi, Mas. Udah ah, sekarang aku mau tidur!" tekanku. Kurubah posisi tidurku menjadi menyamping dan membelakanginya. Rasakan kamu Mas! 

'Lihat saja besok! Bersiaplah menikmati kehancuranmu satu-persatu.' batinku tersenyum devils. 

Bersambung.... 

*

Mari kira buat Hakam dan Bu Karti menderita yok.  😂

Jangan lupa follow, komen, dan like ya biar semangat up nya. terimakasih. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status