RAHASIA DI KOPER SUAMIKU (4)
Wanita tua itu mantan pembantuku.
Astaghfirullahalazim. Wanita tua itu mantan pembantuku dulu. Ternyata dia Ibu dari wanita selingkuhannya Mas Hakam.
Benar-benar manis sekali permaninan mereka. Orang yang kuanggap baik ternyata menusukku dari belakang. Mantan pembantuku itu namanya Bu Karti. Dia sudah lama bekerja denganku. Sejak aku masih gadis. Tak kusangka ia berhenti bekerja dan malah terlibat dalam semua ini. Aku sudah sering monolongnya dengan materi. Malah ia balas dengan sembilu. Baik lah, akan kubuat kalian menyesal sampe ke ubun-ubun.
Ingin sekali rasanya menghampiri mereka bertiga. Memberi tamparan keras pada wajah mereka satu persatu. Tahan! Plis tahan!
Kukepalkan kedua tanganku. Gigi ini bergemelatuk erat. Apa aku labrak saja mereka sekarang. Ah, jangan! Urus dulu semua aset yang sudah atas nama Mas Hakam balik menjadi atas namamu termasuk mobil itu. Beli obat tidur, suruh lelaki brengs*k itu tanda tangan. Setelahnya meminta cerai. Setia itu mahal Mas! Tak pantas jika diberikan kepada lelaki tak tahu diri sepertimu. Kau fikir kau bisa apa tanpa aku? Bahkan jabatan sebagai pimpinan perusahaan pun itu miliku. Kau hanya sebagai penjalannya. Bukan pemiliknya!
Aku masih terperangah di sini. Melihat kebersamaan mereka. Teganya pembantu tak tahu diri itu bersekongkol dengan Mas Hakam. Orang yang kukira baik ternyata malah seperti ular. Jadi, selama ini aku telah memelihara dua ular sekaligus dalam rumahku. Dan itu sudah bertahun-tahun lamannya. Benar-benar cantik sekali permainan mereka. Akan aku tujukan, jika permainanku tak kalah cantik.
"Nak Hakam. Dewi nggak tahu 'kan kalau kamu ke sini?" wanita tua bernama Karti itu menanyakan tentangku. Semakin jijik aku mendengarnya.
"Tidak, Bu. Dia sedang di rumah. Oh, Ya, hari ini kan ulang tahun pernikahanku dengan Intan. Jadi aku mau ajak Intan sama Albert jalan-jalan." jelas Mas Hakam lalu mengangkat bocah laki-laki itu dan menggendongnya.
"Asyik ... jalan-jalan lagi sama Ayah," rengek anak kecil yang tadi namanya disebut Albert.
"Nggak usah, Mas. Kita kan baru saja liburan ke Bali." tolak wanita selingkuhan Mas Hakam. Tangannya mengelus lembut pundak suamiku.
Ternyata Mas Hakam bukan kerja di luar kota? Melainkan liburan dengan Intan. Semakin muntab aku dibuatnya.
"Nggak pa-pa sayang, mumpung wekeend." balas Mas Hakam tersenyum manis.
"Udah lah, In. Jalan saja, mumpung Nak Hakam libur. Dia kan sibuk ngurus perusahaan yang nanti akan diwariskan pada Abert. Iya 'kan Kam?" tukas Bu Karti sembari tertawa renyah.
Apa? Perusahan mau diwariskan pada Albert! Jangan mimpi! Enak saja mengharap harta yang bukan haknya. Semua itu milikku. Alhmarhum papaku yang sudah menegelola perusahaan itu susah payah. Sedang Mas Hakam. Ia hanya tinggal meneruskan manisnya saja. Dasar lelaki rakus dan tak tahu diri! Kurang apa kamu Mas? Hidup bersamaku, semua keinginanmu terpenuhi. Termasuk menjadi orang yang paling dihormati di kantor. Kau tak perlu susah payah merangkak semua dari nol. Tinggal duduk manis dan menjadi bos. Itu pun malah kau sia-siakan.
Mereka pun masuk ke dalam rumah. Sekarang aku tak tahu apa yang dilakukan mereka di dalam sana.
Aku harus pulang atau ... menunggu di sini?
Dua pilihan yang mebingungkan. Oke, kuputuskan menunggu di mobilku.
Tadi 'kan. Mas Hakam bilang, ia ingin pergi jalan-jalan. Semoga mantan pembatu itu tidak ikut. Akan kuberi dia pelajaran setelah mereka pergi.
*
Beberapa saat menunggu. Mobil Mas Hakam terlihat keluar dari halaman itu. Entah Bu Karti ikut atau tidak.
Saking dekatnya dulu aku dengan Bu Karti. Aku menganggapnya seperti Ibu sendiri. Bahkan aku kerap memanggilnya 'Bu' bukan Bibik. Seperti sebutan pembantu pada umumnya. Tapi sekarang aku tahu semuanya.
Terimakasih Tuhan, kau sudah menunjukkan semua ini. Meski sakit, tapi ini lebih baik dari pada terlambat.
Mobil Mas Hakam melaju ke arah Kiri. Itu artinya dia tidak akan melintas di jalan yang tengah ada mobilku.
Apa aku harus mengikutinya? Atau aku harus mengecek Bu Karti di rumah atau tidak.
Arrrgghh! Nafas ini menghunus di udara dengan berat. Kupukul setir mobil dengan keras. Frustasi dengan semua ini.
Ayo Dewi, berfikirlah yang jernih. Kau tak lemah! Kau bodoh! Kau wanita kuat dan cerdas.
Mempertimbangkan langkahku selanjutnya. Semua masih terasa mengambang di angan-angan. Sulit sekali meredakan emosi yang mendominasi.
Fix, aku putuskan untuk pulang. Aku tak mengikuti Mas Hakam dan intan pergi. Tak mau hati ini semakin terbakas api cemburu.
Dan untuk Bu Karti. Nanti akan ada kejutan yang manis untukmu. Atau bisa jadi, Kejutan ini bisa membuat jantungmu copot! Geram rasanya mengingat kebusukan mereka. Kuatkan aku ya Rabb.
Kuputar arah mobilku dan melesakannya untuk pulang.
Sesampainya di rumah. Kuhempaskan bobot ini di ranjang. Tubuhku terasa lemas. Jangan tanya bagaimana keadaan hatiku sekarang. Tentu hancur tak berbentuk.
Lelah rasanya mata ini. Hingga tak sadar aku menyelam ke alam mimpi.
*
"Bangun, Wi. Udah mau maghrib." sayup-sayup suara terdengar memenuhi telinga. diiringi guncangan di bahu kananku.
Aku mengerjab beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke rentina mataku.
Mas Hakam tersenyum dengan posisi duduk di tepi ranjang.
Hampir setengah hari aku tidur. Ini membuat kepalaku pening sekali.
"Udah pulang, Mas?" tanyaku datar. Lalu merubah posisi menjadi duduk dan bersandar di kepala ranjang.
"Aku udah pulang dari tadi, Wi." balas Mas Hakam singkat.
"Gimana Mas, urusannya? Lancar?" Mulutku mencelos begitu saja mengucap pertanyaan itu.
"Iya, Wi." cetus lelaki ini singkat. Tapi wajahnya biasa saja. Tak merasa bersalah sama sekali. Dia fikir aku tidak tahu semuannya.
Nikmati lah detik-detik terakhirmu di rumah ini Mas. Sebentar lagi kau akan enyah dari sini.
Hatiku tersenyum devils menatap lelaki yang tengah duduk seranjang denganku.
"Mas, aku boleh minta tolong nggak?"
"Minta tolong apa, Wi?"
"Tolong beliin aku, sate dong!"
"Siap. Tunggu ya,"
Tanpa basa-basi. Mas Hakam pergi menjalankan perintahku.
Bagus!
Sekarang tinggal ambil BPKB milik Mas Hakam. Surat pindah kuasa rumah dan pimpinan kantor. Memang semua masih ada embel-embel namaku. Kecuali mobil. Tapi aku tak mau jika lelaki ini pergi membawa secuil harta pun dari keluargaku.
Baiklah Dewi, jalankan dengan rapi. Setelahnya pergi ke meja hijau untuk mengakhiri semuannya.
Bersambung....
hay dears. Setelah baca jangan lupa follow dulu ya, baca juga ceritaku lainnya yuk. Like dan komennya. biar aku semangat up nya. terimakasih.
Rahasia di Koper SuamikuBab 43"Dewi! Kamu kenapa?!"Aku langsung berlari ke kamar mandi. Takut kalau sampai muntah di sini.Mas Rehan yang tadi sempat kulihat menutup kembali tudung saji itu segera menyusulku ke kamar mandi."Kamu masuk angin ya?" tanyanya. Ia memijat area tengkuk leherku.Setelah membasuh area mulut dengan air. Aku berdiri dengan sempoyongan. Tak ada apa-apa yang ke luar dari mulutku, tapi kenapa rasa mual ini mendadak dan sangat menyiksa sekali. Kepala juga langsung ikutan pusing tujuh keliling."Nggak tahu, Mas. Kenapa bisa mendadak mual begini. Aku pengen istirahat aja, nggak napsu banget aku mau makan. Aku minta tolong kamu nanti makanya di bawa ke luar ruangan aja ya, takut kalau aku mual lagi." Aku berkata dengan napas tersengal-sengal. Telapak tangan ini pun masih berkacak memegangi hidung dan mulut. Takut tiba-
Rahasia di Koper SuamikuBab 42"Aw! Jangan, Mas!" Pekikku.Aku langsung memejamkan mata rapat.Kurasa tangan Mas Rehan bergerak menyentuh kerah piamaku."Heh, kenapa? Pasti kamu mengira aku akan minta jatah 'kan malam ini?" ucapnya membuatku membuka mata kembali."Jangan salah sangka dulu, Sayang. Aku akan langsung gas besok saja kalau udah sampai di Bali. Malam ini libur dulu ya. Maksud aku tadi bilang mau puasin kamu itu aku mau pijitin kamu Sayang." Mas Rehan berkata lagi, malah kali ini dia tertawa renyah.Ya ampun, dia ini memang akalnya ada aja. Bisa selalu membuatku bersenandika yang tidak-tidak.Kedua mataku hanya menatap lurus ke depan. Sementara jemari Mas Rehan mulai memijat area kedua pundakku dekat dengan tengkuk leher."Enak nggak, Sayang?" tanyanya, sementara aku hanya diam m
Rahasia di Koper SuamikuBab 41Ah … jadi pengen cepat-cepat sampai kamar dan memeluknya sambil berbisik i love you, sayang."Kenapa senyum-senyum begitu?" Mas Rehan yang baru saja ke luar dari kamar mandi langsung menegurku.Pria yang rambutnya masih basah dan berbalut handuk putih melingkar di pinggangnya itu lekas kupeluk erat.Aroma shampoo menguar harum saat aku meletakan dagu di atas pundaknya."Heh, ditanyain kok diam aja," protesnya.Aku menarik diri dan tersenyum pada lelaki berhidung mancung ini."Ah, kamu perhatian banget sih. Makin gemas deh." Jemariku langsung mencubit kedua pipi Mas Rehan."Jangan lupa diminum yang rutin ya susu promilnya. Aku sayang kamu." Satu lagi, Mas Rehan mengecup sebentar keningku lalu berlalu ke lemari untuk ganti baju.Jelas aku s
Rahasia di Koper Suamiku Bab 40 Mas Rehan berdesis kesal. Sebelum Mila tadi pergi, aku sempat melihat kalau mereka saling bersitatap sebentar. "Udah ya, Mas. Sabar," ucapku buru-buru menenangkan Mas Rehan dan mengelus pundaknya pelan. "Tapi aku nggak suka sama sikap pembantu baru yang nggak punya sopan santun itu, Sayang!" Mas Rehan membuang napas kasar. "Mungkin dia cuma nggak sengaja masuk ke kamar ini tanpa ngetuk pintu dulu, Mas. Udah ya, kamu jangan marah-marah mulu. Nanti biar aku bilangin ke dia, biar Mila nggak ngilangin kesalahan yang sama. Oke." Aku terus mendongak menatapnya penuh harap. "makin jelek kalau marah," tambahku lalu menjulurkan lidah. "Sini! Kugigit kau!" Pekik Mas Rehan ketika aku membalik badan dan berlari ke arah seberang ranjang. Aku tertawa lepas. Melihat Mas Rehan yang berkali-kali me
Rahasia di Koper SuamikuBab 37Rehan tergopoh mendekatiku setelah membuka pintu."Kamu kenapa teriak-teriak?"Rehan menatapku dengan wajah penuh tanya. Kedua alis tebalnya saling bertaut."Ini, mantan kamu telepon mulu. Sampai bosan ini kuping dengerinnya!" Aku melotot ke arah Rehan.Kemudian, lelaki yang wajahnya selalu datar itu duduk di sebelahku."Siapa?""Siapa lagi kalau bukan Delina. Emangnya mantan kamu ada lagi ya selain demit satu itu?!" Aku ngegas. Sumpah kesel banget! Nyeri perut baru aja semb
Rahasia di Koper SuamikuBab 38"Hei, buka pintunya Sayang! Ini handukmu." Rehan mengetuk pintu. Dengan teriakan yang berulang-ulang."Kenapa harus malu? Aku sudah tahu semuanya Sayang," pekiknya lagi.Aku tepuk jidat dibuatnya. Menyesalkan kecerobohan ini.Pintu sedikit kubuka lalu kuulurkan tangan."Mana handuknya?!" sentakku."Nih." Tak berselang lama. Handuk terasa ia sampirkan di tanganku.Cepat kututup pintu hingga menimbulkan suara derit yang memekak di telinga.