“AYAH! LIHAT NIH KELAKUAN KAK DEVAN!” teriak Adriana kencang.
Keributan yang dibuat Adik-Kakak di pagi-pagi buta ini benar-benar mengganggu waktu istirahat Roland. Dia yang selalu pulang larut malam masih membutuhkan waktu untuk istirahat. Tapi, anak-anaknya sangat tidak bisa di atur sama sekali, terlebih lagi anak lelaki satu-satunya yang paling besar namun seperti anak kecil prilakunya.
Sebuah jitakan lembut mendarat di kening Adriana oleh Devan, Roland yang baru saja turun langsung menghampiri mereka karena suara bising yang terus mengganggu waktu tidurnya. Jitakan yang begitu lembut menurut Devan di dahi Adriana tetap membuat gadis itu mengaduh kesakitan, Ayahnya menatap Adriana kesal karna suaranya yang terlalu bising.
“Kenapa Ayah marah sama Raya? Kak Devan duluan yang makan bekal buat makan siang Raya!” protes Adriana.
Adriana Soraya, kerap di panggil Raya dan sangat tidak suka jika orang-orang memanggilnya Adriana, bahkan oleh Ayahnya sendiri. Nama yang selalu terucap lembut di bibir Ibundanya selalu membuat Adriana merasa bersalah karena telah membuatnya pergi. Kata-kata terakhir saat Ibunya mencoba untuk menyelamatkan Adriana karena kesalahan Adriana sendiri membuatnya selalu menyalahkan dirinya. Nama panggilan yang tak pernah bisa Ia lupakan, namun juga menjadi trauma yang belum bisa Adriana hadapi. Dia tidak suka dengan nama depannya, dia sangat membencinya. Bahkan Adriana menjauhi orang-orang yang selalu memanggil namanya dengan nama depan, hingga membuatnya sulit untuk berteman dengan orang-orang.
Adriana mundur beberapa langkah saat Devan akan menjitaknya lagi, dia bersembunyi di belakang Roland meminta sebuah pembelaan. Kejahilan Devan tidak akan bisa berlangsung selama ada Roland yang menjadi perisai Adriana.
“Sudah, Bagas. Jangan berantem terus sama Adik kamu, kamu itu sudah besar, masih saja isengin Adriana.”
Mendengar nama yang di panggil Roland, Adriana mencubit lengan Ayah dan semakin memperlihatkan wajah kesal serta marahnya. Di tambah ucapan Devan yang membuat darah Adriana semakin panas.
“Bagas cuman makan sedikit, kok, Yah. Lagian Raya kan bisa beli makan di kantin sekolah,” elak Devan.
“DIKIT?! Kakak makan semuanya tahu!” teriak Adriana kesal.
“Iya tempe, kok.”“Argh! Kenapa sih Raya harus punya Kakak kayak Kak Devan?! Raya buat ini dari tadi pagi. Sekarang lihat udah jam berapa? Padahal Raya udah susah-susah bikinnya. Tapi malah Kakak habisin semuanya. Udah lah. Raya berangkat!”Dengan sekuat tenaga Adriana membanting pintu dan pergi dengan terburu-buru menghiraukan semua panggilan dari Devan juga Roland. Ia sama sekali tidak ingin melihat wajah Kakaknya hari ini. Bukan sekali dua kali dia menjahili Adriana seperti ini, Adriana sudah bangun pagi-pagi sekali untuk memasak tetapi Devan habiskan begitu saja tanpa izin membuatnya kesal sampai keubun-ubun. Dia selalu iri dengan ikatan Adik-Kakak yang selalu bahagia, saling tolong-menolong, tidak seperti Kakaknya yang tidak punya otak sama sekali.
Tingkah Devan yang selalu seenaknya selalu membuat Adriana marah, salah satu contohnya adalah dia dengan terang-terangan masuk kedalam kamarnya dan mengajaknya untuk menonton tontonan dewasa. Tidak cukup dengan caci-makian yang Adriana keluarkan, bahkan pukulan-pukulan Adriana tidak mempan untuk mengusir Devan dari kamarnya dan terus menonton video itu sampai selesai.
Kadang kala dia berpikir ingin sekali membunuh Devan karena tindakannya yang diluar nalar manusia, setiap tindakan Devan tidap pernah logis sama sekali. Bahkan Adriana meragukan kewarasan akan Kakaknya, tapi pemikiran itu selalu tertepis saat Devan datang karena Adriana membutuhkannya di situasi yang benar-benar memang membutuhkan sandaran seseorang. Dan Devan akan maju paling depan jika menyangkut Adriana.
Tapi, semua perhatian Devan tidak pernah sebanding dengan perjuangan yang Adriana lakukan karena kelakuaan bangs*t Kakaknya yang memang sudah membuat Adriana kesal sampai ketulang, bahkan keberadaan Devan saja bisa membuat Adriana hampir mati karena komentar-komentar jahat dari wanita-wanita yang mengagumi Kakaknya.
Rasanya dia ingin bangga karena memiliki Kakak yang berparas menawan, tetapi karena wajah Kakaknya yang selalu membuat wanita terpanah selalu membuat Adriana kesusahan. Bukan karena dimintai tolong untuk didekatkan dengan Kakaknya, tapi dihina karena menganggapnya sebagai wanita simpanan Devan yang selalu keluar masuk rumah Devan.
Dari sini saja sudah jelas bahwa Adriana dan Devan memang satu rumah, mereka memiliki hubungan darah. Namun, orang-orang yang sudah terbutakan oleh wajah Devan tidak pernah mempercayai ucapan Adriana sedikitpun. Pada akhirnya, Adriana hanya ingin Devan merentangkan jaraknya karena kehidupan sekolanya saja sudah cukup berat. Ia tidak ingin Devan semakin menambah beban hidupnya.
***Bagas Devan, anak pertama dari Roland juga Kakak satu-satunya Adriana. Mengurus Adriana yang sangat mandiri tidak pernah membuat Devan kewalahan, tetapi karena sifat Adiknya yang selalu memendam masalahnya sendiri membuat Devan merasa tidak berarti sebagai Kakaknya. Dia selalu menunjukkan bahwa dirinya benar-benar sayang kepada Adriana dengan caranya sendiri, dengan cara yang sangat mengganggu Adriana.
Setiap tindak lakunya pada Adriana hanyalah sebuah pendekatan agar Adriana tidak merasa sendirian dan memendam apapun sendiri, hal itu juga merupakan sebuah pernyataan bahwa Adriana tidak sendiri dan bukan hanya dirinya saja yang begitu merindukan sosok Ibu. Namun, Devan tidak begitu bisa memerankan peran seorang Ibu. Maka dari itu yang bisa Devan lakukan adalah memastikan Adriana baik secara fisik maupun mental. Namun nyatanya, Devan sendiri yang membuat mental Adriana terguncang.
Devan berjalan menuju dapur untuk mengambil es batu karena cubitan Roland di pinggang Devan benar-benar sakit bahkan membiru, ia akui kalau kejadian tadi itu memang salahnya. Tapi, tidak mungkin dia bilang kalau bekal makan siang Adiknya tidak sengaja tertumpahkan susu. Karena tidak ingin mengakui semua kesalahannya dia membuang nasi yang sudah tercampur dengan susu coklat itu dan berlagak seolah dia memakan bekal Adiknya.
Dia merutuki dirinya karena ceroboh dan terlalu takut untuk memberitahu Adriana kebenarannya, dirinya memang pantas untuk mendapatkan cubitan dari Roland. Namun sepertinya berkata jujur dan meminta maaf tidak akan membuat Adriana semarah tadi. devan sungguh menyesali perbuatannya dan akan meminta maaf saat Adriana pulang nanti.
Es batu sudah ia dapatkan, dia menutup kembali lemari es dan melirik dapur secara keseluruhan, bahan-bahan yang Adriana gunakan masih berada di atas meja dan salah satu bahan makanan menarik perhatian Devan. Udang. Dia tidak pernah ingat Adriana menggunakan udang untuk bekalnya, kecuali bekal makan untuk dirinya. Devan kembali melirik sekeliling dapur dengan terperinci dan menemukan sebuah kotak makan siang disertai note di atasnya.
Jangan lupa bawa bekal makannya, ya, Kak.
Udah Raya masakin udang kesukaan Kakak.Love,, RayaPs: Awas aja kalau gak abis!Devan tersenyum melihat note kecil itu, Adiknya memang selalu menggemaskan dan membuatnya merasa sangat bersalah karena kecerobohannya sendiri.
Aldrean duduk di ujung pohon tertinggi di daerah Pack-nya, dia melihat lalu-lalang manusia pinggiran kota yang semakin lama semakin berusaha merusak hutan tempatnya berlindung dari kejamnya manusia.‘Tidakkah mereka cukup dengan semua kerusakan yang mereka perbuat hingga membuat seperempat dari hutan ini longsor karena pohon yang mereka tebang tanpa meraka tanami ulang?’Pertanyaan yang selalu muncul di kepalanya tidak pernah mendapatkan jawaban karena sulitnya untuk berinteraksi dengan manusia-manusia di seberang sana. Rasa tidak suka dengan makhluk satu itu membuat Aldrean tidak pernah ingin menginjakkan kakinya di sana. Berbeda dengan Adiknya Gamma, dia selalu keluar dari hutan dan berteman dengan manusia-manusia yang menurutnya sama sekali jauh dari prilaku jahat yang selalu Reymon ceritakan selama ini.“Lagi meratapi nasib lo lagi, Dre?” tanya Gamma, bercanda.“Enggak usah ganggu gue, lo punya janji sama mereka, ‘kan?”
Septian haidar, Fuckboy SMA Langit yang paling terkenal sampai sekolah tetangga yang bahkan isinya cowok-cowok. Tapi, satu hal yang berbeda dari Fuckboy satu ini. Kalau cowok-cowok di luar sana yang mengaku Fuckboy biasanya mendekati banyak sekali wanita hanya untuk hiburan, main-main, atau mengisi waktu senggang. Tidak dengan Septian, dia mendapatkan gelar Fuckboy karena kesetiaannya kepada satu gadis. Namun, perempuan itu tidak kunjung menerimanya membuat dia beralih dari satu cewek ke cewek lain.Adriana melewati pagar bagian dalam sekolah dengan wajah yang sangat lesu, tatapan matanya kosong membuatnya sesekali tertabrak karena tidak hati-hati. Septian sedang asik berbincang dengan anak-anak gengnya, sesekali juga menggoda gadis-gadis yang menurut mereka sangat murah untuk di dapatkan dan berakhir dengan gelak tawa karena gadis-gadis itu mudah sekali tergoda.Tak sengaja pandangannya menangkap sosok Adriana, rambutnya yang di gerai serta tas ber
“Ghina gak dibeliin, Sep?”Adriana menyiku lengan Septian yang baru saja menyajikan nasi goreng untuknya dan untuk Septian, lelaki itu melirik Ghina lalu memalingkan wajahnya malas. Dia tidak suka melihat Ghina, apa lagi di pagi cerah seperti ini. Membuat mood Septian hancur, pasalnya Ghina adalah perempuan yang Septian kejar. Tapi, berulang kali Ghina menolak pernyataan Septian dengan alasan tidak logis.Kekagumannya terhadap makhluk Mitologi bernama Werewolf membuat Ghina menjadi sedikit tidak waras, ia seringkali berhalusinasi sebagai jodoh dari Ras makhluk Mitologi itu yang terkenal sangat setia kepada pasangannya. Dan penuturan itu membuat Septian merasa lebih rendah karena di bandingkan dengan manusia jelmaan serigala yang belum tentu ada di dunia ini. Septian yang begitu di kagumi oleh banyak perempuan kini kalah karena penghantar dongeng sebelum tidur untuk anak-anak.***Septian sedang mengelilingi lorong p
Semilir angin menerbangkan rambut Aldrean yang sudah memanjang, kini sudah hampir separuh hutan tempatnya tinggal di gunduli oleh manusia-manusia yang sangat serakah. Bahkan ada beberapa pendaki yang menulusuri hutan dan berujung singgah di tempat mereka. Desas-desus penduduk tersembunyi di pedalaman hutan sudah mulai terdengar dari telinga ke telinga, untungnya saja setelah salah satu pendaki tersesat itu tidak ada lagi manusia yang bisa masuk kedalam lingkungan penduduk Aldrean.“Kemarin di atas pohon, sekarang di pinggir jurang. Lo niat bunuh diri, ya, Dre?”Gamma mengagetkan Aldrean yang tengah larut dalam pikirannya, hampir saja dirinya terjatuh ke dalam laut yang berada tepat di bawah kakinya. Adik satu-satunya ini selalu membuatnya kesal setiap kali bersamanya, emosinya tiba-tiba memuncak hanya dengan kehadiran Gamma saja.Aldrean berjalan meninggalkan Gamma menuju hutan, Adiknya mengikuti terus ke mana saja Aldrean berjalan.
“Buat apa sih, Dre?” tanya Gamma penasaran.Aldrean terus berjalan tanpa memperdulikan pertanyaan dari Gamma, pertanyaan yang sudah jelas-jelas Gamma sendiri ketahui kenapa harus ditanyakan kepada Aldrean?“Lo mau ke mana? Kita di area terlarang, bisa kena masalah kalau Ayah tahu kita di dunia manusia tanpa izin, Dre.”“Diem, Gam. Lo punya izin khusus karna ada gue.”Bibir Gamma terbungkam, tidak ingin berkomentar apapun. Jawaban dingin dari Aldrean terkesan memerintah dan menyombongkan dirinya. Tapi, Gamma sendiri paham betul bahwa Kakaknya memang tidak bisa peka terhadap perasaan makhluk lain.“Hutan di wilayah kita mulai gundul, lama kelamaan mereka bisa aja tebang hutan di sisi kita. Saat itu semua terjadi, apa yang bakal lo lakuin? Buru mereka semua atau hanya sekedar memperingati?” tanya Gamma.“Lo yang bakal memutuskan, Gam,” jawab Aldrean cuek.Gamma terhenti dan menatap tajam kepad
Ghina menghela napasnya dalam, “Emangnya bisa ketemu sama dia lagi apa?”Adriana mengangguk beberapa kali, kemungkinan itu tidak mustahil, namun Adriana dan Ghina sudah beranggapan bahwa tidak akan bertemu lagi dengan pria aneh yang tiba-tiba datang lalu menghilang dengan tiba-tiba juga.“Tapi, sore-sore begini kayaknya enak deh kalau kita makan martabak, Ya. Laper juga gue,” ujar Ghina dengan kekehannya.“Kenapa tadi gak bilang Kak Devan titip martabak? Udah mau malem juga, Ghin.”“Lo sendiri yang bilang kalau mau tinggal beli sendiri. Yuk, ayo beli, Ya,” melas Ghina.Adriana menggelengkan kepalanya berkali-kali, “Enggak! Gak mau, Ghin. Jam segini banyak orang di jalan, nanti aja pulang Kak Devan, aku suruh dia beliin martabak pas pulang nanti. Lagian kamu tidur di sini kan, temenin aku?” ucap Adriana memastikan.Sempat terjadi pertengkaran kecil sebelum mereka membahas tentang pria asi
“Orang gila?” tanya pria itu.Adriana memegang lengan pakaian Ghina, “Mana mungkin aku tinggalin kamu ke dalem rumah, Ghin.”Ghina melirik Adriana dan mendorong sahabatnya agar menjauh darinya. Adriana terhuyung, hampir saja terjatuh namun dia berpegangan pada pohon yang tertanam di depan rumah Adriana. Dia sedikit merasa sakit hati karena Ghina mendorongnya seperti itu. Tetapi, maksud dari Ghina adalah agar Adriana tidak terkena imbas dari pertengkaran mereka juga memastikan kalau Adriana aman.Devan tidak mungkin pulang secepat ini kecuali dia merasakan firasat aneh pada Adiknya dan memutuskan untuk pulang. Tapi, dilihat dari sikap Devan yang begitu overprotective pada Adriana, sudah di pastikan Devan akan segera pulang. Apa lagi sekarang Adriana sedang mencoba menghubungi Kakaknya. Dan Ghina harus menyelesaikan urusanya dengan pria itu secepat mungkin sebelum Devan datang.“Iya, lo. Orang gila yang
Ghina tersentak, dia masih kaget dengan pertanyaan itu. Ghina sama sekali tidak mengingat apapun selain perkataan orang itu mengenai nama dan tanda.“Gue gak inget, Kak. Yang terakhir gue inget itu mata dia berubah jadi warna hijau terus pas gue sadar, Raya udah nangis di belakang gue. Gue juga kaget waktu Raya bilang kalau cowok itu cium gue, tapi gak mungkin Raya bohong sampe nangis kejer begitu,” jelas Ghina.Devan mengangguk paham, dia juga satu suara tentang Adriana yang tidak akan berbohong apa lagi sampai menangis. Tapi, yang Devan kurang percayai adalah warna mata yang Ghina sebutkan tadi. di Dark Wood, tidak ada orang yang memiliki warna mata selain abu, coklat, dan hitam. Walau itu adalah campuran dari tiga warna itu, tidak mungkin ada pria yang memiliki warna mata seperti yang Ghina jelaskan.“Kamu serius lihat matanya berubah, Ghina?” tanya Devan memastikan.Ghina mengangguk, “Iya, Kak. Awalnya g