“Kau belum menjawab pertanyaanku, Oppa,” kata Qeiza.Dia berbicara dengan nada datar dan ekspresi wajah yang terlihat biasa saja, tetapi kilat yang membias dari kedua manik matanya sarat dengan nuansa penyelidikan.“Oh, itu ….” Chin Hwa berusaha tenang. “Kebetulan tadi aku ada pertemuan dengan klien di sekitar sini,” tukasnya.Qeiza mengernyit. Instingnya merasakan sesuatu yang aneh dalam nada bicara Chin Hwa. Namun, dia tidak ingin mempertanyakannya.“Oh.” Qeiza hanya menyahut singkat, lalu meraih cangkir kopi yang baru saja tersaji di atas meja.Chin Hwa mendesah lega. Syukurlah Qeiza tidak tertarik untuk melanjutkan obrolan itu. Ia merasa tidak enak hati dan benar-benar dihantui rasa bersalah bila harus mengarang kebohongan lagi kepada gadis itu jika Qeiza bertanya lebih jauh.“Kau ke mana saja tadi?” tanya Chin Hwa. “Kau pergi buru-buru.”“Tidak ke mana-mana,” sahut Qeiza. “Sedang apes saja.”“Huh?” Chin Hwa menatap datar pada Qeiza. Sorot matanya menyimpan rasa tak percaya.“Ck! K
Jika kau melepaskan seekor kijang kembali ke rimba, maka jangan pernah berharap kau akan kembali menangkapnya dengan mudah.***Qeiza baru saja selesai mandi. Tubuhnya bahkan masih berbalut handuk. Namun, suara gedoran di pintu apartemennya benar-benar sangat mengganggu.Suara itu terdengar tergesa-gesa dan sangat tidak sabar. Membuat Qeiza jengah di balik rasa herannya.'Biar saja!' pikir Qeiza. 'Mungkin ada tetangga yang sedang mabuk.'Teringat pengalaman pernah ada penghuni apartemen lain yang melakukan hal seperti itu di saat dia sedang mabuk, Qeiza menjadi lebih tenang. Dia meneruskan langkahnya menuju lemari pakaian.Dia tersenyum lega ketika tak lagi terdengar suara berisik dari pintu apartemennya. Mungkin orang itu sudah pergi. Begitu yang ada di pikiran Qeiza.“Ae Ri! Buka pintunya!”Kelegaan Qeiza ternyata hanya berlangsung sesaat. Gedoran bertubi-tubi pada pintu apartemennya kembali terdengar, disertai teriakan lantang seorang pria yang memanggil namanya.“Ansel?” gumam Qeiz
BAM!Terdengar suara pintu dibanting keras seiring dengan tubuh Ansel yang tertarik mundur. Seseorang telah mencengkeram kerah bajunya dengan kuat.“Bukan seperti itu caranya bertamu,” sindir sebuah suara bernada dingin.“Lepaskan bajuku!” perintah Ansel. Darahnya menggelegak. Usahanya nyaris berada di ambang keberhasilan ketika seseorang mengacaukan segalanya.“Urus saja urusanmu sendiri!” omel Ansel.Dia balik badan, tepat pada saat ia merasakan tangan sang pengganggu telah terlepas dari kerah bajunya.“Kau!”Ansel melotot tidak senang begitu mengetahui siapa sosok yang telah menggagalkan perjuangannya.“Ya, aku!”Chin Hwa tersenyum santai dengan kedua tangan yang telah terselip dalam saku celana.“Kau tak berhak ikut campur dalam urusanku,” tegas Ansel.“Siapa yang tertarik untuk melibatkan diri dalam permasalahanmu?” ledek Chin Hwa. “Aku hanya melindungi milikku.”Chin Hwa berkata tidak kalah tegasnya dari Ansel. Raut mukanya yang semula tenang dan ramah, kini terlihat serius dan t
Apa pun yang kau tanam, maka engkaulah yang akan memetik hasilnya.***“Itu paket yang dikirimkan pengacara Nona Qeiza,” sahut Xander. “Tentu kau yang lebih berhak untuk membukanya.”Ansel menghela napas panjang. “Simpan saja!” titahnya.Dia sudah bisa menebak apa isi paket itu. Pastilah akta cerainya. Semua sudah berakhir sekarang. Beban yang selama ini mengimpit dadanya sudah hilang tak berbekas.“Kau yakin tidak mau mengeceknya?” tanya Xander.Amplop itu kini sudah berada dalam genggaman tangannya lagi. Keningnya mengerut ketika merasakan sesuatu yang aneh di dalam amplop itu.“Untuk apa?” timpal Ansel, masih dengan nada enggan. “Paling cuma akta cerai.”Xander mengguncang amplop itu di dekat telinganya. “Kurasa bukan hanya itu,” sangkalnya.“Bunyinya aneh!” imbuhnya lagi.Telinga Ansel juga menangkap suara aneh yang timbul dari guncangan tangan Xander itu. Dia pun duduk di atas sofa. Mengode Xander dengan matanya.Xander ikut duduk di hadapan Ansel. “Jadi, benaran dibuka nih?” tany
Dengan tangan gemetar, Ansel membuka paket yang diberikan Xander. Beberapa kali ia terlihat menarik napas panjang dan dalam.Kedua matanya mendadak berembun tatkala sebuah kotak hitam kini berada dalam genggaman tangannya.“Dia juga tidak memakai perhiasan ini,” gumam Ansel.Satu set perhiasan berlian yang menghuni kotak itu tetap utuh, seperti tidak pernah disentuh. Dada Ansel semakin sesak saat menyadari mantan istrinya itu sama sekali berbeda jauh dari perkiraannya, padahal semua perhiasan itu adalah mahar perkawinan mereka.Meskipun bercerai, bukankah tak seharusnya wanita itu mengembalikannya? Dia berhak atas mahar itu, apalagi harga perhiasan itu sangat mahal. Bagaimana seorang wanita tidak tergoda dengan semua kemewahan yang diberikannya?“Masih ada lagi,” seru Xander, mengejutkan lamunan Ansel.Sahabatnya itu baru saja mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam paket yang diletakkan Ansel di atas meja. Lelaki itu hanya fokus pada kotak berukuran besar dan tidak begitu memperhat
Adakalanya kita perlu mengambil keputusan yang berani.***[Siapa kau?]Ansel membalas pesan yang diterimanya dengan rasa penasaran tingkat dewa. Dia benar-benar ingin tahu siapa orang yang baru saja berinteraksi dengannya itu. Namun, pesannya tak kunjung mendapat balasan. Tak kehilangan akal, Ansel pun menekan tombol dial.“Aaargh!”Kembali Ansel menjerit geram. Panggilannya hanya disambut suara operator jaringan seluler. Pengirim pesan itu telah menonaktifkan nomor teleponnya. Bisa jadi juga dia hanya memakai nomor sekali pakai.Ansel menyambar jaketnya, berniat ingin keluar untuk mencari angin segar. Namun, rasa nyeri pada punggungnya menahan ayunan langkahnya. Dia berdiri kaku di belakang pintu. Sambil meringis, dia kembali ke ranjang dan merebahkan diri dengan gerakan perlahan.“Tahan, Ansel! Kau harus bersabar sampai kondisimu benar-benar pulih.”Ansel menyemangati dirinya sendiri. Kalau saja bukan karena keteledoran seorang ibu yang membiarkan anak lelakinya berlari bebas di sek
Hati Chin Hwa bersorak girang. Dia seakan sedang mendapat durian runtuh dengan hadirnya Qeiza di apartemennya, apalagi dengan bermalam. Sungguh hal yang tidak pernah terbayang sebelumnya.“Keberatan kalau kita mampir dulu di supermarket?” tanya Chin Hwa. “Aku belum sempat belanja belakangan ini.”“Tak masalah.”Entah berapa lama Chin Hwa dan Qeiza menghabiskan waktu mengitari setiap rak yang mereka sambangi di supermarket. Memilih bahan-bahan terbaik yang mereka butuhkan untuk makan malam dan juga untuk persediaan Chin Hwa selama beberapa hari ke depan.Keduanya tampak seperti sepasang pengantin baru yang sedang berbahagia di hari pertama mereka berbelanja bersama. Senyuman riang tak pernah lepas dari bibir mereka setiap kali saling beradu pandang saat tanpa sengaja mengambil barang yang sama.Waktu begitu cepat berlalu. Qeiza telah sampai di apartemen Chin Hwa. Sejenak ia berdiri ragu di depan pintu. Hatinya dirundung gelisah. Benarkah keputusan yang dia ambil saat ini?Tak mendengar
Menciptakan sebuah kebohongan sama saja dengan menggali kuburan sendiri.***“Kenapa lama sekali buka pintu? Kau menyembunyikan sesuatu atau seseorang?”Pertanyaan bernada curiga dan mimik muka penuh selidik langsung menyerang Chin Hwa begitu dia membuka pintu.Seorang wanita berkulit putih dengan rambut berpotongan bob panjang menerobos masuk tanpa ragu. Tatapan tajamnya terpaku pada netra resah Chin Hwa.“Tidak. A–aku baru saja pulang kerja.”Chin Hwa sedikit gugup. Ini pertama kali baginya mengarang sebuah kebohongan dengan sengaja.Wanita yang baru tiba itu berdiri di hadapan Chin Hwa dengan elegan. Sebuah tas tangan mewah menggantung indah di pergelangan lengan kirinya. Sebelah tangan lainnya dibiarkan jatuh menjuntai, mempertontonkan kuku-kuku cantik yang terawat apik.Tubuh langsingnya terbalut celana marun dengan atasan blouse putih dilapisi coat senada warna celana. Melihat penampilannya, tak akan ada yang percaya bahwa usianya sudah setengah abad. Dia masih tampak seperti wan