Hampir sepuluh menit lamanya Chalondra menatap layar ponsel yang menampilkan pop up chat dari Dominic. Gadis itu sungguh tidak menyangka laki-laki itu akan melakukan cara apa saja untuk menghubunginya. Berganti nomor handphone ternyata tidak menyelesaikan masalah apa pun. Sekarang Cha kembali dilanda rasa gundah. Haruskah dia membaca pesan tersebut? Dominic jelas-jelas mengatakan kalau pria itu sangat membutuhkannya, merindukannya.
Grace yang kebetulan sedang berkunjung ke kamar Chalondra tentu saja menyadari apa yang sedang dipikirkan adik sepupunya itu. Chalondra pasti sedang mengalami perang antara hati dan pikirannya.
“Cha.” Grace menyentuh lengan gadis kecil itu dan membuatnya terkesiap.
“E-eh, i-iya Kak Grace?”
“Kamu bahagia kayak gini?”
“Ka-kayak gini gimana maksudnya, Kak?”
Grace memanjangkan dagunya dan menunjuk ke arah ponsel gadis itu. “Menghilang, kabur tanpa kabar.”
“Oh …” Chalondra pun langsung mengerti. “Aku ngga
Guys, menjawab pertanyaan kalian tentang 'update tiap jam berapa?', aku jawab yaaa. Nggak nentu, karena aku nulis sesempatnya sambil kerja. Yang pasti selalu diusahakan up tiap hari. Thank youu.
Guys, ini adalah sederetan flashback tentang bagaimana dua keluarga (Ellordi dan Louis) tiba-tiba bisa berkumpul untuk menghadapi Ares. Yang gak suka baca flashback, apalagi ini tentang lukisan lagi, skip aja yaaa. Happy readinggggg.*****Flashback 1 (Brandon dan Chris, malam hari setelah Chris mengusir Chalondra dari rumah)Brandon berdiri di depan pintu kamar kedua orang tuanya dengan perasaan yang campur aduk. Barusan keributan terjadi lagi. Memang tidak se parah tadi siang –saat ayahnya menghabisi Dominic – tapi ini pasti sama-sama menyakitkan bagi Chalondra. Chris menyuruh adiknya itu untuk keluar dari rumah.Ini sama sekali di luar ekspektasi Brandon. Dia tidak menyangka ayah mereka akan se kecewa ini setelah mengetahui Chalondra sudah memberi segalanya kepada Dominic. Mungkin Brandon memang tidak tau bagaimana perasaan seorang ayah yang dikhianati anak perempuannya, tapi bagi Brandon ini sudah terlalu jauh. Dia berniat melakukan negosi
Flashback 3 (Dominic dan Brandon, saat berkunjung ke tempat Solihin) “Jadi … Ares, Anjar dan Reina itu adalah kaki tangan kalian?” Lidah Brandon kaku saat Dominic menyebutkan nama Ares dan Anjar. Pria itu juga meledeknya dengan menuduh kedua orang itu adalah kaki tanganya. Apakah ketakutan Chris –tentang keluarga Louis yang akan mencurigai mereka –itu benar-benar terjadi sekarang? Tidak bisa dibiarkan. “Kita perlu bicara, Pak Dom.” Brandon bahkan mengabaikan Janice yang sudah ikut turun ke bawah. Mereka sepakat untuk masuk ke sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari gudang Solihin. “Tunggu di sini.” Brandon memberi perintah agar Janice duduk di meja yang berjarak lima meter dari meja yang sudah ditempati Dominic. Mereka ingin membahas hal yang sangat serius. “Baik, Pak.” Janice mengangguk. Setelah itu dia mengawasi punggung Brandon yang mulai menjauh darinya. Brandon menarik kursi yang ada di hadapan Dominic. Setelah terluka para
Flashback 6 (Dominic dan Marcus) Namun dewi fortuna sepertinya masih berpihak kepada Dominic. Jalan buntu yang dia temui saat memikirkan cara untuk mendatangkan Ares dan Anjar besok, akhirnya terjawab setelah dia mendapat telepon dan Hardian, kepala tim keamanan perusahaannya. Demi apa, Dann ternyata kaki tangan Ares dan Anjar juga?? Sekretarisnya itu ternyata berperan dalam penukaran lukisan di ruangan kerjanya. Dominic sampai tidak sanggup berkata-kata dan tidak sanggup memikirkan apa pun lagi. Bukankah selama ini Dann terlihat hanya patuh kepadanya? Dia bahkan tidak punya gelagat yang mencurigakan jika ternyata dia adalah penjahat yang sama seperti Ares. Dominic juga semakin geram setelah mendatangi kediaman keluarga Dann. Dia menemukan fakta bahwa bayi kecil yang pernah dikatakan Dann jatuh dari baby walker dan masuk rumah sakit, ternyata kondisinya sangat sehat walafiat. Bahkan istri Dann sendiri mengaku anak mereka baik-baik saja. Dominic tidak
Dominic merasakan jantungnya langsung berdetak cepat seperti atlit yang sedang ikut lari marathon. Chris menatapnya dengan tajam seperti ingin mengatakan bahwa dia tidak ada pilihan. Dominic pun melirik ayahnya seperti meminta pendapat pria itu. Marcus pun membalas dengan senyum simpul dan anggukan. Sepertinya Marcus mengetahui maksud Chris menempatkan Dominic bersamanya dalam satu mobil. “Ba-ik, Om.” Dominic menjawab dengan lidah yang bergetar. Brandon yang melihat kekakuannya sudah ingin tertawa dan mengejek. Tapi tidak dilakukannya demi menjaga image nya yang cool. Mobil Marcus dan Miranda yang dibawa oleh Brandon berjalan lebih dulu, disusul mobil Fransisco dan Iriana. Mobil Chris berada di urutan terakhir. Dominic sudah duduk di belakang kemudi dan Chris di jok belakang bersama Amber. Dominic tidak bisa menggambarkan perasaannya sekarang. Sekujur tubuhnya bergetar. Tangannya nyaris tidak sanggup mencengkeram stir dengan baik lantaran kedua tangan
And here they are … berada di dalam ruangan kerja Dominic dan sedang berhadapan dengan dua orang tersangka yang kini terduduk lemah tak berdaya di atas karpet. Dominic yang sedari tadi memimpin rombongan pun bergerak mundur dan mempersilakan Fransisco untuk maju. Sejak masuk tadi, Fransisco tidak bisa berhenti melihat Ares. Benarkah sejak semula Ares sudah memperdaya dirinya tentang lukisan itu? Lukisan yang membuat Frans seperti orang bodoh sekarang. “Apa tujuanmu, Ares! Aku tidak menyangka kau telah membohongiku selama ini dan sudah melakukan kejahatan sampai sejauh ini.” Fransisco memulai dengan suara yang bergetar. Iriana dan Chris berada tepat di sebelahnya untuk memberinya kekuatan. Ares melihat aura kesedihan dan kebencian dari sorot mata sayu Fransisco. Oh, jika mereka semua berada di sini sekarang, itu artinya mereka sudah tau tentang lukisan asli dan palsu itu kan? Huh! Masih berlagak sok suci! Ares memaki di dalam hati. “Aku jahat? Hah. Hah
Dua minggu kemudian. New York University, tepatnya pukul dua siang. Perkuliahan Chalondra baru saja selesai saat dia mendapat kabar dari Grace, kalau kakak sepupunya itu mendadak ada interview kerja. Grace sangat menyesal karena tidak bisa menjemputnya sekarang. Berdasarkan info dari kakaknya pula, dia tau kalau Ken sudah mengirim anak buahnya untuk menjemputnya ke kampus. Sebenarnya Chalondra tidak keberatan jika harus pulang sendiri. Dia juga sudah sangat penasaran rasanya naik kendaraan umum di sini. Bahkan jika diijinkan, dia sangat ingin mengunjungi Times Square yang cukup dekat dengan kampusnya. Hanya butuh waktu sekitar lima belas menit jika dia menggunakan taksi lokal. Tapi om nya tidak mungkin mengijinkan dia berkeliaran sendirian. Buktinya saja, saudara sepupu ayahnya itu sudah mengirimkan orang lain untuk menjemputnya. Chalondra berharap orang suruhan Ken sudah mengetahui tempat dia biasa menunggu jemputan Grace, karena dia tidak bisa memberi kabar
“Chalondra, will you marry me?” tanya Dominic dengan wajah serius dan nada yang cukup tegas. Kedua mata abunya menatap gadis itu dengan penuh rasa cinta. Ini adalah momen yang sangat berharga dan momen yang sudah lama dinantikan oleh Dominic. Dulu dia pernah menikah atas dasar balas budi orang tua. Tidak ada lamaran seperti ini karena tidak ada cinta di antara dia dan mantan istrinya. Namun berbeda dengan sekarang. Setelah akhirnya dia menemukan seseorang yang berhasil membuatnya benar-benar jatuh hati, dia ingin melamar wanita itu dengan cara yang tidak akan bisa mereka lupakan sampai kapan pun. Dia bahkan sampai rela mengeluarkan uang milyaran rupiah demi mengosongkan Times Square selama tiga jam dan menyewa tiga buah papan billboard utama di sana. Chalondra meneguk ludahnya. Dia mencerna pertanyaan Dominic dengan sisa-sisa kesadaran yang dia punya. Dominic bertanya apakah dia berkenan menikah dengan pria itu? Seriusan? “Dad, i-ini se-ri-us?” suara Chalondr
Chris, Amber dan Brandon sudah menunggu kedatangan Dominic dan juga Chalondra di dalam kamar hotel president suites yang mereka tempati sejak sampai di New York tadi malam. Ken, Aliya dan Grace juga sudah ada di sana dan turut membantu kelancaran rencana lamaran Dominic tadi. Saat pasangan yang sedang dimabuk cinta itu muncul di balik pintu, Amber, yang sudah begitu merindukan Chalondra langsung bangkit dari sofa tempatnya duduk. Wanita itu setengah berlari menyambut anak gadisnya yang juga langsung berlari menerjang tubuhnya. “Mamaaaaaa …” Rasa haru Chalondra tidak tertahan. Air matanya langsung tumpah saat kepalanya terbenam di pelukan ibunya. Begitu pun dengan Amber yang langsung menitikkan air mata saat memeluk sang buah hati. Dia kembali dirundung perasaan sedih setiap kali mengingat malam yang paling mengerikan itu. “Mama kangen banget sama kamu, Cha. Maafkan mama kalau udah bikin kamu sedih.” Tangis Chalondra semakin terdengar pilu. Ingatannya