Share

Sebuah ide gila

Anastasya Vienca gadis muda berusia 25 tahunan itu tengah berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang terasa seperti rumahnya sendiri. 

Bukan! Bukan karena gadis itu menyukainya atau memang benar-benar tinggal disana, melainkan keterpaksaan karena sebenarnya ia sangat benci suasana rumah sakit. Bau obat-obatan yang menyengat, serta jeritan suara pasien yang baru saja datang karena kecelakaan di suatu tempat, justru membuatnya muak dan ingin segera pergi dari sana. Ana benci ... benci sekali rumah sakit. Namun sepertinya takdir tidak ingin Ana membenci sesuatu, karena semua hal yang Ana benci akan berbalik menyerangnya dan menjadi suatu kebutuhan untuk Ana. Pernahkah mendengar istilah benci jadi cinta? Dalam kasus Ana benci jadi butuh.

Seperti saat dulu ketika Ana benci sekali dengan sepeda sebab tidak bisa menggunakan benda itu, karena saat menggunakannya jika tidak lututnya yang terluka pasti dagu wanita itu yang akan luka. Ya ampun, bukankah sepeda benda yang berbahaya? Ana tidak suka, tapi tidak benar-benar tidak menyukainya. Maka dari itu seperti yang sudah dikatakan Ana tidak boleh membenci sesuatu karena seperti pada kasus sepeda itu, setelahnya ia harus menggunakannya sebagai kendaraan tetapnya untuk mengantar-jemput adik kecilnya ke sekolah. 

Dan sekarang, sama halnya dengan sepeda, Ana yang benci suasana rumah sakit, kini justru tempat inilah yang menjadi rumah keduanya setelah adiknya Mikail Vienca di diagnosis kanker darah stadium akhir yang membuatnya harus menetap disana karena kondisinya yang mudah menurun. 

Awalnya terasa sulit, Ana yang hanya memiliki Mikail, kesulitan mencari rumah sakit yang mau menolongnya sebab Ana tak memiliki banyak biaya. Beruntung ada dokter baik kenalan mendiang ibunya yang bersedia merawat mikail, sehingga Ana tidak perlu pusing mencari biaya perawatan yang harganya bisa membuat orang menjadi gila. 

Tungkai kakinya terhenti di depan pintu berwarna putih milik kamar mikail. Perlahan Ana membuka pintu itu dengan pelan, biasanya saat ini mikail tengah terlelap sehabis melakukan kemo. Tapi saat pintu terbuka lebar anak kecil itu tengah terduduk dengan punggung yang disandarkan pada kepala ranjang sembari menatap layar tv yang sedang menampilkan kartun kesukaannya.

Agaknya Mikail tidak tahu jika ia kedatangan seseorang sampai saat kakaknya duduk disamping ranjang miliknya. Mikail menoleh menatap Ana. "Kakak terlambat," ucapnya dengan bibir mengerucut kedepan.

"Maaf Kail, kakak ada urusan tadi. Bagaimana keadaanmu, ada yang sakit?" Mikail menggelengkan kepalanya pelan dengan senyuman terpantri diwajahnya, melihat itu Ana ikut tersenyum juga. Tapi beberapa detik setelahnya senyumnya berganti dengan wajah khawatir Ana saat melihat luka di sikut Mikail. 

"Oh Kail astaga, apa yang terjadi? Kenapa sikut lenganmu terluka hm?"

"Ah kakak, tadi aku ... aku jatuh saat bermain," ucap mikail dengan gugup lalu menundukan wajahnya. Melihat adiknya yang ketakutan Ana menurunkan intonasi suaranya, Ana memang sangat posesif dengan Mikail, ia tidak bisa mengontrol emosinya jika menyangkut adiknya, apalagi mendengar adiknya terluka, tidak terluka saja mikail masih  merasakan sakit.

"Maaf, kakak hanya khawatir," jawabnya sedih

"Kail tidak sakit kok. Tadi saja saat jatuh kail tidak menangis."

"Benarkah?" Mikail mengangguk dengan semangat. "Dasar bocah nakal! Baiklah kau sebaiknya istirahat, sudah minum obat dari dokter rachel, kan?" Lagi-lagi Mikail mengangguk lalu membaringkan tubuhnya. Ana yang disampingnya mengusap pucak kepala Mikail yang botak karena melakukan kemo dengan lembut.

"Kakak ada urusan apa tadi?" tanya Mikail.

"Pekerjaan Kakak belum selesai, ada beberapa tamu yang masih memesan makanan."

"Oh begitu ... tadi dokter Rachel mencari kakak, tapi kakak belum datang."

"Benarkah?" Mikail mengangguk, matanya mulai terpejam, sebenarnya sudah sejak tadi dia mengantuk tapi karena menunggu Ana, Mikail jadi menahan kantuknya. "Kakak ... Mikail ngantuk. Tapi Kakak jangan tinggalkan Kail ya, kalau Mikail tidur."

"Ya sayang, tidurlah. Kakak akan disini sampai Mikail bangun."

                             🌹🌹

Hari ini Ana mengacaukan segalanya, tidak ada pekerjaan yang dilakukannya dengan benar. Sudah berulang kali customer cafe mengkomplain pekerjaan Ana karena kesalahan yang dilakukannya. Dari salah pesanan hingga melakukan hal ceroboh yang sampai merusak perabotan makan. Lalu Manager cafe yang mendengar itu segera melaporkan Ana pada atasanya, maka Hobi sebagai sahabat sekaligus pemilik cafe yang menjadi bos Ana, memanggil Ana ke ruang kerjanya.

Ana duduk didepan Hobi, pria yang bernama Husein Kato produksi asli dari demak keturunan jepang itu tengah bersedekap menatapnya. Entah dari mana nama Hobi melekat padanya yang pasti pria itu akan marah jika seseorang memanggil nama aslinya. Katanya nama itu kuno tidak modern padahal menurut Ana namanya sangat unik. 

"Anastasya Vienca! Sial aku suka sekali namamu." Ana mengernyitkan keningnya, keheranan dengan tingkah konyol bosnya.

"Kau memanggilku hanya ingin memuji namaku?"

"Hey jangan judes begitu, seharusnya aku yang marah-marah. Kau ini kenapa? Ingin mengusir pelangganku secara halus atau bagaimana?"

Ana mengerti maksud pertanyaan pria dihadapannya ini, Ana menyadari prilakunya yang hilang fokus. Pikirannya kacau, diotaknya hanya terputar ucapan dokter Rachel mengenai kondisi Mikail yang seperti kaset kusut. 

Semalam, setelah Mikail tertidur Ana menemui Rachel, dokter itu menjelaskan kondisi Mikail yang memprihatinkan, karena bergantung pada obat-obatan, ginjal Mikail menjadi rusak dan harus melakukan operasi. Masalahnya meski dokter Rachel membantu biaya pengobatan Mikail, kali ini dokter cantik itu tidak dapat membantunya lagi karena keterbatasan biaya, sehingga Ana harus mencari uang 350jt agar Mikail bisa dioperasi dengan segera. Walaupun Rachel masih berusaha mencari dana itu, tapi Ana tahu dia tidak bisa lebih banyak lagi merepotkan Rachel. Tanpa sadar dia menghela nafasnya dengan gusar dan melihat itu Hobi secara otomatis menggenggam jemari Ana guna memberinya kekuatan.

"Ceritakan padaku Ana." Detik itu juga tumpahlah air mata yang sedari tadi Ana tahan, ia tidak sanggup lagi menanggung semuanya, rasanya Tuhan terlalu benci dengannya hingga Dia selalu mengambil semua milik Ana, pertama ibunya, lalu ayahnya. Oh tidak Ana mohon kali ini saja, DIA biarkan Mikail tetap bersamanya, karena sungguh Ana tidak memiliki siapapun lagi di dunia ini. 

Hobi membiarkan wanita itu menangis menumpahkan semua kesedihannya, karena sebagai sahabat wanita itu sudah sejak lama, Hobi tahu betapa berat beban yang ditanggung Ana. Setelah tangisnya berhenti, Ana menceritakan semuanya mengenai apa yang dibicarakan dokter Rachel padanya.

"Kau tahu ... aku bisa memberikannya padamu," kata Hobi menanggapi, Ana memandang sedih sahabatnya, kemudian menggeleng pelan.

"Kau sudah banyak membantuku. Aku tidak ingin lagi menyusahkanmu."

"Aku tidak pernah merasa begitu. Kau tidak pernah menyusahkanku Ana. Dengar ... jangan merasa sungkan padaku, jika kau tidak ingin aku memberikannya, kau bisa meminjamnya. Bayar padaku kapanpun kau bisa. Bagaimana? " Meskipun terdengar menggiurkan, Ana tetap menggelengkan kepalanya, sudah banyak yang Hobi lakukan untuknya. Ana tidak ingin seperti orang yang memanfaatkan kebaikannya. 

Untuk beberapa saat, mereka tetap diam dengan pikirannya masing-masing. Sampai akhirnya Hobi meremas jari-jemari Ana sambil menatap penuh keraguan.

"Kalau kau tetap menolak kebaikanku. Ana, sebenarnya aku ada ide gila untukmu, kau juga bisa mendapatkan uang itu dengan cepat. Tapi aku yakin kau pasti menolak."

"Katakan saja dulu, agar aku bisa mempertimbangkannya. Asal saja kau tidak menyuruhku menjadi pelacur." Astaga meski sedang sedih begitu kejudesan Ana tidak menghilang. Hobi mendengus kesal sekaligus lega karena meski begitu Ia cukup senang Ananya tetap wanita yang kuat.

"Aku jadi takut mengatakannya, tapi Ana ini benar-benar bisa membuatmu mendapatkan uang."

"Hobi, jangan bertele-tele katakan saja."

"Baiklah ... sebenarnya kenalanku mencari seorang istri bayaran. Ia akan membayar berapapun asal calonnya sesuai kriteria. Dan setelah kupikirkan, menurutku kriterianya sangat cocok denganmu Ana." Bola mata Ana mendadak membesar setelah mendengar penjelasan Hobi. Ia sangat terkejut sampai bertanya-tanya apa isi kepala pria tampan itu? Sangat jelas tadi dia mengatakan tidak akan mau menjual dirinya.

"Kau gila??? Itu sama saja aku menjual diri Hobi."

"Tidak Ana, apa ya biasanya orang bilang. Ah pernikahan kontrak! Ya kau hanya perlu menjadi istri kontrak." 

"Ya Tuhan! Istri kontrak? Tidak akan! Pernikahan itu sakral. Aku tidak mau kualat karena mempermainkannya," tolak Ana dengan tegas, sebenarnya Hobi sudah menduga Ana akan menolak, lagipula ia hanya  memberi solusi atau sekedar tipuan untuk Ana agar ia menerima bantuanya, mengingat Ana selalu menolak. Mereka kembali terdiam namun beberapa saat setelahnya keheningan mereka terpecah dengan suara dering ponsel milik Ana. Ana mengangkat panggilan itu, ekspresinya menegang mendengar ucapan seseorang disana. Air matanya kembali turun menatap Hobi yang terlihat cemas. Masih dengan ponsel ditelinganya Ana memanggil nama Hobi dengan suara bergetar.

"Hobi"

"Y-ya? Ada apa Ana?"

"Pe- pertemukan a- aku dengan orang itu"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status