Share

Part 03 - Finding Him

Part 03 - Finding Him

Setelah pertemuan tak disengaja yang terjadi antara Damian dengan seseorang yang dikenalnya, membuat Luna memiliki waktu untuk menelisik wajah pria di kursi roda itu selama beberapa menit. Luna meyakini bahwa pria itu adalah benar orang yang ia tolong saat kecelakaan malam nahas itu.

Seusai percakapan basa basi yang dilakukan Damian dengan teman lamanya bernama Roberto. Luna segera mengatakannya pada Damian. Di parkiran mobil saat Damian hendak pergi, Luna mengungkapkan ingatannya akan sosok pria itu.

"Kau yakin dia orangnya?" tanya Damian untuk kedua kalinya.

"Ya, Dam. Aku sangat yakin dia orangnya," jawab Luna menegaskan.

Damian tampak berpikir dalam diam. Membuat Luna berharap cemas menunggu tanggapan lain selain pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya.

Pandangan dari sorot setajam elang itu menatap Luna yang menunjukkan keyakinan pada ucapan akan ingatannya malam itu. Hingga pria itu akhirnya membuka suaranya.

"Baiklah, aku akan mencoba menanyakan pada Robert, apa yang terjadi pada bosnya itu. Memastikan apakah mereka tahu kecelakaan itu disengaja atau tidak? Jika mereka tahu, itu akan memudahkanku untuk menawarkan jasa pengawal pada mereka dari situ aku bisa mengutusmu."

"Bagaimana jika mereka tidak tahu, dan menganggapnya sebagai kecelakaan biasa?" tanya Luna meminta penjelasan untuk pilihan kedua.

"Jika mereka tak mengetahuinya. Kau yang harus memberitahunya," jawab Damian seolah hal itu mudah dilakukan.

Luna menepuk dada bidang Damian akan ide gila itu. "Apa kau mulai sakit jiwa?! Aku serius, Dam. Jangan menyulitkanku," keluh Luna.

Damian terkekeh sejenak dan memasuki mobil porsche hitamnya. Luna mengikuti dan duduk tepat di samping kursi kemudi. Dirinya tak akan menyerah sampai Damian memberikannya solusi yang tepat. 

"Aku tak akan mengizinkanmu pergi sebelum kau memberikanku jawaban dari ide gilamu itu!" ancam Luna tak tahu diri. Dia yang meminta bantuan, tetapi dia juga yang berani mengancam bosnya.

"Pikirkanlah caranya, Luna. Kau memiliki kecerdasan yang bagus. Anggaplah aku sudah mentraktirmu makan, apa aku juga harus menyuapimu?" ejek Damian mendecakkan lidahnya.

Pria itu menoleh ke belakang dan melihat buket bunga yang hampir terlupakan untuk diberikan pada Grace. Sayangnya, bocah itu tertidur saat ia hendak melihat kondisinya.

"Ah, hampir saja aku melupakan niatku." Damian meraih bunga itu, mengabaikan Luna yang merajuk. "Berikan ini pada Grace, dan letakan di samping nakasnya. Seina bilang berikan warna pada ruang rawat seseorang yang mengalami trauma, agar warna bunga ini mengalihkan lamunannya," ungkapnya menuturkan pendapat sang istri.

Luna mendecakkan lidahnya saat bunga itu diletakkan di atas pangkuannya. Wanita itu meraih bunga tersebut dan melihat kartu ucapannya yang bertuliskan 'from : paman tampan' Luna memutar matanya siap mengejek.

"Kau membuatku mual!"

"Beruntungnya itu bukan untukmu. Grace akan tahu jika tulisannya begitu. Dia yang mengatakannya langsung setiap kali bertemu," ujar Damian bangga.

Seketika Luna memiliki ide dari ucapan Damian barusan. Ia tersenyum dan menatap Damian penuh maksud.

"Dam, sepertinya aku memiliki ide untuk memberitahukan bahwa kecelakaan itu adalah sebuah kesengajaan," kata Luna tampak yakin.

"Well, itu bagus. Artinya ideku sudah mendapatkan jawaban. Sekarang, bisakah kau keluar dari mobilku? Aku harus pulang sekarang, sebelum kakekmu menjejalkan banyak pertanyaan jika aku terlambat tiba."

"Ah, ya. Sampaikan salamku pada kakek Nathan. Kemarin saat pemakanan Alona, aku tak banyak bicara padanya karena sibuk mengejar Valerio." Luna bergegas keluar dari mobil Damian. 

"Ya, aku akan sampaikan."

Luna mengangguk. "Terima kasih, Dam," ujar Luna menyempatkan sebelum menutup pintunya.

Damian hanya mengangguk dan mulai melaju meninggalkan rumah sakit tersebut. Sementara Luna kembali masuk sambil mengambil ponsel di saku jaketnya untuk menghubungi sebuah toko bunga.

***

Pagi harinya kiriman bunga ke ruangan Axel semakin bertambah, lantaran banyaknya kolega yang menunjukan simpati padanya. Karena kini Axel resmi menyandang status sebagai pemilik tunggal Dante's corporation. Walau demikian, hal tersebut tak serta merta membuat Axel senang. Dirinya malah menyuruh Roberto membuang semua kiriman itu.

Axel masih tak percaya saat kemarin melakukan pemeriksaan terhadap tulang kakinya yang mengalami keretakan pada pergelangannya. Beruntung hal itu tak terlalu fatal dan dokter mengatakan masih memiliki kesempatan untuk segera pulih dan dapat berjalan tanpa bantuan tongkat. Ditambah pemulihan itu juga tak akan memakan banyak waktu.

Namun, Axel yang selalu memiliki segalanya itu, masih tak bisa menerima keadaannya saat ini. Ditambah bunga yang berdatangan itu membuatnya muak akan simpati.

"Aku akan memisahkan kartu ucapannya, setidaknya kita harus mengucapkan terima kasih pada pemberinya." Roberto membujuk Axel.

"Apa kau mulai tuli, Robert? Atau kau sudah bosan bekerja denganku?!" sarkas Axel. "Aku ingin kau membuang semuanya! Apa ucapanku kurang jelas?!" seru Axel sarat akan perintah yang tak ingin dibantah.

Saat ini dirinya tengah sibuk dengan dokumen yang harus ditandatanganinya. Walau keadaannya kini baru saja siuman, Axel tetap meminta Robert untuk memberikannya pekerjaan yang sempat tertunda akibat kecelakaan yang menimpanya itu.

Roberto hanya menghela napas saat arogansi tuan mudanya mulai keluar hingga begitu menyulitkannya.

"Baiklah, aku akan meminta perawat untuk menyingkirkan semua ini," ujar Roberto. "Oh, ya. Jika hasil lab-mu hari ini keluar dan menunjukkan tidak ada keluhan lain, kau boleh kembali ke mansion. Lalu kau bisa meminta satu orang untuk melakukan perawatan pada kakimu," papar Roberto. Lalu pria itu bergegas hendak keluar dari ruangan.

"Roberto," panggil Axel. Tepat ketika sekretarisnya itu memegang handle pintu. 

"Ya, apa kau membutuhkan yang lain?" tanya Roberto. 

Axel terdiam sejenak, tampak ragu untuk mengucapkannya. Karena ia yakin pria di dekat pintu itu akan menertawakannya.

"Tidak jadi, cepat kau suruh mereka membuang semua bunga ini!" tandas Axel akhirnya.

Roberto terkekeh. "Memang itu yang hendak kulakukan semenit yang lalu sebelum kau menahanku," balas Roberto menggelengkan kepalanya. Lalu keluar dari ruangan.

Axel mendengkus kesal. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih, karena kini hanya kau yang bersedia membantuku, batin Axel. Namun, keangkuhannya menelan semua ucapan itu.

Setelah merenung sejenak tentang apa yang terjadi padanya, mendadak kepalanya terasa berdenyut saat kilasan balik kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya terlintas. Lantas demi mengurangi rasa sakit itu, ia mencoba mengalihkan tatapannya ke jendela kamar. Tepat menunjukkan halaman rumah sakit miliknya yang tampak beberapa pasien tengah berjemur di sana.

Axel menangkap satu sosok wanita yang sempat berpapasan dengannya saat keluar lift kemarin. Wanita itu terlihat tengah bersama seorang bocah perempuan yang duduk di kursi roda hal tersebut membuat kening Axel berkerut sejenak dan mengingat kembali kecelakaannya. Sosok wanita penyelamatnya terlintas memunggunginya bersama bocah perempuan yang menangis.

Pikiran Axel semakin melayang dan terus mengingat kepingan dari penglihatan samarnya kala itu, hingga suara itu terlintas dalam benaknya.

"Tuan, kau baik-baik saja?!" pekik suara wanita berpakaian serba hitam itu.

Axel menatap samar wanita itu, merasa aliran darah yang keluar dari kepalanya. Ia hanya bisa mengangguk lemah, dan mengusap kedua tangan orang tuanya yang sejak tadi ia genggam. 

"Bertahanlah, aku akan membantumu keluar," ujar lagi wanita itu dengan wajah paniknya yang samar tertutup cahaya.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya akan tragedi tersebut, ia memutar balik kursi rodanya dan melihat seorang perawat yang meminta izin mengambil beberapa kiriman bunga di kamarnya.

Axel hanya mengangguk dan membiarkan seluruh bunga dibawa ke luar oleh perawat tersebut. Sepeninggalnya perawat itu, Axel kembali menatap jendela dan tak lagi mendapati wanita yang sejak beberapa menit lalu mengalihkan pikirannya.

Sehingga ia memutuskan untuk mengambil ponselnya dan menghubungi Roberto. Namun, sebuah kartu ucapan dari bunga kiriman yang telah dikeluarkan itu, tertinggal di lantai. Axel sempat ingin mengabaikannya, akan tetapi warna hitam dari kartu itu membuatnya sedikit penasaran.

Lantas dirinya mendekat dan hendak mengambil kartu itu. Sayangnya, saat dia hendak meraihnya ... Roberto masuk dan membantu Axel mengambil kartu tersebut.

"Oh, ya ampun. Pasti ini terjatuh saat aku hendak memisahkan dari bunganya. Aku akan membuangnya bersama dengan yang lain," ujar Roberto.

Sekretarisnya itu sangat mengenal sifat Axel yang tak akan mentoleransi sebuah kesalahan, sehingga Roberto dengan segera bertindak sebagaimana mestinya.

Axel hanya mengangguk dan kembali berbalik. Kali ini menuju ranjangnya dan hendak menaiki tempat itu secara mandiri. Terlihat Axel sangat bersusah payah menahan tubuhnya dengan kedua tangan yang ditumpukan pada pegangan kursi rodanya berusaha melakukannya perlahan dan hati-hati. Sialnya, tetap gagal.

Roberto yang melihatnya sungguh tak tega dan mendekat hendak membantu, walau sesungguhnya Axel tak akan menyukai jika tuan mudanya itu tak meminta.

"Biar kubantu," kata Roberto hendak mendekat.

"Don't!" Axel menjawab singkat dan dingin.

Lalu dengan upaya keras Axel berhasil berpindah dari kursi ke atas ranjangnya hingga membetulkan posisinya dengan mengangkat kakinya satu persatu.

Roberto yang melihat itu hanya bisa menahan diri untuk diam dan membiarkan Axel melakukan apapun sesuai kemauannya.

"Bagaimana? Apa yang dikatakan dokter?" tanya Axel.

Robert akhirnya mendekat dan menuturkan apa yang dikatakan dokter barusan. Dia menjelaskan bahwa dirinya masih harus menginap semalaman karena dokter yang mengoperasi kakinya ingin memeriksakan sekali lagi keadaan pergelangan kaki Axel. Pria angkuh itu hanya menurut mengingat dirinya sangat ingin segera pulih dan kembali seperti sebelumnya.

Lalu mereka melanjutkan hari seperti biasanya. Melakukan pengumuman kembalinya Axel. Menghubungkannya pada layar di ruang meeting pada kantornya dan mengatakan dirinya akan segera kembali setelah melakukan pemulihan. Hingga kegiatannya itu berakhir.

Axel yang begitu pekerja keras, tak ingin kelumpuhannya itu menjadi hambatan untuknya memimpin. Terlebih sang ayah sudah tak ada lagi. Dirinya berusaha tegar dan tetap tegas memimpin perusahaan agar tak ada saingan bisnis yang mengambil keuntungan dari tragedi nahasnya itu.

Sampai malam tiba, Roberto telah pulang setelah Axel memaksanya untuk ditinggalkan. Dirinya bukan anak kecil yang harus dijaga selama dua puluh empat jam oleh sekretarisnya itu. Axel malah merasa ingin sendiri, mengenang kedua orang tuanya dalam sunyinya malam hingga ia terlelap dalam baringnya.

Malam yang sunyi ditambah ruangan VVIP Axel berada di tempat paling jauh agar tak ada orang yang berlalu lalang melewati tempat itu dan menganggu waktu istirahatnya, akan tetapi hal tersebut malah membawanya dalam bahaya.

Derap langkah seorang wanita berpakaian perawat secara perlahan terdengar mendekat. Membawa sebuah tas kecil di sebelah bahunya lalu memasuki kamar Axel. Wanita itu memakai masker medis, menatap tajam Axel yang terlelap setelah meminum obatnya. Dengan perlahan wanita itu mengeluarkan sebuah benda dari tasnya dan hendak melakukan sesuatu terhadap Axel.

Namun, seketika tangannya ditarik dan mulutnya dibekap serta tubuh wanita itu diangkat lalu dibawa paksa untuk keluar. Si penyerangnya hendak membuka masker perawat itu untuk melihat wajahnya. Sialnya, wanita itu malah memukul perut si penyerang dan bergegas melarikan diri.

Luna -si penyerang- menyusul dan hendak menangkapnya harus menahan sakit hingga memberikan waktu bagi wanita itu untuk melarikan diri masuk lift dan menutup pintu liftnya meninggalkan Luna.

Luna terpaksa menggunakan tangga darurat setelah melihat angka yang turun ditujukan pada lift tersebut. Lantas ia berlari memasuki tangga darurat, hingga ponselnya mendapat panggilan masuk. Luna merogoh saku jaketnya, sambil memelankan langkahnya, ia menjawab panggilan itu.

"Ya, Dam. Kau menelpon disaat yang tak tepat!" sergahnya langsung. Napasnya masih terengah-engah, hingga Damian yang berada di ujung sambungan, masih bisa mendengarnya jelas.

"Ada apa?!" Tersirat nada khawatir dari pertanyaan Damian.

"Ceritanya panjang, aku sedang .... Damn!" umpatnya saat melihat dari dinding kaca yang menunjukkan kepergian wanita yang dikejarnya itu.

"Hei! Ada apa? Kenapa kau malah mengumpatiku!" tukas Damian kesal.

"Bukan kau, Dami," ujar Luna. Sambil mengatur napasnya agar kembali teratur, ia duduk di salah satu anak tangga dan bersandar pada dinding kaca menatap kepergian mobil hitam yang menjauh dari parkiran rumah sakit. 

"Lalu apa?!" Damian mencecar tak sabaran.

"Aku baru saja ke ruangan bos temanmu. Setelah kemarin aku mengirimi bunga dan kartu ucapan untuk memeringatkan dia akan kecelakaan yang disengaja, tetapi mereka membuangnya bersama kartu peringatanku."

"Ya, aku juga tadi sempat bertemu dengan Roberto, dia menceritakan sedikit kecelakaan yang terjadi. Dia dan bosnya tak merasa curiga akan adanya unsur kesengajaan."

Luna memijat pelipisnya sejenak. "Kalau begitu aku akan terus mengirimkan pesan padanya."

"Ya, Luna. Sementara aku akan mengarahkan Roberto untuk mencari bukti kesengajaan dari kecelakaan yang menimpa bosnya juga kakakmu."

Luna mengangguk walau tahu Damian tak akan mengetahuinya. "Semoga kiriman bungaku barusan, tak berakhir di tempat sampah seperti sebelumnya."

"I hope too. Lalu apa yang terjadi barusan? Kenapa kau mengumpat?" tanya Damian karena Luna lupa menjawab pertanyaan itu.

Lantas Luna menepuk jidatnya dan mulai menceritakan awal kejadian tadi.

Pagi hari saat dia sedang membawa Grace ke halaman untuk memberikan penghiburan bagi keponakannya itu, dia melihat banyaknya bingkisan bunga yang tengah dibawa oleh perawat. Ia melihat bunga yang dia berikan juga ikut terbawa. Hal tersebut membuat Luna berpikir semua usahanya akan sia-sia jika menggunakan cara itu karena bunga dan peringatannya tak akan pernah dibaca.

Lalu dia memutuskan untuk membeli bunga lagi, tetapi kali ini dia bertindak memberikannya sendiri, meletakkannya tepat di samping nakas ruangan Axel saat pria itu tidur lelap ditengah malam. Berharap saat terbangun, pria itu bisa langsung melihatnya.

Namun, saat dirinya baru saja meletakkan buket bunganya itu. Tiba-tiba terdengar suara pintu yang hendak dibuka mengejutkannya. Lantas Luna bergegas bersembunyi di balik tirai jendela, mengintip dari sana sambil memerhatikan gerak gerik mencurigakan dari perawat yang hendak melakukan sesuatu.

Pupil mata Luna membulat saat sebuah benda tajam dikeluarkan dari tas kecil yang dibawa perawat dan hendak menikam Axel, sontak dengan sigap Luna keluar dari persembunyiannya dan menahan tangan perawat yang memegang pisau tersebut, sampai seterusnya terjadi pemberontakan yang membuat Luna kehilangan jejak perawat tersebut.

"Jadi begitulah kronologinya. Sepertinya memang ada yang ingin melenyapkannya, Dam. Bagaimana menurutmu?"

"Ini bahaya, aku akan cari tahu riwayat keluarga Dante. Sepertinya ini bukanlah dendam biasa jika nyawa yang diinginkan orang itu."

"Aku juga berpikir demikian. Baiklah, aku tunggu kabarmu sambil aku akan terus berusaha memeringatinya. Kurasa dia sungguh membutuhkan seorang pengawal." Luna berdiri dan hendak melangkah keluar dari tangga darurat itu.

"Aku akan usulkan pada Roberto nanti. Ngomong-ngomong, kenapa kau begitu mengkhawatirkannya?" Pertanyaan Damian membuat Luna yang sejak tadi menaiki anak tangga untuk kembali ke lantai atas, agar ia bisa keluar dari tempat itu, secara tiba-tiba berhenti tepat di balik pintu.

Luna bergeming, bibir merah alaminya terbuka ragu. "Aku hanya ...." Luna menjeda sejenak ucapannya sambil mengalihkan pandangannya ke sembarang arah, menandakan dirinya tak tahu kenapa ia begitu peduli pada pria yang ditolongnya itu.

"Kau tak perlu menjawabnya jika tak tahu kenapa. Aku hanya ingin kau menjaga dirimu lebih dulu. Kau adalah tanggung jawabku pada kakek, semenjak kau memohon untuk menjadi pengawal."

Luna hanya mengangguk, kembali melupakan bahwa Damian tak akan melihat itu.

"Luna kau mendengarku?"

"Ah, ya tentu aku mendengarmu, Dam. Tenang saja, aku bisa menjaga diri."

"Baiklah, istirahatlah." Damian menutup panggilannya.

Luna memasukan ponselnya kembali ke saku jaketnya. Dia berjalan ke luar dan berniat menggunakan lift agar tiba di ruangan Grace lebih cepat. 

Namun, niatnya itu malah membuatnya mengetahui bahwa baku hantam yang terjadi barusan diketahui Axel. Pria itu ternyata tersadar tanpa diketahui Luna yang sibuk bergelut dengan wanita perawat tadi.

Hingga keberadaannya kini menjadi sorotan tajam oleh Axel.

Wanita itu .... Axel membatin.

Luna menatap Axel yang juga memberikan tatapan menyelidik padanya.

Pria itu .... Luna membatin.

**

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Nova lia
mending kirim ke kita ya mak bunganya wkwkwk
goodnovel comment avatar
Nova lia
keangkuhannya Axel permanen dr orok mak wkwkwk
goodnovel comment avatar
Atiek
Roberto Ngapain bantuin bos, dy kan gengsi mo minta tolong juga
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status