Share

Part 02 - Plan

Part 02 - Plan

Dante's Hospital • 10.00 AM

Pintu ruangan VVIP mendadak dibuka, menunjukkan seseorang yang baru saja terbangun setelah beberapa hari pasca operasi, pasien tersebut tak juga tersadar. Alat penunjang kehidupan tampak berserakan di lantai, membuat beberapa petugas kewalahan merapikan dan hendak kembali memasangkan kepada pemiliknya.

Namun, dengan keras pria itu menolaknya kasar dan kembali mengancam akan memecat semua petugas yang berani memasangkan infus ke punggung tangannya. Kehadiran pria yang sejak tadi tergesa menuju ruangan itu, membantu para perawat merapikan sisa infus dan membiarkannya di sana atas perintahnya.

"Terima kasih, biar aku yang mengurusnya," ujar pria ramah tersebut, berbanding jauh dengan si pasien.

Axeleon El Dante menatap tajam sekretaris sang ayah -Roberto Saverio- yang baru saja kembali setelah beberapa menit lalu meninggalkan ruang VVIP tersebut.

Helaan napas terdengar dari Roberto yang mendekati tuan mudanya. Masih dengan tatapan tajam nan menusuk, Axeleon enggan meredupkan tatapannya sebelum semua dijelaskan secara detail oleh Roberto.

"Tenangkan dirimu lebih dulu, Axel. Aku tak akan mengatakan apapun, jika kau bersikap seperti pasien rumah sakit jiwa!" sarkas Roberto dengan berani.

Bahkan dengan santai Roberto mengambil infus dan bersiap memasangkan kembali pada pria yang akrab disapa Axel itu. Namun, cekalan kembali dilakukan Axel. Dirinya yang masih terbaring dengan ranjang yang dinaikkan bagian kepalanya itu, memudahkannya menarik kerah kemeja Roberto yang merasa tak gentar sedikitpun menghadapi tuan mudanya.

"Katakan semua yang terjadi setelah kecelakaan itu! Ceritakan dengan detail! Dan …." Jeda sejenak, sorot matanya bergerak gelisah, Axeleon kembali melanjutkan ucapannya. "Mulailah dengan kabar kedua orang tuaku!" pinta Axel mendesis lalu melepaskan kerah kemeja Roberto dengan kasar.

Roberto merapikan pakaiannya dan menatap Axel sendu.

"Ada apa dengan tatapanmu?!" hardik Axel. "Aku memintamu untuk bicara, Robert! Bukan memberikanku tatapan iba seolah aku membutuhkan belas kasihan!" sarkasnya menimpali.

Sifat dasarnya tetaplah melekat pada diri seseorang, sekalipun dirinya baru saja terbangun dari tragedi kecelakaan. Axeleon tak pernah bersikap baik pada seluruh  bawahannya. Dia terkenal angkuh dan dingin pada semua orang, baik yang ia kenal maupun yang tidak dikenalnya.

Hebatnya, Roberto juga adalah sekretaris terlama yang kuat mengalami hal-hal serupa. Dibayarkan dengan harga tinggi membuatnya bertahan. Lagipula selama ini, dirinya bekerja untuk ayah Axel yang terkenal lebih ramah.

"Aku menatapmu begini bukan karena mengasihanimu, tetapi perkataanmu yang mengingatkanku akan tuan besarku yang kini telah tenang di surga," tutur Roberto menjawab pertanyaan Axel. Ia menatap lurus tuan mudanya, masih dengan tatapan sendu yang dalam.

Roberto terdiam sejenak, sambil memerhatikan raut wajah Axel yang terkejut dengan pupil membesar dan kening yang berkerut dalam, serta kedua netra itu kembali bergerak ke kiri dan kanan hingga kepalanya tertunduk menggeleng tak percaya.

Sedetik kemudian tuan mudanya itu mengerang sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit. Kilasan akan kecelakaan beberapa hari yang lalu melintas begitu saja dan mengingatkan Axel akan kecelakaan beruntun hingga membuatnya sadar telah kehilangan kedua orang tuanya dalam sekejap.

Erangan kuat semakin jelas terdengar ketika Axel mengingat semua itu. "Tidak! Tidak mungkin!" Napas Axel terengah setelah mengingat lebih jelas kejadian nahas itu.

"Tuan muda, tenangkan dirimu," ujar Roberto berusaha menenangkan, hendak meraih tangan Axel yang meremas kuat rambutnya.

Tepisan dan hempasan didapatkan Roberto berulang kali, tetapi hal tersebut tak membuatnya menyerah agar tuan mudanya tersadar.

"Axeleon El Dante! Bisakah kau bersikap tenang layaknya putra tunggal seorang Dante?!" Suara Roberto meninggi. Bersamaan dengan kedua tangan Axel yang telah diraih dan dibentangkan kuat olehnya.

Axel menatap tajam Roberto lalu terkekeh dan mendecakkan lidahnya remeh. "Kau tak berhak menyuruhku untuk tenang! Apalagi di saat aku baru terbangun dan mengetahui kedua orang tuaku tiada!" desis Axel. Mengempas kasar kedua tangannya lalu mengusapkannya ke wajah dan rambutnya.

"Axel, kuharap kau bisa kendalikan dirimu. Kau harus memulihkan keadaanmu untuk …."

“Robert, apa yang terjadi pada kakiku?" tanyanya menyela ucapan Robert yang menggantung.

Axel baru menyadari saat ia berniat untuk turun dari ranjangnya dan mendapati tak ada pergerakan yang dirasakan pada kedua kakinya. Axel mengerutkan keningnya dan terlihat panik membuka selimut dan meraba kedua kaki yang terbalut perban dari betis sampai pergelangan kakinya.

Roberto yang melihat kegelisahan tuan mudanya hanya bisa menatap nanar kaki Axel yang telah lumpuh. “Sudah kubilang tenangkan dirimu, Axel. Kau harus berusaha memulihkan keadaan kedua kakimu. Tulang kakimu mengalami keretakan di beberapa titik hingga kau harus—”

"Keluar!" sela Axel dengan suara rendah tertahan, sarat akan perintah yang ditekankan begitu dalam.

"Tapi, Axel—"

"I said, go out ...!" teriak Axel menatap nyalang Roberto dengan wajah memerah padam.

Lantas Roberto tak lagi menyahut. Dirinya mengerti keterkejutan yang dialami Axel setelah terbangun dari koma. Pria itu harus ikhlas kehilangan kedua orang tuanya, ditambah dengan keadaan kakinya yang cacat.

Roberto menatap dari celah pintu kamar Axel, melihat kekesalan yang dilampiaskan Axel dengan memukul-mukul kakinya sambil mengerang kesal. Hatinya mencelos melihat kehancuran tuan mudanya yang sudah dianggap seperti adiknya itu. Dia hanya berharap, Axel mampu kembali dengan cepat. Itu karena keadaan semakin mendesak dan perusahaan peninggalan mendiang kedua orang tuanya membutuhkan sosok pemimpin seperti Axel yang selama ini juga sudah memiliki posisi kepemimpinan yang tegas dan sangat disegani.

Sementara itu di gedung yang sama, tetapi berada pada tingkatan lain. Luna bersama keponakannya baru saja selesai menjalani pemeriksaan pada psikis Grace yang masih terguncang akibat kecelakaan beberapa hari lalu.

Setelah perawatan pada luka fisiknya, anak tersebut enggan bersuara. Bahkan ia hanya mau bersama Luna tanpa mengatakan apapun. Rasa trauma mengingat penyebab kematian orang tuanya itu, membuat Grace jadi membisu. Hal tersebutlah yang mengharuskan Luna untuk memeriksakannya ke dokter psikolog.

“Terima kasih, Dok.” Luna mengakhiri percakapannya dengan seorang dokter yang membantunya menerangkan kondisi Grace.

Beruntung keadaan tubuh Grace tak begitu banyak mengalami luka, hanya memar di tubuh, kaki dan tangannya yang mulai membaik setelah beberapa hari dirawat. Walau duka masih menyelimuti hati bocah berusia delapan tahun itu. Kabari baiknya, Grace mulai bisa menerima keadaan dan memahami bahwa kedua orang tuanya telah tiada setelah kecelakaan tersebut.

Luna mendorong kursi roda yang dinaiki Grace, berjalan menuju ke ruang rawatnya kembali dan membiarkan Grace beristirahat. Lalu Luna keluar dari ruangan tersebut hendak menghampiri seorang pria bernama Damian el Salvadore —pria yang menjadi bos juga sudah dianggap seperti kakak laki-lakinya itu. Baru bisa datang karena pekerjaannya di Rusia tak bisa ditinggal begitu saja.

“Dami,” sapa Luna.

Damian menoleh dan berdiri dari duduknya di ruang tunggu. Ia menghampiri Luna lalu memeluk wanita yang juga sudah dianggap seperti adiknya sendiri.

“Bagaimana Grace?” tanya Damian setelah mengurai pelukannya.

“Masih sama, dia terlihat masih terguncang memikirkan Alona dan Daniel.”

Damian yang prihatin hanya bisa mengusap punggung Luna agar bisa menyikapi masalah dengan tenang. “Bersabarlah, tak ada yang ingin mengalami musibah kecelakaan,” tutur Damian.

Ucapan Damian menyadarkan Luna akan apa yang telah ia lalui beberapa hari lalu. “Dam, masalahnya ini bukan kecelakaan yang tak disengaja,” bisik Luna. Lalu membawa Damian agar mencari tempat yang lebih aman untuk mereka membicarakan hal tersebut.

Luna mengajak Damian ke atap rumah sakit, dan mengatakan apa yang didengarnya saat Valerio menerima panggilan telepon. Hal tersebut membuat Damian memahami bahwa memang adanya unsur kesengajaan yang terjadi akibat kecelakaan yang menimpa Alona dan Daniel.

“Kumohon, Dam. Bantu aku menyelidiki siapa yang menyuruh Valerio,” pinta Luna di akhir ceritanya.

“Bukan aku tak ingin, Luna. Kau tahu aku dan Valerio tak akur, dia bahkan kupecat karena mengambil job di luar dari pekerjaannya waktu itu.” Damian memunggungi Luna dan menatap langit mendung, membuang jauh tatapannya.

Luna kembali menghadapkan dirinya pada Damian. “Ya, dan dia masih melakukannya. Lantas kini hal itu berimbas pada Alona, jelas aku tak bisa diam. Sejak pemakaman Alona, aku sudah memaksanya untuk bicara.”

Damian melirik Luna yang terus memohon di hadapannya. “Lalu apa dia menjawabmu?” tanya Damian. Sambil bersandar pada pembatas dinding.

“Jika dia menjawabku, apa aku masih harus memohon padamu?” tanya balik Luna.

Wanita itu kembali mengikuti Damian dan bersandar pada dinding yang sama berdampingan dengan pria bertubuh tegap itu. “Ayolah, Dam. Aku memohon sebagai adikmu, Alona juga adikmu. Apa kau hanya akan diam, setelah kematiannya yang mendadak?” Luna tak berhenti membujuk Damian. Walau ia tahu pria itu sedang tak ingin berurusan dengan para pembunuh bayaran, mengingat hal itu sempat mengancam nyawa wanita yang dicintainya.

Damian menghela napas dan membetulkan posisi dirinya tepat menghadap Luna, sambil memegang kedua bahu itu. “Luna, kau tahu bagaimana terakhir kali aku berurusan dengan para pembunuh bayaran. Kau juga tahu, aku sudah berjanji pada—”

“Ya aku tahu,” sela Luna. “Baiklah, kalau begitu biar aku yang mencari tahu sendiri.” Luna melepaskan kedua tangan Damian dan beranjak dari hadapannya.

Damian menatap punggung mungil yang terlihat tangguh itu, ia menghela napas dan tahu bahwa dirinya akan kalah jika wanita itu hendak bertindak nekad untuk melakukan hal yang membahayakan dirinya sendiri.

Fine! Kau menang, Luna. Aku akan membantumu dengan cara lain," ujar Damian.

Kedua kaki berbalut boots hitam itu berhenti, lalu berbalik. “Apa rencanamu?” tanya Luna.

Damian berjalan mendekat dan berhenti tepat di hadapan Luna. “Jika Valerio tak ingin mengatakan siapa yang menyuruhnya. Kita akan cari tahu siapa yang dicelakai oleh orang yang membayar Valerio,” tuturnya.

Damian tersenyum penuh maksud saat memiliki solusi dari tiap masalah yang ada.

Hal tersebut membuat Luna melanjutkan pemikiran Damian. “Jadi maksudmu, kita akan mencari salah satu orang yang mengalami kecelakaan yang sama dengan Alona, dan memastikan bahwa orang itu adalah target yang dimaksud Valerio?” Luna menyambungkannya dengan tepat.

Damian tersenyum dan kembali berbalik ke tempatnya bersandar tadi. “Kekagumanku akan prediksimu tak pernah berkurang, Luna. Lalu menurutmu, apa kelanjutan dari rencanaku itu?”

Luna mengerutkan keningnya dan melangkah kembali mendekati Damian. “Saat kita menemukan target mereka, kita bisa mencari tahu siapa yang memiliki alasan kuat untuk melenyapkan orang tersebut, dengan begitu kita menemukan pesuruh Valerio.” Luna menuturkan rencananya.

Well, jika kau sudah mengingat berapa banyak korban kecelakaan itu, cari tahu mana yang paling—”

“Sepertinya aku tahu, Dam.” Luna menyela. Netra hijau emerald itu menatap yakin Damian.

Pria itu menaikkan sebelah alisnya menunggu Luna melanjutkan ucapannya. 

“Ya, aku mengingatnya dengan jelas. Karena malam itu, hanya ada dua mobil pribadi. Satu milik Alona dan satu lagi ..., limosin hitam yang ditumpangi empat orang. Tiga orang meninggal dan satu lagi sekarat, aku menyelamatkan orang itu.”

“Kalau begitu kau tahu apa yang harus kau lakukan. Jika sudah mengetahui siapa orangnya, aku baru bisa membantumu,” ujar Damian.

Luna mengangguk, “Aku akan segera mengabarimu.”

Kini Damian juga mengangguk dan mengajak Luna untuk kembali ke dalam. Mereka menuruni tangga darurat lalu keluar dari pintu di samping lift, bertepatan dengan itu seseorang yang duduk di kursi roda melintas bersama seseorang yang mendorong di belakangnya.

Seketika itu juga Luna mengerutkan keningnya saat melihat pria dengan kepala yang dibalut perban putih menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Cukup lama Luna memerhatikan pria yang berada di kursi roda itu, hingga ia tak menyadari bahwa Damian menyapa seseorang di balik kursi roda tersebut.

“Roberto?”

“Damian?”

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status