Home / Lainnya / My Sexy Bodyguard / Part 02 - Plan

Share

Part 02 - Plan

Author: Mrs.Juno
last update Last Updated: 2021-07-08 16:15:46

Part 02 - Plan

Dante's Hospital • 10.00 AM

Pintu ruangan VVIP mendadak dibuka, menunjukkan seseorang yang baru saja terbangun setelah beberapa hari pasca operasi, pasien tersebut tak juga tersadar. Alat penunjang kehidupan tampak berserakan di lantai, membuat beberapa petugas kewalahan merapikan dan hendak kembali memasangkan kepada pemiliknya.

Namun, dengan keras pria itu menolaknya kasar dan kembali mengancam akan memecat semua petugas yang berani memasangkan infus ke punggung tangannya. Kehadiran pria yang sejak tadi tergesa menuju ruangan itu, membantu para perawat merapikan sisa infus dan membiarkannya di sana atas perintahnya.

"Terima kasih, biar aku yang mengurusnya," ujar pria ramah tersebut, berbanding jauh dengan si pasien.

Axeleon El Dante menatap tajam sekretaris sang ayah -Roberto Saverio- yang baru saja kembali setelah beberapa menit lalu meninggalkan ruang VVIP tersebut.

Helaan napas terdengar dari Roberto yang mendekati tuan mudanya. Masih dengan tatapan tajam nan menusuk, Axeleon enggan meredupkan tatapannya sebelum semua dijelaskan secara detail oleh Roberto.

"Tenangkan dirimu lebih dulu, Axel. Aku tak akan mengatakan apapun, jika kau bersikap seperti pasien rumah sakit jiwa!" sarkas Roberto dengan berani.

Bahkan dengan santai Roberto mengambil infus dan bersiap memasangkan kembali pada pria yang akrab disapa Axel itu. Namun, cekalan kembali dilakukan Axel. Dirinya yang masih terbaring dengan ranjang yang dinaikkan bagian kepalanya itu, memudahkannya menarik kerah kemeja Roberto yang merasa tak gentar sedikitpun menghadapi tuan mudanya.

"Katakan semua yang terjadi setelah kecelakaan itu! Ceritakan dengan detail! Dan …." Jeda sejenak, sorot matanya bergerak gelisah, Axeleon kembali melanjutkan ucapannya. "Mulailah dengan kabar kedua orang tuaku!" pinta Axel mendesis lalu melepaskan kerah kemeja Roberto dengan kasar.

Roberto merapikan pakaiannya dan menatap Axel sendu.

"Ada apa dengan tatapanmu?!" hardik Axel. "Aku memintamu untuk bicara, Robert! Bukan memberikanku tatapan iba seolah aku membutuhkan belas kasihan!" sarkasnya menimpali.

Sifat dasarnya tetaplah melekat pada diri seseorang, sekalipun dirinya baru saja terbangun dari tragedi kecelakaan. Axeleon tak pernah bersikap baik pada seluruh  bawahannya. Dia terkenal angkuh dan dingin pada semua orang, baik yang ia kenal maupun yang tidak dikenalnya.

Hebatnya, Roberto juga adalah sekretaris terlama yang kuat mengalami hal-hal serupa. Dibayarkan dengan harga tinggi membuatnya bertahan. Lagipula selama ini, dirinya bekerja untuk ayah Axel yang terkenal lebih ramah.

"Aku menatapmu begini bukan karena mengasihanimu, tetapi perkataanmu yang mengingatkanku akan tuan besarku yang kini telah tenang di surga," tutur Roberto menjawab pertanyaan Axel. Ia menatap lurus tuan mudanya, masih dengan tatapan sendu yang dalam.

Roberto terdiam sejenak, sambil memerhatikan raut wajah Axel yang terkejut dengan pupil membesar dan kening yang berkerut dalam, serta kedua netra itu kembali bergerak ke kiri dan kanan hingga kepalanya tertunduk menggeleng tak percaya.

Sedetik kemudian tuan mudanya itu mengerang sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit. Kilasan akan kecelakaan beberapa hari yang lalu melintas begitu saja dan mengingatkan Axel akan kecelakaan beruntun hingga membuatnya sadar telah kehilangan kedua orang tuanya dalam sekejap.

Erangan kuat semakin jelas terdengar ketika Axel mengingat semua itu. "Tidak! Tidak mungkin!" Napas Axel terengah setelah mengingat lebih jelas kejadian nahas itu.

"Tuan muda, tenangkan dirimu," ujar Roberto berusaha menenangkan, hendak meraih tangan Axel yang meremas kuat rambutnya.

Tepisan dan hempasan didapatkan Roberto berulang kali, tetapi hal tersebut tak membuatnya menyerah agar tuan mudanya tersadar.

"Axeleon El Dante! Bisakah kau bersikap tenang layaknya putra tunggal seorang Dante?!" Suara Roberto meninggi. Bersamaan dengan kedua tangan Axel yang telah diraih dan dibentangkan kuat olehnya.

Axel menatap tajam Roberto lalu terkekeh dan mendecakkan lidahnya remeh. "Kau tak berhak menyuruhku untuk tenang! Apalagi di saat aku baru terbangun dan mengetahui kedua orang tuaku tiada!" desis Axel. Mengempas kasar kedua tangannya lalu mengusapkannya ke wajah dan rambutnya.

"Axel, kuharap kau bisa kendalikan dirimu. Kau harus memulihkan keadaanmu untuk …."

“Robert, apa yang terjadi pada kakiku?" tanyanya menyela ucapan Robert yang menggantung.

Axel baru menyadari saat ia berniat untuk turun dari ranjangnya dan mendapati tak ada pergerakan yang dirasakan pada kedua kakinya. Axel mengerutkan keningnya dan terlihat panik membuka selimut dan meraba kedua kaki yang terbalut perban dari betis sampai pergelangan kakinya.

Roberto yang melihat kegelisahan tuan mudanya hanya bisa menatap nanar kaki Axel yang telah lumpuh. “Sudah kubilang tenangkan dirimu, Axel. Kau harus berusaha memulihkan keadaan kedua kakimu. Tulang kakimu mengalami keretakan di beberapa titik hingga kau harus—”

"Keluar!" sela Axel dengan suara rendah tertahan, sarat akan perintah yang ditekankan begitu dalam.

"Tapi, Axel—"

"I said, go out ...!" teriak Axel menatap nyalang Roberto dengan wajah memerah padam.

Lantas Roberto tak lagi menyahut. Dirinya mengerti keterkejutan yang dialami Axel setelah terbangun dari koma. Pria itu harus ikhlas kehilangan kedua orang tuanya, ditambah dengan keadaan kakinya yang cacat.

Roberto menatap dari celah pintu kamar Axel, melihat kekesalan yang dilampiaskan Axel dengan memukul-mukul kakinya sambil mengerang kesal. Hatinya mencelos melihat kehancuran tuan mudanya yang sudah dianggap seperti adiknya itu. Dia hanya berharap, Axel mampu kembali dengan cepat. Itu karena keadaan semakin mendesak dan perusahaan peninggalan mendiang kedua orang tuanya membutuhkan sosok pemimpin seperti Axel yang selama ini juga sudah memiliki posisi kepemimpinan yang tegas dan sangat disegani.

Sementara itu di gedung yang sama, tetapi berada pada tingkatan lain. Luna bersama keponakannya baru saja selesai menjalani pemeriksaan pada psikis Grace yang masih terguncang akibat kecelakaan beberapa hari lalu.

Setelah perawatan pada luka fisiknya, anak tersebut enggan bersuara. Bahkan ia hanya mau bersama Luna tanpa mengatakan apapun. Rasa trauma mengingat penyebab kematian orang tuanya itu, membuat Grace jadi membisu. Hal tersebutlah yang mengharuskan Luna untuk memeriksakannya ke dokter psikolog.

“Terima kasih, Dok.” Luna mengakhiri percakapannya dengan seorang dokter yang membantunya menerangkan kondisi Grace.

Beruntung keadaan tubuh Grace tak begitu banyak mengalami luka, hanya memar di tubuh, kaki dan tangannya yang mulai membaik setelah beberapa hari dirawat. Walau duka masih menyelimuti hati bocah berusia delapan tahun itu. Kabari baiknya, Grace mulai bisa menerima keadaan dan memahami bahwa kedua orang tuanya telah tiada setelah kecelakaan tersebut.

Luna mendorong kursi roda yang dinaiki Grace, berjalan menuju ke ruang rawatnya kembali dan membiarkan Grace beristirahat. Lalu Luna keluar dari ruangan tersebut hendak menghampiri seorang pria bernama Damian el Salvadore —pria yang menjadi bos juga sudah dianggap seperti kakak laki-lakinya itu. Baru bisa datang karena pekerjaannya di Rusia tak bisa ditinggal begitu saja.

“Dami,” sapa Luna.

Damian menoleh dan berdiri dari duduknya di ruang tunggu. Ia menghampiri Luna lalu memeluk wanita yang juga sudah dianggap seperti adiknya sendiri.

“Bagaimana Grace?” tanya Damian setelah mengurai pelukannya.

“Masih sama, dia terlihat masih terguncang memikirkan Alona dan Daniel.”

Damian yang prihatin hanya bisa mengusap punggung Luna agar bisa menyikapi masalah dengan tenang. “Bersabarlah, tak ada yang ingin mengalami musibah kecelakaan,” tutur Damian.

Ucapan Damian menyadarkan Luna akan apa yang telah ia lalui beberapa hari lalu. “Dam, masalahnya ini bukan kecelakaan yang tak disengaja,” bisik Luna. Lalu membawa Damian agar mencari tempat yang lebih aman untuk mereka membicarakan hal tersebut.

Luna mengajak Damian ke atap rumah sakit, dan mengatakan apa yang didengarnya saat Valerio menerima panggilan telepon. Hal tersebut membuat Damian memahami bahwa memang adanya unsur kesengajaan yang terjadi akibat kecelakaan yang menimpa Alona dan Daniel.

“Kumohon, Dam. Bantu aku menyelidiki siapa yang menyuruh Valerio,” pinta Luna di akhir ceritanya.

“Bukan aku tak ingin, Luna. Kau tahu aku dan Valerio tak akur, dia bahkan kupecat karena mengambil job di luar dari pekerjaannya waktu itu.” Damian memunggungi Luna dan menatap langit mendung, membuang jauh tatapannya.

Luna kembali menghadapkan dirinya pada Damian. “Ya, dan dia masih melakukannya. Lantas kini hal itu berimbas pada Alona, jelas aku tak bisa diam. Sejak pemakaman Alona, aku sudah memaksanya untuk bicara.”

Damian melirik Luna yang terus memohon di hadapannya. “Lalu apa dia menjawabmu?” tanya Damian. Sambil bersandar pada pembatas dinding.

“Jika dia menjawabku, apa aku masih harus memohon padamu?” tanya balik Luna.

Wanita itu kembali mengikuti Damian dan bersandar pada dinding yang sama berdampingan dengan pria bertubuh tegap itu. “Ayolah, Dam. Aku memohon sebagai adikmu, Alona juga adikmu. Apa kau hanya akan diam, setelah kematiannya yang mendadak?” Luna tak berhenti membujuk Damian. Walau ia tahu pria itu sedang tak ingin berurusan dengan para pembunuh bayaran, mengingat hal itu sempat mengancam nyawa wanita yang dicintainya.

Damian menghela napas dan membetulkan posisi dirinya tepat menghadap Luna, sambil memegang kedua bahu itu. “Luna, kau tahu bagaimana terakhir kali aku berurusan dengan para pembunuh bayaran. Kau juga tahu, aku sudah berjanji pada—”

“Ya aku tahu,” sela Luna. “Baiklah, kalau begitu biar aku yang mencari tahu sendiri.” Luna melepaskan kedua tangan Damian dan beranjak dari hadapannya.

Damian menatap punggung mungil yang terlihat tangguh itu, ia menghela napas dan tahu bahwa dirinya akan kalah jika wanita itu hendak bertindak nekad untuk melakukan hal yang membahayakan dirinya sendiri.

Fine! Kau menang, Luna. Aku akan membantumu dengan cara lain," ujar Damian.

Kedua kaki berbalut boots hitam itu berhenti, lalu berbalik. “Apa rencanamu?” tanya Luna.

Damian berjalan mendekat dan berhenti tepat di hadapan Luna. “Jika Valerio tak ingin mengatakan siapa yang menyuruhnya. Kita akan cari tahu siapa yang dicelakai oleh orang yang membayar Valerio,” tuturnya.

Damian tersenyum penuh maksud saat memiliki solusi dari tiap masalah yang ada.

Hal tersebut membuat Luna melanjutkan pemikiran Damian. “Jadi maksudmu, kita akan mencari salah satu orang yang mengalami kecelakaan yang sama dengan Alona, dan memastikan bahwa orang itu adalah target yang dimaksud Valerio?” Luna menyambungkannya dengan tepat.

Damian tersenyum dan kembali berbalik ke tempatnya bersandar tadi. “Kekagumanku akan prediksimu tak pernah berkurang, Luna. Lalu menurutmu, apa kelanjutan dari rencanaku itu?”

Luna mengerutkan keningnya dan melangkah kembali mendekati Damian. “Saat kita menemukan target mereka, kita bisa mencari tahu siapa yang memiliki alasan kuat untuk melenyapkan orang tersebut, dengan begitu kita menemukan pesuruh Valerio.” Luna menuturkan rencananya.

Well, jika kau sudah mengingat berapa banyak korban kecelakaan itu, cari tahu mana yang paling—”

“Sepertinya aku tahu, Dam.” Luna menyela. Netra hijau emerald itu menatap yakin Damian.

Pria itu menaikkan sebelah alisnya menunggu Luna melanjutkan ucapannya. 

“Ya, aku mengingatnya dengan jelas. Karena malam itu, hanya ada dua mobil pribadi. Satu milik Alona dan satu lagi ..., limosin hitam yang ditumpangi empat orang. Tiga orang meninggal dan satu lagi sekarat, aku menyelamatkan orang itu.”

“Kalau begitu kau tahu apa yang harus kau lakukan. Jika sudah mengetahui siapa orangnya, aku baru bisa membantumu,” ujar Damian.

Luna mengangguk, “Aku akan segera mengabarimu.”

Kini Damian juga mengangguk dan mengajak Luna untuk kembali ke dalam. Mereka menuruni tangga darurat lalu keluar dari pintu di samping lift, bertepatan dengan itu seseorang yang duduk di kursi roda melintas bersama seseorang yang mendorong di belakangnya.

Seketika itu juga Luna mengerutkan keningnya saat melihat pria dengan kepala yang dibalut perban putih menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Cukup lama Luna memerhatikan pria yang berada di kursi roda itu, hingga ia tak menyadari bahwa Damian menyapa seseorang di balik kursi roda tersebut.

“Roberto?”

“Damian?”

**

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • My Sexy Bodyguard   Extra Part 02

    Extra Part 2 Keesokan harinya. Axel mendapat kabar bahwa keadaan perusahaan Dante yang terlalu lama ditinggalkan Axel, kini sedang membutuhkannya kembali memimpin. Hal tersebut memaksanya untuk segera pulang hari itu juga. Terlebih ada hal penting lainnya yang hendak ia persiapkan. Oleh sebab itu, pagi-pagi sekali Axel berkemas setelah beberapa hari ia menginap di kediaman Salvatore dan mendapatkan jamuan terbaik dari Nathaniel yang begitu ramah juga terbuka dengannya, berbeda dengan Damian yang selalu mencecarnya menggunakan berbagai pertanyaan untuk menyudutkannya seolah mengibarkan bendera perang pada Axel yang gencar untuk menguasai Luna. Namun, bukan karena Axel mau berlama-lama di sana. Semua itu karena ia berjuang keras meyakinkan Luna untuk kembali ke mansionnya. Akan tetapi, wanita itu sungguh keras kepala dan menahannya lebih lama di kebun anggur. Axel bahkan sempat turun tangan ikut berkebun karena dikerjai Damian y

  • My Sexy Bodyguard   Extra Part 01

    Extra part 1 Malam pun tiba setelah Axel dan Luna menyelesaikan ronde kedua percintaan mereka yang mengakibatkan keduanya terlambat berkumpul dan tentunya tanpa membantu Sheina menyiapkan anggur. Namun, tampaknya semua tak masalah seolah mereka memahami juga memaklumi kedua sejoli yang sedang romantis itu memadu kasih hingga lupa waktu. “Luna, ajaklah Axel melihat gudang anggur dan biarkan dia memilih beberapa botol anggur buatan kita untuk dibawa pulang. Anggaplah sebagai hadiah dariku,” ujar Nathaniel. “Sungguh kau tak perlu repot-repot, Tuan.” “Tidak sama sekali, aku memaksa jadi ambillah. Hadiah itu tak seberapa dengan terungkapnya kasus kematian anak angkatku,” ungkap Nathaniel. “Ayolah, Ax. Kakek jarang sekali memberikan tamu hadiah anggur. Kau beruntung hari ini,” goda Luna hendak beranjak dari duduknya. Namun, Damian menahannya. “Biar aku saja, Luna. Sekalian aku ingin bicara dengannya,” ujar Damian. “Ayo, kawa

  • My Sexy Bodyguard   THE END

    Kedatangan Axel ke kebun anggur milik Salvatore menjadi kehebohan tersendiri bagi Luna. Bukan hanya karena dirinya seorang yang berada di sana. Damian dan Nathaniel yakni sang kakek juga sudah menantikan pria yang berhasil membuat cucu angkatnya memuji pria angkuh itu. Setelah bercengkrama membicarakan segala hal tentang dirinya juga bisnis yang mungkin akan terjalin, Axel dipersilakan beristirahat sejenak di kamar yang sudah di siapkan untuknya sebelum makan malam tiba. Diantarkan Luna sampai di depan pintu kamar untuknya, Axel merasa tak puas dan menarik Luna masuk lalu menciumnya tak sabaran. “Axel, aku harus membantu Sheina menyiapkan anggur untuk makan malam!” peringat Luna berbisik. “Aku tak peduli. Sejak kedatanganku kakekmu dan Damian menyerangku dengan berba

  • My Sexy Bodyguard   Part 71 - Revelations of Lanzo

    Ditemukannya Lanzo dan tertangkapnya Fausto menjadikan suasana sidang tampak begitu tegang. Terlebih saat ini Lanzo tengah bersaksi tentang apa yang sebenarnya terjadi pada pembunuhan lampau yang dilakukannya. “Saat itu aku memang hendak menyerahkan diri, tetapi Fausto menyuruhku pergi agar aku tidak membocorkan identitasnya yang menyuruhku melakukan perampokan.” Tatapan Lanzo tertuju pada Axel. Pria itu memalingkan tatapannya. Walau Axel tahu cerita Lanzo benar karena bukti dari rekaman sang ayah yang mengatakan Lanzo hanya pion catur dan sang ayah terseret dalam masalah yang tak diinginkan terjadi. “Semua itu terjadi karena hasutan Fausto. Dia yang menyuruhku untuk melarikan diri dan bersembunyi selama belasan tahun. Bahkan aku kehilangan momen penting dalam hidup, kelahiran putriku dan tak dapat mendidiknya de

  • My Sexy Bodyguard   Part 70 - Discovery another secret life [Bag.II]

    Roberto dan Damian tengah bersiap melakukan penyergapan tanpa menunggu malam tiba. Prediksi mereka ternyata benar bahwa Fausto merencanakan pelarian sebelum gelap. Dengan anggota tim bodyguard profesional mereka membentuk dua tim. Tim satu bersama Damian memimpin penyergapan dari pintu depan. Tim dua Roberto bersama sisa anak buah Damian menunggu dari pintu belakang. Para pasukan berbaris di belakang Damian. Lalu Damian memberikan instruksi untuk bersiap di sisi pintu masuk sambil menoleh pada semua anak buahnya yang mengangguk siap. “Rob, kau sudah siaga?” tanya Damian melalui alat komunikasi yang tertempel di telinganya. “Kami sudah siap, Dam. Kapanpun kau menyergap.” “Baiklah, dalam hitungan ketiga,” balas Da

  • My Sexy Bodyguard   Part 69 - Discovery another secret life (Bag. I)

    Part 69 - Discovery another secret life (Bag. I)Setelah bermalam di tempat kakek Damian, pagi-pagi sekali keduanya berangkat ke tempat yang sudah dipastikan oleh anak buah Damian bahwa terdapat tanda kehidupan pada sebuah rumah yang diyakini seorang wanita paruh baya tengah keluar dari rumah tersebut.Roberto meyakini foto yang dikirimkan anak buah Damian adalah bibinya yang selama ini tak terlihat di mana pun. Sementara itu di dalam perjalanan mereka, Roberto mendapatkan telepon dari rumah sakit, tentang kepulangan Axel dan Luna. Hal tersebut menambahkan beban pikiran Roberto yang masih harus menyusuri perjalanan jauh. Dia sengaja tak mau mengatakan apa pun tentang pencariannya itu kepada Axel karena ia yakin, pria arogan itu akan menyusulnya dan berpotensi menggagalkan penyusupan mereka.“Aku yakin ada ruang rahasia tempat Fausto bersembunyi, ia tak mungkin bisa mengurus diri tanpa istrinya.” Roberto menatap lurus jalanan di depannya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status