Share

Part 04 - The Truth

Part 04 - The truth

Satu bulan kemudian.

Sepulangnya Axel ke mansion yang terletak di bagian barat Italia, menjadi kabar besar bagi seluruh pelayannya di mansion. Setelah dirinya sempat menunda kepulangannya karena memilih menjalani perawatan agar dirinya bisa segera berjalan normal, walau ternyata semua tak semudah dipikirkannya. Dirinya yang tak tahan dan merindukan tempat yang memiliki banyak kenangan bersama kedua orang tuanya di mansion, membuatnya memutuskan kembali.

Namun, saat ini dirinya tetap masih harus menggunakan kursi roda untuk bergerak, ia tetap bersyukur dan menatap bangunan luas di hadapannya dengan tatapan sendu mengingat kedua orang tuanya yang tiada, walau semua itu tertutupi dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Aroma daun di sekitar pekarangannya seolah menyambut kedatangan sang pemilik tunggal. Membuatnya mengenang malam terakhir sebelum ia dan kedua orang tuanya berangkat makan malam, sebagai kepergian terakhir mereka dari mansion.

Roberto telah menyiapkan segala kebutuhan yang diminta Axel. Pria yang dulunya memiliki keangkuhan setiap kali turun dari limosinnya itu, kini harus menunggu Roberto membuka kursi roda untuknya memasuki hunian mewahnya. Namun, hal tersebut tak membuat para pelayan yang bekerja dengan Axel bisa bertingkah sesuka mereka. Bahkan barisan para pelayan kini menunduk patuh tanpa ada yang menunjukan tatapan iba, karena itu adalah perintah langsung dari Axel.

Dia tak ingin dan tak mau ada yang menatapnya kasihan. Baginya, selagi otaknya masih bisa bekerja untuk menjalankan tampuk kejayaan Dante’s Corporation, selama itu juga Axel masih bisa menggaji seluruh pekerjanya dengan harga fantastis. Banyak pelayan yang tetap bertahan karena bayaran itu, tetapi ada juga yang tak tahan karena sikap angkuhnya yang selalu menginginkan kesempurnaan disetiap aspek penilaiannya.

“Selamat datang kembali, Tuan.” Seorang kepala pelayan menyapa Axel dengan ramah.

Seperti biasa, Axel tak acuh dan tetap menekan tombol otomatis untuk membuat kursinya berjalan melewati seluruh pelayannya. Calisto -kepala pelayan- menatap Roberto yang hanya mengedikkan bahunya. Meminta untuk memaklumi suasana hati tuannya.

“Calisto, siapkan makan malam untukku dan antarkan langsung ke kamarku. Selain itu, tak ada yang boleh menggangguku.” Suara berat itu memerintah tanpa berniat menoleh kepada lawan bicaranya.

Pria dingin itu malah terus melaju menuju lift, diikuti Roberto yang tetap dengan tenang mengekori Axel untuk segera tiba di kamarnya. Namun, baru saja mereka tiba di depan lift, suara Calisto memanggil Axel hingga pria itu berhenti.

“Tuan Muda,” panggil Calisto setelah mendapatkan sebuket bunga dari salah satu pelayan yang berlari melaporkan kiriman yang baru saja tiba itu. “Ada kiriman untuk, Tuan,” ujar Calisto.

“Bunga itu lagi?” Roberto mengerutkan keningnya. “Berikan padaku, Calisto. Aku akan membuangnya,” imbuhnya.

“Tidak perlu, Rob. Kali ini aku akan menerimanya.” Axel menahan pergerakan Roberto.

Lantas sekretarisnya itu memberikan buket bunga lily dengan amplop hitam sebagai kartu ucapan dari si pengirim. Bunga itu juga sudah beberapa kali dikirimkan ke ruangan Axel saat di rumah sakit. Namun, sayang … semuanya selalu berakhir ke tempat sampah sebelum Axel mengamuk saat melihatnya.

Axel memasuki lift melanjutkan niatnya yang sempat tertunda. Roberto sempat ingin mengikuti, tetapi bunyi ponselnya menghentikan niatnya. Axel mengangguk membiarkan Roberto menjawabnya, dan dia meninggalkan pria itu untuk menyusul.

Axel memasuki kamarnya dan membuka kartu dari si pengirim bunga. Sayangnya, tak terdapat nama siapapun  di sana, akan tetapi isi dari kartu ucapan itu bukanlah ucapan doa, melainkan sebuah informasi yang membuatnya terkejut.

“Kecelakaan yang terjadi padamu disebabkan oleh unsur kesengajaan seseorang yang ingin mencelakaimu. Aku adalah saksi mata.”

Pupil mata Axel seketika membesar. Ia meremas kartu itu dan membuangnya ke sembarang arah bersama dengan lily tersebut. Ia menatap tajam gumpalan kertas itu sampai Roberto mengetuk meminta izin untuk masuk.

Roberto masuk setelah mendapat jawaban dari Axel. Ia melihat wajah Axel yang memerah padam dan tatapan tajam itu tertuju pada kartu ucapan dari bunga yang diterima tuan mudanya tadi.

“Ada apa, Ax?” tanya Roberto mengambil kartu ucapan yang dibuang Axel, lalu membuka dan membaca isinya.

Ekspresi Roberto tak begitu terkejut dibandingkan Axel. Ia menatap punggung Axel yang tengah menghadap jendela. Pantulan wajah Axel tercetak dari jendela kaca di hadapannya itu. Raut kesal, sedih, marah semuanya berpadu dan tergambar dari setiap gurat wajah serta sorot matanya yang terlihat sangat berbeda dari sebelum ia mengalami kecelakaan. Seakan ada sesuatu yang sangat ingin dikeluarkan, tetapi tetap ditahan sekuatnya hingga terlihat tubuhnya yang menegang setiap kali diingatkan akan kecelakaan tersebut. Oleh sebab itu juga Roberto tak lagi membahas masalah kecelakaan itu sekalipun ia menyelidiki kasus tersebut secara diam-diam sesuai saran dari sahabatnya -Damian-

“Ax ….”

“Aku tak bisa percaya. Aku yakin itu hanya kiriman orang asing yang kurang kerjaan!” Axel berujar lamat-lamat sebelum Roberto berucap.

Roberto mendekat dan mengusap punggung Axel pelan. Saat ini dirinya berusaha bersikap seperti seorang sahabat bagi tuannya sekaligus ingin mengatakan hal yang mungkin akan membuat tuan mudanya itu semakin emosi.

“Axel, dengar … sepertinya itu bukan hanya kiriman orang iseng.” Roberto menjelaskan dengan tenang berdiri di belakang Axel yang menatap pantulan Roberto pada dinding kaca.

“Mohon maaf sebelumnya, jika aku tak segera mengabarimu. Aku bertindak sendiri saat pertama kali kau menyuruhku membuang semua kartu, tetapi aku sempat melihat isi dari kartu hitam ini.” Roberto mengangkat dua kartu yang sama dengan yang hari ini dilihat oleh Axel.

Roberto menatap Axel, cukup lama menunggu tuan mudanya menanggapi pengakuannya barusan. Namun, Axel membisu, entah apa yang tengah dipikirkan pria itu saat ini.

Merasa tak mendapat respon apapun, Roberto berniat melanjutkan ucapannya. “Lalu aku menemui temanku yang sempat berpapasan dengan kita di lift waktu itu. Dia menyarankanku untuk mencari tahu apa yang terjadi pada kendaraanmu, dan barusan juga aku mendapat kabar bahwa oli rem pada limosinmu diputus dengan sengaja,” ungkap Roberto dalam satu tarikan napas.

Dia tak ingin Axel menyela kebenaran yang juga membuatnya tak habis pikir ada orang semacam itu yang ingin mencelakai keluarga Dante.

“Axel, kurasa kau juga perlu tahu. Malam ketika kau merasa ada kekacauan di ruang rawatmu, itu ternyata ada seseorang yang ingin membunuhmu,” tambah Roberto. “Dari dua kejadian itu, aku ingin menyarankanmu untuk menggunakan jasa pengawal, temanku—”

“Roberto, cukup!” Axel menyela dan berbalik dengan tatapan tajam.

Napasnya terengah-engah menahan gejolak amarah di dalam dadanya saat mendengar semua kebenaran yang diungkapkan secara detail oleh Roberto. Dirinya baru saja menerima kenyataan bahwa kecelakaan itu memang sudah menjadi takdirnya. Namun, ternyata semua itu adalah rencana manusia yang telah membuatnya menderita seperti saat ini.

“Ax, aku hanya ingin membantumu untuk—”

Just do it!” Axel kembali menyela, nadanya terdengar sarat penekanan yang dalam. “And leave me alone!” pungkasnya.

Roberto mengangguk paham. Lalu bergegas meninggalkan tuan mudanya yang kembali terguncang akan sebuah fakta baru.

Axel mengembuskan napasnya gusar. Matanya berkedip berkali-kali menahan aliran bening di pelupuk netra abunya. Ia berusaha bangkit dari kursinya dengan perlahan.

Hasil perawatannya selama sebulan mulai membuat kakinya bisa bergerak walau tetap harus berpegangan pada sekitarnya. Biasanya Axel akan berlatih sambil memegang pegangan dinding rumah sakit dan sesekali ia bisa berjalan tanpa berpegangan. Namun, akibat gejolak amarah dalam hatinya yang memanas, membuatnya terguncang dan penyangga besi di dalam kakinya terasa ngilu. Kali ini  ia hanya bisa berpegangan pada meja panjang yang terdapat beberapa minuman penghangat tubuh.

Axel mengambil dan menuangkannya dengan rasa amarah yang menguasai tubuhnya. Sehingga tumpahan pada saat ia menuangkan wine itu membasahi meja berlapis kain putih sebagai alasnya.

Melihat hal itu, Axel geram dan memilih meminum langsung dari botolnya. Namun, kekuatan pada kakinya mulai melemah. Dirinya hampir terjatuh jika tidak segera menghentikan kemarahannya pada diri sendiri. Lantas botol dalam genggamannya itu dilemparkannya ke lantai, menimbulkan suara gaduh disertai erangan dari bibirnya sebagai bentuk kemarahannya.

Sorot tajam dari kedua iris abunya mulai memerah dan terlihat bagai kilatan api yang membara. Hal tersebut seolah menyuarakan tentang balas dendam yang tak mungkin dilewatkannya.

Sementara itu, di balik pintu kamar Axel yang tertutup. Roberto hanya bisa menatap pintu tersebut dengan tatapan iba. Merasakan kesedihan dan kemarahan Axel sekaligus hanya dengan mendengar erangan dan amukan tuan mudanya. Lantas, ia meraih ponsel dari dalam sakunya. Menghubungi Damian sambil berjalan meninggalkan kamar Axel.

“Dam, aku menerima tawaran pengawalmu. Datangkan besok ke mansion tepat pukul sepuluh.”

Setelah mendapat jawaban dari Damian. Roberto menutup panggilan itu dan berlalu membiarkan Axel menenangkan diri.

**

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Atiek
di tambah kenyataan klo kecelakaan yg menimpa keluarga nya, kecelakaan yg di sengaja, mngkn Axel kecewa karena tidak bisa melindungi org tua nya dan sebelumnya terlibat pertengkaran dgn mereka
goodnovel comment avatar
Atiek
kesal marah dan kecewa akan keadaan diri yg lumpuh tidak menghilangkan ke angkuhan bos Axel..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status