Brakkk! Brakkk!
"Dasar pembunuh, entah kau dari hadapanku!" gadis itu terus saja berteriak dan melempar barang yang ada di sekitarnya seolah sedang menghukum rajam seorang perempuan yang terlihat begitu hina dibola matanya.
"Hentikan, aku tak mengerti apa maksudmu Audrey" lirih Marlyn seraya melindungi wajah menggunakan lengannya.
"Kau membunuh sahabatmu itu artinya kau juga membunuh ibuku!!" ucapan Audrey membuat tubuh Marlyn serasa membeku di tempat.
"Apa maksudmu, Audrey?" tanya wanita itu tak mengerti dengan ucapan gadis dihadapannya.
"Kau membunuh ibuku! Ibuku, Christie!!" teriakan Audrey terdengar semakin histeris, sehingga mengakibatkan beberapa orang berkumpul memenuhi pintu masuk ruang inap tempatnya terbaring.
Beberapa orang yang lewat, atau yang dengan sengaja datang berkumpul, menghalangi pintu satu-satunya yang berguna sebagai jalur keluar masuk. Seolah memblokir jalan, mereka tak membiarkan siapapun melintasi jalan
Guratan senja muncul menampakkan keelokannya sekaligus menandakan bahwa hari akan segera berakhir. Beberapa jam setelah konflik ringan yang terjadi di rumah sakit ini juga telah berlalu begitu saja, termasuk Audrey yang sudah terbangun dari tidurnya dalam keadaan yang sangat baik. "Baiklah, satu suapan lagi, aa ..." Alberth mengangkat sendok yang terisi penuh dengan bubur kemudian mengarahkannya pada mulut seorang gadis yang terbuka lebar. Seseorang yang baru saja menjadi kekasihnya selama 3 hari ini. "Sudah habis, kau ingin makan lagi?" tawarnya pada gadis yang tak bisa beranjak jauh dari ranjang rumah sakitnya. "Tidak, perutku sudah penuh. Oh iya Alberth, apakah kau tak memberitahu Zoya? Mengapa ia tak kunjung datang menemuiku atau membalas pesanku?" wajah Audrey nampak murung. Namun, pertanyaan singkat yang terlontar dari celah mulut Audrey membuat hati Alberth menjadi gelisah. Ia takkan bisa mengungkapkan kondisi Zoya yang sebenarnya, ia tak
Audrey melangkahkan kaki bersama tiang infus yang berada dalam genggamannya. Beriringan dengan langkah Alberth disampingnya, mereka akhirnya berhenti di sebuah kamar inap lain tak jauh dari kamar Audrey. Perlahan Alberth menyentuh ganggang pintu tersebut dan ... Drekk ... Sebuah pintu yang mulai terbuka lebar,menampilkan ruangan yang nampak berbeda dari ruangan yang Audrey tempati. Terlihat, seorang perempuan sedang tertidur pulas di atas ranjang dengan kondisi kepala yang terbalut kain kasa. "Zoya?" panggilan itu membangunkan gadis yang sedang tertidur pulas tersebut. Gadis itu bereaksi, namun kepala dan lehernya yang terluka membuat gadis itu tak mampu menoleh kearah pintu masuk untuk melihat siapa yang ada di sana. Tetapi dengan penuh keyakinan, ia yakin bahwa dirinya benar-benar mengenali suara yang baru saja menyapa itu. "A-Audrey? Kau disini?" panggilnya untuk memastikan. Audrey lantas berjalan mendekat ketika mendengar panggilan
Suasana rumah sakit yang terlihat ramai membuat Audrey harus menunggu selama berjam-jam lamanya hanya untuk membayar seluruh biaya perawatan rumah sakit yang diberikan padanya. Gadis itu menunggu di kursi tunggu bersama pasien atau keluarga pasien lainnya. Guna mengusir rasa bosan yang mulai menyerangnya, Audrey mengambil ponsel miliknya dan melihat berbagai pesan serta panggilan tak terjawab dari Mr. Vincent dan Marlyn, pembunuh ibunya. "Menganggu saja" keluh Audrey ketika terus menerus mendapat pesan yang berisi ajakan untuk bertemu sore nanti. Raut wajah Audrey menunjukkan segalanya, ia merasa tak nyaman dengan semua pesan dan panggilan itu. Untuk apa ia harus bertemu lagi dengan pembunuh yang membunuh ibunya? Walaupun mereka bekerja dalam satu agensi, pekerjaan mereka pun berbeda, Audrey bahkan berencana untuk menghindar dari wanita itu, lalu mengapa sekarang mereka justru mengajaknya untuk bertemu? Menganggu. Tepat ketika gadis itu mematikan pons
Sebuah taksi berhenti tepat di sebuah rumah makan yang sudah dijanjikan, gadis yang baru saja turun dari taksi itu segera melakukan pembayaran dan memasuki rumah makan mewah yang terletak di pusat kota London. Rumah makan tersebut nampak begitu ramai, baik dipenuhi oleh warga lokal London maupun wisatawan asing yang datang ke kota ini. Barisan antrian yang panjang bahkan hampir menyentuh jalan raya, memang se-terkenal itu rumah makan ini. Maka, tak heran jika puluhan orang memilih bersabar dan mengantri hanya untuk menikmati sajian makanan lezat yang dijual di tempat itu. Tetapi, tak seperti orang-orang lainnya yang harus duduk dipinggir jalan dan mengantri, Audrey dengan penuh percaya diri memasuki tempat itu dan menanyakan tempat yang sebelumnya sudah di pesan langsung oleh Mr. Vincent, 3 jam yang lalu. Salah satu pelayan kemudian mengajak gadis itu pergi menaiki lantai atas dan menuju ke ruang VVIP yang disediakan di sana. Terlihat, banyak ruang pribad
Ctak! Audrey menepis tangan wanita yang menggenggam erat kedua tangannya, secara kasar. Gadis itu mulai berteriak kembali, sebab ia tak bisa menahan emosi dalam dirinya, "Sudahlah, kau adalah pembunuh ibuku! Aku takkan mempercayai semua hal yang kau katakan!". "Dengarkan dulu Audrey, aku mohon" pelupuk mata Marlyn mulai menampakkan butiran air yang hendak jatuh membasahi pipinya. Akhirnya atas dasar keterpaksaan dan kasihan, serta wejangan dari Mr. Vincent, Audrey bersedia mendengarkan cerita Marlyn. Walaupun sebenarnya ia tetap bersikeras percaya pada ingatan masa lalu yang muncul sesaat saat kebakaran itu. "Audrey, aku bukanlah pembunuh ibumu. Semua ini hanyalah salah paham semata" sepertinya Marlyn mengawali kisah dengan pemilihan kata yang salah, sehingga membuat Audrey semakin meledak-ledak. "Ya! Kau tak membunuhnya secara langsung, tetapi kau tetap yang bertanggung jawab atas kematian Christie, ibuku!" teriakan Audrey kembali terde
Brakk!Tanaman besar yang terletak di dekat dua orang gadis tiba-tiba saja jatuh dan hampir mengenai seorang lelaki yang sedang berjalan kaki. Tanaman hias tersebut ternyata lebih ringan dari pada dugaan Christie, membuatnya secara tak sengaja jatuh karena terdorong."M-Maaf" teriak Chistie sembari berusaha membereskan kekacauan yang ia buat.Gadis itu, berusaha mengangkat kembali tanaman hias imitasi yang tergeletak di tanah. Ia bahkan merasa malu untuk mengangkat wajahnya dan melihat lelaki yang hampir saja terkena tanaman hias imitasi seberat 1/5 kg itu. Beberapa batu putih dan tanah sebagai pelengkap juga turut berhamburan mengotori lantai yang terbuat dari semen yang diamplas halus.Marlyn yang turut membantu sahabatnya itu, memungut beberapa batu putih yang berserakan dan tanpa ia sadari, lelaki itu turut membantu dua gadis itu membereskan kekacauan yang disebabkan oleh kelalaian Christie."Nona Christie, sebaiknya nona tinggalkan
Jarum jam yang terus bergerak menunjukkan waktu tengah malam. Udara yang dingin, ditambah dengan derasnya hujan membuat suasana di luar ruangan menjadi begitu buruk. Tok ... tok ... tok Suara pintu yang diketuk membuat seorang lelaki yang tinggal di rumah itu keluar dari kamar dan membuka pintu rumahnya. Saat pintu rumah tersebut dibuka, terlihat jelas siapa pelaku yang mengetuk pintu rumah seseorang pada waktu tengah malam. Dengan seluruh tubuh yang basah kuyup akibat diguyur derasnya hujan, seorang gadis yang nampak begitu menggoda membuat iman Duke menjadi lemah. Tetapi, ia tetap berusaha sekuat tenaga untuk tidak menerkam gadis yang telah menjadi mantan kekasihnya itu. "Kau kemari setelah memutuskan hubungan kita 3 bulan yang lalu?" tanya Duke, firasatnya sangat tidak enak. "Kau tak ingin mengucapkan apapun? Baiklah, akan kututup pintunya" Duke memutuskan untuk bertindak, setelah melihat Christie hanya berdiri di tempat, memandanginy
Hari-hari normal seperti biasanya berlangsung di perusahaan fashion milik ayah Christie. Semua pegawai terlihat disibukkan dengan pekerjaannya masing-masing, kecuali seorang pria setengah baya yang sedang memohon ampun di ruangan kepala yang diketahui milik ayah Christie."Saya mohon pak, ampuni anak saya" pria setengah baya itu datang bersama anak laki-laki semata wayangnya yang ia besarkan sendiri selama puluhan tahun."Sepertinya kau dan putramu baru mengetahuinya sekarang, kalian pasti sangat terkejut" ayah Christie mengalihkan pandangannya keluar jendela besar yang ada ruang pribadi miliknya."Saya meminta maaf pak, saya akan bertanggung jawab bagaimanapun caranya. Saya mohon, jangan tuntut anak saya" ayah Duke yang berprofesi sebagai sopir pribadi itu, berusaha membujuk atasannya agar memaafkan kesalahan putranya yang ia sendiri tahu bahwa hal ini tak bisa diampuni."Saya tak menyangka bahwa kelakuan putramu sangat berbanding jauh dengan dirimu. Pas