Aku terus mengomel sepanjang jalan ketika kami pulang dari rumah Paman. Bagaimana tidak, sudah aku bilang bagaimana sifat Paman dan Bibi ketika dihadapkan dengan lembaran kertas bernama uang. Namun bujang setengah lapuk yang sebentar lagi akan menyandang status sebagai suamiku itu justru tak menghiraukan ocehanku.Benar-benar menyebalkan Ammar itu, seandainya dia bukan bosku, sudah kuketok kepalanya. “Kenapa kamu ngomel-ngomel begitu, Mir?”‘Eh, kok dia denger sih?’ batinku.“Keluarin aja, Mir uneg-unegnya.” Ammar menghentikan motornya di pinggir jalan, di bawah pohon yang cukup rindang. Sepertinya di sini tempat orang biasa duduk-duduk atau sekedar melepas penat. karena terlihat berbeda dengan pohon-pohon yang lain.“Kamu itu lho, Ammar, udang dibilang, kalau pamanku itu agal lain kalau masalah duit, kamu malah jor-joran mau kasih seragamlah, perhiasanlah. Bisa ngelunjak nanti kalau dituruti begitu. Seharusnya kamu kasih saya sekedarnya, kasih dua juga saja sudah senang mereka. Ini
Halooo, setelah sekian lama Hiatus, akhirnya dapat wangsit juga buat update. Hihihihi.***Aku sangat geram sekali mendengar perkataan Bang Fahmi. Sepertinya ada gelagat aneh dengan pria itu. Di samping tak biasa dia datang ke rumah ibunya sendi untuk bertemu denganku, Sejak kapan dia peduli dengan anak-anak? Bahkan dia berencana mengajak jalan-jalan ke puncak segala.“Ya Sudah kalau begitu, aku nggak bisa, kalau kamu mau bawa anak-anak ke puncak, silahkan, Asalkan pulang nanti jangan ada yang kurang satu pun, termasuk satu helai rambutnya. Karena aku tahu semua jumlah rambut anak-anak. Sampai berkurang satu helai rambutnya, maka kamu akan membayar dendanya 100 ribu per helai.”“Kok kamu jadi perhitungan begini, sih Mir. Mereka juga kan anak-anakku juga. Aku berhak atas mereka, Mir.”“Mereka juga berhak atas nafkah ayahnya, Bang. Yang lebih dulu hitung-hitungan siapa? Aku kan cuma aku yang kamu buat, Bang.”“Iya, oke, oke. Aku ngaku salah, tolong dong, jangan diungkit-ungkit lagi. Kamu
"Kembalikan semua yang pernah aku belikan untukmu! motor, rumah, handphone dan uang belanja yang aku beri ke kamu selama tiga tahun jangan sampai terlewat!" ujar laki-laki tampan yang ada di hadapanku."Lah, kamu sudah gil* ya Bang, aku ini mantan istri kamu, kok bisa-bisanya Abang minta semua. Seharusnya malah kita bagi harta gono gini," protesku"Ck ... Tidak ada harta gono gini, semua biaya kehidupan kamu selama tiga tahun, dari uangku semua. Kamu hanya berpangku tangan saja di rumah," dengus laki-laki yang enggan lagi kusebut namanya itu.Aku tidak tahu dengan jalan pikiran Bang Fahmi--mantan suamiku. Laki-laki itu yang sudah pergi meninggalkan rumah selama satu bulan itu kembali pulang ke rumah dan meminta semua yang dia berikan selama tiga tahun untuk dikembalikan, entah kesurupan sentan apa laki-laki itu.Sebelum dia pergi, laki-laki itu secara tidak langsung sudah menjatuhkan talak padaku."Kamu pulang saja ke rumah ibumu. Tidak usah menungguku. Karena setelah aku kembali, aku
Aku tersemyum sambil berlalu masuk ke kamar untuk mengemasi pakaianku. Terdengar suara mereka semakin jauh. Aku rasa Bang Fahmi sudah membawa anak-anak ke warung Mbak Nana, warung langgananku, sekaligus tempatku berbagi cerita.Tujuanku adalah ke rumah ibu mertua. Tadi sebelum Bang Fahmi pulang ke rumah, ternyata dia mampir ke rumah ibu terlebih dahulu. Aku tahu karena ibu sempat mengirimkan pesan jika tak lama lagi Bang Fahmi akan pulang.Tempo hari, ibu memberiku wejangan agar aku memeberikan anak-anak pada Bang Fahmi semua agar dia bisa merasakan bagaimana mengasuh anak-anak seorang diri. "Kalau Fahmi ngusir kamu, berikan anak-anak sama dia, Mir. Biarkan dia merasakan bagaimana jadi kamu selama ini. Ibu gedek banget sama itu anak. Udah punya istri cantik, baik. Malah selingkuh sama anak SMA. Duh ... Ibu malu sama kamu, Mir." "Tapi kasihan, Bu. Mirna tidak tega harus pisah dari anak-anak," tolakku."Percaya sama ibu, Mir. Paling dua hari dia sudah angkat tangan," ujar Bu Anna--mer
"Rasakan kamu, Bang! Kamu belum tahu bagaimana aktifnya kedua anakmu."Di video itu aku lihat Fauzan dan Faisal lari kesana kemari, sementara Bang Fahmi terlihat kecapaian mengejar mereka. Sesekali dia mengusap peluhnya yang membanjiri wajahnya.Aku tersenyum puas, walaupun aku sangat merindukan kedua buah hatiku, tapi tak apa, biar Bang Fahmi merasakan bagaimana capainya aku mengasuh mereka seorang diri."Sial*n kamu Mirna, awas akan aku balas kamu," umpat Bang Fahmi.Entah darimana pembidik video ini berada, sehingga suara Bang Fahmi sangat terdengar jelas. Ah ... Ibu memang the best.Paginya, aku sengaja pulang ke rumah secara diam-diam untuk memantau keadaan anak-anak. Sebelum aku sampai di rumah, aku mampir terlebih dahulu di warung Mbak Nana."Kamu kemana to Mir, seharian nggak kelihatan. Itu aku lihat si Fahmi kualahan ngasuh anak-anak kalian," adu Mbak Nana."Ssstt ... Memang sengaja Mbak, aku biarkan Bang Fahmi ngasuh anak-anak sendirian, biar dia tahu rasanya jadi aku. Masa
"Pergi kamu tanpa membawa apa-apa!" teriak ibu mertua, sementara aku hanya tersenyum miring di belakang Bu Anna."Apa-apaan in, Mirna? Bang Fahmi mulai menyalahkanku."Bu, ini bukan seperti apa yang Ibu lihat, ini salah paham.""Mirna, tolong jangan seperti itu. Foto siapa yang kamu edit? Jangan fitnah!" Bang Fahmi sebentar lari ke ibu, sebentar lari ke aku. Dia seperti cacing yang kepanasan."Hah? Fitnah? Mataku ini ciptaan Allah Bang. Mana bisa diedit.""Kurang kerjaan bener kalau Mirna mesti edit puluhan foto itu, Fahmi. Dia nggak cukup waktu untuk melakukan hal seperti itu, buang-buang waktu. Sekarang kemasi barang-barang kamu," teriak ibu berang."Bu, Fahmi kan anak kandung, Ibu. Kenapa malah Mirna yang di belain. Ibu nggak tahu kan kalau selama ini Mirna pemboros dan tidak bisa merawat tubuh dia sendiri, makanya Fahmi cari yang bening." Sakit rasanya mendengar penuturan laki-laki yang selama ini aku cintai."Tidak usah banyak bicara Fahmi. Sampai kapanpun menantu ibu, tetap Mirn
Wanita yang aku tebak selingkuhannya itu Terus saja merengek. Berarti semalam perempuan itu tidur di rumah ini. Walaupun Bang Fahmi sudah menjadi mantan, rasanya sakit sekali ketika mendengar rumah yang kami jadikan tempat bernaung selama tiga tahun itu sudah ada pengganti diriku."Astaghfirullah Bang, belum juga menikah sudah dibawa pulang," gumamku."Bawa saja mobil tu. Mas mau antar anak-anak ke rumah ibu. Masih repot nih. Kamu bukannya bantu Mas malah enak-enakan gitu.""Mas, kamu bilang semalam kalau kamu ngundang aku kesini untuk nemenin kamu, karena istri kamu kabur. Eh ... Malah disuruh jagain bocil. Mana itu anak nakal banget. Nggak sanggup aku Mas," seru perempuan itu."Daftar kuliah kan bisa nanti jam sepuluan atau bareng Mas betangkat kerja. Sekarang kamu jagain dulu anak-anak, Mas mau mandi. Udah telat nih. Bisa kena SP Mas nanti. Dan bisa berinbas sama uang jajan kamu.""Huh ... Iya ... Iya."Kini aku pindah posisi dari belakang rumah ke samping rumah, untuk memperjelas
Laki-laki itu kemudian membawa kembali anak-anak masuk ke dalam mobilnya. Entah mau di bawa kemana mereka, ke kantor atau malah pulang ke rumah.Ingin rasanya aku mengikuti mereka, ingin melihat bagaimana seharian ini Bang Fahmi di repotkan dengan kedua anaknya yang sangat aktif.Segera aku keluar kamar dan bersiap mengikuti mereka. Namun sampai di depan pintu ibu menahanku."Mau kemana? Kok buru-buru gitu?'"Mau ngikutin Bang Fahmi, Bu.""Duduk manis di sini aja, Mir. Bantuin ibu. Sudah ada Ammar.""Oh, iya. Kan ada Ammar ya." Aku baru ingat kalau ada Ammar yang memata-matai Bang Fahmi. Segera aku kirim pesan untuk bujang setengah lapuk itu.[Tolong ikuti Bang Fahmi dan anak-anak]Pria itu terlihat online, dan pesanku juga sudah dia baca, tetapi dia tak membalasnya. Sekitar sepuluh menit berlalu, pria itu terlihat sedang mengetik [Tidak usah kamu kirim pesan, aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan, jadi kamu nggak usah ngatur-ngatur aku kayak tadi. Aku sudah tahu tugasku. Kamu cu