"Ayah, tau darimana tentang fitnah yang ditujukan padaku?" tanya Nalini sambil menatap sang ayah.
"Memangnya kau pikir aku tidak tau apa saja yang kau lakukan selama di sana?" ayahnya memberikan pernyataan yang sontak membuat Nalini terperangah.
"Ayah memata-mataiku selama ini?" tanya Nalini tak habis pikir. Ayah tak menjawab, tapi dari tatapannya sudah menjelaskan bahwa apa yang ia pikirkan benar adanya.
"Ayah, aku harap kau tidak percaya dengan berita yang beredar. Aku sama sekali tidak memiliki hubungan dengan suami Nyonya Rebecca. Kejadiannya tidak seperti yang dituduhkan.
"Apa kau punya bukti jika itu tidak benar?" tanya ayah dengan suara beratnya.
Mata Nalini berkaca-kaca, "Tidak masalah jika orang lain tidak mau mempercayaiku. Tapi aku berharap keluargaku sendiri bisa percaya padaku. Aku tidak mungkin melakukan hal semenjijikkan itu".
"Sejak kau keluar dari rumah ini. Tidak ada kewajiban bagiku untuk mempercayai anak pembangkang sepertimu," tatapan mata ayahnya menampakkan kekecewaan. Putri sulung yang seharusnya menjadi kebanggaannya justru tidak menuruti keinginannya.
"Lalu apa yang harus aku lakukan untuk membuat ayah percaya padaku?" tanya Nalini tak percaya diri.
"Pergi dari hadapanku sekarang juga!" perintah ayah sontak membuat air mata Nalini luruh.
"Ayah, ayah mengusirku?"
"Tentu saja, hampir 7 tahun kau bisa hidup sendiri. Mengapa sekarang kau kembali?" Sebetulnya ayahnya sudah tidak ingin berbicara pada Nalini
"Aku belum bertemu dengan ibu dan adikku. Aku merindukan kalian," tangis Nalini semakin keras.
Ayah hanya membuang muka. Dia tidak menanggapi Nalini. Dia justru menelpon seseorang dan sesaat setelah itu, satpam datang dan membawa Nalini keluar dari rumah.
***
Nalini tidak menyangka jika kepulangannya benar-benar tidak diterima oleh ayahnya. Dia menatap jalanan di depannya. Kini dia terduduk di sebuah halte bus. Harapan satu-satunya adalah rumah sahabat lamanya karena dia sudah tidak memiliki saudara. Ayah dan ibunya sama-sama anak tunggal dan kakek neneknya sudah lama meninggal.
Setelah menaiki bus selama beberapa menit, Nalini turun dan berjalan menuju ke rumah sahabatnya. Dia berjalan sambil melamun, tiba-tiba ada seseorang yang menaiki motor melaju melewatinya dengan kencang dan dalam hitungan detik menarik tas tangan yang Nalini bawa.
Nalini yang tidak siap tidak bisa menjaga keseimbangan dan jatuh terpelanting. Dia hanya bisa berteriak, "JAMBRET... Tolong!!!! jambret," teriakan Nalini melemah. Percuma juga dia teriak. Suasana jalanan di sekitarnya sangatlah sepi. Ini sudah hampir menjelang malam. Dia hanya bisa terduduk sambil menangis dengan kencang. Menangisi nasib buruk yang menimpanya secara bertubi-tubi. Hal yang bisa disyukuri sampai saat ini hanyalah dia masih bisa bernafas. Selebihnya dia merasa nasibnya sungguh sial.
"Nalini? Kaukah itu?" tanya seorang gadis berambut pendek yang keluar dari pintu dan berjalan menuju pintu gerbangnya. Kini Nalini sudah sampai di depan gerbang rumah milik temannya.
Nalini yang kondisinya sudah kotor, berkeringat, sisa air mata masih membekas di pipinya itu segera memeluk Sandra, sahabatnya sejak duduk di bangku SMA.
"Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu lagi. Sejak kapan kau pulang ke Indonesia? Dan ada apa denganmu? Mengapa kondisimu kacau seperti ini?" tanya Sandra.
Nalini belum bisa menjawab. Dia justru menangis sesenggukan. Sandra kebingungan dibuatnya. Akhirnya dia mempersilakan Nalini untuk masuk ke dalam rumah.
"Diminum dulu tehnya, Lin," Sandra memberikan secangkir teh dengan uap yang mengepul di atasnya. Nalini meneguk teh itu pelan-pelan. Kehangatan menjalar di sekujur tubuh Nalini. Sejak dia turun dari pesawat, teh buatan Sandra inilah yang pertama kali masuk ke tenggorokannya.
Setelah cukup tenang, Nalini bercerita panjang lebar, dari mulai alasan dia pulang ke Indonesia, kejadian di pesawat, pertemuannya dengan sang ayah, dan tas tangannya yang dijambret. Sandra turut prihatin dengan rangkaian kejadian yang menimpa Nalini dalam waktu yang berdekatan.
"Lebih baik kau tinggal disini saja sementara,Lin," tawar Sandra karena dia tau Nalini tak punya tempat untuk menginap.
Nalini melihat foto pernikahan Sandra di dinding ruang tamu, "Tapi kau sudah berkeluarga. Aku tidak ingin merepotkan kalian. Aku akan merasa tidak enak terutama pada suamimu,"
"Tenang saja, suamiku dinas di luar kota selama satu bulan. Akupun belum dikarunia anak. Ibuku sudah meninggal. Jadi jika kau mau tinggal di sini aku justru akan senang karena tidak akan kesepian," Sandra menggenggam tangan Nalini.
"Baiklah. Aku akan tinggal di sini sementara sampai aku mendapatkan tempat tinggal dan pekerjaan, Terimakasih, San. Kau satu-satunya teman yang bisa aku andalkan saat ini," Nalini berkata dengan tulus. Sandra tersenyum dan menggenggam tangan Nalini. Menyalurkan empatinya.
***
Alangkah bersyukurnya Nalini karena di tengah banyaknya masalah yang membelenggunya, dia masih memiliki sahabat yang membantunya dengan sangat total. Saat ini jam menunjukkan pukul 11 siang. Dia sudah sampai di depan TK tempat Sandra bekerja, Sandra memberikan ide agar Nalini menawarkan diri untuk menjadi guru di kelas memasak anak-anak TK. Dan tentu saja Nalini akan mengambil kesempatan itu.
Di depan gerbang TK, dia melihat seorang gadis kecil sedang berdiri sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar. Sepertinya dia sedang menunggu seseorang. Gadis itu sangat cantik. Dari kejauhan Nalini langsung terpikat pada gadis kecil itu. Entah mengapa dia merasa gadis itu mirip dengannya saat Nalini masih berusia sangat kecil. Ajaib sekali karena Nalini tak mengenal gadis itu, namun dia merasa hatinya tergerak untuk mendekati gadis itu.
"Hai, anak manis. Mengapa kau berdiri sendirian di sini? Dimana teman-temanmu?" tanya Nalini ramah.
"Teman-temanku sudah dijemput pulang oleh keluarga mereka. Sedangkan aku, nenek atau ayahku belum sampai di sini,"
"Tidak ada guru yang mendampingimu di sini?" Nalini melihat di dalam sekolah, tidak ada guru yang terlihat satupun padahal masih ada satu siswa yang belum dijemput.
"Mereka sedang rapat," jawab gadis cilik itu.
"Oh ya, siapa namamu? sebaiknya kau masuk. Aku akan menemanimu di dalam," saran Nalini pada gadis itu.
"Namaku Sivia. Tante, bolehkah jika aku minta diantar membeli es krim di taman seberang jalan?" Tanya gadis itu dengan suara lembutnya dan nada memohon.
Nalini terlihat berpikir. Sepertinya dia masih ada waktu karena dia juga tidak mungkin menemui Sandra di saat dia dan guru-guru sedang rapat. Lagipula dia terlalu gemas pada gadis kecil itu dan tidak ingin gadis itu sedih jika dia menolak untuk menolong.
"Baiklah. Ayo aku antar," kata Nalini sambil mengulurkan tangannya dan disambut oleh tangan mungil itu. Ada gelenyar aneh di hati Nalini. Begitu juga dengan Sivia. Mengapa di pertemuan pertama mereka Sivia sama sekali tidak takut pada Nalini. Padahal Nalini adalah orang asing bagi Sivia.
Saat mereka sedang berjalan bergandengan, tiba-tiba ada seseorang yang menarik paksa tangan Sivia yang sedang berpegangan dengan Nalini. Sontak keduanya menoleh.
"Kau sedang berusaha menculik putriku?" teriak seorang pria yang kini menggenggam tangan Sivia.
Nalini menunggu penjelasan dari Megantara dengan terus menatap pria itu. "Apakah kau ingat bahwa saat kita masih kecil kita pernah bertemu? Di acara ulang tahun perusahaan ayahku. Kau datang bersama ayahmu," kata Megantara. Nalini mencoba mengingat. "Kau menolongku yang sedang dirundung oleh beberapa teman seusiaku. Gadis kecil pemberani," Megantara memberikan petunjuk. Nalini mengingat sesuatu."Tunggu dulu, apakah kau laki-laki gembul berkacamata?" tanyanya saat mengingat kejadian beberapa tahun silam. Megantara mengangguk. "Kau menjatuhkan jepit rambut ini. Sepertinya begitu khusus dibuatkan oleh seseorang untukmu," kata Megantara. "Ya. Ini pemberian ibuku. Ibuku membuatkan milikku dengan inisial NN dan milik Nalita dengan NT. Aku menangis semalaman karena kehilangan jepit rambut ini. Tapi mengapa kau masih menyimpannya sampai sekarang? Ini sudah sangat lama.Megantara tersenyum menatap jepit rambut itu. "Seperti di film-film. Aku jatuh cinta dengan gadis pemilik jepit rambut i
"Mengapa kau memintaku yang membebaskanmu?" tanya Megantara mendengar penuturan Nalini dengan raut wajah serius. "Karena hanya kau yang bisa. Aku sadar, yang selama ini paling terluka adalah kau, maafkan aku," kata Nalini tulus. Megantara tersenyum miris. Dia memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya. "Aku sudah mencoba memilih untuk pergi agar kau tidak semakin terluka. Tapi ternyata caraku salah. Tuhan tidak merestui itu karena pada akhirnya kau bisa kembali menemukanku. Saat ini aku tau, kau membawaku dan menempatkanku disampingmy semata-mata agar aku bisa menebus kesalahanku. Kau sengaja bersikap dingin, acuh, seolah tak peduli padaku," Nalini berkata panjang lebar lalu menunggu respon dari Megantara yang masih saja diam. "Lalu kau menerima sikapku?" Megantara justru balik bertanya. "Tidak masalah jika kau bersikap seperti itu karena rasa kecewamu yang begitu mendalam. Tapi sampai kapan? Aku memang egois, tapi tidak bisakah aku berharap bahwa takdir memberikanku kese
Megantara menoleh ke arah pria yang kini berdiri di sampingnya. "Rupanya Anda punya rasa percaya diri yang tinggi. Bisa memuji seorang wanita di hadapan suaminya," kata Megantara sarkas. "Sama seperti Anda. Anda juga sangat percaya diri karena Anda berani memasuki ruangan yang hanya pegawai saja yang boleh masuk meskipun Anda sudah membooking seluruh restoran," balas Haris tak kalah sarkas. Nalini sudah menyelesaikan pekerjaannya dan juga sudah meminta pelayan untuk menyajikan menu makan siang pada para tamu yang sudah datang. Nalini melirik ke arah pintu dan melihat dua pria tinggi dan tampan berdiri di sana. Nalini lantas menghampiri mereka. "Bagaimana bisa kau masuk kesini?" tanya Nalini pada Megantara. "Tentu saja menemuimu. Aku ingin mengenalkanmu pada rekan bisnisku," seulas senyum terbit di wajah Megantara. Membuat Nalini justru mengerutkan alisnya. Hal yang tak disangka juga Megantara lakukan. Memeluk pinggang Nalini di hadapan Haris. Seolah menunjukkan hak milik bahwa N
Megantara mengancingkan kerah kemejanya sambil menatap dirinya di pantulan kaca. Sesekali dia melirik Nalini yang juga masuk ke dalam pantulan kaca di belakangnya. Masih terlelap tidur di bergelung selimut. Tadi malam sesampainya di hotel mereka tidak banyak berkomunikasi. Saling diam dengan aktivitasnya masing-masing sampai pada akhirnya Nalini sudah tertidur lebih dulu disaat Megantara sedang berada di depan laptopnya. Mempersiapkan bahan yang harus dibahas untuk rapat hari ini. Sepertinya Nalini begitu lelah sampai saat Megantara sudah siap berangkatpun dia belum juga terbangun. Setelah selesai memakai jasnya, dia berjalan mendekat ke arah tempat tidur. Menuliskan di secarik kertas yang berada di nakas lalu pergi meninggalkan Nalini tanpa berniat membangunkan. Tiga puluh menit kemudian Nalini terbangun dengan sendirinya. Dia mengedarkan penglihatannya di sekeliling ruangan dan sepi. Tidak ada pria tampan yang merupakan suaminya. Nalini melihat jam yang tertata di nakas dan melo
Megantara mengatur nafasnya. Berada di dekat Nalini membuat detak jantungnya tak beraturan. Apalagi semenjak menikah, Nalini terlihat lebih cantik di matanya. Sulit rasanya untuk mengelak. Tapi dia harus ingat misi balas dendamnya saat menikahi Nalini. Membiarkan Nalini tetap di sampingnya. Tapi tidak dengan memberikan cintanya. Baru berapa hari namun rencananya terancam gagal jika dia tak bisa mempertahankan egonya dan juga luluh dengan Nalini.Megantara membasuh wajahnya dengan air keran. Menatap pantulan dirinya di kaca. Megantara merutuki kebodohannya sendiri. Dia harus mengembalikan akal sehatnya lalu memperingatkan dirinya untuk menjaga jarak dari Nalini. Mungkin itu yang harus ia lakukan agar bisa mempertahankan pendiriannya. Megantara membuka pintu kamar mandi dan keluar. Nalini sedang duduk di atas tempat tidur sambil menatap ke arah kamar mandi. Menunggu suaminya muncul. "Untuk apa kau melihat kesini. Tidurlah. Sudah malam," perintah Megantara. "Aku menunggumu. Kau terli
"Aku tidak tau harus mendefinisikan seperti apa tentang pernikahanku," jawab Megantara terhadap pertanyaan dari Niko. "Jujur saja, kau pasti bahagia karena bisa menikah dengan gadis yang kau cintai. Aku tidak bisa membayangkan jika saat itu kau jadi menikah dengan adikku. Akan jadi seperti apa kehidupanmu nantinya," kata Niko dengan senyum tulusnya dan menunduk di akhir kalimatnya karena malu. "Entahlah. Cinta? Aku tidak yakin apakah masih ada cinta dihatiku untuk gadis itu," Megantara mendesah. "Tapi kaupun juga tidak yakin apakah kau benar-benar membencinya atau tidak. Aku rasa ini tentang waktu, waktu yang akan berbicara," kata Niko. Megantara mengerutkan alis. Dia tau bahwa perkataan Niko ada benarnya. Megantara juga tak bisa terlalu yakin terhadap rasa benci dan marahnya pada Nalini. ***Megantara pulang larut. Semestinya di hari-hari awal pernikahannya, seorang suami tak akan meninggalkan pengantinnya hingga larut. Tapi Megantara seperti sengaja. Sengaja menjaga jarak dari N