"Aku tahu pangkuanku memang lebih hangat dari kursimu, tapi, bisakah Anda berdiri, Nona?"
Sebuah nada suara yang berat dan juga napas panas di telinganya membuatnya terkejut.
"Maafkan saya, Pak. Saya tidak sengaja terjatuh," Nalini merasa bersalah dan mencoba untuk berdiri. Namun guncangan masih belum reda sehingga dirinya tak sanggup. Ada rasa takut juga jika dia melepaskan pegangannya pada pria itu.
"Nona, pramugari menginstruksikan pada kita untuk duduk di kursi masing-masing dan memasang sabuk pengaman," pria tersebut terlihat kesal. Tapi wajah tampannya juga menunjukkan sedikit kepanikan dengan apa yang terjadi di dalam pesawat saat ini.
"Pak, maafkan saya. Tapi kondisi tidak memungkinkan bagi saya untuk kembali ke tempat duduk," Nalini tau posisinya dan pria di hadapannya sangatlah tidak nyaman saat ini. Pria tersebut hanya mendengus kesal.
Beberapa tas milik penumpang mulai berjatuhan dari kompartemen atas. Itu menunjukkan bahwa guncangan begitu terasa. Meskipun turbulensi adalah hal yang sering terjadi selama penerbangan, tetapi ketika mengalaminya para penumpang tetap tidak bisa menyembunyikan rasa panik. Ada yang berteriak dan merapalkan doa.
"Ya Tuhan, jangan biarkan pesawat ini jatuh. Aku belum sempat bertemu dengan kedua orangtuaku dan meminta maaf pada mereka," Nalini memeluk pria asing di depannya karena begitu panik dan takut.
Mimpi apa pria itu, kejatuhan gadis yang tak ia kenal lalu kini dipeluk oleh gadis itu. Namun, entah mengapa, pria itu tak berusaha untuk melepaskan pelukan dari gadis cantik itu.
"Hey Nona, jangan khawatir. Percayalah pada pilot dan awak pesawat lainnya. Mereka sudah profesional dan pasti akan mampu mengatasi masalah ini dengan baik." ucap sang pria, berusaha menenangkan wanita yang berada di pelukannya.
Nalini menatap pria itu, dia baru menyadari jika pria itu memiliki ketampanan di atas standar ketampanan pria biasa. Hidungnya yang mancung, alis mata yang tebal, garis rahangnya yang tegas dan lengannyapun kekar.
"Untuk apa menatapku dengan cara seperti itu?" tanya pria yang wajahnya hanya berjarak beberapa centimeter dari Nalini.
Nalini memalingkan muka. Wajahnya memerah. Tentu saja dia malu karena pria itu berkata terlalu blak-blakan. Dia mengedarkan pandangan dan baru menyadari jika guncangan sudah berhenti. Kini kondisi pesawat sudah aman.
Nalini sontak berdiri dari atas pangkuan pria tersebut, "Maaf dan terima kasih," Nalini tidak tau ungkapan apa yang harus ia berikan pada pria yang sebenarnya tidak menolongnya tapi sudah membuatnya merasa tertolong karena tidak membiarkan Nalini terjatuh atau terbentur saat turbulensi tadi.
Nalini berjalan menuju ke tempat duduknya dengan rasa malu yang masih menghinggapinya. Dia berharap setelah ini dia tidak bertemu lagi dengan pria tampan yang tak ia ketahui namanya itu. Jika bukan karena terdesak, dia tidak mungkin melemparkan tubuhnya begitu saja ke pelukan orang asing. Dia bukan tipe gadis yang seperti itu. Dia selalu menjunjung tinggi harga dirinya sebagai seorang perempuan.
Dalam perjalanan menuju ke tempat duduknya dia membantu pramugari yang sedang membereskan tas-tas yang berserakan di lantai pesawat dan mengembalikan ke kompartemen atas.
"Terima kasih, Nona. Maaf membuat perjalanan Anda tidak nyaman," kata pramugari yang berdiri di sampingnya.
"Ya, perjalanan yang tidak pernah akan aku lupakan, aku ketakutan setengah mati tadi," jawab Nalini setengah berbisik.
Pramugari itu tersenyum lalu menjawab, "Tenang saja Nona, saat ini kondisi pesawat sudah stabil dan akan mendarat dengan selamat".
"Syukurlah kalau begitu," Nalini menghembuskan nafas lega lalu duduk di kursinya dan menatap ke jendela pesawat untuk melihat pemandangan awan.
Satu jam kemudian, pesawat berhasil landing dengan sempurna di Bandara. Nalini bergegas keluar, berjalan menuju tempat pengambilan koper dan menunggu kopernya datang. Setelah mengecek jika tidak ada yang tertinggal, dia segera berjalan menuju pintu keluar bandara.
Ada sebuah taksi yang berhenti tepat di depannya namun seorang pria bergegas memegang handle pintu bagian penumpang di taksi itu sambil menoleh ke arah Nalini yang terkejut karena taksinya diserobot.
"Jika kau merasa berhutang budi dengan bantuanku tadi di pesawat, kau harus merelakan taksi ini untukku. Aku sangat terburu-buru. Terima kasih," kata pria itu sesaat sebelum masuk ke dalam taksi, supir dengan sigap memasukkan barang bawaan pria itu ke dalam bagasi dan taksipun segera melaju meninggalkan Nalini yang terbengong-bengong.
Sangat menyebalkan, tapi Nalini mencoba untuk bersikap sabar karena mau tidak mau dia harus mengakui jika pria itu sudah menolongnya, dengan tidak sengaja. Tapi pertemuan singkat barusan menunjukkan bahwa doa Nalini untuk tidak dipertemukan lagi dengan pria itu tidak dikabulkan. Baru keluar dari Bandara saja sudah berpapasan lagi.
Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam menggunakan taksi, Nalini sampai di depan rumahnya. Ada keraguan untuk masuk kesana. Tapi dia tidak punya tempat tujuan lain dan diapun merindukan keluarga yang sudah lama tidak pernah ia temui.
Kejadian mendebarkan di pesawat tadi ternyata membuatnya menyesal jika tidak segera menemui orangtuanya untuk meminta maaf. Dia berandai-andai, jika saja tadi nyawanya tak selamat, maka dia pasti akan langsung dimasukkan ke neraka dan mendapatkan siksa.
Dengan memberikan semangat pada dirinya sendiri. Nalini berjalan memasuki gerbang rumahnya lalu membukanya karena jika sore hari seperti ini pintu rumah biasanya tak terkunci karena ibu biasanya menunggu kepulangan ayah.
Nalini membuka pintu lalu berjalan masuk. Derap langkah kakinya membuat seseorang yang sedang menikmati secangkir tehnya menoleh.
"Ayah," panggil Nalini ragu. Dia mengesampingkan rasa malu dan tidak tau dirinya untuk menghadap sang ayah.
Bola mata sang ayah hampir keluar saat melihat kedatangan putri yang sudah lama meninggalkan rumah. Tapi beberapa detik kemudian ayah bisa mengatasi keterkejutannya dan memasang tampang dingin.
"Masih ingat untuk pulang?" tanya ayah dengan nada sarkas.
Nalini tak menjawab. Dia menundukkan kepalanya. Rasa rindu berada di pelukan ayahnya kian mencuat. Tapi apa daya, menatap bola mata ayahnya pun dia tak sanggup.
Tak memeluknya, atau bahkan sekadar menyapanya yang sudah lama tak pulang, ayahnya justru langsung mengatakan hal yang membuatnya benar-benar putus asa.
"Jauh-jauh pergi ke Swiss, meninggalkan rumah bertahun-tahun. Hanya berakhir menjadi selingkuhan suami bosmu? Dasar tidak tahu malu!"
Nalini menunggu penjelasan dari Megantara dengan terus menatap pria itu. "Apakah kau ingat bahwa saat kita masih kecil kita pernah bertemu? Di acara ulang tahun perusahaan ayahku. Kau datang bersama ayahmu," kata Megantara. Nalini mencoba mengingat. "Kau menolongku yang sedang dirundung oleh beberapa teman seusiaku. Gadis kecil pemberani," Megantara memberikan petunjuk. Nalini mengingat sesuatu."Tunggu dulu, apakah kau laki-laki gembul berkacamata?" tanyanya saat mengingat kejadian beberapa tahun silam. Megantara mengangguk. "Kau menjatuhkan jepit rambut ini. Sepertinya begitu khusus dibuatkan oleh seseorang untukmu," kata Megantara. "Ya. Ini pemberian ibuku. Ibuku membuatkan milikku dengan inisial NN dan milik Nalita dengan NT. Aku menangis semalaman karena kehilangan jepit rambut ini. Tapi mengapa kau masih menyimpannya sampai sekarang? Ini sudah sangat lama.Megantara tersenyum menatap jepit rambut itu. "Seperti di film-film. Aku jatuh cinta dengan gadis pemilik jepit rambut i
"Mengapa kau memintaku yang membebaskanmu?" tanya Megantara mendengar penuturan Nalini dengan raut wajah serius. "Karena hanya kau yang bisa. Aku sadar, yang selama ini paling terluka adalah kau, maafkan aku," kata Nalini tulus. Megantara tersenyum miris. Dia memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya. "Aku sudah mencoba memilih untuk pergi agar kau tidak semakin terluka. Tapi ternyata caraku salah. Tuhan tidak merestui itu karena pada akhirnya kau bisa kembali menemukanku. Saat ini aku tau, kau membawaku dan menempatkanku disampingmy semata-mata agar aku bisa menebus kesalahanku. Kau sengaja bersikap dingin, acuh, seolah tak peduli padaku," Nalini berkata panjang lebar lalu menunggu respon dari Megantara yang masih saja diam. "Lalu kau menerima sikapku?" Megantara justru balik bertanya. "Tidak masalah jika kau bersikap seperti itu karena rasa kecewamu yang begitu mendalam. Tapi sampai kapan? Aku memang egois, tapi tidak bisakah aku berharap bahwa takdir memberikanku kese
Megantara menoleh ke arah pria yang kini berdiri di sampingnya. "Rupanya Anda punya rasa percaya diri yang tinggi. Bisa memuji seorang wanita di hadapan suaminya," kata Megantara sarkas. "Sama seperti Anda. Anda juga sangat percaya diri karena Anda berani memasuki ruangan yang hanya pegawai saja yang boleh masuk meskipun Anda sudah membooking seluruh restoran," balas Haris tak kalah sarkas. Nalini sudah menyelesaikan pekerjaannya dan juga sudah meminta pelayan untuk menyajikan menu makan siang pada para tamu yang sudah datang. Nalini melirik ke arah pintu dan melihat dua pria tinggi dan tampan berdiri di sana. Nalini lantas menghampiri mereka. "Bagaimana bisa kau masuk kesini?" tanya Nalini pada Megantara. "Tentu saja menemuimu. Aku ingin mengenalkanmu pada rekan bisnisku," seulas senyum terbit di wajah Megantara. Membuat Nalini justru mengerutkan alisnya. Hal yang tak disangka juga Megantara lakukan. Memeluk pinggang Nalini di hadapan Haris. Seolah menunjukkan hak milik bahwa N
Megantara mengancingkan kerah kemejanya sambil menatap dirinya di pantulan kaca. Sesekali dia melirik Nalini yang juga masuk ke dalam pantulan kaca di belakangnya. Masih terlelap tidur di bergelung selimut. Tadi malam sesampainya di hotel mereka tidak banyak berkomunikasi. Saling diam dengan aktivitasnya masing-masing sampai pada akhirnya Nalini sudah tertidur lebih dulu disaat Megantara sedang berada di depan laptopnya. Mempersiapkan bahan yang harus dibahas untuk rapat hari ini. Sepertinya Nalini begitu lelah sampai saat Megantara sudah siap berangkatpun dia belum juga terbangun. Setelah selesai memakai jasnya, dia berjalan mendekat ke arah tempat tidur. Menuliskan di secarik kertas yang berada di nakas lalu pergi meninggalkan Nalini tanpa berniat membangunkan. Tiga puluh menit kemudian Nalini terbangun dengan sendirinya. Dia mengedarkan penglihatannya di sekeliling ruangan dan sepi. Tidak ada pria tampan yang merupakan suaminya. Nalini melihat jam yang tertata di nakas dan melo
Megantara mengatur nafasnya. Berada di dekat Nalini membuat detak jantungnya tak beraturan. Apalagi semenjak menikah, Nalini terlihat lebih cantik di matanya. Sulit rasanya untuk mengelak. Tapi dia harus ingat misi balas dendamnya saat menikahi Nalini. Membiarkan Nalini tetap di sampingnya. Tapi tidak dengan memberikan cintanya. Baru berapa hari namun rencananya terancam gagal jika dia tak bisa mempertahankan egonya dan juga luluh dengan Nalini.Megantara membasuh wajahnya dengan air keran. Menatap pantulan dirinya di kaca. Megantara merutuki kebodohannya sendiri. Dia harus mengembalikan akal sehatnya lalu memperingatkan dirinya untuk menjaga jarak dari Nalini. Mungkin itu yang harus ia lakukan agar bisa mempertahankan pendiriannya. Megantara membuka pintu kamar mandi dan keluar. Nalini sedang duduk di atas tempat tidur sambil menatap ke arah kamar mandi. Menunggu suaminya muncul. "Untuk apa kau melihat kesini. Tidurlah. Sudah malam," perintah Megantara. "Aku menunggumu. Kau terli
"Aku tidak tau harus mendefinisikan seperti apa tentang pernikahanku," jawab Megantara terhadap pertanyaan dari Niko. "Jujur saja, kau pasti bahagia karena bisa menikah dengan gadis yang kau cintai. Aku tidak bisa membayangkan jika saat itu kau jadi menikah dengan adikku. Akan jadi seperti apa kehidupanmu nantinya," kata Niko dengan senyum tulusnya dan menunduk di akhir kalimatnya karena malu. "Entahlah. Cinta? Aku tidak yakin apakah masih ada cinta dihatiku untuk gadis itu," Megantara mendesah. "Tapi kaupun juga tidak yakin apakah kau benar-benar membencinya atau tidak. Aku rasa ini tentang waktu, waktu yang akan berbicara," kata Niko. Megantara mengerutkan alis. Dia tau bahwa perkataan Niko ada benarnya. Megantara juga tak bisa terlalu yakin terhadap rasa benci dan marahnya pada Nalini. ***Megantara pulang larut. Semestinya di hari-hari awal pernikahannya, seorang suami tak akan meninggalkan pengantinnya hingga larut. Tapi Megantara seperti sengaja. Sengaja menjaga jarak dari N