Radit berjongkok di depan lemari, dan mengambil dokumen yang diperlukan untuk melayangkan gugatan pada Naura. Saat itulah ia menemukan album bersampul beludru merah hati.Itu album foto pernikahannya dengan Naura. Mendadak Radit lupa akan tujuannya membuka lemari. Justru memperhatikan album foto di sana dan membuka lembar demi lembar. Gambar Naura dengan riasan paes ageng dan alis tanduk kijang benar-benar mengganggu pikirannya. Sedih, tentu saja, sampai-sampai berhasil membuat matanya memerah."Kecantikan ini tak lagi bisa kupuja," gumamnya.Bohong jika Radit tak lagi mencintai Naura. Sampai hari ini hanya Naura yang mampu mengisi ruang di hatinya. Meskipun ia selalu berusaha untuk terlihat baik-baik saja.Sungguh berat hari-harinya untuk terus berpura-pura. Namun apa mau dikata Naura sudah tak menginginkan pernikahan ini lagi.Dengan kekuatan yang dipaksakan, Radit menutup album foto pernikahan mereka. Kemudian ia menyimpan dalam sebuah kotak dan menutupnya rapat-rapat."Selamat ti
Pernyataan Radit yang tiba-tiba memang memberikan kejutan bagi Ibunya. Beliau tak mengira, hubungan putranya yang sudah berjalan selama delapan tahun dan terlihat baik-baik saja akhirnya kandas.Apa yang bisa dilakukan oleh wanita yang sebagian besar rambutnya sudah memutih ini hanyalah mendengarkan keluh kesah. Bersikap seperti layaknya seorang Ibu pada umumnya dan memberi ketenangan.Perlahan ia mengangkat wajah Radit yang berada dalam pangkuan. Menatap lekat-lekat wajah sang putra.Radit menatap wajah teduh di hadapannya. Wajah yang selalu memberi kedamaian untuknya dan juga saudara-saudaranya. Sosok panutan bagi mereka."Tidak bisa membimbing bagaimana Le?" tanya Ibu Wuri pada sang putra."Pernikahan Radit dengan Naura sebentar lagi berakhir Bu. Radit baru saja melayangkan gugatan cerai."Kembali wanita lanjut usia itu mengusap rambut putranya dengan lembut. Seperti yang selalu dilakukan saat anak-anaknya masih kecil dulu."Apa permasalahan rumah tanggamu tidak bisa lagi diselesai
Setelah berjalan tanpa arah yang jelas, akhirnya perempuan berambut panjang itu berhenti pada sebuah rumah berlantai dua. Rumah bercat putih yang tak terlalu mewah dan bertuliskan 'Menerima Kost'."Mungkin aku harus berada di sini sambil mencari pekerjaan. Semoga saja di sekitar sini masih ada lowongan kerja untukku," gumamnya kemudian mendorong pagar. Perempuan itu Mila, yang terpaksa meninggalkan bayi mungilnya di Rumah Sakit. Sambil menghela napas panjang dan menghitung sampai tiga dalam hati, ia memberanikan diri mengetuk pintu. "Permisi, Assalamualaikum!" serunya saat mengetuk pintu berwarna cokelat terang. Terdengar seorang berteriak 'sebentar' dari dalam dan langkah kaki menuju tempatnya berdiri. Kriet! Pintu cokelat terang itu pun terbuka. Seorang wanita paruh baya, yang mungkin seumuran dengan Ibunya muncul dengan daster putih bermotif bunga biru. Wajah wanita itu tampak teduh dan penuh kasih, sangat berbeda dengan ibu kosnya yang lama."Waalaikumsalam," jawabnya sambil
Pria bertubuh tinggi ini berjalan dengan tergesa menuju ruang mediasi. Sosok wanita berdagu belah tengah duduk di kursi yang ada di depan ruangan itu. Ia tak sendiri, ada wanita lain dan seorang pria berdasi yang sepertinya seorang pengacara.Seketika itu Radit merasa sangat tidak nyaman melihat mereka. Sebenarnya bukan pria berdasi dan wanita berdagu belah itu yang membuatnya terganggu. Namun wanita paruh baya yang turut serta. Siapa lagi kalau bukan Bu Fatma. Wanta yang telah melahirkan perempuan cantik berdagu belah, Naura. Radit hanya menghembuskan napas panjang, berharap segalanya berjalan lancar. Atas nama adab dan kesopanan Radit tetap menyalami mantan mertuanya. Namun sayang, wanita itu justru menepiskan tangannya. Naura sendiri memandangnya dan tersenyum malu karena merasa tidak enak akan sikap Ibunya. "Kamu ini nggak berubah ya Radit, tetap menggampangkan masalah. Sidang pertama, malah datang terlambat," cecar Bu Fatma padanya. Pria berkulit cokelat itu menyipitkan kedu
Mila kembali merapikan pakaian dan juga riasannya di toilet uumum. Ia baru saja mengeluarkan semua ASI yang seharusny diberikan pada putrinya. Namun bagaimana lagi, keadaan saat ini tidak memungkinkan baginya merawat bayi.Mila kembali melihat ke arah cermin dan berkata pada dirinya sendiri kalau ia harus kuat. Mila tidak boleh lemah dan menyerah dengan pilihan yang telah ia buat. Semua yang dilakukannya saat ini untuk kepentingan putri cantiknya semata. Agar bayinya bisa mendapatkan kehidupan yang layak dan memiliki masa depan.“Aku pasti bisa!” gumam Mila kemudian berbalik dan melangkah menuju kantor SPBU dan mengikuti wawancara untuk mendapatkan pekerjaan.Begitu dipersilakan masuk, Mila pun duduk sambil menunggu giliran. Di sana sudah ada dua orang laki-laki seumurannya yang tengah menunggu giliran. Sesekali kedua pemuda itu mencuri pandang ke arahnya dan membuatnya risih.Salah satu dari mereka pun mulai mendekat pada Mila dan mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri, “Aku Ri
"Suster Alin ... Suster Alin!" seru Heni, perawat dari ruang NICU pada atasannya."Ada apa Suster, kenapa terlihat begitu panik?"Perempuan berseragam putih itu memperbaiki rambutnya yang menjuntai ke depan. Mengatur sirkulasi napas sebelum menatap wanita dewasa di hadapannya."Maaf suster, saya sedikit panik, tapi bayi Ibu Mila Ariani kehabisan stok air susu milik Ibunya. Sementara Bu Mila sendiri sudah dua hari ini tidak berkunjung kemari," lapor Suster Heni."Bayi Ibu Mila Ariani?" tanya Suster Allin sambil memicingkan mata seoalah teringat akan sesuatu."Bukankah seharusnya bayi itu sudah boleh pulang kemarin?" Suster Alin bertanya lagi."Itu juga Suster," jawab Suster Heny."Sudah coba hubungi nomer Bu Mila?" tanya Suster Alin dengan tenang sambil memperhatikan catatan medis para bayi di ruang NICU.Menjadi perawat memang seharusnya bersikap tenang dan tidak mudah panik. Jika panik, dikhawatirkan pekerjaan akan kacau dan bisa berpengaruh pada kondisi pasien. Suster Alin yang suda
Sampai kini, Novia tak kunjung mengerti bayi siapa yang ada dalam gendongannya. Ditambah lagi perangai bos nya yang selalu terlihat gusar. Sungguh hal yang tak biasa ia lihat."Pak," tegur Novia sedikit mengganggu konsentrasi Radit yang tengah mengemudi, dan mencoba mencari keberadaan wanita yang pernah ia tabrak."Eh, iya Nov," jawab Radit tanpa menoleh ke arah asistennya."Maaf Pak, kalau boleh tahu, bayi siapa ini sebenarnya?" tanya Novia sambil mengayun-ayunkan bayi dalam dekapannya dengan begitu luwes.Huft! Radit menghembuskan napas panjang. Sambil memegang kemudi, ia mulai menceritakan perihal peristiwa tabrakan yang melibatkan dirinya. Termasuk tentang bayi yang ada dalam gendongan Novia saat ini.Radit menceritakan pelan-pelan tapi cukup singkat. Meskipun begitu, apa yang diceritakan oleh Radit mampu membuat Novia terkejut."Jadi, Ibu bayi ini sengaja meninggalkan bayinya di Rumah Sakit, Pak. Jangan-jangan hamilnya karena kecelakaan," Novia mulai menduga-duga."Entahlah, tapi
Naura memperhatikan tas belanja yang ada di atas ranjangnya. Wanita muda ini baru saja pulang dari berbelanja aneka produk fashion branded."Baik banget Fajar," gumamnya sambil menempelkan gaun pada tubuh rampingnya, berputar-putar menghadap cermin.Sebenarnya berbelanja pakaian bagus sudah bukan hal asing lagi bagi Naura. Saat masih menikah dengan Radit, ia juga sering dibelikan macam-macam, bukan hanya pakaian, tapi juga perangkat elektronik. Namun, apa yang diberikan Fajar terasa berbeda oleh Naura, seperti ada kesan tersendiri.Barang branded untuk Naura tak pernah dirasa memberatkan bagi seorang Radit. Setidaknya pada tiga tahun terakhir ini, saat kesuksesan telah menghampiri dirinya. Apa saja yang diminta oleh Naura, tentu mudah dikabulkan oleh Radit, kecuali satu hal, seorang bayi.Radit membebaskan Naura untuk membeli apapun yang ia suka. Tanpa membuat perempuan itu memikirkan biaya lain-lain. Untuk bayar ini itu seperti listrik, air, pajak bahkan belanja bulanan sudah diurus