Kali ini Mila duduk di depan meja rias sambil mengenakan kebaya putih yang panjang. Rambutnya yang hitam legam sudah disanggul modern.Ia mengusap-ngusapkan telapak tangannya yang terasa dingin. Bu Laely yang menganakn kebaya kuning gading pun menepuk pundak putrinya yang belum juga beranjak dari meja rias.“Ma, apa Mas Radit udah datang?” tanyanya masih menatap ke depan kaca.“Sudah sayang, keluarganya sudah datang semua. Penghulu pun juga sudah datang.”Mila pun berdiri perlahan. Kali ini ia terlihat begitu anggun, dan lebih cantik dari biasanya. Balutan kebaya yang melekat di tubuhnya menunjukkan siluet yang indah.“Kamu cantik sekali nak. Akhirnya hari ini tiba juga,” kata Bu Laely sambil memperhatikan putrinya.“Makasih Ma. Kira-kira Mas Radit suka nggak ya? Apa Mas Radit nggak bakal batalin pernikahan ini?” tanya Mila.Bu Laely menggandeng tangan putrinya yang saat ini dihiasi oleh hena. “Mila, kenapa kamu berpikir begitu? Radit adalah laki-laki yang tepat untukmu. Apa kamu tida
Pria berkulit sawo matang tampak berdiri sambil mengerutkan alis. Sudah beberapa menit ia di situ sambil memegang seutas kalung berlian. Sesekali ia memperhatikan koleksi lain yang berada di balik kaca lalu mengangguk."Sepertinya ini sangat cocok," gumam Radit memperhatikan kalung emas putih yang dihiasi liontin simpul cinta bertahtakan berlian yang sejak tadi ia pegang.Sambil tersenyum, ia membayangkan leher jenjang Naura istrinya yang dihiasi kalung itu. Kulitnya yang putih mulus benar-benar pasangan yang ideal untuk hadiah yang dia pilih.Radit melirik harga yang dikaitkan pada pengait kalung, dan kembali tersenyum. Enam puluh juta tak ada artinya bagi seorang pengusaha kuliner sukses sepertinya, terlebih ia mengeluarkannya untuk wanita yang sangat dikasihi.Wanita yang begitu setia dan sabar menghadapi cobaan dan gonjang ganjing rumah tangga mereka. Wanita yang tetap mendampingi saat Radit kehilangan pekerjaan karena perusahaan tempatnya bekerja mengalami kebangkrutan, dan menja
Dengan langkah gontai Radit menuju sofa di depan kamar tidurnya setelah merekam adegan Naura selama tiga puluh detik. Sejenak memejamkan mata dan menghirup udara dalam-dalam."Tidak! Aku tak boleh menunjukkan kalau aku terluka. Aku tak boleh marah, aku harus tahu apa keinginan Naura yang sebenarnya." Radit kemudian mengacak-acak rambutnya, wajahnya mulai panas karena pemandangan yang tadi ia lihat.Kado yang rencananya akan diberikan pada istri diletakkan di samping. Mengambil ponsel pintarnya dan mencoba untuk fokus di sana. Walau sebenarnya telinga masih terasa sakit mendengar suara desahan dan kikikan manja dari Naura, yang biasanya selalu dilewatkan bersama dirinya.Batin Radit terasa sakit saat mendengar Naura menjerit, dan menyebut nama seorang laki-laki dan bukan namanya. Radit mengepalkan tangan dan meremas kuat-kuat, melangkah ke pantry untuk mengambil air dingin dan mendinginkan pikiran."Sungguh tak disangka," sesal Radit sambil melirik ke arah pintu kamarnya yang belum jug
Naura masih menunduk saat kembali ke ruang tamu setelah mengantar Fajar ke depan rumah dan menutup pagar. Radit suaminya masih duduk di sofa dan menoleh ke arahnya. “Duduk di sini Naura, Mas mau bicara!”Naura mematung, tak langsung menuruti permintaan Radit, sampai suaminya harus mengulang dua kali. “Naura!” panggil Radit dengan suara yang masih lembut.Naura langsung mengambil tempat di samping suaminya sambil melihat ke arah lantai. "Naura, sekarang Mas minta kamu jujur sama Mas!" tegur Radit lembut sambil memegang kedua bahu istrinya."Maafkan saya Mas.""Naura kecewa dengan Mas? Naura cinta dengan Fajar?"Naura hanya tertunduk dan terisak. Ia tak bisa menjawab pertanyaan suaminya. Semua terasa berat, ia tahu ia bersalah namun ia sadar kalau saat ini perasaannya untuk Radit telah pudar seiring kedekatannya dengan Fajar."Maaf, Mas. Seharusnya saya nggak tergoda.""Naura bahagia?" tanya Radit santai dan malah terkesan membingungkan."Eh, mmm,—" Naura tampak tak bisa melanjutkan kal
Wanita paruh baya itu mengangkat dagunya dengan bangga setelah menyatakan argumennya barusan. Namun Naura merasa risih dan seperti tertampar dengan sikap ibunya itu dan memprotes,"Ma, tapi kan,—""Naura benar Ma," jawab Pak Rustam tegas."Pokoknya Mama nggak mau tahu, rumah itu ada hak nya Naura!" Bu Fatma bersikeras.Bu Fatma memang keras kepala. Jika sudah berkeinginan maka harus terlaksana. Tentu ini membuat suaminya, Pak Rustam dan putri semata wayangnya Naura merasa malu."Naura, ingat nggak waktu suamimu yang nggak berguna ini jadi pengangguran? Siapa yang bayar listrik, air belum kalau ada genteng bocor, itu pakai uang kamu kan, berarti ada hak kamu donk di sana!" seru wanita paruh baya ini bersikeras."Tapi, Ma,—""Nggak ada tapi-tapian, kamu nurut saja sama Mama. Dari dulu kamu sudah Mama suruh untuk ninggalin laki-laki nggak berguna ini, tapi apa, kamu keukeuh kan? Sekarang kamu sendiri yang tahu akibatnya, menikah delapan tahun nggak punya anak juga karena suamimu mandul."
Mobil SUV itu segera berhenti di depan UGD Rumah Sakit. Dengan sigap petugas paramedis pun membawa wanita yang tertabrak itu. Kondisinya cukup parah, darah pun mulai menetes pada bagian pangkal paha wanita korban kecelakaan itu.Sambil mengacak-acak rambutnya yang biasanya klimis, Radit bersandar dan terlihat sangat cemas. Telapak tangannya terasa dingin, menunggu hasil penanganan tim medis."Maaf, Pak," tegur seorang perawat tiba-tiba mendatanginya."Ya, ada apa suster?" jawabnya."Sebentar lagi pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan, sementara bayinya harus berada di incubator. Bapak bisa menyelesaikan administrasinya.""Incubator?""Benar Bapak, karena berat badan lahir rendah dan belum cukup umur. ""Oh, ya baik-baik suster. Saya akan segera mengurus administrasinya."Radit pun segera ke kasir dan mengurus administrasi pasien atas nama Mila Ariani. Memberikan fasilitas kamar kelas satu dan melunasi semua biaya perawatannya."Maaf Mbak, apa hanya ini biaya yang harus saya lunas
“Raditya Prayoga?” gumam Mila sendirian disaat suster telah meninggalkan ruangannya. Yang lebih mengejutkan untuknya, kenapa suster mengatakan kalau laki-laki itu adalah suaminya.Nama Raditya Prayoga memang terdengar asing baginya. Ia mencoba berpikir dimana ia pernah mendengar nama itu.Mila pun memijat-mijat pelipisnya yang terasa pusing sambil mengingat-ingat apa yang terjadi pada dirinya. Ia hanya ingat saat itu tengah berjalan mencari tempat berteduh dan tiba-tiba semua berubah gelap.Kembali ia memperhatikan salinan tagihan Rumah Sakit yang jumlahnya tak sedikit. Biaya kamarnya saja mendekati dua juta per malamnya. Kemudian memperhatikan surat dan kartu nama Raditya Prayoga yang ia terima.Tadi ia hanya membaca suratnya sekilas, dan kini ia tahu kalau dia adalah korban kecelakaan dari pria bernama Raditya Prayoga. Mila merasa lega sekarang, karena pria yang menabraknya bertanggung jawab. Ia bersyukur dirinya tak mendapat luka serius dan bayinya selamat."Hmm sepertinya Raditya
Radit berjongkok di depan lemari, dan mengambil dokumen yang diperlukan untuk melayangkan gugatan pada Naura. Saat itulah ia menemukan album bersampul beludru merah hati.Itu album foto pernikahannya dengan Naura. Mendadak Radit lupa akan tujuannya membuka lemari. Justru memperhatikan album foto di sana dan membuka lembar demi lembar. Gambar Naura dengan riasan paes ageng dan alis tanduk kijang benar-benar mengganggu pikirannya. Sedih, tentu saja, sampai-sampai berhasil membuat matanya memerah."Kecantikan ini tak lagi bisa kupuja," gumamnya.Bohong jika Radit tak lagi mencintai Naura. Sampai hari ini hanya Naura yang mampu mengisi ruang di hatinya. Meskipun ia selalu berusaha untuk terlihat baik-baik saja.Sungguh berat hari-harinya untuk terus berpura-pura. Namun apa mau dikata Naura sudah tak menginginkan pernikahan ini lagi.Dengan kekuatan yang dipaksakan, Radit menutup album foto pernikahan mereka. Kemudian ia menyimpan dalam sebuah kotak dan menutupnya rapat-rapat."Selamat ti