Share

5. Mencoba Bertanggung Jawab

Mobil SUV itu segera berhenti di depan UGD Rumah Sakit. Dengan sigap petugas paramedis pun membawa wanita yang tertabrak itu. Kondisinya cukup parah, darah pun mulai menetes pada bagian pangkal paha wanita korban kecelakaan itu.

Sambil mengacak-acak rambutnya yang biasanya klimis, Radit bersandar dan terlihat sangat cemas. Telapak tangannya terasa dingin, menunggu hasil penanganan tim medis.

"Maaf, Pak," tegur seorang perawat tiba-tiba mendatanginya.

"Ya, ada apa suster?" jawabnya.

"Sebentar lagi pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan, sementara bayinya harus berada di incubator. Bapak bisa menyelesaikan administrasinya."

"Incubator?"

"Benar Bapak, karena berat badan lahir rendah dan belum cukup umur. "

"Oh, ya baik-baik suster. Saya akan segera mengurus administrasinya."

Radit pun segera ke kasir dan mengurus administrasi pasien atas nama Mila Ariani. Memberikan fasilitas kamar kelas satu dan melunasi semua biaya perawatannya.

"Maaf Mbak, apa hanya ini biaya yang harus saya lunasi?"

"Benar Pak, sudah termasuk biaya perawatan bayi selama satu minggu dalam inkubator."

"Maaf, apakah satu minggu cukup untuk berada di inkubator?"

"Menurut laporan dokter, kondisi bayi cukup sehat walau berat badan kurang karena prematur, sehingga waktu satu atau dua minggu cukup untuk bayi. Sementara Ibunya tidak mengalami luka serius, mungkin dua atau tiga hari sudah boleh pulang."

"Syukurlah kalau begitu. Baiklah saya akan lunasi pembayaran inkubator selama dua minggu dan perawatan tujuh hari untuk Ibunya. Jika terjadi sesuatu tolong kabari saya," serunya kemudian bersiap-siap menengok pasien di ruang perawatan.

"Baik, Pak!"

Dengan perasaan lega, ia pun berjalan menuju kamar perawatan, dan menengok keadaan korban yang ia tabrak.

"Sepertinya ia sangat lelah," gumamnya saat mendapati perempuan itu sedang tertidur lelap dengan wajah yang pucat.

Diam-diam ia pun menuliskan sesuatu pada buku agenda yang ia bawa, menyobek dan meninggalkan beberapa lembar rupiah. Kemudian menyelipkan di balik selimut pasien.

"Maafkan aku!" gumam Radit kemudian berlalu dan meninggalkan perempuan itu sendirian.

Tak lama setelah Radit pergi, Mila membuka matanya dan memandang sekeliling. Semua tampak asing baginya. Ruangan yang didominasi warna putih, serta tangan kirinya yang diinfus.

Lelah dan sakit ia rasakan di sekujur tubuhnya, bahkan untuk bangun dari tidurnya. Tangannya mencoba meraba perutnya yang kini dirasa mengempis dan pikirannya mulai kacau.

"Bagaimana anakku?" katanya pada diri sendiri.

Mila pun mulai meraba perut dan sekitarnya, mencoba memeriksa apakah mungkin bayinya terjatuh atau di sampingnya. Sebuah pemikiran yang kacau memang, namun itulah seorang Ibu. Sayang, bukan bayi yang ia dapat di samping, melainkan tumpukan kertas.

Segera saja Mila mengambil kertas itu, tumpukan uang seratus ribu dan sepucuk surat serta kartu nama di sana. Membaca dengan was-was takut sesuatu terjadi pada anak yang baru saja di kandungnya.

Dear Newly Mom

Maafkan saya karena lalai berkendara sehingga membuat Anda celaka, bahkan membuat Anda melahirkan lebih awal. Maaf saya tak bisa menemani Anda saat ini, karena ada hal yang harus saya kerjakan. Ini ada sedikit uang untuk pegangan Anda di Rumah Sakit. Saya tinggalkan juga kartu nama dan nomer telepon saya, jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu terkait kecelakaan ini.

                                   Salam

Mila pun memperhatikan kartu nama yang tertera di sana, tertulis nama Raditya Prayoga.

***

Radit belum juga dapat memejamkan mata meski hari sudah larut malam. Sedari tadi ia hanya bergulung-gulung di atas ranjang king size yang kini semakin terasa luas.

Kosong, perih, kecewa namun ada haru, Itulah yang dirasakan Radit saat ini. Merasa gagal menjadi seorang suami, hingga istri terkasih yang selalu dibanggakannya pergi dengan menyisakan luka bernama penghianatan.

Masih terekam jelas bagaimana Ibu mertuanya menghina. Melontarkan kata-kata pedas yang merobek-robek hati. Akan tetapi ia tak mampu mengelak, perkataan beliau benar, Radit tak bisa membahagiakan Naura.

Jujur, ia geram dan tak habis pikir dengan sikap Bu Fatma siang tadi. Sempat-sempatnya wanita paruh baya itu menuntut harta gono gini dari rumah yang ia tempati sekarang.

Sepengetahuan Radit, harta yang didapat sebelum menikah tak bisa menjadi harta gono gini. Namun, karena tak ingin menimbulkan keributan, pria yang mendekati empat puluh tahun ini pun memilih untuk menyerahkan semuanya pada pengadilan.

Biar saja pihak pengadilan yang menentukan, mereka ahlinya. Begitulah yang ada dalam pikiran Radit. Lagipula, apapun keputusan yang akan muncul nantinya, Radit tak akan menempati rumah ini lagi. Terlalu banyak kenangan bersama mantan istri di rumah ini.

"Maafkan aku Naura," gumamnya.

Radit menyadari baik buruknya seorang istri itu berasal dari suaminya. Ia mencoba untuk introspeksi diri bagaimana sikap dan perangainya selama menjadi suami Naura.

Mungkin Radit kurang memahami Naura, kurang memperhatikan perasaan atau suasana hati istrinya. Radit ingat kalau ia tak pernah menanyakan tentang hal-hal yang terjadi di kantor pasangannya.

Radit pun menghela napas panjang dan pikiran akan Mila muncul tiba-tiba, perempuan yang ditabraknya siang tadi. Peristiwa yang membuat Radit tersadar akan lamunan.

Kecelakaan yang membuat Radit harus sigap dan melupakan permasalahannya. Ada dua nyawa yang harus menjadi tanggung jawab Radit saat itu.

Beruntung perempuan yang itu tak mengalami luka parah, bayinya selamat walau terpaksa dilahirkan sebelum waktunya. Ia sempat melihat bayi mungil itu melalui kaca, dan itu yang membuatnya sesak.

Tanpa sadar, air mata menetes di pipi Radit saat ini. Memikirkan bagaimana seandainya di rumah ini ada seorang bayi mungil. Sungguh ia sangat mengidamkannya.

Radit hanya berharap semoga Mila segera disembuhkan dan keluarganya pun segera datang menemaninya. Cukup lama Radit berada di rumah sakit siang tadi, niatnya ingin menunggu sampai keluarga Mila datang. Namun apa boleh buat, ada keperluan mendesak yang harus diselesaikan olehnya. Ia pun hanya bisa menitipkan kartu namanya pada suster dan juga Mila yang masih terlelap.

Sementara itu Mila terus saja memompa air susunya, semenjak terbangun tadi ia belum sempat melihat bayi yang telah ia lahirkan. Kondisi tubuh yang masih lemah tak memungkinkan bagi Mila untuk beranjak ke ruang NICU dan menyusui bayinya secara langsung.

"Ini suster," katanya menyerahkan botol susu yang sudah penuh dengan ASI pompanya.

Dengan sabar, perawat muda itu pun meraih botol ASI dari tangan Mila. Ada rasa iba dari dirinya melihat keadaan Mila kali ini. Meski sebenarnya cukup sering dirinya mendapati ada Ibu yang melahirkan, tapi baru kali ini melihat seorang perempuan baru melahirkan tanpa didampingi suami dan tubuhnya terdapat luka lebam.

"Kapan saya bisa melihat anak saya suster?" tanya Mila.

"Mungkin dua atau tiga hari lagi, tergantung kondisi Ibu."

"Berapa lama anak saya akan berada di sana?" tanya Mila.

"Biasanya satu sampai dua minggu Bu."

Mila terlihat menggaruk kepalanya yang tak gatal. Jelas ia merasa pusing dengan biaya yang muncul untuk incubator. Ia sendiri tidak bekerja. Uang yang ada di tabungannya tak lebih dari dua juta, ditambah dengan yang barusan ditemukannya juga tidak mencapai lima juta, tak akan cukup untuk membayar semua.

"Maaf suster, boleh saya tahu rincian biaya untuk perawatan saya dan bayi saya?" tanyanya takut-takut, tapi bagaimanapun juga ia harus tahu.

"Baik Bu, nanti akan saya antarkan. Sekarang saya permisi dulu, hendak menyimpan ASI."

Mila mengiyakan dan menunggu perawat itu kembali sambil berharap-harap cemas. Tak tahu apa yang harus ia lakukan dengan tagihan-tagihannya.

Hampir satu jam Mila memikirkan jumlah tagihan Rumah Sakitnya. Ia masih belum juga sadar kalau dirinya korban kecelakaan. Ia hanya merasa was-was dengan tagihan, apalagi kamar yang ditempati juga bukan kamar yang murah.

Ibu muda itu benar-benar bingung. Di satu sisi ia bahagia dengan status barunya, tapi juga ketakutan tak bisa jadi ibu yang baik. Namun yang terpenting sekarang, ia harus tahu bagaimana bisa melunasi tagihan Rumah Sakit.

"Kenapa aku dibawa di kamar ini. Berapa ya biaya semalamnya. Ya, aku harus meminta suster untuk memindahkan di ruang kelas tiga, kalau perlu rawat jalan saja," gumamnya.

Perawat tadi datang lagi, kali ini ia datang dengan membawa sebuah map hijau dengan logo Rumah Sakit.

"Bagaimana Sus, ada rincian biayanya?" tanya Mila.

"Ada Bu, dan semua sudah dilunasi oleh Pak Raditya Prayoga, suami Ibu," jawab perawat itu menyisakan keheranan pada diri Mila.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status