Share

Nafkah Batin Yang Tak Tertunaikan
Nafkah Batin Yang Tak Tertunaikan
Author: Nazila Arisakit

Nafkah Batin

Bab 1 

"Kapan nikah?" Seorang ibu  setengah baya mengulang lagi pertanyaan yang sama. 

"Ibu Kapan mati?" Aku menjawab dengan pertanyaan juga. 

Tapi itu hanya ada di anganku, sayang aku terlalu pengecut. Mana berani aku membalas dengan pertanyaan seperti itu, walaupun sebenarnya ingin sekali.

***

Suatu kebahagiaan bagi wanita lajang, ketika seorang pria datang mempersuntingnya. 

Begitupun denganku. Umurku menginjak 33 tahun, kerap kali seluruh tetangga mencemooh dengan sebutan perawan tua. Kehidupan di desa membuatku tak nyaman dengan celotehan-celotehan tetangga. Ditambah lagi Ibu yang membuka warung sembako didepan rumah. Setiap kali ibu-ibu berbelanja, selalu saja bertanya dengan pertanyaan yang sama. 

"Kapan Nikah?... Kapan nikah?" Jawab saja besok. Amiin. 

Telingaku hampir rontok mendengarnya. Namun, Ibu dan Bapak selalu menguatkan, biarkan orang lain menghina kita, asalkan kita tidak boleh menghina orang lain. 

Akhirnya julukan perawan tua itu telah sirna dari diriku. Ustadz Yana yang tinggal di kampung sebelah datang melamar dan menikahiku setelah dua minggu ta'aruf.

Rasanya puas membeli mulut tetangga yang pedes melebihi cabe rawit. Kalau saja benar cabe rawit, ingin rasanya ku ulek semua bibir mereka hingga dower, agar mulut-mulut pedas itu sirna tak ada lagi kelompok pengghibah. 

"Neng, mau tidur dikamar mana?" tanya Kang Yana mendekatiku setelah sampai di kediamannya. Aku dan Kang Yana hanya melangsungkan akad dirumah orang tuaku. Selesai akad, Kang Yana memboyongku ke rumah orang tuanya. Baginya resepsi bukanlah hal yang penting, yang terpenting adalah  kehidupan rumah tangga usai mengucap janji. 

"Kamar mana aja boleh Kang." Aku sedikit menggodanya. 

Meski kita baru saling mengenal, tapi aku cukup tahu tentangnya. Nama beliau sering disebut-sebut oleh emak-emak pengajian. Benar saja, beliau adalah anak dari Pimpinan Pesantren Nurul Huda. Selain itu beliau adalah ustadz yang selalu berdakwah dari kampung hingga ke kota.  Nama beliau tak asing di telinga setiap orang yang mendengarnya. Ustadz kondang Yana. Yang mempunyai suara merdu ketika melantunkan tilawatil  qur'an. 

Sungguh beruntungnya aku. Meski harus menunggu berapa ratus purnama untuk mendapat jodoh terbaik. 

"Jangan panggil akang, neng! Aa saja  kan sekarang neng udah jadi istri Aa."

Kang Yana semakin mendekat. Kepalanya bersandar dibahuku. Acara televisi pun tak kami hiraukan. Bahkan malah terbalik. Justru televisi yang menonton kemesraan kami. 

Kurasakan nafasnya semakin tak terkontrol. Akupun tak bisa menyembunyikan hasrat yang tengah lama kudiamkan. 

Kang Yana segera membuka hijab yang membalut dikepalaku. Dia menggendongku ke kamar nomor dua. Untung saja, Bapak sudah tidur. Jadi tidak ada yang mendengar suara-suara perpaduan desahan kami. 

Perlahan Kang Yana membaringkanku diatas ranjang. Melanjutkan episode yang terpotong tadi. Kang Yana semakin gila. Aku tak menyangka pemuda mapan dan alim ini justru seperti buas jika berada diatas ranjang. 

"Neng siap?"bisiknya tepat ditelingaku. 

Tanpa berkata apapun, aku hanya mengangguk. 

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba Kang Yana sempoyongan saat membuka sarungnya. Beringsut kelantai dan kemudian memeluk lututnya. 

" Maaf Neng, akang kecapen diawal." 

Ah, aku sedikit kecewa. Karena dia yang memulai mengundang hasratku. Saat aku memuncak dia malah membiarkanku  lemas tak berdaya. 

***

Pukul tiga pagi aku terbangun, karena sudah terbiasa bangun tanpa harus mensetel alarm. 

Aku lupa, Kang Yana aku tinggal tidur duluan setelah hatiku terasa sesak ada yang mengganjal dalam dada. 

Tak kudapati Kang Yana didalam kamar kami. Mungkinkah dia marah karena aku tidur duluan tanpa bertanya apapun padanya. 

Apa dia sakit gara-gara kejadian tadi? 

"Ah bodoh... bodoh!" kutepak keningku karena memikirkan keegoisanku tadi malam. 

Tenggorokanku terasa sangat kering. Ku beranjak ke dapur untuk mencari minum. 

Langkahku terhenti ketika mendengar suara aneh berasal dari kamar nomor tiga. Kurapatkan telingaku pada pintu. 

Suara seorang wanita terdengar jelas karena keadaan masih sepi. Disertai dengan suara-suara aneh dari dalam kamar, sampai dua puluh menit aku masih berdiri dibalik pintu. 

Firasatku mulai tak enak. Pikiranku traveling sejauh mungkin, bersamaan dengan kecurigaan pada Kang Yana yang  menghilang dari kamarku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status