"Ibu Kapan mati?" Aku menjawab dengan pertanyaan juga.
Tapi itu hanya ada di anganku, sayang aku terlalu pengecut. Mana berani aku membalas dengan pertanyaan seperti itu, walaupun sebenarnya ingin sekali.
***
Suatu kebahagiaan bagi wanita lajang, ketika seorang pria datang mempersuntingnya.
Begitupun denganku. Umurku menginjak 33 tahun, kerap kali seluruh tetangga mencemooh dengan sebutan perawan tua. Kehidupan di desa membuatku tak nyaman dengan celotehan-celotehan tetangga. Ditambah lagi Ibu yang membuka warung sembako didepan rumah. Setiap kali ibu-ibu berbelanja, selalu saja bertanya dengan pertanyaan yang sama.
"Kapan Nikah?... Kapan nikah?" Jawab saja besok. Amiin.
Telingaku hampir rontok mendengarnya. Namun, Ibu dan Bapak selalu menguatkan, biarkan orang lain menghina kita, asalkan kita tidak boleh menghina orang lain.
Akhirnya julukan perawan tua itu telah sirna dari diriku. Ustadz Yana yang tinggal di kampung sebelah datang melamar dan menikahiku setelah dua minggu ta'aruf.
Rasanya puas membeli mulut tetangga yang pedes melebihi cabe rawit. Kalau saja benar cabe rawit, ingin rasanya ku ulek semua bibir mereka hingga dower, agar mulut-mulut pedas itu sirna tak ada lagi kelompok pengghibah.
"Neng, mau tidur dikamar mana?" tanya Kang Yana mendekatiku setelah sampai di kediamannya. Aku dan Kang Yana hanya melangsungkan akad dirumah orang tuaku. Selesai akad, Kang Yana memboyongku ke rumah orang tuanya. Baginya resepsi bukanlah hal yang penting, yang terpenting adalah kehidupan rumah tangga usai mengucap janji.
"Kamar mana aja boleh Kang." Aku sedikit menggodanya.
Meski kita baru saling mengenal, tapi aku cukup tahu tentangnya. Nama beliau sering disebut-sebut oleh emak-emak pengajian. Benar saja, beliau adalah anak dari Pimpinan Pesantren Nurul Huda. Selain itu beliau adalah ustadz yang selalu berdakwah dari kampung hingga ke kota. Nama beliau tak asing di telinga setiap orang yang mendengarnya. Ustadz kondang Yana. Yang mempunyai suara merdu ketika melantunkan tilawatil qur'an.
Sungguh beruntungnya aku. Meski harus menunggu berapa ratus purnama untuk mendapat jodoh terbaik.
"Jangan panggil akang, neng! Aa saja kan sekarang neng udah jadi istri Aa."
Kang Yana semakin mendekat. Kepalanya bersandar dibahuku. Acara televisi pun tak kami hiraukan. Bahkan malah terbalik. Justru televisi yang menonton kemesraan kami.
Kurasakan nafasnya semakin tak terkontrol. Akupun tak bisa menyembunyikan hasrat yang tengah lama kudiamkan.
Kang Yana segera membuka hijab yang membalut dikepalaku. Dia menggendongku ke kamar nomor dua. Untung saja, Bapak sudah tidur. Jadi tidak ada yang mendengar suara-suara perpaduan desahan kami.
Perlahan Kang Yana membaringkanku diatas ranjang. Melanjutkan episode yang terpotong tadi. Kang Yana semakin gila. Aku tak menyangka pemuda mapan dan alim ini justru seperti buas jika berada diatas ranjang.
"Neng siap?"bisiknya tepat ditelingaku.
Tanpa berkata apapun, aku hanya mengangguk.
Entah apa yang terjadi, tiba-tiba Kang Yana sempoyongan saat membuka sarungnya. Beringsut kelantai dan kemudian memeluk lututnya.
" Maaf Neng, akang kecapen diawal."
Ah, aku sedikit kecewa. Karena dia yang memulai mengundang hasratku. Saat aku memuncak dia malah membiarkanku lemas tak berdaya.
***
Pukul tiga pagi aku terbangun, karena sudah terbiasa bangun tanpa harus mensetel alarm.
Aku lupa, Kang Yana aku tinggal tidur duluan setelah hatiku terasa sesak ada yang mengganjal dalam dada.
Tak kudapati Kang Yana didalam kamar kami. Mungkinkah dia marah karena aku tidur duluan tanpa bertanya apapun padanya.
Apa dia sakit gara-gara kejadian tadi?
"Ah bodoh... bodoh!" kutepak keningku karena memikirkan keegoisanku tadi malam.
Tenggorokanku terasa sangat kering. Ku beranjak ke dapur untuk mencari minum.
Langkahku terhenti ketika mendengar suara aneh berasal dari kamar nomor tiga. Kurapatkan telingaku pada pintu.Suara seorang wanita terdengar jelas karena keadaan masih sepi. Disertai dengan suara-suara aneh dari dalam kamar, sampai dua puluh menit aku masih berdiri dibalik pintu.
Firasatku mulai tak enak. Pikiranku traveling sejauh mungkin, bersamaan dengan kecurigaan pada Kang Yana yang menghilang dari kamarku.
Bab 2Rasa penasaran terus menggeliat dalam hati. Travellingku terlalu jauh, mengira ada adegan ranjang yang terjadi didalam kamar. ingin kudobrak saja pintunya. Tapi tak mungkin, bagaimanapun aku hanyalah orang baru yang tinggal di rumah ini. Dua puluh empat jam saja belum sampai.Suara desahan itu makin samar ditelingaku, hingga lenyap tak terdengar. Kutunggu beberapa menit, mulai hening.Tiba-tiba suara orang memutarkan kunci pintu dari dalam kamar merebak tepat ditelingaku. Nyaris aku berlari kembali ke kamar.Cepat-cepat kutarik selimut menutupi seluruh tubuh. Kupejamkan mata pura-pura tertidur.Kreket...Suara pintu terbuka pelan. Kuintip dari balik selimut. Kang Yana masuk ke kamar dan langsung pergi ke kamar mandi. Perlahan kubuka selimut membuang nafas.Hatiku tidak terlalu sakit atau cemburu. Sebab aku menikah dengannya tidak dengan rasa cinta. Cinta dihatiku sudah hilang sej
Bab 3Ah, aku geram. Manakah yang harus kusalahkan, Kang Yana atau nasib diriku?Terlanjur kesal, ku acak-acak taburan bunga yang berbentuk love diatas kasur hingga berserakan. Ku obrak-abrik semua isi lemari hingga luluh lantak. Kamar yang tertata indah entah untuk siapa. Kini berubah seperti kapal pecah. Biarkan saja Kang Yana tahu akulah yang berulah seperti ini. Perasaanku sudah terlanjur dicabik-cabik olehnya.Baru saja aku membeli mulut pedas tetangga. Apa aku harus menjualnya lagi? Ku remas sprei dan menariknya dengan kencang hingga terlepas dari kasur.Aku berjalan gontai keluar kamar. Semua sudah jelas, ada wanita lain yang Kang Yana sembunyikan. Kalau tidak, mana mungkin ada kamar tersembunyi dengan seluruh pakaian wanita. Tega nian kamu Kang. Andai saja aku berpikir lagi sebelum menerima pinanganmu, andai saja aku tak terbuai rayuan gombalmu. Mungkin, aku tak akan terlibat de
Bab 4"Sora... Soraya... Soraya..."Suara itu terus menggema dalam ruangan. Aku terperanjat. Nafas terasa sesak. Peluh dingin membasahi seluruh tubuh. Tidur terlalu lama membuat pikiran terbawa ke alam mimpi. Apalagi tidur di sore hari.Benar kata Kang Yana saat mengisi pengajian di kampungku dua minggu lalu. Tidur sore itu dapat menyebabkan yuuritsul majnuun alias mewarisi kegilaan atau lebih jelasnya kehilangan akal.Ah, aku malah kehilangan akal setelah bersamamu Kang.Bagaimana akalku akan sehat, jika Kang Yana saja menyembunyikan banyak rahasia dariku."Hanya Neng satu-satunya wanita yang Aa cintai dan sayangi.""Hanya Neng yang akan menemani Aa hingga maut menjemput, dan kamu harus yakin, kita akan bersua kembali di akhirat."Hati wanita mana yang tak tersentuh dengan rayuan seperti itu, rayuan yang kaluar dari mulut pria berparas tampan dan meneduhkan. apalagi diucapkan saat masih hangat-hangatnya menjadi p
Bab 5Tak kudapati Kang Yana di sofa ruang tamu. Kemana kamu Kang? apa kembali ke tempat persembunyian? Dimana kamu menyembunyikan wanita itu?? Aku menerka-nerka.Kulempar bolu susu dan umbi diatas meja. maaf Kang, Aku nggak bisa menghormati laki-laki sepertimu ."Kenapa makanannya dilempar? apa kamu tidak suka?" Suara Kang Yana yang tiba-tiba berdiri dibelakangku begitu mengagetkan. Entah darimana datangnya sosok pria berbadan tinggi itu. Sorot matanya seperti ingin memarahiku, tapi tertahan.Aku hanya menggeleng menjawabnya.Marahi saja aku Kang!!Ingin sekali ku remas mukanya yang pura-pura polos itu.Aku yang berniat belajar mencintai, Kini dengan serta merta Kang Yana mengahancurkan harapan itu.Kutarik nafas sedalam mungkin. Dan menghembuskannya perlahan. Kusodorkan foto yang ditemukan tadi."Foto siapa ini Kang?"Kang Yana tak menghiraukanku. Dia
"Kalau Akang masih tidak mau mengaku, biarkan aku pergi." Aku terus berjalan lebih cepat dan sedikit berlari.Mengabaikannya yang sedang berusaha menarik tanganku, adalah cara terbaik menghindar dari semua emosi yang mulai membara. Aku segera masuk kedalam taksi online yang sudah dipesan satu jam yang lalu."Jalan Mang!" Kuluruskan pandangan kearah sopir, tanpa menghiraukan Kang Yana yang menggedor-gedor jendela mobil."Oke Teh."Kusandarkan tubuhku pada jok mobil. Rahasia Kang Yana sudah terkuak, tapi pertanyaan tentang siapa wanita-wanita itu masih terngiang dikepalaku.Dua puluh menit sampai di rumah Shena sahabatku."Kamu baik-baik saja?" Tanya Shena yang sudah menunggu didepan rumah.
Kudekati pasien wanita yang terbaring itu. Kuamati wajahnya, seperti tak asing dimata."Suci?" Gumamku. Aku semakin mendekat tak percaya."Suci?" Sekali lagi aku meyakinkan.Kutarik nafas, dan menghembuskannya kasar. Kuusap wajahku yang tak berkeringat.Ya allah"Bu,""I... Iya sus. Gimana, gimana kondisinya?""Tidak ada luka yang terlalu parah bu. Tapi, sepertinya pasien sedang hamil. Bersyukur janinnya masih bisa diselamatkan. Untuk memastikan umur janinnya nanti akan ada dokter kandungan visit kesini ya bu, Sementara sudah kusuntikan antibiotik kedalam infusan. Mohon tanda tangan disini untuk persetujuan pemberian obatnya." Penjelasan suster membuatku syok. Tanganku gemetar memegang pulpen yang diberikannya.Suci hamil? Dan aku harus menandatangani persetujuan pemeriksaan wanita dan anaknya Kang Yana?Sebenarnya, hati ini menolak untuk p
Mulutmu Suci!!! begitu lihai menghina dan meremehkan orang lain. Kudiamkan dia berceloreh tak henti. Kuputuskan untuk tak meladeni wanita seperti dia.Baru saja aku beranjak ingin menghindar darinya. Tiba-tiba dia memanggilku dengan nada tinggi."Soraya!" Seketika hening.Lalu wanita gila itu melanjutkan pembicaraannya. Ya, aku memanggilnya wanita gila. Karena tak ada wanita waras yang menyuruh suaminya menikah lagi dan...aahgrhhh..."Hmmh, mana wanita cerdas itu? Katanya cerdas, tapi begitu mudah kau dibohongi Sora, andai saja Kang Yana tidak menikahimu kau akan abadi menjadi perawan tua. Seharusnya kau bersyukur dan berterima kasih padaku."Mendengarnya berbicara sambil berteriak, membuatku ingin menjotos wajahnya. Kukepalkan tangan. Kugertakkan
Pov Suci Rahma DhanyDi Rumah Sakit Dewi HusadaKutatap wajah lelakiku yang terkulai lemah. Aku tertawa menyaksikannya yang terbaring. Sedih? Tidak. Tidak ada kesedihan sama sekali dalam hatiku. Justru sebaliknya kebencian sudah mengerak menahun dalam dada.Bertahun-tahun seluruh perhatian kucurahkan padamu Adhyana! Tapi kau selalu menampilkan sikap cuekmu padaku. Dan...kau malah memilih meminang Soraya. Jelas, hatiku marah besar.Sungguh tampan memang wajah lelaki ini. Kuelus pipinya yang sedikit berjenggot. Kucubit hidungnya meski dia tak merespon. Wajah ini selalu mengingatkanku pada kekasih sejatiku yang telah pergi tujuh tahun yang lalu."Kali ini, aku takkan membiarkanmu jatuh pada lubang yang sama Yana." Kubisikkan pada lelakiku.