Bab 2
Rasa penasaran terus menggeliat dalam hati. Travellingku terlalu jauh, mengira ada adegan ranjang yang terjadi didalam kamar. ingin kudobrak saja pintunya. Tapi tak mungkin, bagaimanapun aku hanyalah orang baru yang tinggal di rumah ini. Dua puluh empat jam saja belum sampai.Suara desahan itu makin samar ditelingaku, hingga lenyap tak terdengar. Kutunggu beberapa menit, mulai hening.
Tiba-tiba suara orang memutarkan kunci pintu dari dalam kamar merebak tepat ditelingaku. Nyaris aku berlari kembali ke kamar.
Cepat-cepat kutarik selimut menutupi seluruh tubuh. Kupejamkan mata pura-pura tertidur.
Kreket...
Suara pintu terbuka pelan. Kuintip dari balik selimut. Kang Yana masuk ke kamar dan langsung pergi ke kamar mandi. Perlahan kubuka selimut membuang nafas.
Hatiku tidak terlalu sakit atau cemburu. Sebab aku menikah dengannya tidak dengan rasa cinta. Cinta dihatiku sudah hilang sejak tujuh tahun yang lalu. Mungkin, begitu juga dengan Kang Yana.
Lelaki setampan dia, bersedia menikahiku yang biasa-biasa saja dan sudah mulai tak cantik. Mana ada rasa cinta, paling dia hanya merasa kasihan padaku.
Tiba-tiba rasa minder itu kembali menyeruak. Perawan tua sepertiku apa pantas disandingkan dengan makhluk sesempurna Kang Yana.
Netraku masih menatap langit-langit kamar yang samar. Ruangan besar hanya diterangi lampu kecil yang menempel di dinding membuat seluruh benda diruangan menjadi bayangan. Seharusnya malam ini adalah malam paling romantis seperti pasangan di film- film bollywood. Meski tak ada cinta, aku telah berjanji memberikan mahkotaku untuk suami.
Karena desahan-desahan tadi, aku jadi enggak mood menggoda Kang Yana lagi.
Tak sengaja mataku terpaut pada gawai yang tergeletak diatas nakas samping ranjang. Ini kali pertama aku berani membuka gawai milik orang lain. Dengan hati-hati ku ambil. Mungkin saja ada sedikit jejak yang bisa menjawab rasa penasaranku. Tapi tak ada yang aneh didalamnya. Layarnya pun tak dikunci.
Ku tepis seluruh prasangka yang berputar-putar diotakku. Tak pantas seorang istri yang baru saja dinikahi menuai kecurgiaan pada suaminya.
"Neng, sudah bangun?" Suara Kang Yana memecah lamunanku. Ah sial akibat pikiranku terlalu banyak travelling. Hingga tak sadar Kang Yana sudah didepanku sambil menepuk nepuk rambut basahnya dengan handuk.
Allah
Apa dugaanku ada benarnya? yang tadi di kamar itu Kang Yana. Tapi siapa wanita yang mendesah itu?
Pandanganku tak lepas dari Kang Yana. Kuakui pesonanya begitu menggoda. Parasnya yang tampan. Badannya yang tinggi. Bidang dada yang lebar . Belum lagi rambut yang sedikit gondrong membuatku tak mampu mengalihakan penglihatanku darinya.
Tapi bukan itu, yang saat ini kurasakan. Hanya ada rasa jijik membayangkan dia sedang melakukan hal yang intim bersama wanita lain.
"I... Iya Kang, aku kebangun haus." Berusaha menyembunyikan kecurigaan, aku turun dari kasur memakai sendal perlahan. Ku ikat rambut lurusku yang berantakan.
"Aa atuh Neng, Aa. Lupa mulu si Neng. Neng duduk saja! biar Aa ambilin ya." Perhatiannya tak membuatku terharu. Malah membuatku berpikir yang tidak-tidak. Bagimana kalau dia mampir lagi ke kamar ketiga.
"Tidak kang, eh Aa. Biar aku ambil sendiri." Aku segera berdiri.
"Kalau begitu, biar Aa antar ya!"
Aku hanya mengangguk membalasnya. Berusaha menolak situasi canggung yang mengunciku. Tapi sebagai seorang istri aku harus tetap waspada. Mencuri pandangan sedikit-sedikit untuk mengawasi seluruh gerak-gerik Kang Yana.
Aku tak mau asal tuduh pada Kang Yana. Takut rumah tangga yang baru beberapa jam yang lalu diucap janji, runtuh oleh seluruh prasangkaku.
Apa aku mulai jatuh cinta dan cemburu?
No...no....! Meski aku tua dan tak cantik, tapi harga diri merupakan harga paling mahal dalam kamus kehidupanku.
Sesekali aku melirik Kang Yana. Tak ada yang aneh, dia terlihat santai didepanku seperti tak melakukan dosa apa-apa. Tangan kanannya merangkul pinggangku. Kami berjalan menuju dapur layaknya sepasang suami istri yang penuh dengan taburan bunga dalam hati.
"Aa, gak dingin mandi malam-malam begini? keramas lagi." Tanyaku tak sabar menghilangkan penasaranku yang tak kunjung pupus.
"Engga atuh neng Aa kan udah biasa. Mandi sepertiga malam itu banyak manfaatnya Neng. Apalagi mandi sebelum salat tahajud."
"Emang apa aja manfaatnya?" Aku bertanya pura-pura antusias sambil membuka kulkas mengambil air dingin.
"Banyak manfaatnya, nih, kita akan terhindar dari penyakit a'in, badan sehat, wajah bercahaya, do'anya dikabul, terhindar dari orang yang berniat jahat. Mencerahkan mata. Bikin awet muda juga. Makanya Aa keliatan awet muda kan Neng?" Kang Yana memelukku dari belakang.
Meski aku enggan mendengarnya. Namun ada benarnya juga yang dikatakan Kang yana.
"Hmmh," ku miringkan senyuman. Tak tahan melihat tingkahnya yang ku rasa penuh dengan sandiwara.
"Duduk atuh Neng kalau mau minum!" Kang Yana mendudukkan badanku di kursi makan. Aku pun hanya terpaku mengikuti arahannya.
Dia menatapku tersenyum.
"Ih ngapain senyum-senyum?" rasanya ingin ku remas mulut seksi itu.
"Neng!" Wajahnya mendekatiku lagi. Tak ada jarak 1inci pun diantara kita.
"I... Iya." Aku sedikit mundur. Kali ini aku tak mau di sentuh. Sebelum mengetahui apa yang disembunyikan Kang Yana. Suara-suara itu masih terngiang ditelingaku. Terbayang bagaimana adegan hotnya bersama wanita itu.
Ngapain dekat dekat. Pergi saja sana lanjutkan yang tadi!
Selesai minum kami kembali ke kamar. Langkahku terhenti di depan kamar ketiga.
" Aa, ini kamar siapa?" Ah bodoh kenapa pertanyaanku seolah menjurus pada kecurigaanku. Bisa-bisa Kang Yana curiga kalau aku tadi mengintip.
"Oh, ini perpustaakaan Aa, kalau Neng suntuk dirumah, baca-baca aja semua kitab Aa, buku Aa juga banyak tentang agama, motivasi.
" Oh, kalau novel?"
"Gak ada Neng kalau novel. Gak ada faedah baca novel."
"Ih, so tau lagi. Siapa bilang novel gak berfaedah justru aku banyak belajar dari novel." Gumamku sambil terus melirik kamar ketiga.
Sayangnya, lagi-lagi tak ada gerak-gerik Kang Yana yang aneh didepanku. Apa dia menutupi semuanya agar aku mengira tidak terjadi apa-apa.
Astagfiruulah...aku kembali menepis semua prasangka burukku terhadap Kang Yana.
***
Usai salat subuh, Kang Yana pamit meluncur ke Bandung, untuk mengisi acara pengajian di pernikahan murid qari'nya. Awalanya aku diajak, "kita bulan madu," katanya. Tapi dengan segudang alasan aku menolak untuk ikut. Lagi pula tak ada lagi rasa ingin bersama berdua dengannya apalagi berbulan madu.
Sementara keinginanku hanya satu. Memastikan seluruh teka-teki yang disembunyikan Kang Yana.
Setelah bayangan mobil mengecil dan berlalu menghilang dari pandanganku. Dengan cepat aku membuka kamar ketiga.
"Dikunci? Bukannya Kang Yana menyuruhku masuk kapan saja agar bisa baca." Aku mulai geram. Kang Yana benar-benar menjebakku. Aku mencari cara untuk membuka kunci itu. Untung saja Bapak mertua menyimpan kunci serep.
Tidak ada jejak mencurigakan dikamar, sesuai kata Kang Yana. Diruangan ini hanya perpustakaan. Lalu apa semalam itu hanya halusinasiku? Berkali-kali aku memeriksa seluruh ruangan mencari apa yang sebenarnya dirahasiakan Kang Yana.
Allah Maha Baik, aku yang dulu kerja sebagai auditor, selalu menemukan celah sekecil apapun kesalahan yang dilakukan karyawan. Kali ini aku menemukan pintu rahasia belakang rak buku.
Ruangannya yang dibuat samar oleh bacdrop tv, menyambung dengan pintu besar sliding full plafond. Bisa-bisa nya dia mendesain ruangan sedemikian rupa. Sampai-sampai aku hampir tak sadar dengan ruangan itu. Rodanya pun tak nampak. Tampilannya seperti lemari. Semua orang pasti tak kan sadar kalau itu adalah pintu rahasia. Pelan-pelan ku geser pintu dengan lapisan kayu itu.
Ruangan besar dengan ranjang indah dan seprai serba putih. Bunga mawar terpajang disetiap pojok kamar. Keindahan kamar ini melebihi kamar yang kutempati semalam.
Ku obrak abrik semua. Kubuka lemari pakaian yang tak terkunci.
Pakain syar'i memenuhi lemari itu. Bebagai lingerie berjejer dibagian lemari lain. Set bra cd dengan berbagai motif transparan terususun rapi.
"Milik siapa ini? lalu dimana perempuan itu?" Ku remas satu lingerie yang berwarna merah seperti mawar.
Aku mengatur nafas. Hatiku mulai bergetar.
Mungkin menurutnya aku adalah wanita bodoh makanya tidak ada yang menikahiku. Kamu salah kang, aku tidak sebodoh yang kamu kira. Justru orang lain ragu menikahiku karena aku terlalu pintar haa..
"Awas kamu Kang!" Ku gertakkan gigi penuh geram.
"Sora, Soraya, Tolong!"Samar, seperti suara seorang wanita berteriak dari luar. Mataku mendelik, keningku mengerut. Kutajamkan runguku agar bisa mendengar dengan jelas. Namun, sedetik kemudian, hening, teriakan itu tak lagi terdengar.Ah, mungkin ini hanya halusinasiku. Mana ada, sepagi ini ada orang berteriak meminta tolong di depan ruamah. Sedangkan, gerbang depan saja masih jauh dari pintu rumah. Ditambah lagi, masih digembok. Mana mungkin ada orang menerobos masuk.Aku menggeleng, berusaha menepis prasangka yang sekelabat menghantui pikiran. Tentang masa lalu yang membuat rumah tanggaku diambang kehancuran. Tentang wanita misterius yang selalu datang tiba-tiba dan membuat hidupku dihantui rasa khawatir, curiga dan merasa sangat terancam.Tidak, tidak mungkin. Lagi pula wanita itu sudah jelas adanya, dan mengaku semua kesalahan yang dia perbuat. Wanita itu sudah bertaubat di depan umum. Dia sudah mengakui segala per
Tibalah malam, malam yang selalu dinanti setiap pasangan pengantin. Ah, pengantin kadaluwarsa. Ya, aku dengan Kang Yana sudah lama menikah, tapi ini adalah kali pertama dia menyentuhku sedekat ini.Saat ini, ku tidak bisa menyembunyikan perasaanku yang berdebar hebat, sama seperti pertama kali Kang Yana mendekatiku. Sentuhan lembut tangannya membuat hati ini berdesir hebat, hingga menembus jantungku yang terasa semakin berdegup kencang. Napasku sungguh tak terkontrol."Sudah siap, Neng?" Kang Yana mendekatiku, lalu wajahnya hampir menempel dengan wajahku. Hidungnya yang bangir nyaris menyentuh hidungku. Tak ada sekat diantara kami. Kedua tangannya melingkar di pinggangku. Dia mendorongku pelan dan menempelkan bibirnya pada bibirku. Kami mengukir cinta yang abadi, di kamar indah yang penuh keromantisan. Memadu kasih dalam balutan kenikmatan surgawi. M
Malam pertama"Bidadari Aa, mau konsep bagaimana?"Kang Yana tiba-tiba memelukku dari belakang. Spontan, tanganku berhenti mengaduk bubur yang sedang kumasak untuknya. Dadaku berdesir. Nafasku kembang kempis. Bagaimana tidak? setelah dua bulan Kang Yana harusbed rest, inilah kali pertama dia menyentuhku sedekat ini. Hembusan nafasnya menembus jilbab menusuk telinga kananku hingga romaku berdiri.Jeda beberapa detik terdiam, jujur tak pernah terpikir olehku konsep seperti apa yang kuinginkan untuk acara resepsi pernikahan. Bagiku, kembali bersama Kang Yana sudah merasa sangat bahagia."Neng mah ikut Aa aja, kalau menurut Aa konsepnya bagus, Neng juga pasti suka."Aku Kembali mengaduk bubur
"Neng, ana uhibbuki fillah." Kang Yana menggenggam tanganku.Malu untuk menjawabnya, aku pun tersenyum membalasnya."Neng juga sayang Aa."______________________________________Brak!!!suara pintu terbuka menghentikan tanganku yang hendak menyuapi Kang Yana lagi.Sontak, kepalaku menoleh kearah pintu. Dan,,, spontan kakiku berdiri saat melihat sesosok perempuan diseret oleh Bradley masuk kedalam ruangan Kang Yana."Suci?" Akupun terkaget.Bradley mencengkram tangannya.Entah apa yang terjadi pada mereka, sampai-sampai Bradley memegang tangan Suci sebegitu eratnya."Ada apa Bradley? Kenapa kamu memegang tangannya seperti itu?"
Suci Rahma DhanySuci Rahma Dhani, ya itu memang namaku. Entah kenapa orang tuaku memberi nama itu untukku. Tapi nama itu telah mengutukku dalam guratan nasib kehidupan. Kehidupanku yang tidak seperti dongeng cinderella atau putri salju yang indah dikemudian hari.Sungguh tragis, semua yang kualami selalu berujung air mata. Dulu Adhyanuarta tidak pernah menyisakan hatinya setitikpun untukku. Dia malah membiarkanku terperosok dalam kesengsaraan batin.Ditambah lagi Kang Yana, hmmh Kang Yana? Geli rasanya mendengar panggilan itu dari mulut Soraya. Yah, Adhyana Afradhy. Memang dia adalah orang yang membuatku tergila-gila karena cinta.Memang, sebelumnya hatiku terkunci oleh Adhyanuarta alias kakaknya. Kakakmya yamg telah pergi membekaskan dendam dalam diri ini. Ya, awalnya aku hanya i
Seperti yang sudah-sudah, Bradley selalu menawarkan bantuan untukku. Meski dia pernah mengatakan perkataan yang konyol, tapi kuakui, pemuda itu termasuk salah satu tipe lelaki yang bertanggung jawab. Buktinya dari awal berangkat, hingga sampai akhirnya terdampar di klinik, dia masih terjaga disni. Mungkin dia juga merasa bersalah atas tertabraknya Suci."Sorry!! Aku tidak tahu, ternyata kamu sangat terpukul dengan kondisi wanita yang kutabrak tadi. Aku jadi merasa bersalah."Sesalnya sambil menundukkan kepala, seperti anak kecil yang meminta maaf pada ibunya ketika melakukan kesalahan."Tidak Bradley, kamu tidak perlu merasa bersalah! Semua sudah jadi jalan takdirNya. By the way, makasih udah jagain Suci tadi." Akupun tersenyum simpatik. Ternyata dia tak seburuk yang kukira. Dan aku berhar