Jack terlihat gusar. Lagi-lagi Max terlambat. Ia tak akan menoleransi keteledoran Max kali ini, meski ia tahu kalau pria itu tidak dalam kondisi baik-baik saja sekarang. Pukulan Jack semalam hanya satu kali, namun sepertinya terlampau kencang sampai sanggup membuat Max tak sadarkan diri.
Aiden berdiri di samping Jack, senantiasa menanti perintah dari pria itu.
Camelia menyusul masuk. Ia tak mengeluarkan suara sama sekali, hanya bunyi sepatu hak tinggi yang berbenturan dengan lantai keramik yang terdengar.
Jack enggan melihat Camelia, ia melengos ke arah lain ketika perempuan itu membawakan seberkas dokumen ke mejanya.
"Ini dokumen yang kau minta, Jack." Camelia segera berderap keluar. Ia merasa canggung setelah kejadian semalam.
Sebelum pesta penyambutan Max kemarin mencapai di penghujung acara, Camelia sudah meninggalkan Max yang masih pingsan sendirian di ruangan. Sedikit tega, namun ia tak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk mem
Max mengerutkan dahi, bingung melihat lewat jendela, Aiden yang sudah menunggunya di depan rumah."Kenapa dia ada di sini, Mom?" tanya Max pada seorang perempuan setengah baya yang sedang menikmati sarapan paginya dengan gaya elegan penuh wibawa.Merry meletakkan cangkirnya setelah menyesapnya sedikit. "Mom tidak tahu. Mungkin Jack yang menyuruh. Bukankah itu baik untukmu, Max? Kau kan jadi tak kelelahan menyetir sendiri," ujarnya seraya mengulum bibir, memperbaiki polesan lipstik agar tetap rata."Tapi aku tak suka, Mom." Max mengepalkan kedua tangannya. Alasan pasti Jack menyuruh Aiden menjemputnya adalah supaya ia tak lagi menemui Zeta."Sepertinya benar-benar spesial.""Apanya yang spesial?" Merry bertanya ingin tahu."Oh ya, kau belum menjawab pertanyaan Mommy kemarin. Kenapa kau pulang terlambat dan wajahmu ada luka lebam?" tambah Merry."Ah... Bukan apa-apa, Mom. Kemarin aku terlalu mabuk dan karena kurang hati-hati aku j
Pagi-pagi benar ketika sinar matahari baru saja menembus jendela kamar Zeta, perempuan itu sudah sibuk meregangkan tubuhnya. Meliuk ke kanan dan ke kiri, beralih ke kepala yang ia tengokkan ke samping, menengadah dan yang terakhir menunduk. Zeta merasa tubuhnya jadi mudah lelah karena jarang berolahraga, padahal dulu ketika ia masih tinggal di apartemen sederhananya ia sama sekali tak pernah melewatkan waktu olahraganya satu kali pun. Meski hanya berlari, ataupun lompat tali di luar apartemen bersama Sena. Setidaknya itu sudah membuat tubuhnya bugar kembali.Zeta keluar dari kamar dengan memakai kaos putih dan celana training. Ia berlari ke luar rumah, menghiraukan panggilan-panggilan para pelayan yang berusaha menghentikannya."Nona Zeta. Anda bisa kelelahan kalau berlari seperti itu," teriak beberapa pelayan yang ikut berlari untuk menghentikan Zeta.Zeta tak berhenti, ia malah memacu gerakan kakinya lebih cepat lagi, ia mengitari halaman luas yang terdampar d
Jack menopang wajahnya dengan satu tangan, mendesah bosan mendengar tuturan panjang Merry yang tak ada habisnya. Di setiap ceritanya selalu Merry selipkan dengan kata-kata pujiannya untuk Max. Ya, selalu itu yang ibunya lakukan."Sudah selesai celotehannya, Mom? Aku mau berangkat." Jack beranjak dari sofa berniat pergi mencampakkan Merry. Ia sudah terlampau muak dengan omongan ibunya, lebih baik bagi Jack untuk mengerjakan dokumen-dokumen yang mungkin saja kini sudah menumpuk tinggi di meja kerjanya."Kau sedang tergesa-gesa ya? Ah... Bagaimana aku bisa lupa, aku ke sini ingin memberikanmu undangan makan malam bersama keluarga besar Grotesque group. Kau harus ikut," desak Merry sembari menjejalkan sebuah amplop berwarna emas ke tangan Jack.Jack memutar mata malas menerima surat tersebut. Makan malam bersama, huh? Bagi Jack itu bukanlah acara makan malam semestinya seperti yang banyak orang tahu, namun acara ajang bagi sanak saudara Jack untuk saling membanggaka
Zeta melirik jam sekali lagi dengan jengah. Ia memainkan ponselnya yang tergeletak di meja ruang utama dengan cara memutarnya berulang kali demi mengusir rasa jenuh.Tadi ia baru saja menghubungi Sena, sahabatnya serta memberikan kabar terkini mengenai dirinya. Sena awalnya marah karena terlalu mengkhawatirkan Zeta, namun Zeta berhasil meyakinkan kepada Sena kalau ia sedang baik-baik saja, maka Sena bisa tenang. Zeta pun tak memberitahu di mana ia berada sekarang kepada Sena, ia berbohong kalau ia sedang berada di rumah salah satu saudara jauhnya yang baik, yang mau memberikan tumpangan untuknya.Lerry yang baru saja menyeduh teh hangat, menjulurkan cangkir tersebut kepada Zeta. "Silahkan diminum, Nona. Udara sedang dingin, teh herbal ini bisa menghangatkan tubuh Nona," ucapnya sembari menunduk sedikit.Zeta tersenyum, jari lentiknya terselip ke pegangan cangkir. "Terima kasih, Bi. Ngomong-ngomong Tuan Jack kok belum pulang ya, Bi. Padahal sudah jam segini
Jack menjadikan sebelah tangan untuk jadi penyangga kepalanya yang terasa begitu berat. Rasanya berdenyut-denyut hebat."Jack, wajahmu pucat. Kau sakit?" Camelia sedari tadi memperhatikan setiap gerak-gerik Jack yang tak seperti biasanya, kali ini pria itu lebih banyak diam dan selalu menopang kepalanya seraya sesekali meringis seperti menahan sakit."Tidak," balas Jack dingin. Ia bahkan tak menatap ke arah lawan bicaranya sama sekali.Camelia terbungkam oleh sikap Jack. Meski Jack sudah memaafkannya, namun sikap dinginnya tetap sama. Ia kemudian undur dari ruangan, membiarkan Jack sendiri.Jack menghempaskan dokumen yang sudah ia tanda tangani ke meja. Hari ini untungnya tidak terlalu banyak dokumen yang harus ia urus, mungkin hanya beberapa dokumen yang penting, selebihnya hanya dokumen biasa yang dapat ia tunda besok untuk penanganannya. Jack menyandarkan punggung sambil memejamkan matanya erat-erat. Perutnya sudah tak bergejolak lagi, hanya sisa rasa
"Ini bukan untukmu. Ini untuk Max." Merry menghindari juluran tangan kecil di depannya yang meminta cookies.Jack kecil hanya bisa memandangi sebungkus cookies itu dengan sesekali menelan ludahnya. Ia begitu ingin merasakan cookies yang terlihat lezat itu. Jack terus meminta bahkan merengek sambil menarik gaun tidur Merry, namun Merry malah menghempaskan tangannya dengan kasar."Pergi tidur sana. Jangan menggangguku!" sentak Merry mengibaskan tangannya di hadapan Jack.Merry menarik tangannya kembali ke samping tubuh ketika ia melihat seorang anak laki-laki lain berlari menghampirinya dengan tersenyum manis. "Mommy..."Max memeluk erat Merry. Mencium pipi kanan, pipi kiri, dan yang terakhir dahi Merry. Merry membalas ciuman Max dengan melakukan hal yang sama."Kau belum tidur?" Merry bertanya kepada Max yang kini duduk di pangkuannya. Sedang, Jack masih berdiri di sampingnya dengan mata berkaca-kaca."Belum, Mom. Aku tidak bisa tidur," balas
"Ah... Ah... Iya terus. Aku mau keluar." Jack mendesah, menikmati pijatan tangan lembut Zeta atas juniornya yang semakin lihai.Ada rasa tak nyaman yang Zeta rasakan ketika Jack terus menerus meremas payudaranya. Ada yang berdenyut-denyut di bawah sana. Sontak, Zeta berhenti memijat dan menengok ke arah pangkal pahanya yang sudah menegang."Kenapa berhenti?" Jack berujar kesal. Ia ikut melirik ke arah inti Zeta. Jack kemudian mengangguk paham. "Selesaikan sesi terapi ini, lalu aku yang akan ganti memuaskanmu," ujar Jack mengulas senyum.Zeta buru-buru merapatkan kedua kakinya. "Tidak perlu," tolak Zeta memijat milik Jack kembali."Ah... Aku mau keluar." Jack meremas payudara Zeta serta memilin putingnya, membuat Zeta kelepasan. Perempuan itu mendesah dan langsung mengatupkan mulutnya rapat-rapat dengan pipi merah menahan gairah yang meletup-letup.Jack mengeluarkan cairan kenikmatannya, mengenai dada Zeta. Jack mengulas senyum puas. Ia menyambar bi
Max membuka matanya perlahan, penciumannya sedikit terganggu oleh aroma obat yang menyeruak di seisi ruangan yang ia tempati. Ia melirik sedikit ke arah sampingnya, melihat Merry tertidur sambil memegangi tangannya yang masih tertempel saluran infus."Mom," lirih Max lemah.Merry merasakan pergerakan tangan Max, ia terlonjak dan segera memanggil perawat."Perawat! Perawat!" teriaknya panik bercampur bahagia.Merry lalu beralih ke putranya itu. "Max, akhirnya kau sadar." Merry membelai lembut rambut Max, matanya berkaca-kaca menatapi wajah pucat Max yang penuh luka lebam. Hatinya sangat hancur melihat putra kesayangannya masih tak berdaya di atas tempat tidur rumah sakit. Kalau boleh, ia ingin menggantikan posisi Max. Biar ia saja yang menanggung semua sakit yang Max rasakan."Mom... Sejak kapan aku ada di sini? Aku harus segera pulang dan mengurusi kerjaanku di kantor," ucap Max berusaha bangkit dari posisi tidurnya, namun sulit ia lakuka