"Dia tidak berada di sini Tuan, baru saja keluar bersama putrinya," kata seorang pelayan di rumah yang cukup besar itu, Martin masih menghafal alamat rumah sepupunya yang kurang ajar itu. "Putrinya? Dia memiliki seorang putri?" tanya Martin. "Putri tirinya, anak dari istri keduanya yang meninggal dalam penembakan sepuluh tahun yang lalu Tuan, sebelum dia dipenjara," jelas pelayan itu. Martin hanya menggeleng bingung, dia sama sekali tidak tahu hal ini, ya memang, karena keluarganya memilih untuk buta terhadap kasus apapun yang menimpah sepupunya Nigel. "Baiklah, bisa berikan aku nomor ponselnya?" tanya Martin. "Tentu Tuan." Dan setelah mendapatkan nomor ponsel yang dibutuhkan Martin yang sejak awal dia tidak pernah menyimpan nomor ponsel orang yang telah mencemari nama baik Dailuna itu. Martin menghubungi nomor ponselnya dan dengan sekali panggilan langsung dijawab. "Aku ingin bertemu denganmu sepupu," kata Martin sambil berjalan ke arah mobilnya dengan langkah yang begitu cepa
"Ayahmu, Martin akan datang kemari, jadi sebaiknya kita tetap berada di sini, Raisi." Raisi hanya menyipitkan matanya memandang Nigel, dia percaya bahwa itu memang ayahnya, jadi dia diam saja, lalu kemudian makanan yang dipesan, rupanya Raisi juga memesan makanan penutupnya. "Bagaimana keadaan keluargamu Raisi?" tanya Nigel. "Anda pasti tahu apa yang terjadi.""Hmm, apa kau tahu apa yang terjadi sayang?" Nigel menatap Lizzia yang mengunyah makanannya. "Aku tidak memperhatikan keluarga Dailuna, Ayah," jawab Lizzia. "Benar, kita tidak memperhatikan keluarga Dailuna." "Oh, begitu, jadi kau bukan bagian dari Dailuna, Tuan?" "Sejak kalian mengabaikan kami, kami juga mengabaikan kalian, satu-satunya Dailuna yang dikenal adalah ayahmu, bukan ayahku, bukan aku, hanya dari kakekmu, ayahmu, dan kau, kami bukanlah bagian dari kalian seutuhnya, kami diabaikan, Raisi, dan itu adalah karena ayahmu," jelas Nigel dengan suara pelan namun cukup menohok di telinga Raisi. Pemuda itu hanya diam da
"Di sini kita bersama dengan pengusaha tersukses di kota kita dan salah satu yang tersukses di dalam negeri, para hadirin, Martin Dailuna, pemilik The Dailuna Office." Seorang presenter yang kemudian memandang ke arah Martin yang duduk bersebelahan dengannya, kini kamera juga mengarah pada Martin dan juga pada presenter cantik itu. Martin mengarahkan pandangannya sejenak pada kamera, sedikit memberi senyum. Penampilan yang menampilkan pria maskulin dan kharismatik, dengan tubuh jangkung duduk tegak dan rambut yang tersisir rapi, Martin menyilangkan kakinya, dia terlihat begitu maskulin. "Oh ya, sebelum kita ke acara inti, saja ingin menanyakan pada Tuan Dailuna kita, bagaimana kabar Anda Tuan?" tanyanya memandang Martin dengan senyum dan salah satu alis yang terangkat. Nama presenter ini adalah Rita. "Ah, Rita, kabarku? Tentu aku baik-baik saja, tapi seperti yang kita ketahui, banyak berita-berita aneh yang muncul membuat para pria kaya panas dingin," kata Martin, beberapa penonton
"Anda baik-baik saja Tuan?" Martin bangun dari lamunannya dan kembali mendengarkan Rita. "Apa yang telah mencuri perhatian Anda Tuan?" "Entahlah, aku masih berpikir bagaimana cara memperbaiki nama baikku yang telah rusak karena media," ucapnya, berbohong dan berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Dan mata Rita, dia terlihat salah seorang kru menuliskan sesuatu dan dibaca oleh Rita, "Oh rupanya ada audience yang ingin bertanya, ah, sepertinya menarik, karena dalam waktu sebulan baru hari ini ada yang ingin bertanya tentang narasumber kita," kata Rita. Kini kamera mengarah pada si audience perempuan yang telah berdiri dari kursi penonton. "Terima kasi Rita atas kesempatan yang diberikan pada saya. Malam Tuan Martin Dailuna." Martin menatap penonton itu dan tersenyum diiringi dengan anggukan pelan. "Hmm, halo, nama saya Asry, emm sejujurnya Tuan, kasus Anda membuat saya tertarik untuk datang menonton talk show ini, tentang perceraian juga perselingkuhan yang terjadi, dan saya sen
Semuanya hancur, reputasi Martin Dailuna hilang, semuanya tidak terkendalikan, bahkan dia juga sudah kesulitan mengendalikan usahanya, bisnisnya, semuanya. Apa yang terjadi setelah video rekaman itu? Bahkan anak-anak melihatnya, itu ditampilkan di telivisi, media heboh memberitakan Martin Dailuna. Rupanya pembenci Martin masih punya hati dengan hanya memperlihatkan setengah video saja, hanya sampai saat Martin dan Andira berpeluk, bercium, dan tak sampai saat mereka betul-betul bercinta sempurna. "Usianya sudah hampir menginjak dua puluh dua tahun, tidak ada yang ilegal," ucap Martin, dia bahkan tidak menatap Rami, dia hanya duduk lemas di atas sofa, dengan baju tidur yang belum lepas sejak semalam. "Bukan masalah ilegal atau tidak, hanya saja, image-mu Mart, kau image dari margamu, dari perusahaan besarmu.""Jadi apa yang harus aku lakukan? Ha?" "Kita tidak punya pilihan Mart, hanya saja, kau hanya harus memperbaiki nama perusahaanmu jika kau tidak ingin ditinggalkan oleh para kol
"Aku tahu masalahmu, aku paham dengan masalah mu itu," kata Lizzia pada Raisi, mereka bersandar pada mobil menatap laut di pesisir pantai. "Aku juga paham dengan gadis yang bersama ayahmu, gadis yang malang," lanjutnya lagi. Raisi menatap Lizzia yang berada di sampingnya, dia cukup heran dengan apa yang dikatakan Lizzia."Bagaimana kau paham dengan kondisi yang tidak pernah kau lalui?" tanya Raisi."Apa kau pikir aku tidak pernah melaluinya?" Dia menatap Raisi dengan tatapan mata yang prihatin. "Apa maksudmu?" Raisi mulai mendekatkan tubuhnya dan menatap mata Lizzia. "Andai kau tahu, keluarga Dailuna semuanya sama saja, mereka semua, sama saja. Ayahmu, kakekmu, Nigel Dailuna, mereka memiliki darah yang sama, dan mereka memiliki keasikan yang sama." Kini Raisi mulai tersinggung, dan heran, kenapa memanggil ayahnya dengan namanya sendiri. "Nigel bukan ayah kandungku Raisi, dia menikahi ibuku, mereka sering bertengkar dan pada akhirnya Nigel merencanakan pembunuhannya, dan menjadik
Tamparan keras yang terasa jelas di pipi Martin, terlihat Rami juga berjalan pelan ke arah pintu dan dia cukup terkejut melihat Martin mendapatkan tamparan dari seorang wanita yang bisa terbilang tua dan lusuh. Martin menelan ludah, mengelus lembut pipi kirinya yang tertampar, sementara mata Bi Ana nanar menatap Martin. "Dimana Andira?!" Suaranya keras menatap nanar Martin, pria ini mengangkat pelan kepalanya dan menatap Bi Ana dengan penuh kesabaran. Martin menelan ludah lalu berkata, "Dia baik-baik saja, dia sedang istirahat," jawabnya pelan. "Aku ingin membawa anakku Pergi dari rumah ini, tolong jangan halangi aku Tuan!" Wanita tua ini mendongak menatap Martin. Dia terlihat sangat-sangat lusuh dan tak terawat, tubuhnya masih lemah, namun dia bersikeras untuk tetap datang ke rumah besar Martin. Martin hanya diam, dia tak menjawab. Bi Ana mengangguk dan masuk menerobos rumahnya. "Andira! Andira!" Dia berteriak keras dan berjalan masuk ke bagian dalam area rumah, dan tak lama ke
"Kau tidak pulang?" tanya Ibrahim pada Hatice yang duduk dengan kaki disilangkan, dia sedang mengerjakan sesuatu, di meja kerja milik Ibrahim. "Untuk apa aku pulang?" "Mungkin Martin membutuhkanmu Hati, dia sedang berada dalam masalah," kata Ibrahim lagi, dia bersandar di sisi meja dan menatap Hatice yang berpura-pura sibuk. "Aku tidak peduli dengannya, dia sudah terlalu buruk untukku, bisa-bisanya dia meniduri gadis seusia putranya," kata Hatice, dua terlihat tidak ingin menatap Ibrahim. "Ayolah Hati, kau seharusnya..." Ucapan Ibrahim terpotong saat mereka mendengar suara bising dari luar rumah. Ibrahim dan Hatice terlihat penasaran dan ingin tahu, mereka menengok ke jendela dan mata Hatice cukup membulat melihat apa yang terjadi. "Andira? Bi Ana? Apa yang mereka lakukan di sini?" Hatice saat matanya mendapati Andira yang diseret masuk ke dalam rumah oleh ibunya, para tetangga juga ikut heboh, dan hanya mengutuk dengan umpatan-umpatan untuk Andira. Ibrahim bergegas keluar rum