Share

Bab 2

Penulis: Goresan Pena93
last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-18 20:53:11

Naluri 2

"Bu, mau ke mana? Ini sudah jam sepuluh malam." Berlian yang belum bisa tidur karena menunggu Ibunya, kini harus bangkit dari kasur lusuh tempat mereka melepas lelah.

Gadis dengan rambut panjang setengah punggung itu mendekati Lela. Menatap pantulan diri mereka. Sementara Lela terus saja mematut diri dan menebar wewangian di sekujur tubuhnya. Tak lupa pewarna bibir yang tampak cerah merona semakin memperjelas ke mana ia akan pergi.

"Udah, lu, tidur aja! Jangan lupa kunci pintunya! Ibu mau cari uang buat kamu sekolah. Buat makan, buat bayar kontrakan juga." Lela menarik ujung gaunnya yang minim itu agar tampak lebih rapi. Ia sama sekali tak melirik gadis yang rindu pelukan di belakangnya.

"Tapi, Bu. Ibu selalu kerja malam. Sebenarnya, Ibu kerja apa? Kenapa tetangga kita selalu menghina kita?" Wajah polos ditambah dengan tubuh kurus yang termakan ucapan tetangga, tiada malam tanpa tangis yang ia tinggalkan.

"Halah, mereka aja yang julid. Mereka itu iri sama Ibu yang sebentar lagi akan jadi orang kaya." Risih dengan ucapan putrinya yang seperti mengarah pada ranah pribadi, Lela meraih tas yang tersangkut pada sebuah paku dalam ruangan itu.

Membalik badannya yang sudah sedemikian rupa, Lela berpesan, "Jangan lupa kunci pintu! Jangan buka sebelum Ibu pulang. Ingat, Ibu cuman nyanyi aja di sana!" Lela lantas pergi.

Kedua tangan memegang kusen pintu dengan wajah menempel punggung tangan, air mata kembali tumpah melepas kepergian Ibunya yang berjuang mencari jalan nafkah. Hanya saja, semakin besar dan tumbuh, Berlian bukan lagi balita yang mudah dibohongi. Ia tahu apa yang dikerjakan Ibunya setiap malam.

Memandang punggung terbuka berbalut gaun merah, berlian melihat Ibunya bertemu dengan seorang pria berjas hitam. Setiap pertemuan ada kecupan dan sentuhan yang membuat bulu kuduk berdiri. Berlian segera menjalankan apa yang Ibunya perintahkan. Ia mengunci pintu dan merebahkan diri di kasur lantai. 

Dinginnya malam memeluk gadis itu dan membuatnya menggigil. Dalam hati berjanji setelah lulus sekolah nanti, ia akan menjadi kebanggaan Ibunya. Ibunya tak akan lagi kesusahan mencari nafkah. 

"Aku Janji, Bu," gumam gadis itu sambil menjadikan tangannya sebagai bantalan. Menarik sesuatu yang mengalir dalam hidungnya.

Malam semakin gelap dan hujan pun semakin deras. Pukul dua dini hari, wanita yang bernama lengkap NurLela itu masih asik menikmati iring-iringan musik memekik telinga. Bercampur baur dengan laki-laki dan wanita malam lainnya, ia meneguk beberapa kali minuman dalam gelas kecil beraroma keras.

Duduk menyadar lengan kekar milik seorang pria berstatus direktur utama sebuah perusahaan. Pujian-pujian manis pria-pria hidung belang menatap Lela penuh ambisi, tetapi malam ini ia tidak menerima orderan karena sedang berhalangan. 

"Halah, alasan saja kamu!" bantah seorang pria yang memang merindukan kehangatan.

"Suer, Bos! Buat apa gue bohong? Lagian juga gue butuh duit, mana mungkin nolak kalau enggak begini."

Mereka kembali menikmati hiburan haram yang berada di sudut kawasan. Beberapa lembaran merah pun disodorkan di depannya. Seperti bermandikan uang, hanya dengan menemani seorang pria kaya, ia bisa meraup berjuta-juta malam ini.

"Lu, mau enggak jadi bini gua? Hidup lu, gua jamin. Kagak bakal jadi kupu-kupu malam lagi." Tawa menggema dari pria itu. 

"Malas, Bos. Nanti, istri Anda bakalan ngelabrak lagi. Kepala gue udah mau copot, Bos, kemarin gara-gara dia. Dia ngamuk. Untung aja ada Pak RT yang membela." Lela mengupas kacang asin lalu mengunyahnya.

"Apa, bini gua ke rumah elu? Bisa-bisanya dia tau kalau kita ada apa-apa?" 

Lela mengendikkan bahunya. Mendengar penuturan wanita itu, sang pria tak begitu ambil pusing. Yang penting malam ini ia senang dan hilang segala beban. 

*

Lela mengendap-endap ketika ia baru saja turun di depan gang. Biasanya menjelang subuh, ia bertemu dengan para hansip yang selalu berjaga. Ia tak ingin lagi ada masalah dan hinaan. Apalagi tertangkap dan bisa-bisa diusir. 

Setelah selamat dari hansip, ia segera mengetuk pintu kontrakan. Karena tak kunjung dibuka, Lela pun mengetuk semakin kencang. Ia sudah tak sabar dan ingin pergi ke kamar mandi.

"Di mana, sih, si Berlian? Lama banget bukanya." 

"Lian! Berlian!" 

Pintu terdengar suara besi digeser, belum sempurna dibuka, Lela langsung menyerobot masuk. Ia pergi ke kamar mandi sempit dalam ruangan itu. Jam kecil di atas lemari dipastikan menunjuk pukul empat pagi, tak lama setelah itu azan Subuh berkumandang. 

Melihat Ibunya datang, Berlian langsung menyeduh air putih hangat yang memang adanya hanya itu. 

"Hah, lega." Lela yang baru saja buang air kecil langsung menggeleparkan diri di atas kasur berhias jamur akibat kebocoran saat hujan. 

"Bu, ini minumnya." 

Gelas bening yang terdapat kepulan asap itu ia letakkan di dekat Ibunya. Berlian menatap Lela dengan perasaan sedih yang tak tahu kapan akan berakhir.

"Heh, Berlian! Lihat, nih!" Lela bangun dan membuka tas. Ia mengeluarkan banyak uang dan memberikan pada putrinya sejumlah satu juta. "Cukup, kan? Cukup, kagak buat bayar SPP?"

Berlian masih menatap benda tips berwarna merah itu. Ia menghitungnya kemudian. "Bu, ini semua dari mana?" 

"Udahlah, enggak usah protes! Elu tinggal bayar ke sekolah dan kita bisa makan besok."

Iqamah menggema, Lela malah berangkat tidur. Sesekali aroma alkohol keluar dari sendawa wanita itu. Ketika putrinya sudah siap berangkat, ia masih tertidur juga. Berlian mencium telapak tangan lalu menggulir punggung tangan Ibunya. Ia meninggalkan butiran bening di sana.

"Berlian berangkat, Bu."

Berjalan dengan pikiran tertinggal di kontrakan, gadis itu sampai tersandung dan hampir saja jatuh. Suara klakson pun membuat telinganya sakit. Gadis itu hampir tertabrak mobil.

Seseorang keluar dari kendaraan besi itu. Ia menatap pada gadis yang tengah sibuk membersihkan sepatunya yang setengah basah karena terkena cipratan air. Berlian mengusap dengan sapu tangan.

"Kamu enggak apa-apa?" tanya pria itu. 

"Enggak, Mas. Eh, Pak." Sungkan dengan penampilan pria itu yang rapi dan khas kantoran, Berlian menunduk.

"Sekolah kamu masih jauh? Biar saya antar," tawar pria itu. 

"Tidak. Tidak usah, sudah dekat, kok. Saya bisa jalan sendiri. Terima kasih," balas gadis itu lalu buru-buru ia pergi. Teringat pria semalam yang menjemput Ibunya, Berlian sangat takut.

Sampai di sekolah, gadis bertudung putih itu memasuki kelas. Ia melepas ranselnya dan tepat bel berbunyi. Semua siswa dan siswi mulai memasuki ruangan. Menerima mata pelajaran hari ini dengan tenang. 

"Eh, anak pelakor!" Sebuah kertas yang sudah diremas terlempar mengenai kepala Berlian.

Berlian tak mau menoleh. Itu sudah biasa baginya dan tak kaget lagi karena seperti makan setiap hari.

"Budeg, ya?" teriak salah seorang siswi lagi. Anak salah satu tetangga yang kemarin menyaksikan Ibunya dilabrak.

Berlian masih terus mengerjakan tugasnya. Ia tak menggapi apalagi saat guru mereka tak ada di kelas.

"Woy!" Kalo ini dorongan kuat pada pundak Berlian berhasil membuatnya tersungkur ke meja. "Kalau gue manggil, noleh, dong!" 

"Sudah-sudah, anak-anak! Kembali semua ke bangku masing-masing!" Untung saja, guru mereka datang dan membuat suasan kelas kembali tenang. 

"Kenapa? Ingat kelakuan Rini tadi?" tanya Bunga, teman sebangku yang masih mempunyai jiwa sosial tinggi. Mereka duduk di depan kelas dan menatap dedaunan yang bergoyang diterpa angin.

"Enggak, Bung. Aku cuman ingat Ibu," balas Berlian. 

"Memangnya kenapa dengan Ibumu?"

Ada embusan napas berat. Apalagi untuk menjelaskan perkara yang tak begitu ia pahami.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Naluri Sang Pendosa    Bab 72

    Terusan berlia"Bagaimana aku tidak memikirkannya? Aku menikah dengan lelaki beristri. Yang sekarang telah berpisah tapi masih sama-sama masih saling mencintai. Aku tidak bisa begini terus, Mas. Kalian kembalilah. Aku akan pergi jauh-jauh dari kehidupan kalian.""Sudah kubilang, pernikahan bukan untuk mainan. Tidak semudah itu berpisah. Apalagi, aku sudah pernah merasakannya. Kalau memang aku dan Nayla ditakdirkan untuk kembali, maka dia harus menerimamu juga."Berlian pasrah saja. Sebenarnya, dia juga ragu. Namun, apa kata Arham, dia akan menurut saja.Setelah beberapa saat, Nayla membuka mata lagi. Yang pertama ia lihat, jelas adalah Arham. Lelaki yang senantiasa menemani. "Mas ...." Nayla langsung menggenggam tangan Arham."Kamu sudah mendingan? Makan dulu, ya? Aku suapin." Arham hendak meraih mangkuk yang ada di atas nakas. "Mas, kenapa dia ada di sini?" Nayla menatap Berlian yang terus menunduk. "Dia, kan, istriku, Nay." Nayla kembali menangis. Ia teringat sesuatu dan masih b

  • Naluri Sang Pendosa    Bab 71

    Fitnah yang akhirnya membawa Arham pada ruangan direktur. Di sana, dia berdiri dan menjawab setiap pertanyaan dari atasannya. "Saya harap, masalah kamu tidak menjadikan nilai kerjamu menurun. Kamu harus profesional, Ham. Kamu sudah mendapat nama baik di sini. Karirmu cemerlang tiga tahun berturut-turut.""Baik, Pak. Saya mohon undur diri dulu." Arham segera keluar. Ia tak sampai hati siapa yang telah membuat fitnah tentang dirinya. Ketika melewati beberapa karyawan lain pun, terdengar bisik-bisik. Mereka saling melirik dan berkata lirih. Tak peduli dengan itu, lepas istirahat siang, Arham menjemput putrinya. Ternyata Berlian ada di sana. Wanita muda dengan wajah yang tampak semakin cantik itu duduk bersebelahan dengan Sherina. Mereka langsung menyambut kedatangan Arham. "Kamu datang dengan siapa, Berlian?" "Aku ...." Berlian masih menimbang. Ia ragu ingin mengatakannya. "Katanya kamu enggak tau sekolahan Sherina di mana? Karena kita hanya datang sekali saat itu."Pertanyaan Arh

  • Naluri Sang Pendosa    Bab 70

    "Maaf, Sus. Saya ingin melihat siapa laki-laki yang bernama istri saya tadi." Ketika Arham menyebut Nayla masih istrinya, ada perasaan lain yang tiba-tiba muncul di hati Berlian. Namun, ia tak begitu mempermasalahkan."Baik, Pak." Suster membuka tutup kain itu. Tampak wajah pucat yang sudah tak bernyawa lagi.Yang paling terkejut melihat itu adalah Berlian. Dia sangat mengenal laki-laki itu. Air matanya lirih seketika. Ia teringat Yoga. Lelaki paling baik yang pernah ia temui. "Mas Alby." Air mata Berlian pecah. Ia menutup mulutnya dengan tangan. Suster pun segera menutup kembali dan membawa Alby ke ruang pengurusan jenazah. Lalu, akan menghubungi pihak keluarga. Dari sana, Berlian meminta pihak rumah sakit agar dia bisa ikut mengantar jenazah. Arham mengizinkan. Setelah selesai, jenazah langsung dimasukkan ke dalam mobil ambulans lagi. Di dalam sana, Berlian ikut masuk bersama dua lelaki di bagian belakang. Sepanjang perjalanan, tangisnya pecah dan hanya bisa berdo'a untuk pria ya

  • Naluri Sang Pendosa    Bab 69

    "Tapi, Om, saya juga punya tanggungan. Saya punya suami.""Lantas, kenapa suami kamu tidak ikut ke sini? Apakah dia menunggu seseorang di rumah sakit? Suami kamu masih cinta sama mantan istrinya?" Berlian semakin merasakan sesak dalam dadanya. Sejauh ini, ia memang melihat kalau Arham memang masih mencintai Nayla. Namun, Berlian sadar diri. Ia tidak berhak cemburu."Om, Ibu di mana? Berlian kangen sama Ibu? Apakah dia pergi juga?" Demi memendam rahasia kehidupannya, ia mengalihkan pembicaraan. "Ibumu sudah pergi juga." Berlian ternganga. Kelopak matanya berkedip begitu cepat untuk menghalau Air mata yang mengaburkan pandangan lagi. Butiran sebiji jagung mulai runtuh dan semakin sering."Dia menitipkan kamu padaku. Dia meminta maaf padamu. Dia juga sudah menjadi lebih baik sebelum kembali pada Tuhannya. Dia sudah bertaubat, Berlian. Sayang, dia tidak bisa bertemu denganmu di saat-saat terakhirnya." Yoga menceritakan semua.Berlian semakin terisak. Besok, ia meminta Yoga agar mengant

  • Naluri Sang Pendosa    Bab 68

    "Dia hanya masih belum terbiasa denganmu. Aku yakin, dengan kamu melebihkan rasa sabar, insyaallah dia pasti akan luluh juga. Tutuplah keburukan itu dengan kebaikan." Malam itu mereka habiskan dengan saling mendukung. Berlian sepakat akan mencoba kembali mendekati Sherina. Tak ada kata mudah sebelum dicoba. Mencoba tak cukup hanya sekali, mungkin kesakitan yang akan kamu dapat di awal. Namun, masih ada harapan untuk berhasil di kemudian hari.*Mobil hitam dengan kaca terbuka berhenti di sebuah halaman yang tampak bersih terawat. Namun, tampak sepi tak berpenghuni. Mereka bertiga turun dari mobil. Arham yang pertama mengetuk pintu setelah bel ia tekan dan tak ada yang membukakan."Assalamualaikum, Nay?" Pria itu berteriak. Di belakangnya, ada gadis yang sudah tak sabar ingin memeluk dan bertemu Nayla. Sudah berkali-kali diketuk, pintu tak juga dibuka. "Kok, Mama enggak buka pintu, ya? Mungkin lagi keluar, Sayang," katanya pada gadis kecil itu. Seketika wajah Sherina meredup. Ia ta

  • Naluri Sang Pendosa    Bab 67

    "Papa enggak akan marah, Tante. Pokoknya aku mau ketemu Mama." Terus begitu, Sherina menangis terisak-isak. Ia meronta sampai memukuli Berlian. "Sherina, kita tunggu Papa pulang kerja aja, ya? Tante beneran enggak tau rumah Mama kamu. Tante minta maaf, ya?" Berlian juga terus membujuk. Ia mengajak Sherina yang masih labil itu ke kamar lagi. Memeluknya dengan hangat dan menganggap sebagai anak sendiri. Mencoba menceritakan kisah-kisah dirinya yang berjuang sendiri, dengan sepenuh hati Berlian menenangkan hati gadis kecil itu. Mereka merebahkan diri di atas tempat tidur yang dihiasi berbagai macam pernak-pernik anak gadis dengan nuansa pinky.Jejak tangis Sherina masih jelas, tetapi dongeng dan sebagian kisah yang Berlian ceritakan belum selesai. Berlian terus menceritakan kebaikan Nayla dan Arham, hingga gadis kecil itu akhirnya tertidur pulas. *"Tante, katanya kita mau ke rumah Mama? Tante tadi sudah janji." Makan malam baru saja dimulai. Berlian kembali membatalkan suapan nasi

  • Naluri Sang Pendosa    Bab 66

    "Mas, anggap ini semua adalah sebuah pelajaran hidup. Sekarang kita harus benar-benar bertaubat. Kita sudah banyak berdosa. Jangan biarkan Sherina melihat dosa-dosa kita. Agar kelak, dia tidak mengulang kesalahan kita.""Kamu benar, Berlian. Kamu benar." Tangis Arham pecah saat itu juga. Mulai saat itu juga, kehidupan mereka berubah. Arham membawa mereka tinggal di rumah baru. Kehidupan berjalan beberapa Minggu dan Sherina kembali sekolah. Akan tetapi, gadis kecil itu tetap takut jika suatu saat tidak ada anak lain yang mau berteman dengannya. "Sherina, kamu sudah siap berangkat? Papa, sudah nungguin di meja depan." Berlian yang baru saja masuk ke dalam kamar gadis itu terkejut melihat Sherina melamun."Tante, aku malu kalau ditanya nanti di sekolah. Kenapa Papa sama Mama pisah." Berlian menghela napas panjang. "Sayang, tidak akan ada yang tahu. Bilang saja seperti biasanya kamu sekolah. Papa dan Mama kamu tetap sama. Tidak ada yang berubah.""Tapi, aku kangen sama Mama. Mama sama

  • Naluri Sang Pendosa    Bab 65

    "Maaf, kami akan segera memeriksanya." Suster mencegah pria itu larut dalam suasana. "Saya Papanya, Sus. Dia kemarin dengan Mamanya, tetapi kenapa sekarang jadi begini?" Kebingungan membuat Arham semakin mengganggu jalannya pertolongan dokter. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya dan kaki bergetar seperti tak bertulang. Hampir terjatuh tak bisa membayangkan apa saja yang sudah terjadi dengan gadis kecil itu. "Bapak, tunggu di luar ruangan saja. Biar kami periksa," kata suster lagi.Akhirnya, Arham pasrah. Ia hanya bisa menunggu saja. Bayangan tawa pada bibir Sherina terulang dalam ingatan. Ia merasakan begitu sempurna hidupnya dahulu. Akan tetapi, sekarang ujian pernikahan membuatnya tahu, bahwa semua akan berdampak pada anaknya. Arham segera menelpon Nayla. Akan tetapi, sampai beberapakali diulang tak juga diangkat. Pria itu bergumam dengan kesal. Ia meninggalkan pesan beruntun dan makian atas keteledoran Nayla sehingga membuat putri mereka yang harus menanggung semuanya. S

  • Naluri Sang Pendosa    Bab 64

    "Berlian!" Arham langsung mendekat dan meminta tolong. Ia langsung menggendong istrinya dan menaikkan ke atas ranjang rumah sakit. *"Apa? Dia sudah menceraikan kamu?" Alby terkejut ketika mereka sudah pergi dari sana dan kini mereka istirahat sejenak di sebuah kafe. Nayla mengangguk. Ia mengusap wajahnya yang sejak tadi basah karena air mata."Benar-benar keterlaluan dia. Bukannya Berlian yang dia ceraikan tapi malah kamu?" Alby menggeleng kepalanya. Tangannya mengepal di atas meja. Mereka tak tahu jika ada gadis kecil yang sudah mulai paham pembahasan orang dewasa. Sherina kecil hanya bisa tertunduk sedih. Ia seperti tidak diperhatikan dan memilih diam-diam pergi dari sana. Sejak tadi, Mamanya hanya sibuk dengan kesedihannya saja. Jalanan begitu ramai, sementara perutnya sudah mulai lapar. Gadis mungil itu memegangi perutnya dan terus berjalan. Ia ingin mencari Papanya lagi. "Lalu, rencana apa lagi yang akan kita lakukan? Kita sudah ketahuan, Nay." Alby meremas kepalanya. Ponse

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status