"Assalamualaikum." lelaki tampan dengan tubuh sedikit lebih berisi dariku mengucapkan salam di gerbang rumah anak anakku, rumah kecil subsidi yang kucicil untuk fatiah dengan penuh perjuangan, rumah yang didekorasinya dengan bagus dan dirawatnya sepenuh hati. aku yang telah memilih untuk pergi dari tempat itu tapi sekarang aku berdiri di sini dan merindukan suasananya. "waalaikumsalam, Masya Allah mas Fadli...." lfatia nampak berbinar dan menyambut lelaki itu. mereka berjabat tangan dan Mas Fadli. menatapnya cukup lama. "apa kabar Fat?""baik, Mas, ayo masuk.""Apa kau sibuk dengan pesanan cucianmu?""iya, tapi itu tugas mesin untuk memutarnya hahahah." Fatia tampak sangat cantik di balik jilbab pink dan senyum lebarnya, Dia terlihat begitu ceria tanpa beban. berbeda dari saat aku bersamanya wanita itu selalu menangis dan murung. "mari kita masuk," ajaknya pada kakak sepupuku yang telah menduda lebih dari 5 tahun terakhir. kedua orang itu masuk ke dalam, sementara aku mulai gel
"ehem, permisi!"aku yang sudah tidak tahan lagi dipersembunyianku. tak tahan hanya mendengar omong kosong itu dari balik dinding ruang tamu langsung berdiri diam pintu teras dan menatap fatiah dengan tajam. wanita itu beralih pandang kepadaku dan mengernyit melihat kedatanganku. Aku terus menetapnya dan Dia seolah heran dengan sikapku, aku sendiri baru sadar bahwa apa yang kulakukan tidak pantas karena Fathia hanya mantan istriku. aku tidak berhak atas kehidupannya, mengendalikan atau mengekangnya. sungguh tak pantas. "ada apa kamu di sini?" Tanya fat, sikapnya yang ramah kepada Mas Fadli sangat jomplang pada sikapnya padaku, dia memasang muka masam dan tatapan mata yang penuh kebencian. "lho Kevin, apa kabar Kevin?""baik, Mas. btw, Mas ngapain di rumahnya Fathia?""kebetulan hotelku dekat jadi aku mampir untuk mengunjungi Fathia dan membawakan kue untuk anak-anak," jawab Mas Fadli dengan senyum lebar, ketulusan dan sikapnya yang jujur itu membuatku segan tapi tetap saja aku har
hidupku masih morat marit seperti awal, masih mencari pekerjaan harian dan sibuk memikirkan permintaan ibu mertua yang mewajibkanku untuk menanggung keperluan dapur dan uang belanja Mila sementara aku telah jujur padanya kalau sampai saat ini belum menemukan pekerjaan yang layak. aku hampir tak tahu lagi harus pergi ke mana, bekerja di bengkel, toko, kedai makanan pun sudah kulakukan. meski harus merendahkan harga diriku aku rela menahannya demi tanggung jawabku sebagai suami yang baik untuk Mila. tapi, yang namanya bekerja seperti itu orang-orang tidaklah semuanya ramah padaku, bahkan untuk pekerjaan yang bukan skill aku sering dimarahi dan dituntut untuk bisa secepatnya. kadang aku dipermalukan dan dihina di depan orang-orang, terlebih saat itu aku bekerja sebagai pelayan di sebuah kantor, Aku diminta untuk membersihkan dan menyapu di kaki orang lain, sungguh itu sangat menyakitkan hatiku. aku yang dulunya sangat dihargai sebagai pegawai negeri dan berpangkat, kini harus mengumpu
"ibu harap kau menerima kenyataan itu," ucap ibu sambil menepuk bahuku. tiba-tiba kemarahanku memuncak aku meletakkan sendok dengan kasar dan langsung berdiri. "Kenapa Ibu malah ikut-ikutan merancang pernikahan Fatia, apa Ibu tidak menimbang perasaanku!" wanita itu melongok mendengar protesku, dia menatap diri ini tanpa berkedip lalu kemudian tertawa, tertawa seolah ia sedang mendengar lelucon dariku. "menimbang perasaan apa? bukankah kau sendiri yang meninggalkan wanita itu dan memilih Mila? jadi ketika dia ingin menikah dan menerima pria lain dalam hidupnya. Apa itu salah?!" "tapi, Bu...kau ibuku!" "Aku tahu aku ibumu tapi wanita itu adalah ibu dari cucuku, penting untuk memperhatikan masalah hati hidupnya sebab anak-anak ikut dengannya. siapapun yang menikah dengan Fathia harus kuketahui asal usulnya karena mereka akan berhubungan dengan kedua anakmu." "kenapa harus mas Fadli sepupuku!" aku meradang dan nyaris berteriak Andai tidak ingat kalau itu adalah ibu kandungku.
"Kulihat kau terus murung dalam beberapa hari terakhir, ada apa?" Tanya wanita itu saat menghampiriku. Dia membawakan secangkir kopi Dan menyapa diri ini yang masih duduk menyendiri di balkon."Aku sedang berpikir bagaimana cara menghasilkan uang yang banyak agen kita bisa segera melangsungkan resepsi pernikahan dan segala sesuatu berjalan sesuai ekspektasi orang tuamu. aku tahu mereka mengidamkan menantu yang mapan dan bisa mencukupi segala kebutuhan keluarga tapi sayang sampai saat ini aku belum memenuhi kriteria itu," balasku pelan.wanita itu tertawa sambil menggenggam tanganku, dia menggeleng pelan lalu berkata. "Jangan pikirkan ucapan mereka, kau hidup denganku bukan dengan ayah dan ibuku.""Andai kau tidak perlu menggadaikan apartemen untuk biaya pernikahan Mungkin kita bisa tinggal di sana untuk sementara waktu, agar aku tidak merasa malu atau risih!""Mengapa kau harus risih pada orang tuaku sendiri, apa kau tidak menyukai mereka?"'bukan begitu? aku hanya kecewa pada diri
demi permintaan mertua dan kegengsiannya yang begitu tinggi, mereka melarangku untuk terus bekerja di kantor swasta sebagai cleaning service. mereka tidak ingin di cemooh apalagi kalau semua orang tahu jika menantu kebanggaan mereka bukan lagi pegawai negeri, tapi hanya babu tukang bersih-bersih dan tukang buat kopi. ego dan harga diri mereka tidak ingin ditampar, mereka tidak mau dipermalukan sehingga mereka mendesakku untuk berhenti bekerja untuk sementara waktu. sudah kukatakan aku tidak masalah dengan jenis pekerjaan apapun asal menghasilkan uang tapi ibunya miya Allah bersih keras bahwa mereka tidak mau dipermalukan. "kok mungkin memerlukan uang untuk makan dan rokokmu sendiri tapi aku tidak akan mempermalukan nama baik suamiku!""tapi Tante, bukankah saya dan Mila butuh makan?""aku tahu tapi tidak dengan cara seperti itu. pekerjaanmu sangat rendah dan bisa mempermalukan kami. dulu aku selalu meletakkan kriteria tinggi untuk calon menantu, semua orang tahu kalau aku ingin suam
"Kevin, selamatkan dia!" aku terhenyak, itu lemes akan riuhnya suara-suara yang ada di sekitarku hilang seketika, mendadak telinga menjadi tuli jantungku berdebar kencang dan Aku gemetar melihat Mila yang ditumpangi minyak sebanyak satu kuali. dia menggepar seperti ikan yang diangkat ke daratan, orang berteriak panik sibuk menyiramkan air dan berusaha menolongnya sementara aku masih jatuh lemas dan menatap semua kejadian itu dengan nanar. "Kevin!" sekali lagi calon suami fatiah mengguncang bahuku, "ayo selamatkan dia!"aku tersadar pada ucapan kakak sepupuku itu, contoh kesadaran itu kembali dan aku segera membantu orang-orang untuk menggosok Mila ke atas sebuah contoh kesadaran itu kembali dan aku segera membantu orang-orang untuk menggotong Mila. kularikan istriku itu ke rumah sakit dalam keadaan dia sudah tak sadarkan diri, wajahnya godong, pun pakaiannya yang jadi kaku karena minyak panas. di UGD keadaannya chaos luar biasa, keluarga dan orang tua Mila datang lalu mereka berta
Beberapa jam menunggu di ruang perawatan hingga istriku kemudian sadar, tubuhnya kami letakkan di atas pelapis yang bisa menyerap cairan dan mempertahankan kelembaban tanpa lengket sedikitpun. kami tidak memakaikan dia pakaian melainkan hanya menutup tubuhnya dengan kain tipis. jangan minta aku untuk menggambarkan keadaannya karena istriku sudah seperti udang yang direbus, seketika jadi merah, kulit-kulit yang rontok karena minyak panas jadi kehilangan epidermis dan bagian kulit dalamnya yang putih terekspos jelas. aku tidak bisa bayangkan betapa sakitnya itu, betapa lama pemulihan dan bagaimana Mila akan mengalami proses agar dia bisa kembali sembuh seperti semula. mungkin terlalu mengerikan kalau aku bilang bahwa harapanku sangat sedikit dan dia bisa saja meninggal tapi, aku terus berdoa bahwa Tuhan memberi kami kesempatan sekali lagi. Mila terlihat mengerjakan mata selang oksigen yang terpasang di hidungnya terlihat tak mampu memberinya bantuan yang memadai. "mas...." wanita i