Share

02. Ida Masuk Ruang Operasi

 

"Memang kamu tahu kalau Ida akan melahirkan anak perempuan?" tanya Uminya bingung.

"Mudahan saja Um, soalnya dia tidak pernah memberitahukan jenis kelamin bayiku ketika dia memeriksa kandungannya," jawab Sulthan kesal.

"Kamu seharusnya lebih memperhatikan Ida, kasihan dia punya suami tapi sepertinya nggak punya suami," ucap Umi kesal.

"Kan ada Ummi dan Mbok Siti, Sulthan sibuk di kantor tidak bisa menjaganya dua puluh empat jam, lagian dia bukan anak kecil yang harus di layani kan?" kilah Sulthan tak mau kalah.

"Ummi tahu sendiri kan Sulthan dari dulu tidak menyukai Ida, dia itu sudah Sulthan anggap seperti adik sendiri," jawabnya lagi.

Tak lama kemudian dokter menghampiri mereka dan mengatakan bahwa dia harus segera mengambil tindakan, karena  bayinya sudah banyak meminum air ketuban.

"Lakukan yang terbaik untuk bayiku Om," jawabnya dengan tegas.

"Satu lagi yang harus saya sampaikan nyawa mereka dalam bahaya, mungkin diantara salah satunya ada yang tidak tertolong mengingat kondisi pasien dan bayinya sama-sama kritis," ucap Dokter itu.

Sulthan berpikir sejenak dan dengan mantap dia mengatakannya sesuatu sehingga membuat Uminya tertunduk lesu dan menangis.

"Selamatkan bayiku saja Om, tidak usah ibunya!" titahnya.

Seketika Ummi Syifa dan Dokter Imran syok dan terkejut atas ucapan Sulthan yang hanya menginginkan bayinya saja tidak dengan ibunya.

"Apa yang kamu katakan Than, kamu hanya menginginkan bayi itu tanpa memedulikan Ida, sungguh keterlaluan kamu!" ucap Ummi Syifa kesal.

Sulthan tidak mau kehilangan bayi itu biarkan saja ibunya lagian Sulthan tidak mencintainya Um!"

"Om lakukan apa saja yang penting selamatkan dulu bayiku, masalah ibunya selamat atau tidak terserah Yang Diatas," jawabnya dengan tenang.

"Baiklah Than, silakan tanda tangan surat ini, sehingga jika terjadi sesuatu pada salah satunya kami tidak bertanggung jawab."

"Baiklah Om, saya siap!"

Setelah menandatangani semua berkas yang di sodorkan perawat itu, mereka tim dokter itu telah menyiapkan ruang operasi.

Ummi Syifa tak henti-hentinya berdoa, mulut dan hatinya membaca doa-doa guna menyelamatkan keduanya.

"Mbak maaf saya berbicara seperti itu, karena saya takut kalian akan lebih syok ketika tahu salah satu dari mereka tidak bisa kami selamatkan, semoga ada keajaiban Mbak," ucap Dokter itu sedih.

"Saya tahu kamu dalam dilema karena kamu sebagai dokter di sini sekaligus kamu pamannya Sulthan, tapi Mbak mohon lakukan yang terbaik aku sangat menyayangi Ida, dia sudah aku anggap seperti anakku sendiri, tolong dia, dia orang baik, aku belum siap jika kehilangan diantara mereka berdua," jelas Bu Syifa sembari menangis tersedu-sedu.

"Insya Allah Mbak, doakan saja yang terbaik, kalau begitu saya permisi dulu Mbak!"

Dokter Imran pergi meninggalkan mereka dalam kekhawatiran yang dalam terlebih lagi Ummi Syifa yang mondar mandir tidak tenang dengan keadaan Ida di dalam kamar operasi itu.

Ingin rasanya memberi kekuatan kepada menantu kesayangannya itu, tetapi peraturan rumah sakit tidak memperbolehkan pasien di temani apalagi di ruang operasi, akan mengganggu tim dokter.

Di dalam ruang operasi Dokter Imran memberitahukan tentang keputusan suaminya kalau dia hanya menginginkan bayinya saja.

Ida tersenyum bahagia setidaknya dia masih mau menerima bayi yang dikandung dalam dirinya.

Sama halnya Sultan ingin bayi itu selamat begitu juga Ida biarlah dia yang berjuang antara hidup dan mati yang terpenting bayinya harus selamat.

Dokter memberikan semangat kepada pasiennya, karena beliau juga merasa terpukul atas sikap keponakannya itu.

"Om jangan khawatir, Ida baik-baik saja, selamatkan bayi Ida ya Om, jangan salahkan Mas Sulthan," ucapnya pelan.

"Om nggak habis pikir dengan sikap Sulthan, baiklah Ida jika Allah menghendaki maka terjadilah, semoga ada keajaiban agar kalian bisa selamat, bersiaplah Ida, kamu wanita kuat dan hebat, Allah pasti membantumu," sahut Dokter Imran yang tak lain adalah adik kandung ayahnya Sulthan.

Setelah semua siap, Ida lalu diberi obat bius setengah badan sehingga dari pinggang ke bawah tidak terasa sedangkan dari pinggang ke atas tidak di bius.

Ada tetesan air mata yang mengalir di sudut matanya, tak kuasa melihat istri keponakannya menangis, segera dokter Imran memberikan instruksi kepada susternya untuk menyemangati Ida.

"Ibu tenang ya, perbanyak zikir dalam hati Bu, yakinlah Allah itu selalu bersama kita" ucap suster itu pelan dibisikkan di telinganya.

Tak lama kemudian Ida memejamkan matanya dengan tetesan air mata yang mengalir terus.

"Ya Allah kuserahkan hidup dan matiku kepada Mu, selamatkan bayiku ini, berilah kehidupan yang layak, dia berhak hidup, berhak melihat indahnya dunia, jangan Kau ambil di sisi ayahnya," Allahu Akbar."

Ida menutup matanya dengan rapat dan di bawah alam sadar mimpinya.

"Nduk, Assalamualaikum!"

"Wa-Walaikumsalam!"

"Ida-- Ida lagi ada di mana ini? mengapa banyak sekali bunga di sini?"

"Apa kamu suka Sayang? Apa kamu mau tinggal di sini bersama Ibu dan Bapak, Nak?"

"Wah ini bagus banget Bu, tempat apa ini, seumur-umur Ida belum pernah melihat taman seperti ini, di mana ini Bu? boleh dong kita selfie buat kenang-kenangan," jawabnya semringah.

"Jangan dong Bu, kasihan cucu kita nggak ada yang jaga," kilah Bapaknya yang masih terlihat sehat.

"Si Ida di sana tidak dicintai oleh suaminya juga kok Pak, lebih baik di sini temanin Ibu, biar saja anaknya Ida mereka yang urus, mau ya kamu Nduk tinggal sama Ibu?"

"Loh kok ada Bapak sama Ibu di sini, mau jemput Ida ya, ikut ya Bu, Ida nggak betah di sana!"

"Jangan dia harus bersama anaknya, kasihan masa masih bayi sudah nggak ada ibunya, suatu saat nanti suaminya akan mencintai anak kita dengan ikhlas bahkan tidak mau melepaskan Ida dengan orang lain," sahut Bapaknya.

"Kembalilah bersama keluargamu Ida, anakmu membutuhkanmu sebagai ibunya, kelak suatu saat nanti kamu akan bahagia lahir dan batin, tetapi perjuanganmu masih panjang dan berliku banyak kerikil tajam yang harus kamu lewati, bahkan mungkin sekali lagi nyawamu menjadi taruhannya."

"Ida, Bapak antar kamu pulang kembalilah Nak, suatu saat kita akan bertemu lagi."

"Tempatmu bukan di sini Ida, belum waktunya, masih banyak perjuangan di sana yang menantimu, percayalah pada dirimu sendiri kalau kamu bisa melewati masalahmu."

"Tidak ada yang tidak mungkin selama kita mau berusaha, kamu akan menemui kebahagiaanmu jika kamu niat mencarinya."

Setelah berhasil mengeluarkan bayinya yang sudah membiru, tidak ada detak jantung bayi itu, dokter pun berusaha semaksimal mungkin agar bayi itu menangis.

Lima menit, sepuluh menit bahkan sudah lima belas menit kemudian bayi itu tetap tidak menangis. Dokter Imran kembali memeriksa denyut nadi bayi itu tetapi tidak ada denyut nadinya, bahkan tubuh bayi itu mulai membiru.

Dokter Imran serba salah di satu sisi bayi itu sudah tidak bernyawa sedangkan ibunya mulai kritis dan denyut nadinya semakin lemah.

Teringat pesan Sulthan kalau beliau harus menyelamatkan bayi itu, tetapi Allah berkehendak lain.

"Bagaimana ini ya Allah, mengapa bayinya Ida tidak menangis?" lirihnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Dok gimana bayi ini sudah tidak bisa di selamatkan, apakah kita langsung beritahu saja dengan keluarga pasien di luar?" tanya salah satu perawat itu

"Tunggu sebentar, saya ingin memberikan bayi itu dulu ke ibunya, untuk terakhir kalinya sebelum diserahkan ke keluarga," jawab Dokter Imran bergetar.

Dokter Imran mencium kening bayi yang berjenis kelamin perempuan itu walaupun sudah membiru masih terlihat kulitnya pasti putih, wajahnya cantik seperti ibunya, bibirnya yang mungil seperti tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status