Seorang pria kehilangan istri dan dua anaknya sepuluh tahun yang lalu. Sejak saat itu, ia mengasingkan diri, hidup seperti orang biasa dan pengangguran. Hatinya tertutup untuk cinta baru karena ia mencintai almarhum istrinya sampai mati. Suatu hari, ia memutuskan menikahi gadis muda yang tidak lain adalah tetangganya. Ia menikahi gadis itu karena kasihan. Gadis itu korban KDRT ibu tiri dan saudara tirinya. Hidupnya yang hampa, kini sedikit berwarna sejak ia menikahi Zeta.
View More"It's time to wake up Piper!" I hear my mom yell from downstairs.
I open my eyes briefly before closing them again. This room is far too bright. I wish I had the power to adjust the sun's brightness as effortlessly as I adjust my iPhone's screen. Sleep beckons me, and I effortlessly surrender to its embrace.
"Piper?" My mom calls up the stairs again. I pull my pillow over my head, trying to muffle the sounds. A short while later, she opens my door and sits on my bed.
"Sweetie, you have to get up. You've been in bed all day. It's already noon," she announces.
What's been up with her recently? Is she feeling down?
I hear my mom wonder.
Oh great, am I feeling down now? Why do moms tend to think like this, always jumping to the worst possible conclusions over minor things, or is it just mine? Where did she even get that idea?
With that thought, I sit up. "You're right, I should probably get up," I say with a smile, hoping it reassures her and, even better, gets her to stop nagging me.
Her lips form a smile. "Glad to hear it, sweetie. I'll go make you... breakfast," she says, hesitating on the word "breakfast," and gives me a kiss on the forehead. I think "brunch" is the word she meant.
She starts to leave but turns back at the door to say, "I love you, honey."
"I love you too, Mom."
And just so you know, when I mentioned "I heard her think," I wasn't mistaken. I've been able to read minds for as long as I can remember. Yep, you heard me right. You're not imagining things, and neither am I—at least, I hope not—so please don't ask! Initially, I assumed everyone had this ability, but I quickly realized that wasn't the case. Wow, I just accidentally rhymed! Apparently, I'm some sort of anomaly with supernatural powers. Perfect, right? Just what every teenage girl dreams of—a special trait she can't control that sets her apart as a freak. It's just delightful.
Go ahead and let it all out now. You can scream, jump around, call me a liar or a freak—whatever you feel like doing, just do it. I understand it’s a lot to take in. I can’t stand hiding anymore, so I’m dumping it all out in one go. Since the moment I was born, I've been able to read minds. Yes, you heard me right. I've never shared this with anyone, not even with my own family. Not with my mom, or with my dad, before he passed away.
I'm an only child, so no, I haven't told any siblings, and not even my best friend Lyra. She'd probably never forgive me if she ever found out I kept it from her this whole time... As far as I know and as far as I can tell, I'm normal in every other aspect, except that I have this one secret. This one crazy thing that is both a blessing and a curse. I can hear people's thoughts. It sounds insane every single time I try to say it out loud, and it’s even crazier to admit it to anyone. Now you understand how terrifying it is to come clean about something like this. Like telling you one plus one is a thousand. But here it is, and I'm done hiding.
Sometimes I wonder why my parents never figured it out. Maybe I babbled endless secrets as a baby and they just thought it was gibberish. I remember being a kid and hearing things I wasn’t supposed to hear.
The truth is, I can’t control other people or move objects just by thinking about it. I’m not a mutant or some weird medical miracle. No top-secret government labs, no freak accidents. And I’m definitely not lying, so don’t even think I am—and trust me, I’ll know if you do. Anyway, that’s the gist of it.
After splashing cold water on my face and brushing my teeth, I head downstairs. Mom is in the kitchen, humming to herself as she cooks eggs and bacon for breakfast. She looks up and smiles when she sees me. The rich aroma hangs in the air, making my stomach growl so loudly it might have been picked up by a seismograph.
"That smells amazing, mom. Thanks," I say, leaning in to give her a quick peck on the cheek before taking my usual seat at the table.
"It's no trouble, sweetheart," she replies, flipping the eggs one last time before placing them alongside the bacon on a warm plate. She hands the plate to me with a flourish and a proud grin. I dig in as if I haven’t eaten in days.
"Everything okay? You seem a little distracted," she says, her voice gentle.
I swallow quickly and offer her a reassuring smile. "Yeah, just thinking. You know how it is."
"Too much thinking and not enough eating," she jokes, ruffling my hair.
The clinking of her coffee cup echoes as she takes a sip. I shove a forkful of eggs into my mouth, the taste mingling perfectly with the bacon.
"Are you sure I'm not keeping you from anything?" I ask, knowing how busy her mornings can be. She shakes her head, her expression one of practiced patience.
"You're not keeping me from anything. Do you want toast?" she says.
"No, thank you." I respond.
Outside, I hear some guys chatting, doors banging, and a loud beeping noise. "What's all the commotion?" I ask my mom as I dig into her famously fluffy eggs.
Mom’s face brightens up with a big smile. "Oh, yes! It seems the house next door, where Belle and Zeus used to live, is getting a new owner. A young guy, around your age, and quite handsome! Looks like he's moving in alone. After breakfast, you should go over and introduce yourself, welcome him to the neighborhood," she suggests enthusiastically, clearly doing that thing moms do when they try to set their daughters up with boys they find appealing. Though, how she can already have a good impression of someone she hasn't met is beyond me.
A cute young guy who already somewhat has my mom’s seal of approval? I’m not really seeking anyone to date, but meeting my attractive new neighbor could be interesting—after all, a little eye candy never hurt anyone.
"Yeah, I might consider it."
"Oh, that's great!" Mom exclaims.
Perhaps Piper will start dating him... That would be wonderful! She's never really dated anyone before, and I wonder why. She's beautiful, kind, smart, and she definitely takes after her mom in terms of looks... boys should be flocking to her.
Oh boy.
"It would be nice to have a guy as a friend," I admit, stressing the word 'friend.'
"Gak usah dipikirkan ucapan mama tadi." Amir duduk di pinggir ranjang, saat bicara pada Zeta yang baru saja melipat mukenanya."Gak kok, Pak. Lagian saya masih kecil, masa punya anak kecil, he he... Bapak juga gak cinta saya kan? Masa gak cinta bisa punya anak! Gak perlu khawatir, Pak. Saya pun setuju."Ekspresi Amir berubah. "Maksud kamu gak mau punya anak dari aku karena aku miskin?" suara Amir terdengar seperti tidak terima. "Bapak waktu itu bilang, bahwa Bapak gak akan sentuh saya sampai nanti saya bisa mandiri dan ketemu sama pria lain. Bapak nikahin saya karena kasihan dengan saya yang terus jadi target kekerasan ibu tiri dan kakak tiri saya.""Oh, iya, benar sekali." Keheningan sejenak menyertai keduanya. Amir tidak tahu mau bicara apa, begitu juga Zeta. "Oh, iya, besok kita ke sekolah.""Eh, saya mau sekolah? Beneran? Paket C ya, Pak?" Amir mengangguk. Ia senang dengan ekspresi Zeta yang begitu semangat. "Besok pagi kita ke sekolah untuk daftar paket C." Zeta mengangguk.
"Ibu tahu gak, aku tadi ketemu siapa di mall?" Yasmin melemparkan totte bag-nya di atas sofa ruang tamu. Asri yang tengah mengaduk adonan donat langsung menghentikan kegiatan tersebut. "Siapa? Temen kamu?""Bukan, tapi Zeta. Anak tiri Ibu itu." Kening Asri mengerut. "Kerja di sana?" "Mau nyopet baju mahal. Berani banget dia masuk tenant baju yang paling murah aja harganya satu juta delapan ratus ribu, Bu." "Hah, Zeta mau maling? Wah, udah terdesak berarti. Suaminya gak bisa kasih makan, makanya Zeta nyopet. Ya ampun, tepat kalau gitu Ibu jodohin sama Amir si Pengangguran tua itu." Asri tertawa puas. Yasmin malah menghela napas. "Loh, kenapa? Jangan bilang kamu kasihan sama Zeta.""Bukan, Bu. Tapi ada yang aneh. Ada nenek-nenek kayak nenek gaul gitu, masa bilang Zeta menantunya. Masa nenek itu orang tua pak Amir? Apa Ibu yakin kalau Pak Amir itu orang miskin?" Asri bukan terkejut, tapi malah semakin tertawa. "Kalau seperti itu, mereka adalah komplotan. Kalau berani ngepet di mall
Pagi itu aroma nasi goreng mengepul lembut dari dapur. Rena duduk di meja makan dengan senyum samar, memandangi Zeta yang sibuk mengaduk wajan. Amir hanya duduk di kursi, masih tampak setengah mengantuk.“Nasi goreng kamu enak sekali, Nak,” puji Rena begitu suapan pertama menyentuh lidahnya. “Bumbu sama matangnya pas. Mama sampai lupa kamu masih muda.”Zeta tersipu, matanya berbinar mendengar pujian itu. “Terima kasih, Ma. Saya cuma masak seadanya.”Amir ikut melirik, tersenyum tipis. “Dia memang rajin masak, Ma.”Selesai sarapan, Rena berdiri sambil menatap Zeta dari ujung kepala ke kaki. Pandangannya berhenti di pakaian yang dikenakan gadis itu—blus tipis yang warnanya sudah pudar, ada sedikit sobekan di bagian lengan. Alis Rena bertaut.“Zeta, kamu nggak punya baju lain yang lebih layak?” tanyanya serius.Zeta menggeleng cepat, malu. “Ini aja, Ma… yang ada.”Rena menghela napas. “Ayo ikut Mama ke mall. Kita belikan kamu pakaian yang pantas.”Zeta langsung gelagapan. “Jangan, Ma. Sa
Amir turun dari ojek online dengan tergesa, begitu ditelepon Zeta, lima belas menit yang lalu. Nafasnya masih memburu ketika melihat mamanya berdiri di teras bersama Zeta. Raut wajahnya langsung menegang.“Mama…” ucap Amir pelan, suaranya parau.Wanita berusia tujuh puluh tahun itu menoleh tajam. Rambutnya yang seluruhnya putih ditata rapi, dan parfum mahalnya samar tercium.“Jadi benar kamu di sini, Mir?” suaranya datar, namun dinginnya begitu dalam. “Setelah bertahun-tahun nggak ada kabar, kamu muncul dengan kejutan seperti ini.”Amir melirik Zeta yang berdiri kikuk di samping pintu. Gadis itu menunduk, jemarinya meremas ujung dasternya yang lusuh. “Masuk dulu, Ma,” kata Amir hati-hati. Ia membuka pintu dan mempersilakan keduanya.Mereka duduk di ruang tamu sederhana yang cat dindingnya mulai pudar. Amir berusaha tampak tenang, tetapi peluh di pelipisnya menyingkapkan kegugupannya.“Jadi,” Mama membuka suara lagi, menatap Amir lurus, “kamu menikah diam-diam dengan… Zeta?” Tatapann
Zeta menatap Amir dengan mata yang tiba-tiba basah. Ucapan lelaki itu barusan menusuk lebih dalam daripada yang ia kira. “Kenapa Bapak ngomong gitu?” suaranya bergetar, pelan namun tegas. “Saya cuma… saya cuma pengin jadi istri yang baik. Bukan mau gantiin siapa-siapa. Saya ketiduran dan.... " Zeta tak sanggup melanjutkan karena ia terlalu syok. Terbangun paksa dari tidur, lalu diteriaki. Amir terdiam, wajahnya masih dingin, tapi sorot matanya berubah sedikit. Namun Zeta sudah lebih dulu membuang pandang."Bapak egois!"Ia melangkah cepat menuju kamar, lalu membanting pintunya cukup keras hingga debu di kusen beterbangan.Di dalam kamar yang gelap, Zeta duduk di tepi ranjang dengan tangan terlipat di dada. Ia merasa seperti udara di paru-parunya ikut pecah. Kata-kata Amir terus berputar di kepalanya: “Kamu ini bukan Shafa!”Zeta memeluk bantal, menekan wajahnya agar tangisnya tak terdengar. Bukan berarti ia ingin melawan suaminya, hanya saja luka itu begitu mendadak. Selama ini ia su
Pagi itu cahaya matahari masuk lewat celah jendela rumah Amir yang sudah lama jarang dibuka. Debu yang berterbangan di udara terlihat jelas, tapi suasana terasa lebih hidup dibanding semalam. Zeta sudah lebih dulu bangun. Dengan langkah pelan ia menyiapkan sarapan di dapur, meski Amir semalam bilang, “Kamu nggak usah repot, nanti aku masak sendiri.”Zeta tetap saja mengiris bawang, memotong sayur, lalu menyalakan kompor kecil yang bunyinya sedikit serak. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena takut, melainkan karena belum terbiasa melakukan sesuatu di rumah yang bukan miliknya. Aroma tumisan bawang menyebar ke seluruh ruangan, mengusir bau debu yang melekat sejak rumah itu lama kosong.Tak lama kemudian Amir keluar dari kamar mandi. Ia berhenti di ambang dapur, menatap punggung Zeta yang sedang mengaduk wajan.“Aku kan sudah bilang, nggak usah repot,” ujarnya, nada suaranya kali ini lebih datar daripada semalam.Zeta menoleh, tersenyum kecil. “Saya cuma bikin yang sederhana aja, Pak.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments