Share

Jarak Yang Aku Ciptakan

Simpanlah apa yang engkau pendam. Hingga debarannya hanya engkau dan Alloh saja yang mampu mendengar.

Waktu terus berjalan. Semakin mendekatkan perihal lamaran yang akan datang. Antara Mas Alshad dan Mbak Nadia. Selagi mereka sibuk menyiapkan aku berlari kecil untuk sedikit menghindar. Bukan hanya hatiku yang akan lelah nantinya jika aku terus ikut andil dalam momentum tersebut, tapi juga tubuhku. 

Banyak orang yang mencariku. Namun dengan banyak alasan aku mampu menghindar. Syukurnya setiap alasan tidak menemukan kekosongan. Sebab memang tugas kuliah sedang banyak-banyaknya hingga harus extra waktu untuk mengerjakannya. 

Sering telat pulang dan menghabiskan waktu di perpustakaan kampus untuk mencari  jawaban dari setiap masing-masing tugas yang di berikan. 

Seperti sore ini, aku masih ada di salah satu bangku dekat kaca jendela perpustakaan. Menyelami satu buku yang sejak tadi mengusik untuk aku baca. 

Jika di bilang kenapa harus dekat jendela, jawabnya kerena aku tidak suka kegelapan. Hanya saat terkena sinar matahari lah aku bisa merasa tenang. Alih-alih saat menemukan bosan, aku bisa bergelirya mengedarkan pandangannya ke halaman kampus yang selalu ramai oleh para mahasiswanya. Dari lantai tiga ini pula, aku bisa melihat semua. Mulai dari gedung, orang yang berlalu lalang, hingga langit yang membentang. Indah, apalagi saat senja mengintip dari kejauhan. 

"Permisi, apa aku menganggumu?'' tanya seseorang membangunkan keseriusanku. 

Aku melihat ke arah seseorang yang menyapa. Mataku melebar saat mengingat siapa dirinya. 

"Kamu?" Kataku.

"Maaf, apa kita pernah bertemu?" tanyanya. 

Matanya melihat ke depan. Namun tidak tentu arah memandang ke mana. Tangannya satunya membawa buku tebal dan satunya menyangklong tas ransel dan di telapak tangannya ada tongkat yang ia selalu bawa. 

"Pernah sekali. Tapi tidak apa-apa, silahkan duduk." 

Aku membantu menarik kursi untuk dia duduk. Dengan meraba-raba dia pun bisa duduk sempurna di sebelahku.

"Aku masih baru hari ini masuk. Tapi tidak menyangka jika ada seseorang yang mengenaliku. Apa kamu juga satu kelas denganku?'' tanyanya. 

Aku tetap menggelengkan kepala meskipun dia tidak bisa melihatnya. 

"Tidak. Kita bertemu di tempat lain." 

"Oh iya? Maaf jika aku tidak mengenalimu." 

Aku tersenyum. 

"Bahkan saat pertama kali kita bertemu kamu juga mengucapkan kata maaf," ujarku. 

Dia adalah laki-laki yang sama, yang kapan lalu menabrak ku. 

"Oh iya? Berarti aku melakukan kesalahan kepadamu, dong? Apa aku menabrak mu? Oh, maaf!''

"Hai, tidak apa-apa. Saat itu jalanan memang ramai. Kamu juga baru datang di kota ini, sebab itulah mungkin kamu tersesat. Untungnya ada seorang wanita yang langsung mencarimu." 

"Wah... Kamu ingat kejadiannya. Tapi sayang sekali, aku sudah banyak sekali menabrak orang. Jadi tidak tahu siapa saja orang tersebut.'' 

Aku tertawa mendengarnya. Lucu sekali dia. Ku lihat di pun ikut tertawa. Manis sekali, apalagi wajahnya terkena sinar sang senja dari balik jendela. 

"Siapa namamu?" tanyanya

"Nimas, Nimas Khairun Nisa'. Kamu?" 

"Aku, Rayhan Ahmad. Senang berkenalan denganmu." 

Dia tidak menjelujurkan tangannya saat menanyakan nama. Tidak seperti orang pada umumnya. Bagus juga, dengan begitu aku tidak perlu memberikan alasan untuk menolak uluran tangannya. 

"Kamu teman pertamaku di hari pertama aku masuk kampus. Semoga kamu betah denganku," ujarnya. 

"Semoga, asal kamu juga betah berteman dengan ku." 

Entah mengapa aku merasa nyaman. Seakan sudah kenal sejak lama. Dia tidak membosankan. Pembicara kami juga tidak menemukan titik jenuh. Aku sampai lupa dengan buku yang sedang aku buka di depanku. 

Sejak dia duduk di sampingku. Dia sudah membuka buku tebal miliknya. Di lembar itu seperti lembaran kosong. Tapi di sana, ada titik-titik yang bisa ia raba. Barang kali itu buku khusus tuna netra. 

Yang aku tahu, meskipun tuna netra mereka masih bisa mengandalkan Indra peraba untuk aktifitas mereka. Tidak jarang jika ada seseorang yang menyandang tuna netra tetap bisa mencapai kesuksesan dalam hidup. Mereka masih bisa menulis, membaca dan bahkan berinteraksi seperti orang pada umumnya. Buktinya, Reyhan dia bisa di sini sebagai mahasiswa. Walaupun aku juga belum tahu jurusan apa yang ia dalami. 

Saat sedang melihat aktivitasnya aku pun berhenti untuk bertanya banyak hal. Dia ke sini untuk mencari ketenangan, masak iya aku menganggunya. 

Ku lihat jam di ponsel sudah menunjukkan angka tujuh belas. Waktunya aku pulang. 

Ruangan perpustakaan masih terlihat berpenghuni meskipun hari mulai sunyi. Segera aku mengemasi barang, memasukkan dalam ransel. 

Chat masuk datang dari Mas Alshad. Pasti dia sedang gaduh mendapatkan kabar dariku. Sebab sejak pagi aku sudah membuat dia kehilangan jejak kabarku. Mbak Nadia pun juga tidak aku hubungi pun tidak aku beritahu tentang keberadaanku. 

Sebaiknya aku menghindar, belajar untuk tanpanya lagi. Sulit memang, tapi harus aku jalani. 

"Aku pulang dulu, ya.... Kamu tidak apa-apa di sini sendirian?" 

"Pulang?" 

Rayhan seperti terkejut mendengar pamitku. 

"Iya... Aku sudah tiga jam di sini. Sudah sore juga. Apa kamu perlu bantuan? Barang kali ada sesuatu yang kamu butuhkan?" tawar ku. 

Dia pasti kesulitan ada di lingkungan yang baru. Jadi tidak tega meninggalkan dia sendirian. 

"Tidak. Aku baik-baik saja di sini. Kamu pulanglah, hati-hati di jalan." 

Aku kira dia akan meminta bantuan. Tapi nyatanya malah membiarkan aku pulang. 

"Baikalah, selamat tinggal." 

"Jangan ucapkan selamat tinggal," bantahnya

Aku yang akan beranjak pergi tertahan dengan perkataannya. Matanya mungkin tidak melihat ke arahku, tapi perkataannya itu adalah untukku. 

"Kenapa?''

"Selamat tinggal hanya untuk mereka yang tidak ingin lagi bertemu. Sedang aku, ingin bertemu lagi denganmu." 

"Ooh," 

"Sampai  jumpa," ujarnya. 

"Sampai juga juga, Rayhan. Semoga harimu menyenangkan," balasku. 

"Assalamualaikum," salamnya.

"Waaikumsalam," 

"Hati-hati,ya!" Kata Reyhan. 

Aku tersenyum. Heran saja, dia tidak bisa melihat ku. Tapi pandangan selalu tepat ke arahku. Barang kali kelebihan itu lah yang membuat dia bisa ada di universitas normal di sini. 

"Terimakasih, kamu juga hati-hati." Balasku dengan melambaikan tangan. Salam perpisahan. 

Barulah aku beranjak meninggalkan dirinya. Bertemu dengannya mungkin sudah menjadi takdir ku hari ini. Orang yang menyenangkan pun membuatku mengerti suatu hal. Bahwa siapapun kamu, pasti akan bertemu dengan seseorang yang ingin bertemu dengan mu lagi di lain waktu. 

Suasana koridor kampus cukup mencekam saat sore hari. Terlebih letak perpustakaan yang ada di lantai atas. Harus melewati beberapa anak tangga untuk sampai ke lantai dasar. 

Jika seseorang yang parno pastilah takut untuk melewati tangga-tangga tersebut. Selain hanya kaki detak kaki saja yang terdengar. Susunan tangga yang memutar membuat halusinasi adanya seseorang yang akan kita temui di balik belokan tangga selanjutnya. Namun ternyata masih sendiri, tidak ada seorang pun. 

Sampai di lantai dasar hati mulai tenang. Kembali terdengar suara riuh orang berbincang dan mengelak tawa. Mahasiswa lainya ada juga yang masih betah di depan kelas-kelas mereka sambil melihat pertandingan basket di lapangan kampus. 

Aku jadi penasaran, bagaimana Reyhan sampai di perpustakaan tadi? Sedang dia baru pertama kali berada di wilayah ini. 

Ah! Barangkali dia meminta tolong seseorang untuk mengantar di ke sana. Di lihat juga dia bukan tipe orang yang pendiam. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status