Share

Selamat Datang Rasa Sakit

Nanti akan ada waktu, di mana hatiku tidak lagi tentangmu. Namun, percayalah hal itu adalah yang paling sulit aku lakukan di dalam kehidupanku.

Larut sekali aku belum bisa tidur, menikmati malam sunyi dengan dentingan piano dari kotak musik yang aku biarkan berbunyi berulang kali. 

Duduk di tepian jendela, menatap bintang yang berkelipan. Malam ini sang bintang sendirian, tanpa rembulan yang mendampinginya. Meskipun begitu, Sang bintang tetap bersinar terang. 

Andai aku bisa seperti itu. Bisa terus terang meski sang rembulan ku tidak lagi bersamaku. 

"Nimas, banyak orang yang akan pergi dalam hidupmu nanti. Tapi, yakinlah... Bahwa hanya aku yang tidak akan meninggalkan kamu." 

Itu adalah kata-kata dari Mas Alshad, ketika aku di jauhi teman-temanku sebab aku sedang sakit cangkrang. 

Penyakit yang menimbulkan benjolan yang gatal, dan bisa menular ke siapapun yang mendekati. Menyebabkan hawa panas dan kadang demam berkepanjangan. Syukurnya, penyakit itu umumnya hanya akan di alami manusia satu kali seumur hidup. Saat itu aku sudah masuk kelas 2 MA.

Barang kali kata-kata itu hanya untuk menghiburku. Tapi, hingga saat ini ucapannya itu selalu terngiang-ngiang. Menjadi aku percaya bahwa dia adalah salah satu orang yang tidak akan meninggalkan aku sendirian. 

Drtttt Drtttt Drttt

Ponsel di atas nakas tidak berhenti bergetar. Mau tidak mau membuatku bangkit dari posisi nyamanku. 

'Mbak Nadia' nama yang terpampang di layar ponsel. Dengan malas aku mengambil lalu menekan tanda hijau, untuk menerima panggilan. 

"Hallo, Assalamualaikum, Nimas..." Suara khawatir terdengar dari balik ponsel. 

"Waaikumsalam, Ada apa Mbak?''

"Sejak tadi aku mengirimi pesan lewat Wa. Kenapa kok gak di balas? Kamu sakit? Kemarin kata Mas Alshad kamu murung seharian. Ada apa? Cerita!''

Aku diam sejenak. Kentara sekali dia sedang mengkhawatirkan diriku. Perempuan baik, sangat baik. Penuh kasih sayang sopan santun, positif, pintar dan mapan. Sempurna. Mas Alshad berhak mendapatkan dirinya, pun sebaiknya. 

''Loh, beneran sakit kamu? Aku ke rumah kamu, ya?" 

"Nggak-nggak, Mbak. Hanya lagi capek saja, ini aku bangun tidur." Jawabku asal. 

Ku lihat jam di dinding. Sudah pukul setengah dua belas. Semoga alasanku bisa ia terima. 

"Beneran? Tumben, biasanya kamu tidur juga agak malam. Ini malah udah bangun tidur." 

"Iya, Mbak. Lagi capek saja," 

"Nulis novel? Jangan terlalu lelah, apalagi di paksain." 

"Iya, Mbak. Gak kok. Hanya capek aja, biasa deadline akhir bulan." 

Mbak Nadia tahu, jika saat ini aku mengisi waktu luang ku dengan menulis di salah satu platform Novel. Selain untuk menyalurkan hoby, di sana aku bisa mendapatkan penghasilan. Menjadi kebanggaan tersendiri saat di mana kita bisa menghasilkan uang sendiri. Tidak terlalu tergantung dan belajar mandiri. 

Sayangnya, sampai saat ini hanya Mbak Nadia saja yang tahu tentang itu. Orang tua, keluarga lainya hanya tahu aku begadang untuk mengerjakan tugas kuliah. 

Andai tahu, mungkin mereka tidak akan mengizinkan. Sebab takut jika itu akan menggangu kuliahku. 

"Ya sudah. Jaga kesehatanlah, bentar lagi aku mau lamaran. Masak iya, kamu sakit. Yang ada nanti di kita kamu sakit karena patah hati." Ujarnya tanpa beban. 

Aku diam. Sebab apa yang ia lontarkan memang benar kejadian. Hanya saja, masih aku simpan sendirian. 

"Apa kamu sudah lihat pesanku?'' tanyanya lagi. 

"Belum. Memangnya ada apa?'' 

"Aku sedang memilih beberapa kemeja untuk seserahan. Bisa pilihkan untuk Mas Alshad mu itu. Aku bingung.'' 

Aku menghela nafas. Begitu lugunya Mbak Nadia, dia bahkan sama sekali tidak menganggap aku saingan. Padahal dia tahu, sedekat apa aku dengan Mas Alshad. em

MEmang kami sudah bersahabat lama. Kami saling mengenal satu sama lain. Kadang tanpa berucap pun kita sudah saling faham. Anehnya, sampai detik ini Mbak Nadia, tidak faham akan rasa yang aku pendam. Sedalam itu kah aku memendam, hingga orang yang sedekat dia bahkan keluarga ku tidak faham? 

"Kenapa tidak Mbak pilihkan sendiri. Kan yang nanti jadi istrinya Mas Alshad, Mbak bukan aku." 

"Hehehe... Iya sih. Tadinya mau pilihin sendiri. Tapi, takut dia gak suka. Biasanya kalau kamu yang pilih dia langsung suka juga, kan? Mangkanya aku minta tolong pilihin." 

"Iya mbak. Tapi ya jangan ke aku terus lah. Mbak Nadia harus mulai pede, milihin sesuatu untuk Mas Alshad. Biar dia juga terbiasa dengan pilihan Mbak Nadia."

"Yah... Nanti kalau dia gak suka gimana?"

"Pasti suka. Mbak adalah pilihan Mas Alshad, dia pasti akan menghargai pilihan Mbak nanti." 

"Kamu yakin seperti itu?'' 

"InsyaAllah..."

Terdengar Mbak Nadia menghela nafas juga. 

"Aku tidak selamanya terus ada di antara kalian. Nanti setelah kalian menikah, kalian yang harus saling menentukan. Aku apalah... Hanya saudara, yang Insyaallah jika butuh bantuan siap untuk datang. Tapi untuk ranah luar saja," kataku. 

Jika di tanya bagaimana hatiku sekarang, pastinya hancur. Aku menciptakan jarak untuk diriku sendiri. Belajar sedikit demi sedikit untuk tidak lagi peduli. Mereka akan bahagia, itu pasti. Sedang aku tidak ingin menjadi benalu, dengan merusak kebahagiaan mereka sebab rasaku yang aku nikmati sendiri. 

"Padahal aku dan Mas Alshad sudah biasa ada kamu, Nimas."

"Iya...Aku pun begitu. Tapi aku juga gak mau kalau di kira perusak hubungan orang. Yah, kalian aman-aman aja, kalian yang nantinya bersatu. Lah, aku? Sekarang aja banyak teman yang bilang aku patah hati gara-gara kamu dan Mas Alshad mau nikah." 

"Itu karena sejak dulu yang sama Mas Alshad itu kamu, bukan aku." 

"Lah, iya... Tapi kenapa malah kamu yang nikah sama Mas Alshad." 

"Hahaha... Ya gak tahu. Tanyain aja ke Masmu itu kenapa malah mau ngelamar aku." Tanpa beban Mbak Nadia mengatakan hal itu. Senormal itu, dan sepositif itu dia menanggapi perkataanku. 

"Malaslah... Tanyain aja sendiri. Ke Ge-er an dia nanti. Di kita buat rebutan kita berdua." Sahutku. 

"Hahaha..."

Kita mengobrol hingga lewat tengah malam. Jujur Mbak Nadia sahabat yang menyenangkan. Saat berbicara dengannya kita tidak akan kehilangan pembahasan. Terus ada, hingga salah satu dari kita kadang harus mengalah untuk menghentikan percakapannya. 

Aku harus belajar bahagia dengan kebahagiaan mereka. Aku harus belajar ikhlas jika memang ini sudah menjadi kehendak-Nya. 

Aku hanya berharap, semoga setelah ini hatiku bisa lekas pulih. Sebab akan sulit jika hati yang sakit. Seluruh anggota badan akan ikut merasakan. Dan aku tidak ingin hal itu menghambat semuanya. 

Di saat kami mengobrol, chat masuk dari Mas Alshad. Aku segera membukanya. 

*Mas Alshad*

Belum tidur, Nduk? Kok jendela balkon kamar dan lampu kamar masih menyala?

Isi chat tersebut. Aku segera secreanshot layar ponsel. Lalu mengirim foto panggilan tersebut pada Mas Alshad. Menulis dibawah foto tersebut, dengan kalimat "Sedang bergadang dengan calon istrimu." Lalu aku kirim lagi. 

Beberapa detik kemudian, Mbak Nadia juga diam. Barang kali juga sedang membalas pesan dari Mas Alshad. Jika aku di kirimi pesan malam-malam seperti ini, apalagi dia. Pastinya dia lebih banyak pesan lagi. 

"Hay, Masmu memarahiku. Dia bilang aku suruh cepat mengakhiri panggilan kita.'' Ujar Mbak Nadia. 

"Kenapa? Biarin aja." 

"Yah, Aku di omelin ini. Katanya mengganggu jam istirahatku." 

"Alasan saja, barang kali dia mau kamu gantian telponan sama dia." 

"Haha, masak iya? Dasar, laki-laki banyak sekali modusnya."

Aku hanya tersenyum. Entah begitu apa tidak alasannya. Tapi, aku merasa Mas Alshad masih lebih mementingkan aku ketimbang Mbak Nadia. 

Sulit, jika terus menerus seperti ini. Akan lebih sulit lagi, jika salah satu dari mereka mengetahui perasaanku yang sebenarnya. 

"Ya sudah, ya Nimas. Kamu bobok gih, tutup jendela terus matiin lampu. Jangan lupa, baca doa," kata Mbak Nadia tiba-tiba. 

"Hehe, iya mbak. Selamat malam, selamat bobok juga. Maaf ya, kalau Mas ku merepotkan."

"Iya nih, dia rempong banget. Katanya lampu kamarmu masih menyala, jendela kamar juga masih terbuka."

"Hehehe... Memang iya. Tapi setelah ini aku tutup kok. Ya sudah ya... Assalamualaikum," 

"Waaikumsalam," 

Selesai. Ku hela nafas dalam-dalam. Merasakan detak jantung dan tikaman yang mengerikan. Lambat laun aku akan terbiasa dengan luka-luka ini. Hingga aku lupa akan rasa sakitnya. Barulah setelah itu, aku bisa mulai menyembuhkan hatiku. 

Aku beranjak dari ranjang. Mulai menutup jendela. Di seberang sana, tepat di kamar lantai dua. Aku melihat Mas Alshad ada di balkon kamarnya. Dia melambaikan tangannya ke arahku. Namun di satu tangannya lagi sedang memegang ponselnya. Di dekatkan di telinganya. Tanda dia sedang menerima panggilan. Mungkin benar, dia ingin Mbak Nadia ganti menelponnya. 

Ku toreh senyum singkat untuk dia. Sebelum benar tirai dan jendela aku tutup rapat. Di sana,dia sedang bahagia dengan kekasihnya. Aku tidak boleh egois dengan meminta perhatiannya. 

Selamat datang rasa sakit. Semoga kamu bisa bersahabat denganku. Agar aku bisa berdiskusi dan meminta bantuanmu. Semoga kelak kamu tidak menampakkan wujudmu di depan banyak orang dan biarkan aku berjuang dengan rasa sakit itu sendirian. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status