Share

Dia Telah Pergi

Hujan yang sama, turun di sebuah perkampungan kumuh di pinggiran kota, di sebuah rumah berdinding triplek dan beralas semen yang terletak di ujung gang. Tiga orang gadis remaja, sibuk menadahi air yang mengalir dari celah-celah seng yang bolong di mana-mana.

Sang ibu yang terbaring lemah, mengerang menahan sakit karena tumor di rahimnya. Disamping menahan sakit, perutnya pun keroncongan menahan lapar, suami yang pergi mencari nafkah tak kunjung kembali. Padahal suaminya berjanji akan membawakannya obat.

"Bu, bapak kok, belum pulang? Anisa lapar," keluh gadis berusia dua belas tahun itu, sambil memegangi perutnya.

"Sabar Nisa, biar Kakak lihat ke dapur dulu, semoga ada makanan." Laila sulung di rumah itu mencoba menenangkan, usianya delapan belas tahun, tapi cara berpikirnya melampaui usianya, ia dipaksa untuk berpikir dewasa, kesulitan menempanya menjadi pribadi yang tangguh.

Laila segera beranjak menuju dapur untuk melihat kalau-kalau masih ada sisa bahan makanan yang dapat diolah.

Aha! Ia menemukan dua buah ubi jalar berukuran sedang, cukup untuk mengganjal perut mereka berempat.

"Rosma, bantu Kakak, ya. Tolong kupas ubinya, biar Kakak yang menyalakan tungku." Laila menyuruh sang adik untuk membantunya, Rosma yang sekarang duduk di bangku kelas satu SMA hanya mengangguk, ia tak cukup alasan untuk menolak permintaan kakaknya, padahal saat itu ia sedang belajar mempersiapkan ulangannya besok.

*****

Waktu seakan melambat, hingga malam menjelang, sang bapak tak kunjung kembali, rasa khawatir menggelayut di wajah Laila, ia melihat ibunya Narti sudah terlelap, karena kelelahan menahan sakit, obat yang ia harapkan tak kunjung tiba.

Kedua adiknya melingkar kedinginan di atas kasur busa yang tipis dan usang, sarung bapaknya, mereka gunakan untuk menutupi tubuh kurus mereka.

Laila menangis, ia takut hal buruk terjadi pada bapaknya, hatinya berdebar tidak karuan. Tak pernah sekalipun bapak pulang terlambat.

Jam tua yang menggantung di ruang depan terus berdetak, jarum pendeknya menunjukan angka sepuluh, hujan yang mengguyur sejak siang, meninggalkan rasa dingin yang menggigit kulit.

Diluar, suara kodok bersahutan, bernyanyi riang gembira menyambut hujan. Nyanyian malam dari sekawanan kodok, berpadu dengan bunyi hujan yang menimpa seng, menimbulkan harmoni lagu, laksana sebuah orkestra alam.

Hujan berhenti, berganti senandung jangkrik dan tonggeret, mengalun merdu, menjalin harmoni. Tonggeret atau sub-ordo cicadomorpha ordo homoptera, adalah serangga yang dikenal memiliki suara nyaring yang ia bunyikan dari pepohonan. Suara binatang ini akan terdengar di akhir musim penghujan.

Lalila masih terjaga, membolak-balikkan tubuhnya gelisah, sayup-sayup terdengar suara serombongan pria mendekati daun pintu rumahnya.

'Tok ... tok ... tok.'

Suara pintu diketuk dari luar, Laila mengkeret ketakutan, antara ingin membukanya atau mengabaikannya.

Tapi, jika bapaknya yang datang, bagaimana? Terpaksa dengan langkah setengah diseret Laila menuju pintu.

"Si-siapa, ya?" Laila memberanikan diri bertanya dengan suara bergetar.

"Ma'af, Bu, kami dari kepolisian ingin mengabarkan keadaan suami anda yang bernama Rusmin," jawab seseorang di luar sana.

Laila terkejut, segera ia membuka selot kunci, dengan tergesa membuka pintu, bahkan setengah menghempaskannya.

"Ba-bapak saya kenapa, Pak?" tanyanya, terkejut.

"Anda siapanya, bisa bicara dengan istri pak Rusmin?" Tak menjawab, polisi bertubuh besar itu malah balik bertanya.

"Saya, anak sulungnya, Pak, kebetulan ibu saya sedang sakit, jadi saya menggantikan beliau."

"Pak Rusmin meninggal dunia, jenazahnya sekarang berada di rumah sakit," terangnya.

Ingin rasanya Laila berteriak, tapi tak mungkin. Teriakannya akan membangunkan orang-orang yang sedang terlelap, dengan membekap mulutnya Laila berusaha menahan tangis.

"Bapak saya meninggal, Pak? Gak, gak mungkin! Ta-tadi pagi bapak saya baik-baik saja." Setengah tak percaya, Laila menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sejenak dua orang polisi itu kebingungan, sorot kedua pasang mata itu menyiratkan rasa kasihan. Pak RT yang juga ada dalam rombongan itu ikut menjelaskan.

"Biar saya yang menjelaskan, Pak," izinnya pada polisi itu. Kedua orang abdi negara itu mengangguk.

"Jadi begini, Nak Laila, tadi pak Rusmin kedapatan akan mencuri sepeda ... tapi ketahuan, akhirnya diamuk masa," jelas Pak RT.

"Bapak saya tidak mungkin mencuri, Pak RT. Bapak saya orang jujur." Laila tak kuasa menahan tangis, pertahanannya jebol seketika, hatinya gemuruh menahan marah. Marah akan takdir buruk yang seakan enggan beranjak dari kehidupan keluarganya. Marah, pada manusia-manusia jahat yang tak punya hati, yang telah membunuh bapaknya. Marah, karena mereka telah membuat Laila dan kedua adiknya menjadi yatim dan ibunya menjadi janda.

"Mengapa mereka membunuh bapak saya, Pak Polisi? Hiks ... hiks ..." isaknya lirih.

"Sabar ya, Nak Laila," hibur Pak RT.

"Besok pagi dari pihak keluarga harus datang mengambil jenazah ke rumah sakit, nanti biar diantar dan diurus oleh Pak RT." Polisi yang satunya menjelaskan kembali. Nampak raut wajahnya menyiratkan kelelahan.

"Baiklah, Nak Laila. Kami pamit, yang sabar ya, sampaikan pada ibu." Satu persatu kelima pria dewasa itu membalikan badannya, meninggalkan Laila dalam perasaan hampa.

Pandangannya kosong, air mata masih mengalir deras membasahi wajahnya. Kedua lututnya masih gemetar karena mendengar kabar yang mengejutkan.

Bagaimana mengatakan kabar buruk ini pada ibu dan kedua adiknya? Rasanya tak akan sanggup.

Ibunya yang sedang sakit, akan sangat terpukul mendengar kabar ini, Rosma yang tengah ulangan di sekolah, akan terganggu belajarnya. Nisa yang masih kecil dan butuh sosok bapak, akankah ia kuat menerima semua musibah ini?

Mulai detik ini, mereka tidak punya lagi bahu untuk bersandar, tidak punya lagi punggung untuk berlindung. Bapak telah pergi meninggalkan mereka semua, secara tragis dan meninggalkan trauma mendalam.

Rusmin, seorang bapak yang penuh kasih, kecintaannya pada keluarga, membuatnya rela bekerja apa saja, asalkan halal dan perut anak-anaknya tak kelaparan.

Rusmin berkerja serabutan, kadang jadi tukang parkir, kuli panggul di pasar atau buruh bangunan, bukan tak ingin bekerja yang lebih layak agar hidup keluarganya terjamin. Apalah daya, keberuntungan belum berpihak padanya.

Dulu ia pernah berjualan keliling, bukan untung yang didapat, tapi malah buntung. Ia juga pernah kerja di pabrik, belum ada setahun sudah dipecat.

Pendidikan Rusmin sebetulnya tidak terlalu rendah, ia pernah mengenyam bangku Aliyyah tapi tak sampai selesai, sebab harus bekerja membantu ibunya bekerja di sawah.

Rusmin yang hobinya membaca menularkannya pada ketiga anak perempuannya, ia banyak mengajarkan arti kehidupan pada anak-anaknya itu, lewat kisah dan dongeng yang sarat akan hikmah. Ia juga pandai mengaji, sehingga mendidik putri-putrinya dengan pendidikan agama yang mumpuni.

Dan sekarang, bapaknya kedapatan mencuri? Rasanya mustahil, Laila tahu betul kepribadian bapaknya, bahkan dia tidak berani mengambil makanan yang disuguhkan di masjid ketika ada kenduri, untuk dibawa pulang, karena merasa bukan haknya. Padahal boleh-boleh saja, karena sudah dihalalkan pemiliknya. Saking takutnya ia akan hal yang syubhat.

Laila kembali menangis mengenang segala kenangan indah dengan bapaknya.

"Bapak, kenapa pergi dengan cara seperti ini?" lirihnya dengan air mata yang tak henti berderai.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status