Share

Nasi Bungkus untuk Laila
Nasi Bungkus untuk Laila
Penulis: Alin Fiazna

Kisah Tragis

"Bakar aja, bakar aja!" teriak seorang pria bersarung dan berkaos oblong, di tangannya terdapat sebuah balok kayu sebesar kepalan tangan, seakan tak puas setelah menghajar tubuh ringkih lelaki yang dianggap maling itu.

"Biar mampus sekalian! Sampah masyarakat memang pantas mati." Seorang lelaki bertubuh tambun menyahuti perkataan lelaki bersarung. Ia juga berhasil menjejakkan kakinya di kepala lelaki yang sudah berlumuran darah, karena dipukuli bertubi-tubi tiada henti.

"Woi, jangan main hakim sendiri! Kita serahkan saja pada yang berwajib," teriak  seorang pria berpakaian petugas keamanan menyeruak kerumunan, ia membawa pentungan untuk menyingkirkan orang-orang yang menghalangi jalannya.

Tapi suaranya tenggelam dalam teriakan kemarahan, tak ada yang menghiraukannya, ia kalah jumlah, ia hanya sendirian sedangkan massa yang ngamuk berjumlah puluhan orang.

Beberapa orang berharap-harap cemas, menunggu polisi yang tak kunjung tiba, sedangkan suasana semakin genting, lelaki itu hampir mati, kehabisan darah.

Pukulan demi pukulan masih menghantam tubuh pria kurus yang dituduh mencuri sepeda itu, usianya ditaksir berkisar awal empat puluhan. Tapi wajahnya terlihat tua, dengan uban yang memenuhi hampir setengah kepalanya. Kulit yang legam tak terawat, akibat terjemur matahari setiap harinya, ia terlihat lusuh, walau menyisakan sedikit ketampanan di masa mudanya dulu.

Darah segar mengalir deras dari pelipisnya, membasahi mata yang sorotnya sudah redup karena putus asa, darah itu menetes, menyatu dengan butiran bening yang terus saja keluar dari kelopak matanya yang membengkak dan berwarna biru, kepalanya bocor kena pukulan balok, giginya rontok dan bibirnya sobek. Menyisakan rasa sakit yang tak terperi.

Ulu hatinya terasa berdenyut, rasa mual membuncah, muntah berhamburan dari perutnya yang terasa melilit, lambungnya seakan pecah, karena bogem mentah yang bertubi-tubi mendarat di tubuh yang sudah melemah.

Sudah berpuluh kali ia memohon dan meminta belas kasihan, namun orang-orang yang sudah merasa menjadi 'Tuhan' itu tak mempedulikannya, mereka merasa pantas menghakimi lelaki yang menurut mereka seorang pendosa itu.

"Saya bersumpah! Saya tidak mencuri, tolong ampuni saya, tolong jangan bunuh saya ..." tangisnya menyayat hati, ia sudah pasrah jika pada akhirnya ia harus mati berkalang tanah.

"Tolong, Pak, Mas, kasihan anak istri saya yang sedang menunggu di rumah. Istri saya sakit, butuh obat." Usaha terakhir kalinya yang ia lakukan, pria itu memohon, kepalanya sampai bersujud meminta pengampunan.

Namun, jangankan merasa iba. Orang-orang itu malah semakin beringas memukuli orang yang tak bersalah, yang diam pasrah tanpa bisa melawan. Kakinya sudah tak mampu menopang tubuhnya yang sudah sangat lemah. Kepalanya berkunang-kunang, yang akhirnya ambruk menimpa bumi.

"Alaaahh ... mana ada maling ngaku!"

"Kelamaan! bakar aja langsung ...."

"Bakar, bakar, bakar!"

"Ya Allah, bapak-bapak tolong hentikan! jangan main hakim sendiri," kata seorang ibu pemilik toko kelontong yang sedari tadi melihat kejadian itu mencoba melerai. Tapi tak ada satupun yang menghiraukannya.

"Ayo bubar, bubar!" Akhirnya satpam yang kini sudah memanggil kedua temannya itu kembali melerai, dengan gigih mereka mencoba menghalangi tindakan anarkis sejumlah oknum yang bersumbu pendek, yang tak berpikir akan akibat yang telah mereka buat dan merugikan orang lain.

Tapi, seseorang menyiramkan bensin ke tubuh lelaki yang belakangan diketahui bernama Rusmin itu, seorang lagi melempar ban karet bekas ke arahnya. Seperti kilatan petir, kejadian itu begitu cepat, entah siapa yang menyulut bensin dengan korek, hingga api dengan begitu cepat melahap benda yang ada di depannya.

Lidah api yang membara itu menjulur menyambar tubuh Rusmin yang tak berdaya, karena ia sudah kehilangan setengah nyawanya.

Jerit tangis dari para wanita yang menyaksikan tragedi yang sangat mengerikan itu menggema. Semua terpaku, tercekat dalam diam. Kengerian menghiasi wajah-wajah pucat yang dilanda rasa bersalah. Nasi sudah menjadi bubur, api sudah terlanjur melahap tubuh Rusmin.

Tak ada yang berusaha memadamkan api, semua orang merasa takut, waktu seperti ter-pause, bumi berhenti pada porosnya, angin tak lagi berhembus, mereka berduka akan kekejaman yang terjadi.

Satu nyawa anak Adam melayang, oleh tangan-tangan durjana, jika alam menangis pilu, karena tumpahnya darah manusia. Tidak dengan iblis, mereka bertepuk tangan dengan riuh, terbahak penuh kemenangan.

"Benarkan, manusia itu tak pantas menjadi khalifah? Yang dikhawatirkan malaikat terbukti benar, kalau mahluk keturunan Adam itu suka menumpahkan darah." Mungkin setan akan berkata seperti itu, mereka berpesta pora melihat pertumpahan darah diantara sesama manusia. Sehingga mereka berhasil mengumpulkan sebanyak mungkin manusia sesat yang akan membersamainya dalam panasnya api neraka.

Dalam waktu singkat, tubuh Rusmin sudah menghitam, hangus. Tubuhnya berhenti menggelepar, tubuhnya tak bergerak, ia telah meregang nyawa. Kini tubuh anak Adam itu terbujur kaku. Bau hangus daging yang terbakar menyeruak merasuki penciuman.

Asap pekat membumbung tinggi, masa yang sedang diamuk murka itu telah menjadi pembunuh. Sirine mobil polisi meraung-raung memecah suara tangis dan teriakan ngeri, sebagian dari mereka pergi, lari tunggang langgang, mencoba bersembunyi dan berlari dari amukan rasa bersalah dan penyesalan. Berlari dari hukum dan tanggung jawab.

Langit mendadak kelabu, awan kumulo nimbus bergulung menutupi cahaya matahari, kilat dan petir bersahutan membuat ciut nyali manusia-manusia perampas kehidupan Rusmin, perampas kebahagian anak dan istrinya yang harap-harap cemas menunggu sang kepala keluarga kembali.

Hujan deras ditumpahkan Tuhan dari bejana-bejana langit, butirannya menyapu debu dan kotoran, tapi tak mampu menyapu manusia-manusia berhati kotor yang terus dengan angkaranya membuat kerusakan dimuka bumi. Rusmin tak bersalah, alam pun mengetahuinya, burung gereja yang bertengger di dahan pohon mangga, tahu persis kejadian sebenarnya.

Rusmin hanya mengagumi sepeda itu, menyentuhnya dan berandai-andai bisa membelikannya satu saja untuk putrinya.

Masih terngiang di lubang telinganya, suara putrinya yang merengek meminta sepeda, agar bisa berangkat sekolah tak berjalan kaki lagi. Rusmin paham keinginan putrinya yang ingin memiliki sepeda seperti teman-temannya.

Namun sang empunya yang sedang membeli nasi di sebuah warteg, salah paham. Ia pikir Rusmin ingin mencuri sepeda anaknya, tak ayal ia meneriaki Rusmin sebagai pencuri.

Orang-orang yang sedang makan di warteg bu Cici berhamburan keluar, para pengemudi ojek ikut berlari menuju warung, pejalan kaki berhenti, puluhan pasang mata bertanya-tanya, apa yang terjadi? Yang sudah mengerti duduk persoalannya menatap tajam ke arah Rusmin.

Lelaki beranak tiga itu mematung. Hatinya menyuruhnya segera kabur, tanpa pikir panjang, secepat mungkin ia berlari. Nahas, tangannya masih memegangi sepeda, tanpa ia sadari ia membawa lari sepeda itu, yang membuat semua orang yakin, jika Rusmin berniat mencuri.

Rusmin panik, ia lari pontang-panting menuju kantor pos satpam di sudut pasar. Hatinya merapal do'a, agar ada seseorang yang menolongnya keluar terbebas dari kesalahpahaman ini.

Sayangnya, sebelum ia mencapai pos satpam, masa keburu meraihnya. Tanpa ampun mereka menghujaninya dengan pukulan. Hantaman yang bertubi-tubi membuat Rusmin terkapar dan tersungkur tak berdaya. Begitulah yang sebenarnya terjadi.

Hujan seakan tahu, ia diutus untuk menyejukkan bumi, juga memadamkan api. Langit menangis pilu melihat jasad Rusmin, air matanya mengalir membasahi jasad hitam yang kaku. Bumi pun seakan mengerti kesedihan langit, air yang deras tercurah meresap ke dalam tubuhnya, membawa masuk kegetiran dan darah yang masih mengalir dari tubuh yang terbakar itu.

Pergilah, Rusmin ... kelak para pembunuh itu akan menemuimu untuk memohon ampun. Mereka akan terjerat penderitaan selama hidupnya, karena hukuman terbesar bagi seorang manusia adalah penyesalan, seandainya waktu bisa terulang atau waktu bisa dikembalikan, mereka tak akan mampu melakukan perbuatan keji seperti ini, dan jika hati nurani mereka masih hidup, maka kematian Rusmin yang mengerikan tidak akan pernah terjadi.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status