Share

Penolakan Warga

Paginya kampung Cibodas geger, berita pembakaran Rusmin menyebar begitu cepat, bagai kapas yang berhamburan, diterbangkan angin ke seluruh penjuru kampung.

Kasak-kusuk diantara warga terjadi di setiap tempat, di warung kopi, pangkalan ojek, tukang sayur, dimana-mana membicarakan Rusmin.

"Gak nyangka, orang yang kukira paling baik di kampung ini, ternyata seorang maling." Bi Warsih yang sedang memilah-milah sayuran mengawali gosip pagi ini.

"Gak heran, Bi, orang yang rajin shalat, rajin ibadah ke masjid, bisa saja berbuat nekad, kalau sudah terpepet ekonomi, malaikat pun bisa berubah menjadi setan," timpal Astri.

"Gak usah ngadi-ngadi lah, kalian ini gak tahu pasti kebenarannya, bisa saja itu fitnah." Mak Yati, yang terkanal galak di kampung Cibodas berusaha membungkam biang gosip itu.

"Faktanya gitu ko, Mak! pokoknya ya, aku gak sudi, mayat maling itu di makamkan di kampung ini, mencemari saja. Malu tahu, nama kampung kita jadi jelek!" Bi Warsih emosi melempar seikat kangkung ke atas gerobak.

"Terserah kamulah, War, ingat! Apa kamu gak kasihan sama keluarganya, bayangkan jika itu terjadi pada keluarga kamu." Mak Yati malas berdebat, ia segera menyudahi belanjanya.

"Gak akan, keluargaku, keluarga baik-baik woi!" timpalnya berang.

"Sudah ... sudah ibu-ibu. Bubar!" teriak mamang sayur geram, karena sayurannya dibanting-banting. Daun kangkungnya sampai patah-patah, untuk bukan telur yang mereka lempar, bisa tekor dagangannya.

Gaung suara penolakan kian menggema, warga disana menolak jenazah Rusmin dimakamkan di kampung Cibodas.

Pak RT dan Laila belum bisa mengambil jenazah ke rumah sakit, sebab liang lahat untuk menguburkan jenazah Rusmin belum tersedia.

Di rumah, Laila dan Narti serta kedua adiknya tak bisa berbuat apa-apa. Mereka bingung harus kemana melangkah, sedangkan untuk keluar rumah saja mereka tak memiliki keberanian.

Rasa takut dan bingung merasuki hati mereka, berharap semua hanya mimpi buruk, dan mereka sedang tertidur yang sebentar lagi akan segera terbangun.

Si bungsu Nisa masih terus menangis. Ia mempertanyakan kekejaman terhadap bapaknya.

Rosma bertanya pada Laila. "Kak, mengapa ada manusia yang begitu kejam di dunia ini? atas dasar apa, mereka membunuh bapak? jika bapak bersalah dan seperti apa yang mereka tuduhkan, apakah tak ada hukum untuk menghukum seorang pencuri, sehingga harus dihakimi massa?" Rosma terisak dengan bulir bening yang terus berjatuhan dari kelopak matanya yang sudah bengkak.

Laila terdiam, ia tak dapat menjawab pertanyaan Rosma.

"Kata ustadz Amir, jika membunuh seorang manusia dengan zalim, sama dengan membunuh seluruh manusia di dunia ini, itu ada dalam Al Qur'an, iya kan, Kak?" tanyanya lagi.

Laila mengangguk, iya tahu yang dimaksud Rosma itu surat Al-Ma'idah ayat 32. "Kita yakin saja, Allah itu Maha Adil, pasti orang-orang yang sudah membuat bapak meninggal akan mendapat balasannya, sekalipun tidak di dunia ini, mereka tak kan bisa menghindar dari pengadilan Allah kelak di akhirat," jawab Laila.

Laila sadar, jika para pelaku belum tentu bisa diadili, Laila menyerahkan semuanya pada yang berwenang, ia sadar jika tak dapat membeli sebuah keadilan, ia tak punya uang, jangankan untuk menuntut di pengadilan nanti, untuk makan saja mereka kebingungan.

Mereka kembali menangis, mengalirkan kekuatan pada hati mereka, dengan saling berpelukan. Menangis bukan kelemahan, tapi menyusun kekuatan baru, agar dapat tegak menghadapi badai.

Setelah puas menangis, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, lama keheningan tercipta.

"Laila apa sebaiknya, kita menghadap ustadz Amir, biar beliau bicara pada warga, Ibu gak sanggup kalau harus mengirim jenazah bapak ke Garut, darimana biayanya?" Narti membuka suara, tubuh yang hanya tulang berbalut kulit itu bersandar pada lemari reot milik anak-anaknya.

Ternyata masih ada rasa sakit yang lebih parah daripada penyakit di rahimnya, yaitu rasa sakit, karena kehilangan belahan jiwa, lukanya menganga lebar berlumur darah. Terlebih kepergiannya teramat tragis.

Laila mengangguk setuju, ustadz Amir harapan satu-satunya, orang yang dapat menolong keluarganya, beliau sangat berjasa dalam kehidupan Laila.

Dari beliau Laila menimba ilmu, dari mulai menghafal Al-Qur'an sampai belajar bela diri.

Ia yakin kalau ustadz Amir bisa membantunya, beliau orang yang paling dermawan dan paling disegani di sini.

"La, kita makan dulu, tadi ada mie instan dan telur yang dikirim ustadz Amir untuk kita," kata Narti. Mereka hampir lupa jika perut mereka belum terisi makanan. Terakhir, perut mereka hanya diisi ubi rebus kemarin sore.

"Baik, Bu. Rosma, tolong bantu kakak, ya," pinta Laila pada Rosma. Mereka berdua segera menuju dapur untuk menyalakan tungku.

Nisa akhirnya tertidur setelah kelelahan menangis, dahinya terasa hangat. Mungkin akibat kelelahan dan kesedihan yang teramat mendalam. Nisa begitu dekat dengan Rusmin. Ia teramat manja pada bapaknya itu.

Setelah selesai makan dan membereskan rumah gubuknya yang berantakan, memunguti ember dan kaleng yang digunakan semalam menadahi air hujan dari atap yang bocor, Laila bergegas keluar rumah, menuju rumah pak RT dan ustadz Amir yang kebetulan rumahnya bersebelahan.

Tapi ia terkejut, ketika di luar, melihat kerumunan orang di depan rumah Dirman, kakak kandung Narti.

Rupanya para wartawan dari stasiun TV, terus berdatangan. Laila sengaja tak membuka pintu rumahnya karena masih shock, tak kehilangan akal para wartawan itu mencari informasi dari warga sekitar,  akhirnya mereka menemui Dirman, sebagai keluarga terdekat Rusmin.

Dirman, kakak Narti memposisikan dirinya sebagai juru bicara keluarga, terlihat sibuk menjawab pertanyaan wartawan yang akan mengangkat kejadian tragis itu ke layar kaca dan media cetak.

Laila tak peduli, ia tahu Dirman hanya sedang memanfa'atkan momen kematian bapaknya untuk kepentingan sendiri. Mungkin ia ingin masuk TV dan menjadi terkenal.

Semalam Laila memohon pada Dirman agar membantunya menyelesaikan urusan administrasi rumah sakit dan mengurusi jenazah Rusmin, tapi sedikit pun tak dihiraukan, Laila malah diusir dan diperlakukan buruk oleh keluarga yang merasa dirinya kaya itu.

Laila jujur mengakui pada Pak RT jika keluarganya tak memiliki uang untuk mengurus jenazah Rusmin, Pak RT janji akan membantunya.

Akhirnya setelah proses mediasi dan perdebatan alot, warga kampung Cibodas mau dengan legowo menerima jenazah Rusmin, dengan di pimpin pak RT dan ustadz Amir, jenazah Rusmin bisa dimakamkan dengan layak, pemerintah setempat memberi santunan untuk keluarga Laila yang kurang mampu, sebagian digunakan untuk mengurus administrasi dan lainnya, walau tak banyak, tapi banyak membantu.

Beberapa warga yang baik ada juga yang memberikan bantuan berupa uang dan beras. Meringankan beban Narti dan anak-anaknya untuk beberapa hari ke depan.

Bu RT membantu memberikan makanan bagi warga yang menguburkan dan mengurus jenazah Rusmin. Narti sampai berpuluh kali mengucapkan terima kasih. Jasa-jasa mereka tak akan terlupakan.

Setelah kepergian Rusmin, Laila sadar hidupnya yang sulit akan semakin sulit. Dia bertekad akan berjuang untuk menggantikan posisi bapaknya sebagai anak tertua, ia sudah memulai mempersiapkan hati dari sekarang. Menyiapkan mental agar kuat dan tak mudah goyah.

'Wahai diriku, bertahanlah! Wahai hatiku, tangguhlah! Kita hadapi dunia yang kejam ini dengan kekuatan sabar. Ya Allah, bantu aku, tolong aku, kokohkan kakiku agar bisa berjalan mencari nafkah untuk keluargaku, kuatkan genggaman tanganku agar bisa memikul tanggung jawab ini!' batinnya terus berkecamuk, terus berdo'a memohon diberi kemudahan.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status