Share

Mencoba Tegar

Tengah malam, saat manusia sedang terlelap dalam buaian mimpi, samar-samar dalam keremangan, Laila melihat ibunya sedang terduduk.

Ibu yang telah melahirkan dan merawatnya itu seperti tengah menangis. Suaranya lirih, dengan rintihan yang menyayat hatinya.

"Ya Allah, sakit sekali perut ini. Aku bukan nabi Ayyub, yang mampu bersabar menahan derita sakit selama puluhan tahun, aku hanya wanita lemah yang tak tahan akan cobaan ini, jika kematian lebih baik bagiku aku ikhlas ya Allah, aku ridha," isak Narti tertahan.

Ia menangis menikmati sakitnya dalam kesendirian. Lima tahun, tak pernah sedikitpun terdengar keluhan dari lisannya, tapi malam ini, ia sepertinya tak tahan lagi. Seseorang yang selalu menguatkannya, yang selalu menghiburnya, pergi mendahuluinya. Meninggalkan ia sendirian dalam kesakitan dan keputusasaan.

"Bang, seharusnya aku yang mati, bukan kamu. Kenapa harus kamu, bang? Aku tak sanggup melanjutkan hidup ini, aku tak punya keberanian. Aku tak mungkin bertahan. Bagaimana nasib anak-anak kita, bang? Hiks ... hiks ...."

Laila yang masih tetap berpura-pura tidur ikut melelehkan air matanya, ia membekap mulutnya dibalik selimut. Matanya terpejam, sekuat mungkin menahan rasa sakit.

Hatinya memaki para elit politik yang dulu datang ke rumahnya, membawa rombongan media, dari mulai reporter sampe kameramen, siap mendokumentasikan mereka yang sedang menebar janji-janji manis dan harapan palsu.

Ada yang berjanji akan mengobati ibunya, akan membawanya ke rumah sakit besar untuk dioperasi, ada yang menjanjikan beasiswa untuk kelangsungan sekolah mereka bertiga. Bahkan ada yang berjanji memberinya biaya hidup tiap bulan.

Tapi janji tinggal janji. Baswara surya berganti cahaya rembulan, bilangan purnama berlalu, musim hujan telah berganti kemarau, bantuan itu cuma wacana tanpa pernah terwujud.

Sejatinya Laila telah membuat kartu sehat untuk orang miskin, tapi tetap saja tak cukup. Walaupun biaya rumah sakit dan obat gratis, biaya akomodasi dan transportasi harus ditanggung sendiri. Sampai sekarang uang itu belum terkumpul.

Jika saja uang sepuluh juta sisa santunan pemakaman Rusmin tidak diambil Dirman, pasti Laila sudah bisa membawa ibunya ke rumah sakit.

Laila merasa dikhianati uwanya. Tega-teganya, mengambil mereka yang sudah menjadi yatim. Sudah menjadi kebiasaan di kampungnya itu mengadakan tahlilan selama tujuh hari. Narti dan Laila meminta izin Pak RT dan meminta ma'af pada warga jika mereka tidak bisa mengadakan acara tahlilan.

Warga memaklumi, tapi Dirman ngotot jika acara tahlilan harus tetap dilakukan, akhirnya Pak RT mengadakan acara tahlilan di masjid, untuk dana ditanggung warga setempat secara swadaya.

Narti yang tidak mengetahui jika dana tahlil ditanggung warga, percaya saja saat Dirman menagih dan meminta ganti pada Narti.

"Narti, uangnya mana? Aku kan sudah bilang sama kamu. Aku minta uang sepuluh juta untuk acara tahlil. Aku sudah menalanginya dulu, jadi kamu harus bayar padaku," tagihnya kala itu.

"Tapi, Wa, bukannya ditanggung warga biayanya?" Laila menolak menyerahkan uang itu.

"Kamu pikir, aku mengurusi semuanya tak pakai biaya, hah?! Aku yang ke rumah sakit, ke kantor polisi, ngurus pemakan dan tahlilnya, tapi mana!? Gak ada rasa terimakasihnya sama sekali. Suami kamu itu, Nar, selama hidupnya nyusahin, mati pun tetap nyusahin."

Padahal yang mengurus semua rangkaian pemakaman adalah pak RT dan ustadz Amir beserta santri-santrinya, Dirman hanya menjadi penonton, yang hadir ketika semua urusan sudah selesai.

"Jangan menghina bap–" belum sempat Laila menyelesaikan ucapannya, mulutnya keburu dibekap Narti.

“Biarkan Ibu yang bicara Laila. Kang Dirman, sisa uang santunan itu untuk kehidupan anak-anakku. Mereka masih harus sekolah. Bagaimana bisa, Akang tega pada keponakan dan adikmu sendiri?”

“Sudahlah, Nar, Serahkan uang itu! Jika tidak, kamu akan tahu akibatnya.” Ancaman Dirman tak main-main. Keserakahan telah menguasai hati dan akalnya.

"Sudah Laila, serahkan saja uangnya. Uwamu itu, walaupun orang mampu, tak ‘kan pernah merasa cukup dan puas, biar kita yang mengalah."

Dengan berat hati Laila menyodorkan uang tersebut. Bukannya membantu meringankan beban saudara yang tengah kesulitan, tapi malah sebaliknya, membuat mereka semakin sengsara.

"Nah ... gitu dong. Harusnya, kalian itu bersyukur aku masih mau mengurusi kalian."

"Tapi ingat, Wa! Jangan pernah sekalipun menghina bapak kami." Suara Laila bergetar menahan marah, tapi ia harus mengatur intonasi bicaranya agar tak berteriak.

"Memang bapakmu yang bikin malu, kalau gak mampu beli ya tahan jangan maling, jadinya matinya mengerikan, bikin aib keluarga saja."

Narti yang dari tadi menahan amarahnya kali ini tak tahan lagi.

"Kang, aku menghormati kamu sebagai kakak kandungku, tapi kali ini aku malu rasanya mengakui kalau kita benar-benar terlahir dari rahim yang sama," teriaknya histeris. Ia benar-benar sakit hati akan sikap kakaknya yang di luar batas.

"Baguslah kalau gitu, harusnya aku yang malu punya adik seperti kamu, bikin malu dan mencoreng nama baik keluarga." Dirman melengos, wajahnya padam karena mendapat bentakan Narti.

Laila dan Narti terpaku, tak ada gunanya meladeni Dirman yang tak punya hati. Mereka memilih segera masuk ke dalam rumah.

Dirman benar, jika keluarga mereka telah tercemar, sudah tak punya nama baik. Laia dan kedua adiknya kehilangan banyak teman, para tetangga mulai menjauhi mereka, orang-orang selalu memandang mereka penuh kecurigaan.

Laila tersentak dari lamunan ketika melihat ibunya berjalan keluar kamar.

"Mau kemana, Bu?"

"Ke kamar mandi."

"Laila antar, ya?"

Narti mengangguk, lalu Laila memapahnya dengan hati-hati.

"Bu, besok kita ke rumah sakit, ya, KIS-nya sudah jadi," bujuk Laila.

"Gak usah, La. Obatnya, kan masih ada." Narti kukuh menolak, malu rasanya membebani Laila yang tak seharusnya menanggung semua ini.

"Ibu harus periksa, sudah lama tak dirongsen, kita harus tahu kondisi ibu."

"Hhhmmmm ... baiklah!" Akhirnya Narti mengangguk, menyetujui permintaan Laila.

"Dokter, bagaimana ibu saya?" tanya Laila setelah sang dokter selesai memeriksanya.

"Tumornya semakin membesar, jenis tumor ini disebut fibroid miometrium atau intramural, yaitu tumor yang tumbuh dalam dinding rahim, tepatnya  di dalam lapisan otot rahim.

"Gejala yang ibu rasakan sekarang, apa saja?" tanyanya ramah.

"Saya kalau menstruasi berkepanjangan, lebih dari sepuluh hari, disertai pendarahan yang banyak, terasa nyeri di dalam rongga panggul atau di bawah pusar, sering buang air kecil, susah buang air besar, sakit punggung, nyeri kaki, serta merasa kembung," jawab Narti sejelas mungkin.

"Ibu harus operasi, tapi disini tak memadai peralatannya, ibu biar saya rujuk ya, ke rumah sakit yang lebih besar."

Laila bingung, akhirnya mengangguk lemah. Untuk biayanya biar ia pikirkan nanti. Mungkin bisa pinjam pada ustadz Amir, walau Laila malu bila harus meminta tolong lagi pada beliau, tapi ia tak memiliki siapapun untuk dimintai pertolongan.

Satu-satunya pengharapannya hanya pemilik raga dan jiwanya, kekasih yang tak pernah mengecewakannya.

"Ya Allah, tolong aku ..." bisik Laila lirih.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status