Akhirnya panggilan wawancara pun datang, setelah puluhan lamaran Laila kirimkan ke pabrik-pabrik dan kantor-kantor di pusat kota provinsi yang jaraknya sekitar 100 kilometer dari kampung tempat tinggalnya.
"Bu, Alhamdulillah ... Laila mendapat panggilan wawancara. Ibu tak apa, Laila tinggalkan bersama Rosma dan Nisa, di rumah?" tanya Laila suatu malam.
"Pergilah, Nak. Ma'afkan Ibu, jika kondisi ini malah membuat kamu harus memikul tanggung jawab yang berat. Seharusnya Ibu yang bekerja dan mengurus kalian dan kamu tetap kuliah," jawab Narti, ia merasa bersalah karena sudah menjadi beban Laila, anak kemarin sore yang harusnya melanjutkan pendidikan dan memikirkan masa depannya.
Laila menggeleng, ia tak merasa dibebani, ia bahagia masih bisa berguna untuk keluarganya. Ia akan melakukan apa pun, demi kebahagiaan keluarga kecil mereka.
Laila sedikit merasa lega, karena kondisi kesehatan ibunya membaik. Narti meminum ramuan herbal berasal dari tumbuh-tumbuhan yang diresepkan seorang herbalis. Terapis ahli di bidang bekam dan thibunnabawi. Selain aman dikonsumsi juga harganya terjangkau, bahkan sebagiannya bisa didapatkan dengan mudah dari sepetak kebun, depan rumah mereka.
Lagi-lagi semuanya berkat pertolongan ustadz Amir. Jadi beliau, merupakan pelanggan di klinik herbalis tersebut, dan kerap melakukan terapi bekam. Lalu ustadz Amir, meminta resep herbal untuk Narti dan dibantu untuk rutin berbekam.
"Ibu, jangan terlalu capek. Nanti gak usah nerima cuci gosok lagi, ya, kalau Laila udah mulai kerja."
"Tenang saja, Kak. Biar Rosma yang ikut bantu ibu."
"Nisa juga, Kak. Nisa kan udah bisa masak dan beresin rumah," timpal si kecil tak mau kalah.
Laila terharu, ia memeluk kedua adiknya. Ia berjanji dalam hati akan selalu membahagiakan mereka orang-orang yang sangat dikasihinya.
Dengan berat hati, Laila meninggalkan rumah dan kampungnya, separuh hatinya tertinggal di antara kenangan dan kepedihan hidupnya. Ini pertama kalinnya ia pergi jauh dari kampung dan keluarganya.
Sejuta harapan akan kehidupan yang lebih baik tergambar jelas dalam angan Laila. Ia berharap dapat merubah nasib keluarganya. Ia tak ‘kan mundur, tekadnya sekuat baja, ia tak ‘kan goyah. Kakinya kokoh dan akan menopang badai dan angin puting beliung sekalipun.
Sesampainya di perusahaan yang dituju dan melakukan sesi wawancara. Laila harus menelan pil pahit kekecewaan, ia berharap diterima bekerja sebagai customer service atau di bagian technical support. Tapi kenyataan tak seindah harapannya.
Laila harus legowo dan menerima ketika lowongan kerja satu-satunya yang tersisa hanya menjadi cleaning service.
Apakah karena ia lulusan madrasah Aliyah? Pikir Laila. Apalagi jurusannya bukan IPS atau IPA, Laila mengambil jurusan Bahasa.
Banyak yang berpikir jika lulusan yang satu ini minim keahlian, tak bisa bersaing dengan kompetitor yang lebih unggul yaitu lulusan dari sekolah kejuruan.
Padahal, selain mahir berbahasa asing, Laila juga memiliki keahlian di bidang komputer, kegigihannya mempelajari hal baru, membuat ia bersungguh-sungguh mengikuti berbagai ekstrakurikuler di sekolah tempatnya menuntut ilmu.
Kebanyakan perusahaan itu lebih memilih lulusan SMK yang fresh graduate untuk menjalankan roda keberlangsungan perusahaan mereka.
Laila pantang menyerah, ia menerima pekerjaan barunya itu, yang penting bisa menyambung hidup keluarganya. Hal yang harus dilakukannya sekarang adalah, mencari tempat tinggal kos-kosan murah meriah.
Setelah berkeliling mencari informasi dan bertanya pada orang yang berada disekitar kantor tempatnya bekerja, pada satpam, sesama cleaning service, OB dan penjual yang berderet di pinggir jalan, akhirnya ia menemukan tempat kos yang sederhana dan terjangkau.
Kamar berukuran 2x3 meter seharga dua ratus ribu menjadi pilihannya, rencananya ia akan menempati kamar itu dengan Yani, sama-sama pegawai baru di perusahaan Mitra Utama, bedanya ia diterima sebagai marketer. Ia seorang sarjana ekonomi.
*****
Hari pertama bekerja, dengan penuh semangat Laila bangun dini hari, menjalani rutinitas wajibnya yang selalu ia lakukan, shalat malam dan tilawah.
Dunia boleh menjauhinya, kekayaan enggan mendekatinya, kebahagiaan seolah jauh dari jangkauan, tapi Laila tak peduli semua itu. Selama Sang Pemilik semesta dekat dengan hatinya, selama ketenangan bersemayam di jiwanya, itu sudah lebih dari cukup, melebihi mahalnya perhiasan dan intan permata.
Karena kebahagiaan tidak berbentuk material, bentuknya abstrak, tak kasat mata. Tidak diletakkan pada benda dan harta, pada rupa yang menawan atau pada tingginya jabatan. Bahagia itu terletak jauh di lubuk hati terdalam, yang mengenal arti kata syukur dan cukup.
Hari ini waktunya puasa, sudah hampir setengah tahun Laila menjalani puasa Daud, sehari puasa, sehari tidak. Awalnya terpaksa demi kelangsungan hidup mereka yang jauh dikatakan dari sederhana, ia mengalah agar adik-adik dan ibunya bisa kecukupan dan bisa makan. Dengan puasa ia bisa menghemat pengeluaran.
Namun sekarang, puasa sudah menjadi kenikmatan tersendiri bagi Laila, tubuhnya lebih sehat dan bugar, penyakit maag yang menjadi langganannya perlahan membaik, kulitnya terlihat lebih cerah dan kenyal.
Saat sahur Laila cukup makan hanya dengan mencomot dua atau tiga kali nasi goreng sisa yang sengaja ia sisihkan jatah makan malamnya. Segelas air putih atau jika beruntung segelas teh hangat sudah cukup baginya memiliki kekuatan untuk melakukan aktivitas di pagi harinya.
Laila lebih banyak mengkonsumsi daun-daunan dan umbi-umbian, buah-buahan juga, seperti; pepaya, jambu dan mangga, bisa dengan mudah ia dapatkan dari pakarangan rumahnya.
Selepas lulus dari Madrasah Aliyah, sambil menunggu panggilan kerja, Laila menggantikan ibunya menerima cuci gosok milik tetangga, atau jika ada yang butuh tenaganya untuk memanen padi di sawah, maka ia tak segan membantunya, lumayan upahnya berupa setengah karung gabah.
Penghasilan dari cuci gosok bisa menutupi biaya makan dengan menu sederhana, membayar listrik dan keperluan sekolah adik-adiknya. Sampai saat ini Laila sudah sangat bersyukur. Allah mencukupinya dengan limpahan rahmat dan hidayah.
Karena seperti yang ustadz Amir katakan, rizqi termahal adalah hidayah, nikmat terbesar adalah iman, jika hari ini masih mengingat Allah, masih mendirikan salat, masih diberi nikmat sehat dan masih menemukan sesuatu untuk dimakan. Maka, seperti sudah memiliki dunia beserta isinya.
Apa yang harus ia takutkan? Sedangkan selama ini ia masih hidup dengan baik, ada Rabb yang mengurusnya, langkahnya menjadi ringan. Ia bisa berdiri tegak dalam deritanya
Babak kehidupan baru membentang dihadapannya, semuanya masih misteri, apakah bahagia yang akan diraihnya kelak atau sebaliknya?
Laila tersenyum, ia begitu khawatir menghadapi hari ini, karena merupakan pengalaman pertama baginya, dunia kerja yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, di usianya yang baru menginjak dewasa.
"La, kamu dah, siap? Rajin amat?" Yani yang terbangun dan masih mengantuk, membuka sedikit kelopak matanya. Ia melihat Laila sudah mandi.
Jam menunjukan angka setengah lima, adzan subuh telah berkumandang.
"Ini hari pertama, Mbak. Harus semangat, dong ..." ucapnya.
Yani, nyengir. Ia segera bangkit dan mendudukan tubuhnya, dengan mata yang masih setengah terpejam ia mengepalkan tangannya.
"Semangat!"
*****
BAB 67"Mas, kenapa harus ada resepsi lagi, sih?" tanya Laila, karena malam nanti akan ada acara resepsi pernikahan mereka."Ini acara khusus untuk rekan bisnis kita sayang ... karyawan juga, kan harus tahu kalau aku udah nikah, udah punya istri, ntar kalau pada ngira aku masih singel gimana?” goda Arsen."Ih ... Mas, jangan buat aku takut napa?""Takut ya, kalau suamimu yang ganteng ini di godain cewek-cewek yang ...""Maaaass ..." Laila mengejar Arsen dan mencubit pinggangnya.Arsen manarik tubuh Laila ke dalam pelukannya."Hidup yang akan kita hadapi nanti tak akan mudah, sayang ... kamu harus kuat dan tangguh. Aku hanya minta satu hal sama kamu, apapun yang terjadi kamu harus percaya sama aku, tetaplah di sisiku, jangan hiraukan apa kata orang ..." ucap Arsen, ia memeluk Laila begitu erat, seperti tak ingin melepasnya.&n
Kaki milik gadis cantik itu melangkah menapaki setapak demi setapak lantai bandara internasional Soekarno Hatta, setahun yang lalu dirinya berada di sini. Kini ia kembali lagi, dengan membawa seseorang yang istimewa yang kelak akan menghiasi hari-hari indahnya.Udara pengap Jakarta kembali menguar menusuk penciuman, mengucurkan keringat yang membuat tubuhnya tak nyaman. Jakarta penuh sesak dengan para urban, mereka berbondong-bondong mencoba mancari peruntungan di kota Metropolitan ini, mulai dari penjual jalanan hingga buruh, musisi jalanan atau pengamen, tak sedikit yang menjadi pengemis. Beruntung bagi yang memiliki keahlian, ada yang menjadi montir, pekerja kantoran bahkan tak sedikit yang menjadi pesohor.Jalanan Jakarta seperti biasa, sangat macet. Apalagi di jam-jam pulang kantor seperti sore ini, klakson dari kendaraan angkot memekakkan telinga, kesabaran para pengendara dan pengemudi sangat diuji dalam situasi seperti ini.&n
Jum'at adalah 'Sayyidul Ayyam' atau penghulunya hari-hari, pada hari ini banyak terjadi peristiwa besar, diantaranya seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Jum'at adalah sebaik-baik hari kala mentari terbit. Nabi Adam diciptakan pada hari Jum'at. Demikian pula ketika dimasukkan dan dikeluarkan dari surga. Dan tidak akan terjadi hari kiamat, kecuali pada hari Jum'at.Waktu mustajab dikabulkannya do'a, apabila seorang muslim berdo'a pada hari Jum'at, maka atas kehendak Allah, akan dikabulkan.Amal ibadah akan dilipatgandakan pahalanya pada hari Jum'at. Betapa istimewanya hari ini, hingga Arsen dan Laila sepakat menikah pada hari Jum'at.Masjid Al-Hidayah, masjid yang menjadi saksi menyatunya dua hati dalam ikatan yang agung. Sebuah ikatan yang di sebut 'Mistaqon Ghalidza' perjanjian agung.Mengapa Allah menamakan pernikahan dengan sebutan perjanjian agung? Karena mengandung konsekuensi yang
Oktober. Balai pertemuan milik provinsi Jawa Barat di kawasan Distrik sepuluh, Laila masih ingat, pertama kalinya ia bertemu dengan Abizar, bahkan dirinya belum genap satu bulan, berada di Cairo.Kala itu ... Laila berkenalan dengan Zahra, seorang ibu beranak satu yang melanjutkan kuliah magister-nya di Cairo university. Sedangkan dirinya di Al-Azhar university. Mereka bertemu dalam forum kajian ilmiah yang pembicaranya membuat Laila terkejut setengah mati, rasanya seperti terkena ratusan sengatan lebah yang menyakitkan hatinya. Dia Abizar Al-Ghifari.Satu lagi kejutan, yang sukses membuatnya mematung kaku, ternyata Zahra adalah istrinya.Bukan. bukan karena ... ia masih menyimpan cinta di hatinya, ia lebih tak menyangka saja, takdir mempertemukan mereka berada di negeri yang sama. Laila pikir Abizar sudah kembali ke Indonesia, karena gelar dokter sudah disandangnya, tapi ternyata ... ia memilih lebih lama lagi tinggal d
Januari, bulan bersejarah bagi kedua insan yang bersabar, menahan cinta dalam diam, melangitkan do'a dalam munajat panjang di sepertiga malam, menggantungkan asa dan harap di langit penantian.Cinta itu berlabuh dalam muara penantian yang panjang, membawa kehangatan di musim dingin yang suhunya mencapai sepuluh derajat celsius.Angin laut Mediterania berhembus, meniup syal rajut yang melilit leher berlapis kerudung biru milik Alfu Laila Walaila, ia berjalan sepanjang corniche lalu berhenti di depan benteng Qaitbay. Seperti ada suara yang menariknya untuk melihat para pemancing di sepanjang benteng.Ia berjalan dengan Kamila, sahabatnya yang berasal dari negeri gajah, Pattani, Thailand. Kamila tinggal di Alexandria dan kuliah di kampus putri Al-Azhar cabang Alexandria.Perkenalan mereka berawal saat Kamila berkunjung ke Cairo, Kamila bersama temannya mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari penduduk
Alexandria, tempat dimana Arsen menetap. Ia menyewa sebuah apartemen yang cukup sederhana bagi orang kaya raya sepertinya. Ia tak sendirian, ada dua orang mahasiswa Al-Azhar yang sedang liburan musim panas bersamanya.Di sana, Arsen belajar di sebuah markaz littahfidz Al-Qur'an wa Al-qira’at, atau lembaga yang khusus mengajarkan Al-Qur'an dan ilmu qira’at, pemiliknya adalah seorang Syeikh Al Azhar yang pakar dalam bidang Al-Qur'an."Mas Tara, jadi ke Cairo, gak?" tanya Miftah, seorang mahasiswa tingkat tiga fakultas Ushuluddin di Al-Azhar cabang Zagazig. Sebuah provinsi di Mesir.Arsen Guntara, ia tak ingin ada orang yang mengenalinya, bahkan ia berdo'a agar selama di Mesir tidak dipertemukan dengan Abizar dan istrinya. Dirinya mengenalkan namanya pada orang lain dengan nama Tara, nama kecilnya. Penampilannya ia rubah seratus delapan puluh derajat, celana water flood di atas mata kaki, baju koko atau kemeja d