Share

Jangan Ada Air Mata

"Pengumuman, pengumuman, teman-teman! Jaga barang-barang kalian! Anak maling sudah berkeliaran," teriak Soraya anak Dirman.

Laila beserta kedua adiknya sedang berjalan menuju masjid, untuk mengikuti sekolah diniyah, langkahnya terhenti, mendengar teriakan Soraya yang menyindirnya. Tangannya mengepal, tubuhnya gemetar diiringi gemeletuk gigi yang beradu, karena menahan amarah.

Soraya sepupunya, masih ada pertalian darah dengannya, tega-teganya mengatai mereka dengan perkataan yang menyakitkan.

"Jangan begitu Soraya, mereka 'kan saudara kamu. Ini masjid, lho! Laila dan adik-adiknya datang ke sini mau mengaji." Puput, teman ngaji Laila, mencoba menegur Soraya.

"Aku cuma mengingatkan, lho, Put. Siapa tahu barang-barang kalian hilang," jawab Soraya acuh, ia melenggang masuk ke dalam kelas.

Laila tak menghiraukan Soraya, namun kedua adiknya tak bisa menyembunyikan kesedihan, kedua mata mereka berkaca-kaca, ada selarik duka di bias matanya.

"Seandainya Nisa tak meminta sepeda pada bapak, pasti kejadian ini tak akan menimpa kita, Kak," isak Nisa. Ia tak tahan untuk tak menangis.

Nisa merasa bersalah, karena seminggu yang lalu merengek minta dibelikan sepeda, jarak antara sekolah dan rumahnya sekitar dua kilometer, ia bermimpi memiliki sepeda seperti Eka temannya, yang tidak perlu capek-capek berjalan dan berpanas-panasan di bawah terik matahari.

"Kamu tak salah Nisa, lagian Kakak yakin, kok, bapak tak mencuri sepeda itu," hibur Laila.

Mereka masih terduduk di emperan kelas, menunggu ustadz datang. Rosma dan Nisa tak berani masuk dan berbaur dengan teman-temannya, rasa minder menusuk-nusuk hati. Label anak pencuri yang matinya dibakar massa menyulitkan langkah mereka untuk sekedar berbaur dan tersenyum.

"Kalian ingat tidak, apa yang bapak ajarkan?" tanya Laila pada Rosma dan Nisa.

Tanpa menunggu jawaban, Laila melanjutkan.

"Bapak selalu berpesan, walau kita miskin, walau kita hanya orang kecil, tapi jangan sampai akhlak kita ikutan miskin, jangan sampai kita berkecil hati dan rendah diri.

"Bapak juga selalu mengajarkan kita agar memiliki keberanian dan kejujuran, karena dengan keberanian kita bisa menghadapi hidup ini walau penuh tantangan, dan karena kejujuran kita akan menjadi manusia yang berharga dan dapat dipercaya, seperti mata uang yang berlaku dimana-mana."

"Iya Kak, Rosma juga gak percaya bapak mencuri, bapak orang paling jujur yang pernah Rosma temui. Bapak juga selalu mengajarkan kita hal yang baik," timpal Rosma, sambil menyeka air matanya dengan ujung kerudung.

"Nah, sekarang kita harus berbesar hati, jangan dengarkan orang yang menghina kita, fokus saja pada diri sendiri, kita fokus mengaji, biar bapak senang, biar kita menjadi anak yang soleh, yang akan menjadi sebab kuburan bapak menjadi lapang dan terang benderang, karena do'a-do'a kita." Laila memeluk kedua adiknya dengan sayang.

"Ehheeemm ...." Tiba-tiba suara deheman mengejutkan mereka.

"Lagi pada ngapain ini? kok malah peluk-pelukan di luar, ayo masuk! Kelasnya sudah mau dimulai," tegur ustadz Yusuf, salah satu pengajar di sekolah ini.

Mereka bertiga salah tingkah, dengan tergesa segera masuk ke kelas masing-masing.

Sekolah madrasah ini, berdampingan dengan masjid Baiturrahman. Masjid yang biasa digunakan warga Cibodas dalam kegiatan keagamaan. Madrasah yang dibangun oleh yayasan milik keluarga ustadz Amir ini, memiliki belasan kelas, dari mulai anak usia TK hingga usia SMA, mereka belajar mengaji mengeja aksara hijaiyyah, menghafal kitab suci, bahkan diajarkan ilmu beladiri dan memanah.

Satu yang patut Laila syukuri, yayasan ini menggratiskan biaya SPP bagi santri yang tidak mampu dan anak-anak yatim.

Sebagai ucapan rasa terima kasih, Laila terkadang membantu ustadzah Mutia–istri ustadz Amir–mengajar anak-anak setingkat TK atau SD.

Terkadang Laila ikut membantu membersihkan masjid. Dari mulai menyapu sampai mengepel, mencuci mukena milik masjid tiap satu minggu sekali, atau menyikat kamar mandi. Semua ia lakukan dengan senang hati.

Oleh karena itu, ustadzah Mutia begitu menyayangi Laila, ia anak yang baik, santun dan suka menolong.

Suatu hari, ustadzah Mutia bertanya pada Laila, hendak melanjutkan kemana setelah menyelesaikan sekolah Madrasah Aliyah.

Dengan tersipu malu Laila menyebutkan ingin melanjutkan ke Mesir.

Ustadzah Mutia tersenyum lembut, tidak mengecilkan impian Laila, walau itu terlihat mustahil. Ia mendo'akan agar cita-cita Laila terkabul.

Abizar Putra kedua ustadzah Mutia pun sedang menyelesaikan kuliahnya di Al-Azhar, mengambil jurusan kedokteran. Abizar juga belajar Al-Qur'an sekaligus qira'atnya, agar tersambung dengan sanad dari sumbernya langsung, yaitu Rasulullah SAW.

"Apakah mungkin bisa ke sana ya, Ustadzah? Seperti bang Abi," tanya Laila, matanya berbinar penuh harap.

Pandangannya menerawang menjelajah dunia khayalan. Membayangkan aliran sungai Nil yang biru. Puluhan yacht atau perahu layar mengapung diatasnya dengan layarnya yang berwarna-warni. Lalu membayangkan masjid-masjid dengan seribu menaranya yang menjulang, di dalamnya syeikh-syeikh mengajarkan Al-Qur'an dan kitab-kitab turast, lalu ia melihat dirinya duduk di bangku kuliah, memegang diktat dan mendengarkan dosen-dosen mengajarnya menggunakan bahasa Arab. Tak sadar bibirnya tersenyum begitu lebar, membayangkan semua itu menjadi kenyataan.

"Kamu kenapa, Laila? Kok, senyum-senyum sendiri?"

Suara ustadzah Mutia membuyarkan lamunannya, ia tersipu malu, karena ketahuan sedang mengkhayal.

"He ... gapapa ustadzah," cengirnya, wajahnya memerah jambu.

Itu setahun yang lalu, saat Rusmin masih ada, sekarang jangankan bermimpi untuk kuliah di Mesir, memikirkan ibu dan adik-adik saja ia kebingungan.

Seminggu ini Laila berpikir, dengan penuh keyakinan ia sudah memutuskan akan mengubur impiannya untuk kuliah, walau ia sudah mati-matian belajar, menghafal Al-Qur'an seperti orang gila, hanya untuk mengikuti ujian masuk universitas Al Azhar jalur beasiswa dari Kemenag.

Ia akan bekerja saja di pabrik, untuk membiayai pengobatan ibu dan biaya sekolah adik-adiknya.

Kini mereka tanggung jawabnya, sebagai anak pertama ia memiliki kewajiban mengambil alih tugas bapaknya, mencari nafkah untuk keluarga.

Laila menangis dalam diam, dalam perih, dalam kesendirian dan duka. Ia pasrah, memilih berdamai dengan takdir.

Beban di pundaknya kini tidaklah ringan, tanggung jawab besar demi kelangsungan hidup orang-orang yang dikasihinya, menanti di pelupuk matanya.

Tiada seorang pun yang bisa diandalkan. Saudara tak punya. Kerabat pun,entah dimana. Jika pun ada uwanya dan sepupunya, mereka tak akan peduli. Saat bapaknya dulu masih ada, tak sedikit yang menghina kemiskinan mereka, pinjam uang saja jarang dikasih. Apalagi sekarang, saat mereka tak lagi memiliki sandaran. Tak ada kepala keluarga yang menjaga dan melindungi.

Laila mengusap air matanya. Tak boleh ada air mata lagi, cukup sudah ia menangis meratapi nasib keluarganya, waktunya habis terbuang percuma jika hanya diam terpaku dalam kebingungan. Ia harus bergerak cepat, mengirimkan lamaran kerja ke perusahaan-perushaan atau pabrik-pabrik.

'Bangun Laila, waktunya menyingsingkan lengan baju, mulai berjuang keras demi ibu yang sedang sakit dan adik-adik yang masih sekolah,' batin Laila menyemangati dirinya sendiri.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status