Home / Lainnya / Nasi Bungkus untuk Laila / Jangan Ada Air Mata

Share

Jangan Ada Air Mata

Author: Alin Fiazna
last update Last Updated: 2023-02-21 11:00:57

"Pengumuman, pengumuman, teman-teman! Jaga barang-barang kalian! Anak maling sudah berkeliaran," teriak Soraya anak Dirman.

Laila beserta kedua adiknya sedang berjalan menuju masjid, untuk mengikuti sekolah diniyah, langkahnya terhenti, mendengar teriakan Soraya yang menyindirnya. Tangannya mengepal, tubuhnya gemetar diiringi gemeletuk gigi yang beradu, karena menahan amarah.

Soraya sepupunya, masih ada pertalian darah dengannya, tega-teganya mengatai mereka dengan perkataan yang menyakitkan.

"Jangan begitu Soraya, mereka 'kan saudara kamu. Ini masjid, lho! Laila dan adik-adiknya datang ke sini mau mengaji." Puput, teman ngaji Laila, mencoba menegur Soraya.

"Aku cuma mengingatkan, lho, Put. Siapa tahu barang-barang kalian hilang," jawab Soraya acuh, ia melenggang masuk ke dalam kelas.

Laila tak menghiraukan Soraya, namun kedua adiknya tak bisa menyembunyikan kesedihan, kedua mata mereka berkaca-kaca, ada selarik duka di bias matanya.

"Seandainya Nisa tak meminta sepeda pada bapak, pasti kejadian ini tak akan menimpa kita, Kak," isak Nisa. Ia tak tahan untuk tak menangis.

Nisa merasa bersalah, karena seminggu yang lalu merengek minta dibelikan sepeda, jarak antara sekolah dan rumahnya sekitar dua kilometer, ia bermimpi memiliki sepeda seperti Eka temannya, yang tidak perlu capek-capek berjalan dan berpanas-panasan di bawah terik matahari.

"Kamu tak salah Nisa, lagian Kakak yakin, kok, bapak tak mencuri sepeda itu," hibur Laila.

Mereka masih terduduk di emperan kelas, menunggu ustadz datang. Rosma dan Nisa tak berani masuk dan berbaur dengan teman-temannya, rasa minder menusuk-nusuk hati. Label anak pencuri yang matinya dibakar massa menyulitkan langkah mereka untuk sekedar berbaur dan tersenyum.

"Kalian ingat tidak, apa yang bapak ajarkan?" tanya Laila pada Rosma dan Nisa.

Tanpa menunggu jawaban, Laila melanjutkan.

"Bapak selalu berpesan, walau kita miskin, walau kita hanya orang kecil, tapi jangan sampai akhlak kita ikutan miskin, jangan sampai kita berkecil hati dan rendah diri.

"Bapak juga selalu mengajarkan kita agar memiliki keberanian dan kejujuran, karena dengan keberanian kita bisa menghadapi hidup ini walau penuh tantangan, dan karena kejujuran kita akan menjadi manusia yang berharga dan dapat dipercaya, seperti mata uang yang berlaku dimana-mana."

"Iya Kak, Rosma juga gak percaya bapak mencuri, bapak orang paling jujur yang pernah Rosma temui. Bapak juga selalu mengajarkan kita hal yang baik," timpal Rosma, sambil menyeka air matanya dengan ujung kerudung.

"Nah, sekarang kita harus berbesar hati, jangan dengarkan orang yang menghina kita, fokus saja pada diri sendiri, kita fokus mengaji, biar bapak senang, biar kita menjadi anak yang soleh, yang akan menjadi sebab kuburan bapak menjadi lapang dan terang benderang, karena do'a-do'a kita." Laila memeluk kedua adiknya dengan sayang.

"Ehheeemm ...." Tiba-tiba suara deheman mengejutkan mereka.

"Lagi pada ngapain ini? kok malah peluk-pelukan di luar, ayo masuk! Kelasnya sudah mau dimulai," tegur ustadz Yusuf, salah satu pengajar di sekolah ini.

Mereka bertiga salah tingkah, dengan tergesa segera masuk ke kelas masing-masing.

Sekolah madrasah ini, berdampingan dengan masjid Baiturrahman. Masjid yang biasa digunakan warga Cibodas dalam kegiatan keagamaan. Madrasah yang dibangun oleh yayasan milik keluarga ustadz Amir ini, memiliki belasan kelas, dari mulai anak usia TK hingga usia SMA, mereka belajar mengaji mengeja aksara hijaiyyah, menghafal kitab suci, bahkan diajarkan ilmu beladiri dan memanah.

Satu yang patut Laila syukuri, yayasan ini menggratiskan biaya SPP bagi santri yang tidak mampu dan anak-anak yatim.

Sebagai ucapan rasa terima kasih, Laila terkadang membantu ustadzah Mutia–istri ustadz Amir–mengajar anak-anak setingkat TK atau SD.

Terkadang Laila ikut membantu membersihkan masjid. Dari mulai menyapu sampai mengepel, mencuci mukena milik masjid tiap satu minggu sekali, atau menyikat kamar mandi. Semua ia lakukan dengan senang hati.

Oleh karena itu, ustadzah Mutia begitu menyayangi Laila, ia anak yang baik, santun dan suka menolong.

Suatu hari, ustadzah Mutia bertanya pada Laila, hendak melanjutkan kemana setelah menyelesaikan sekolah Madrasah Aliyah.

Dengan tersipu malu Laila menyebutkan ingin melanjutkan ke Mesir.

Ustadzah Mutia tersenyum lembut, tidak mengecilkan impian Laila, walau itu terlihat mustahil. Ia mendo'akan agar cita-cita Laila terkabul.

Abizar Putra kedua ustadzah Mutia pun sedang menyelesaikan kuliahnya di Al-Azhar, mengambil jurusan kedokteran. Abizar juga belajar Al-Qur'an sekaligus qira'atnya, agar tersambung dengan sanad dari sumbernya langsung, yaitu Rasulullah SAW.

"Apakah mungkin bisa ke sana ya, Ustadzah? Seperti bang Abi," tanya Laila, matanya berbinar penuh harap.

Pandangannya menerawang menjelajah dunia khayalan. Membayangkan aliran sungai Nil yang biru. Puluhan yacht atau perahu layar mengapung diatasnya dengan layarnya yang berwarna-warni. Lalu membayangkan masjid-masjid dengan seribu menaranya yang menjulang, di dalamnya syeikh-syeikh mengajarkan Al-Qur'an dan kitab-kitab turast, lalu ia melihat dirinya duduk di bangku kuliah, memegang diktat dan mendengarkan dosen-dosen mengajarnya menggunakan bahasa Arab. Tak sadar bibirnya tersenyum begitu lebar, membayangkan semua itu menjadi kenyataan.

"Kamu kenapa, Laila? Kok, senyum-senyum sendiri?"

Suara ustadzah Mutia membuyarkan lamunannya, ia tersipu malu, karena ketahuan sedang mengkhayal.

"He ... gapapa ustadzah," cengirnya, wajahnya memerah jambu.

Itu setahun yang lalu, saat Rusmin masih ada, sekarang jangankan bermimpi untuk kuliah di Mesir, memikirkan ibu dan adik-adik saja ia kebingungan.

Seminggu ini Laila berpikir, dengan penuh keyakinan ia sudah memutuskan akan mengubur impiannya untuk kuliah, walau ia sudah mati-matian belajar, menghafal Al-Qur'an seperti orang gila, hanya untuk mengikuti ujian masuk universitas Al Azhar jalur beasiswa dari Kemenag.

Ia akan bekerja saja di pabrik, untuk membiayai pengobatan ibu dan biaya sekolah adik-adiknya.

Kini mereka tanggung jawabnya, sebagai anak pertama ia memiliki kewajiban mengambil alih tugas bapaknya, mencari nafkah untuk keluarga.

Laila menangis dalam diam, dalam perih, dalam kesendirian dan duka. Ia pasrah, memilih berdamai dengan takdir.

Beban di pundaknya kini tidaklah ringan, tanggung jawab besar demi kelangsungan hidup orang-orang yang dikasihinya, menanti di pelupuk matanya.

Tiada seorang pun yang bisa diandalkan. Saudara tak punya. Kerabat pun,entah dimana. Jika pun ada uwanya dan sepupunya, mereka tak akan peduli. Saat bapaknya dulu masih ada, tak sedikit yang menghina kemiskinan mereka, pinjam uang saja jarang dikasih. Apalagi sekarang, saat mereka tak lagi memiliki sandaran. Tak ada kepala keluarga yang menjaga dan melindungi.

Laila mengusap air matanya. Tak boleh ada air mata lagi, cukup sudah ia menangis meratapi nasib keluarganya, waktunya habis terbuang percuma jika hanya diam terpaku dalam kebingungan. Ia harus bergerak cepat, mengirimkan lamaran kerja ke perusahaan-perushaan atau pabrik-pabrik.

'Bangun Laila, waktunya menyingsingkan lengan baju, mulai berjuang keras demi ibu yang sedang sakit dan adik-adik yang masih sekolah,' batin Laila menyemangati dirinya sendiri.

*****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nasi Bungkus untuk Laila   Impian yang Menjadi Kenyataan

    BAB 67"Mas, kenapa harus ada resepsi lagi, sih?" tanya Laila, karena malam nanti akan ada acara resepsi pernikahan mereka."Ini acara khusus untuk rekan bisnis kita sayang ... karyawan juga, kan harus tahu kalau aku udah nikah, udah punya istri, ntar kalau pada ngira aku masih singel gimana?” goda Arsen."Ih ... Mas, jangan buat aku takut napa?""Takut ya, kalau suamimu yang ganteng ini di godain cewek-cewek yang ...""Maaaass ..." Laila mengejar Arsen dan mencubit pinggangnya.Arsen manarik tubuh Laila ke dalam pelukannya."Hidup yang akan kita hadapi nanti tak akan mudah, sayang ... kamu harus kuat dan tangguh. Aku hanya minta satu hal sama kamu, apapun yang terjadi kamu harus percaya sama aku, tetaplah di sisiku, jangan hiraukan apa kata orang ..." ucap Arsen, ia memeluk Laila begitu erat, seperti tak ingin melepasnya.&n

  • Nasi Bungkus untuk Laila   Pulang

    Kaki milik gadis cantik itu melangkah menapaki setapak demi setapak lantai bandara internasional Soekarno Hatta, setahun yang lalu dirinya berada di sini. Kini ia kembali lagi, dengan membawa seseorang yang istimewa yang kelak akan menghiasi hari-hari indahnya.Udara pengap Jakarta kembali menguar menusuk penciuman, mengucurkan keringat yang membuat tubuhnya tak nyaman. Jakarta penuh sesak dengan para urban, mereka berbondong-bondong mencoba mancari peruntungan di kota Metropolitan ini, mulai dari penjual jalanan hingga buruh, musisi jalanan atau pengamen, tak sedikit yang menjadi pengemis. Beruntung bagi yang memiliki keahlian, ada yang menjadi montir, pekerja kantoran bahkan tak sedikit yang menjadi pesohor.Jalanan Jakarta seperti biasa, sangat macet. Apalagi di jam-jam pulang kantor seperti sore ini, klakson dari kendaraan angkot memekakkan telinga, kesabaran para pengendara dan pengemudi sangat diuji dalam situasi seperti ini.&n

  • Nasi Bungkus untuk Laila   Pernikahan Agung

    Jum'at adalah 'Sayyidul Ayyam' atau penghulunya hari-hari, pada hari ini banyak terjadi peristiwa besar, diantaranya seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Jum'at adalah sebaik-baik hari kala mentari terbit. Nabi Adam diciptakan pada hari Jum'at. Demikian pula ketika dimasukkan dan dikeluarkan dari surga. Dan tidak akan terjadi hari kiamat, kecuali pada hari Jum'at.Waktu mustajab dikabulkannya do'a, apabila seorang muslim berdo'a pada hari Jum'at, maka atas kehendak Allah, akan dikabulkan.Amal ibadah akan dilipatgandakan pahalanya pada hari Jum'at. Betapa istimewanya hari ini, hingga Arsen dan Laila sepakat menikah pada hari Jum'at.Masjid Al-Hidayah, masjid yang menjadi saksi menyatunya dua hati dalam ikatan yang agung. Sebuah ikatan yang di sebut 'Mistaqon Ghalidza' perjanjian agung.Mengapa Allah menamakan pernikahan dengan sebutan perjanjian agung? Karena mengandung konsekuensi yang

  • Nasi Bungkus untuk Laila   Bertemu Abizar

    Oktober. Balai pertemuan milik provinsi Jawa Barat di kawasan Distrik sepuluh, Laila masih ingat, pertama kalinya ia bertemu dengan Abizar, bahkan dirinya belum genap satu bulan, berada di Cairo.Kala itu ... Laila berkenalan dengan Zahra, seorang ibu beranak satu yang melanjutkan kuliah magister-nya di Cairo university. Sedangkan dirinya di Al-Azhar university. Mereka bertemu dalam forum kajian ilmiah yang pembicaranya membuat Laila terkejut setengah mati, rasanya seperti terkena ratusan sengatan lebah yang menyakitkan hatinya. Dia Abizar Al-Ghifari.Satu lagi kejutan, yang sukses membuatnya mematung kaku, ternyata Zahra adalah istrinya.Bukan. bukan karena ... ia masih menyimpan cinta di hatinya, ia lebih tak menyangka saja, takdir mempertemukan mereka berada di negeri yang sama. Laila pikir Abizar sudah kembali ke Indonesia, karena gelar dokter sudah disandangnya, tapi ternyata ... ia memilih lebih lama lagi tinggal d

  • Nasi Bungkus untuk Laila   Cinta Berlabuh di Musim Dingin

    Januari, bulan bersejarah bagi kedua insan yang bersabar, menahan cinta dalam diam, melangitkan do'a dalam munajat panjang di sepertiga malam, menggantungkan asa dan harap di langit penantian.Cinta itu berlabuh dalam muara penantian yang panjang, membawa kehangatan di musim dingin yang suhunya mencapai sepuluh derajat celsius.Angin laut Mediterania berhembus, meniup syal rajut yang melilit leher berlapis kerudung biru milik Alfu Laila Walaila, ia berjalan sepanjang corniche lalu berhenti di depan benteng Qaitbay. Seperti ada suara yang menariknya untuk melihat para pemancing di sepanjang benteng.Ia berjalan dengan Kamila, sahabatnya yang berasal dari negeri gajah, Pattani, Thailand. Kamila tinggal di Alexandria dan kuliah di kampus putri Al-Azhar cabang Alexandria.Perkenalan mereka berawal saat Kamila berkunjung ke Cairo, Kamila bersama temannya mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari penduduk

  • Nasi Bungkus untuk Laila   Alexandria

    Alexandria, tempat dimana Arsen menetap. Ia menyewa sebuah apartemen yang cukup sederhana bagi orang kaya raya sepertinya. Ia tak sendirian, ada dua orang mahasiswa Al-Azhar yang sedang liburan musim panas bersamanya.Di sana, Arsen belajar di sebuah markaz littahfidz Al-Qur'an wa Al-qira’at, atau lembaga yang khusus mengajarkan Al-Qur'an dan ilmu qira’at, pemiliknya adalah seorang Syeikh Al Azhar yang pakar dalam bidang Al-Qur'an."Mas Tara, jadi ke Cairo, gak?" tanya Miftah, seorang mahasiswa tingkat tiga fakultas Ushuluddin di Al-Azhar cabang Zagazig. Sebuah provinsi di Mesir.Arsen Guntara, ia tak ingin ada orang yang mengenalinya, bahkan ia berdo'a agar selama di Mesir tidak dipertemukan dengan Abizar dan istrinya. Dirinya mengenalkan namanya pada orang lain dengan nama Tara, nama kecilnya. Penampilannya ia rubah seratus delapan puluh derajat, celana water flood di atas mata kaki, baju koko atau kemeja d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status