Suaminya masih loading. Dia masih tak paham siapa yang dimaksud. Pasalnya di kampung ini ada beberapa wanita janda. Dan hampir semua selalu cari perhatian dengannya. Sampai dia pun tak paham apa yang membuat para wanita janda itu selalu mendekatinya meski Irwan tak pernah menggubris mereka.
Melihat respon suaminya yang tak paham, Rani semakin bete."Ih, mentang-mentang jadi rebutan janda di kampung sini, sampai nggak paham aku lagi ngomongin siapa!" ucapnya ketus.Irwan segera membujuk istrinya. "Sayang, kok ngomongnya gitu sih? Maafin, Mas! Emangnya siapa sih yang udah bikin istri Mas yang cantik ini jadi bete?"Mendengar rayuan suaminya membuat Rani tersenyum tetapi berusaha dia tahan."Itu, Mas! Si Bu Tut. Aku baru datang langsung aja jadi bahan ghibahan. Kalau saja nggak pengen masak buat sarapan, ogah banget nyamperin Kang Parto di pengkolan sana!""Padahal aku nggak pernah loh cari masalah sama mereka," tambahnya."Ya, udah lah, Yank! Nggak usah diladenin kalau ketemu. Orang tua emang gitu.""Didiemin makin ngelunjak, Mas.""Kalau kamu ladenin, nanti malah jatuhnya kamu yang dianggap nggak sopan." Irwan mencoba menasehati istrinya."Aku kesel, Mas! Selama ini aku diam aja, nggak pernah membalas setiap kali dighibahin. Sejak anaknya si Ratih godain Mas aja, bawaannya kesel kalau ketemu sepasang ibu dan anak itu."Irwan paham dengan perasaan istrinya. Dia memeluk Rania. Selama ini dia selalu menjaga perasaan istrinya. Makanya setiap ada wanita yang meminta tolong, Irwan akan berusaha menolak. Kejadian waktu itu terjadi sebab Bu Tut memaksanya untuk membantu anaknya-- Ratih membetulkan bola lampu di rumahnya. Kebetulan saat itu suaminya Bu Tut sedang tidak ada di rumah. Katanya sedang kerja keluar kota, 3 hari lagi baru pulang."Masa, Ratih nunggu sampai bapaknya pulang baru pake lampu? Nggak, kan?" ucap Bu Tut waktu itu.Beralasan sibuk pun tidak mungkin, sebab itu hari libur Irwan bekerja, karena dipaksa terus menerus, dengan sangat terpaksa Irwan membantu. Dia mengajak Rani untuk ikut ke rumah Ratih.Sesampainya di rumah Ratih, terlihat dia cemberut saat melihat Rina ikut bersama suaminya.Awalnya tidak terjadi apa-apa, tapi saat Irwan membetulkan lampu di area dapur dan kebetulan sekali Rina sedang berada di WC, tiba-tiba Ratih mendekati Irwan. Dia dengan berani menggoda Irwan bahkan saat Rani sedang berada di dalam toilet."Makasih loh, Mas, udah mau nolongin Ratih," ujarnya dengan nada dibuat manja.Irwan yang menyadari nada suara Ratih yang dibuat-buat tak terlalu menggubris. Dia masih asyik mengutak-atik bola lampu itu.Melihat respon Irwan yang dingin, Ratih tidak kehabisan akal. "Sebagai ucapan terimakasih, aku buatin Mas minum, ya? Mas mau minum apa? Kopi, teh atau jus? Atau kopi s*su? S*sunya spesial punyaku juga boleh, Mas!" godanya.Irwan terkejut mendengar ucapan Ratih. Jujur, bukannya tergoda, dia lebih merasa jijik saat Ratih berkata begitu.Dia masih tak merespon. Irwan menulikan telinganya. Dia berharap Rani segera keluar dari toilet.Sementara itu di dalam toilet, Rani menguping pembicaraan mereka. Sebenarnya dia sudah selesai sejak tadi. Semenjak sampai di rumah ini, ia menyadari bahwa Ratih berusaha ingin menggoda suaminya. Dia ingin mendengar apa respon suaminya saat digoda wanita sesexy Ratih.Saat mendengar tawaran Ratih kepada suaminya tadi, Rani sangat geram. Dia ingin sekali menjambak rambut wanita itu. Tetapi, ia berusaha menahan, ingin melihat sejauh mana wanita itu berani menggoda suaminya.Rani terkejut saat tiba-tiba mendengar suaminya berteriak. "Kamu jangan berani macam-macam, ya, Ratih. Saya bukannya tergoda mendengar ajakanmu tapi malah jijik.""Mas, jangan jual mahal deh! Sebenarnya, Mas juga pengen, kan? Tapi karena ada Rani, makanya Mas pura-pura nolak aku!"Rani segera keluar dari WC, ia penasaran apa sebenarnya yang dilakukan Ratih kepada suaminya, sampai Mas Irwan berteriak seperti itu.Panas sekali dada Rani ketika melihat pakaian Ratih. Dia memakai piyama tidur yang sangat ketat. Ratih mulai playing victim, dia berusaha membuat bahwa Irwan lah yang menggodanya, tapi Rani sudah tau apa yang terjadi.Dia menjambak rambut Ratih dan mendorongnya ke tembok. Mencengkram mulut wanita itu kemudian menampar wajahnya. Beruntungnya tamparan Rani tidak terlalu keras. Hanya sedikit meninggalkan luka di bibir Ratih, seperti orang yang tak sengaja menggigit bibirnya."Heh, janda gatel! Kalau lagi gatel itu jangan godain suami orang supaya digarukin! Noh, pergi ke kebun Pak Somad sana! Di sana sabut kelapa banyak," umpat Rani.Irwan tidak melerai. Dia malah berbalik badan ketika istrinya memojokkan Ratih ke tembok."Ayo, Yank, kita pulang aja," ajaknya."Sekali lagi berani godain suami saya, saya pastikan satu kampung bakal tau kejadian ini," ancam Rani.Ratih hanya bisa terdiam. Dia tidak dapat melepaskan cengkraman Rani yang begitu kuat di rahangnya."Mas keluar duluan aja! Aku mau kasih perhitungan dulu sama si janda gatel ini."Ratih ketakutan. Dia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Rani kepada dirinya.Irwan yang tau istrinya sedang diliputi emosi tak berbicara apa-apa, ia hanya berpesan untuk jangan terlalu berlebihan."Hemm.." Rani menjawab dengan deheman.Ketika Rani melihat suaminya menuju keluar, ia menyeret Ratih dan mendudukkannya di kursi meja makan.Kemudian Rani mengambil sebilah spatula penggorengan dan mengacungkannya di hadapan Ratih.Ratih gemetar melihat ekspresi Rani. Dipikirannya sudah membayangkan hal yang tidak-tidak."Eh, ulat bulu! Kamu tau ini apa?" tanya Rani.Ratih hanya terdiam, tak mampu menjawab. Ia berusaha menelan salivanya. Takut Rani melakukan hal yang nekat kepada dirinya."Ckek..ckek..ckek.., dengan ini saja kamu tidak tau. Kalau kamu tidak tau, ini namanya spatula penggorengan.""Kamu mau tau apa yang ingin saya lakukan dengan ini?" tanyanya lagi."Saat kamu menggoda Mas Irwan tadi, sepertinya punyamu gatal sekali, ya? Apa sekarang masih gatal? Kalau masih gatal, saya mau mencoba menolong garukin pake ini," ucap Rani sambil mengacungkan spatula tadi.Tubuh Ratih gemetar. Bayangan apa yang akan dilakukan Rani dipikirannya tadi seakan nampak di depan matanya.Ratih mencoba melawan tetapi Rani kembali mengancam. "Berani kamu lari atau melawan, maka akan tau akibatnya." Rani mengancam dengan wajah bengisnya membuat Ratih kembali tak berkutik."Berani lagi kamu nekat godain Mas Irwan seperti tadi, siap-siap saja, yang lebih besar dari ini akan saya tancapkan di lubang buayamu yang gatal itu." Rani menakuti-nakuti Ratih.Ratih mengangguk. Dia ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat mendengar ancaman Rani.Ratih lega ketika mendengar langkah kaki seseorang. Merasa ada pertolongan, ia sedikit mengeraskan suaranya."Auu.. sakit!" Suaranya terdengar sampai ke depan rumah.Tiba-tiba orang itu berteriak.Bersambung.Ayo kira-kira siapa yang masuk?Tiba-tiba langkah yang tadi terdengar dari luar semakin mendekat."Hey..., Kamu apakan anak saya?" Ternyata suara langkah kaki tadi berasal dari Bu Tut.Rani yang melihat Bu Tut mendekat, segera mendorong kursi itu ke arahnya. Bugh...Ratih terjatuh ke lantai. Melihat keadaan anaknya yang babak belur membuat Bu Tut khawatir."Eh, Rani, kamu apakan anak saya? Kenapa sampai berdarah-darah seperti ini?" Suara Bu Tut histeris, Ratih menangis di pelukan ibunya."Awas ya, kamu, Rani! Akan saya tuntut kamu karena sudah menganiaya anak saya." Rani yang mendengar ancaman Bu Tut tidak terlihat takut sama sekali.Rani melempar spatula yang ada di tangannya tadi ke arah kaki mereka. "Silahkan, laporkan saja, kalau mau anakmu menanggung malu seumur hidup."Bu Tut tidak mengerti maksud Rani."Apa maksud kamu? Memangnya apa yang anak saya lakukan? Justru seharusnya kamu lah yang akan saya buat malu," ketus Bu Tut."Selain sombong ternyata kamu itu suka menganiaya orang, ya?" sindirnya lagi.Rani me
Melihat ibunya pulang dari belanja, Ratih segera masuk ke dalam rumah ibunya, seperti biasa ingin meminta bahan makanan."Ini semua gara-gara si Rani," ujarnya menggerutu.Melihat wajah ibunya yang terlihat kesal sekali, Ratih bertanya, "Ibu, kenapa?"Bu Tut memandang Ratih dengan wajah kusutnya. "Ibu lagi kesal sama si Rani, berani banget dia mempermalukan Ibu."Ratih mencebikkan bibirnya. "Ibu, habis dari tempat mangkal Kang Parto kan? Belanja apa tadi?" Tangannya membuka kantong belanjaan yang berada di atas meja."Hanya ini, Bu?" tanya Ratih sembari menenteng kantong belanjaan yang hanya berisi tahu, tempe, sayur bayam dan beberapa butir cabe.Bu Tut melihat anaknya dengan mata melotot, membuat Ratih sedikit meringis."Hehehe..," Ratih cengengesan. "Ratih, minta, ya, Bu?" Tanpa rasa bersalah dia memasukkan sebagian bahan-bahan tadi ke dalam kantong plastik kecil untuk dibawanya pulang."Kamu, ini, Ratih! Setiap kali ke sini minta terus!" tegur Bu Tut. "Ya, gimana, Bu? Ratih, lagi
Bu Tut dan Ratih tercengang saat Irwan menyirami sekeliling kiosnya dengan air di dalam botol bekas minuman kemasan, sambil mulutnya membaca sesuatu.Ibu dan anak itu saling berpandangan. Seakan paham dengan tatapan mereka satu sama lain, mereka berdua mengangguk.Ratih mengambil handphonenya kemudian merekam Irwan dari kejauhan.Antara takut dan penasaran, Ratih berusaha supaya rekaman itu nampak jelas agar warga kampung percaya dengan bukti yang dia tunjukkan.Kegiatan Irwan yang berlangsung selama enam puluh detik itu berhasil terekam oleh Ratih. Dia bernafas lega kemudian menyimpan handphonenya di saku celana."Gimana, Ratih? Videonya jelas nggak?" tanya Bu Tut."Sip, Bu! Jelas banget. Cuman suara Mas Irwan nggak kedengaran saat mulutnya komat kamit tadi," jawab Ratih."Coba sini, Ibu liat." Bu Tut mengambil hp Ratih."Ternyata bener dugaan kita, ya, Bu? Selama ini Mas Irwan memakai pesugihan," celetuk Ratih."Iya. Di zaman sekarang mana ada orang nyari duit yang bener-bener halal
Para ibu-ibu itu pergi menuju kediaman Bu RT."Assalamualaikum, Bu RT.""Wa'alaikumussalam." Dari dalam keluar pasangan suami istri. Mereka berdua heran melihat para ibu-ibu berdatangan."Ada apa ini, Bu?" tanya Pak RT."Iya! Tumben rame banget. Ada apa ini?" sambung Bu RT."Begini, Bu, kami ke sini mau mengadukan perbuatan keluarga Rani," ucap salah seorang diantara mereka."Memangnya apa yang mau kalian semua adukan?" tanya Pak RT."Kami mau mengadukan bahwa keluarga Rani memakai pesugihan," ucap salah seorang warga yang emosi."Loh...loh, berita dari mana itu? Jangan asal bicara kalau tidak ada bukti, jatuhnya fitnah." Suami istri itu mencoba menenangkan kumpulan ibu-ibu yang emosi."Tenang dulu, Ibu-ibu! Jangan gegabah. Siapa orang yang menyebarkan berita ini?" tanya Bu RT."Sudah! Kita usir saja mereka!" teriak Bu Irma memprovokasi."Ayo...! Langsung saja kita labrak rumah mereka."Nanti dulu, Ibu-ibu! Kita cari tau dulu kebenarannya.""Sudah jelas, Pak! Bahkan saya punya buktiny
"Ayo, Bu Tut, minta maaf kepada Mbak Rani. Dan jangan diulangi lagi hal seperti ini. Beruntung Mbak Rani tak marah, " ucap lelaki berkumis tipis itu. "Ayo! Sekarang kalian pulang ke rumah masing-masing." Ibu-ibu yang berkumpul tadi mulai membubarkan diri termasuk Bu Tut. Rani memandang heran dengan warga yang mulai meninggalkan rumahnya. Sebenarnya dia ingin marah, sudah 2 kali dia difitnah seperti ini. Tapi dia yakin kalau suaminya tidak akan suka kalau dia berkata kasar apalagi sampai bertengkar dengan ibu-ibu satu kampung. Ia percaya dengan kinerja Pak RT. Ia mencoba menganggap bahwa kejadian tadi kejadian lucu. Rani kembali duduk di teras menyelesaikan bab cerita novelnya, sesekali ia membalas chat costumernya. ***Rani menceritakan kejadian tadi kepada suaminya. "Kok bisa mereka menuduh begitu, ya?" Irwan merasa heran sekaligus lucu. "Ya, itu karena mereka tak tau dengan pekerjaan aku, Mas. Orang kampung sini kan taunya kalau orang banyak duit itu kerja."Irwan hanya mengan
"Emm..., jujur ya, kalau menurut Mas lebih sexy-an kamu sih!" Walau Yanti hanya wanita simpanannya, Adi tak ingin membuat wanita itu tersinggung. Karena dia sudah sangat cocok dengan Yanti. Sebab, sudah sering ia ke sana kemari menikmati tubuh wanita tapi, pelayanan wanita ini tidak dia dapatkan di tempat lain. Namun setelah melihat foto Rani, tiba-tiba ia berubah pikiran. Lelaki buaya itu berencana melakukan sesuatu dengan memanfaatkan perasaan Yanti terhadap suaminya Rani. Yanti merasa sombong setelah mendengar pendapat Adi. "Bener 'kan? Sudah kuduga. Tapi kenapa Mas Irwan tidak pernah tergoda ketika melihatku ya, Mas?" Yanti berpikir sejenak. "Haa...." Adi terlonjak kaget saat meneliti wajah Rani, ketika Yanti tiba-tiba menepuk punggung tangannya. "Kamu, kenapa sih, Sayang?” Nampak ia terlihat kesal saat konsentrasinya terganggu. " Aku curiga, Mas, apa jangan-jangan....""Jangan-jangan apa?" Adi sedikit penasaran dengan kalimat Yanti yang terpotong. "Jangan-jangan si Rani itu
Mata Yanti membelalak ketika melihat wanita yang sedang bertanya di bagian resepsionis. Sebelum ketahuan, Yanti gegas bersembunyi di balik tembok. "Huh.., untung dia belum liat." Jantungnya berdetak dengan kencang, membuat Yanti gugup. "Kalau sampai ketahuan bisa gagal rencanaku sama Mas Adi."Tiba-tiba Yanti teringin memoto wanita itu. Ia memotret secara diam-diam. Cekrek.. Cekrek.. Beberapa foto berhasil ia ambil. "Kali aja nanti bermanfaat."Sekitar sepuluh menit menunggu, tetapi wanita itu tak kunjung juga menjauh. Seperti tengah menunggu seseorang.""Ada keperluan apa sih, wanita itu di hotel ini? Apa jangan-jangan berita itu benar?" gumamnya. "Kalau benar bisa jadi berita heboh nih! Dan makin mempermudah rencanaku," ucapnya girang. Waktu yang ditunggu Yanti akhirnya tiba. Wanita itu pergi menjauh keluar loby. Gegas dia keluar dengan terburu-buru. Bughh.... "Aww.. " Yanti tak melihat jalan sehingga ia menabrak si wanita yang baru keluar tadi. "Sial! Pengennya sembunyi-semb
Rani heran melihat suaminya terdiam. "Siapa, Mas?" tanyanya dengan mulut yang masih mengubah makanan. "Ibu," jawab Irwan. "Ooh..." Rani hanya ber-oh ria. Klik... "Halo, Bu! Assalamu'alaikum.""................ ""Tumben Ibu mau ke rumah! Ada hal apa?" ".............. ""Bukan begitu, Bu! Biasanya juga kami yang di suruh ke sana nyamperin Ibu!""................. ""Tapi.......!""................... ""Iya, Bu. Wa'alakikumussalam."Tut.. Panggilan itu pun terputus. "Kenapa, Mas?""Ibu mau ke rumah!""Sekarang? Ibu sudah sampai?""Kata Ibu sih, masih di rumah.""Mas sudah kasih tau kalau di rumah nggak ada orang?""Itu dia, Yank. Mas mau ngasih tau, tapi Ibu keburu memotong ucapan Mas."Rani melirik jam. Ternyata sudah pukul dua lewat. "Kalau begitu kita tutup aja sekarang!" Irwan mengangguk. Kemudian mulai menutup pintu rolling agar tak ada lagi orang yang memesan. ****Karena jalanan sempat macet, sekitar pukul 3 sore, Rani beserta suami dan anaknya baru saja sampai di rumah