Share

Part 3

Tiba-tiba langkah yang tadi terdengar dari luar semakin mendekat.

"Hey..., Kamu apakan anak saya?" Ternyata suara langkah kaki tadi berasal dari Bu Tut.

Rani yang melihat Bu Tut mendekat, segera mendorong kursi itu ke arahnya.

Bugh...

Ratih terjatuh ke lantai. Melihat keadaan anaknya yang babak belur membuat Bu Tut khawatir.

"Eh, Rani, kamu apakan anak saya? Kenapa sampai berdarah-darah seperti ini?" Suara Bu Tut histeris, Ratih menangis di pelukan ibunya.

"Awas ya, kamu, Rani! Akan saya tuntut kamu karena sudah menganiaya anak saya." Rani yang mendengar ancaman Bu Tut tidak terlihat takut sama sekali.

Rani melempar spatula yang ada di tangannya tadi ke arah kaki mereka. "Silahkan, laporkan saja, kalau mau anakmu menanggung malu seumur hidup."

Bu Tut tidak mengerti maksud Rani.

"Apa maksud kamu? Memangnya apa yang anak saya lakukan? Justru seharusnya kamu lah yang akan saya buat malu," ketus Bu Tut.

"Selain sombong ternyata kamu itu suka menganiaya orang, ya?" sindirnya lagi.

Rani menarik sudut bibirnya. "Silahkan kalau Bu Tut mau menyebarkannya ke semua orang. Tapi sebelum itu terjadi, saya akan mengatakan duluan bahwa anak Bu Tut ini..." Dia menunjuk wajah Ratih. "Pelakor gatel," sambungnya.

"Heh... Jaga mulut kamu, ya Rani! teriak Bu Tut.

"Bu, jangan teriak-teriak. Ibu nggak mau 'kan warga ke sini dan melihat apa yang tengah terjadi? Kemudian saya katakan yang sebenarnya kepada mereka apa yang tengah dilakukan Ratih tadi kepada suami saya?"

Bu Tut memandang Ratih meminta penjelasan dan Ratih hanya bisa terdiam.

"Sini, Bu biar saya beritahu apa yang dilakukan Ratih kepada Mas Irwan. Saat saya di dalam toilet dengan berani dan murahannya anak ibu menggoda suami saya. Bahkan sampai menawarkan diri padahal ada istrinya loh, lagi di dalam toilet."

Bu Tut melihat ke arah Ratih. Tubuhnya gemetar tak berani mengatakan apa-apa.

"Jangan asal ngomong kamu, Rani," bela Bu Tut.

"Bu, lihat aja itu pakaian anak ibu. Ini kan siang hari? Ngapain dia pake baju piyama sexy gitu? Apalagi dia tau ada lelaki yang bukan suaminya. Apa coba namanya kalau bukan mau menggoda? Untung suami saya kuat iman."

Ratih yang takut ibunya marah, berusaha mengelak ucapan Rani. "Bohong, Bu! Mana buktinya kalau saya godain Mas Irwan? Dia cemburu, Bu, karena Mas Irwan nolongin, Ratih. Makanya dia nampar Ratih." ucapnya dengan suara gemetar.

Rani yang baru sadar tidak ingat merekam suara Ratih saat menggoda suaminya tadi, merutuk dalam hati.

"Kenapa pula lupa ngerekam tadi, ya? Padahal suara Ratih dan Mas Irwan tadi jelas banget,"batinnya. "Ini hp juga ada di tangan. Tenang Rani, tenang. Cari akal, sebelum pasangan Mak Lampir ini tau bahwa kamu tidak ada bukti."

Rani terdiam. Wajahnya biasa aja, tak menimbulkan raut panik. Tiba-tiba muncul sebuah ide, dia tersenyum.

"Wah, berani berbohong kamu, ya? Apa kamu tak takut kalau sampai rekaman ini..." Dia menenteng hape-nya. "Saya sebarkan di grub kampung? Apalagi Mas Irwan sebagai saksi, loh." Ratih gemetar. Dia takut kalau warga tau kelakuan murahannya ketika menggoda suami Rani tadi.

"Akan seru sekali nanti. Mereka akan menyebutmu apa, ya?" Rani mengetuk-ngetuk dahinya seperti orang yang sedang berpikir.

"Ulat bulu? Pelakor? Atau janda gatel? Oh..atau, bisa jadi mereka memanggilmu pelakor gatel si ulat bulu?" timpalnya.

"Saya jadi penasaran bagaimana respon mereka saat rekaman ini tersebar. Apalagi ibu-ibu di kampung ini paling anti banget sama yang namanya pelakor. Menurut mereka, pelakor itu seperti hama yang pantas dibasmi." Bu Tut merasa tertampar saat Rani mengatakan itu sambil melihat ke arahnya.

"Bahkan Ibumu ini, Ratih! Paling benci sama pelakor. Katanya kalau ada pelakor di kampung ini dan sampai ketahuan akan dimasukin cabe ke dalam 'itunya'." Rani berpura-pura bergidik membuat Ratih yang mendengar juga bergidik ngeri.

"Kan, nggak lucu kalau ibunya benci pelakor malah tau-tau anaknya yang jadi pelakor," tambahnya lagi.

"Jadi, gimana? Mau saya sebarkan? Biar warga pada tau kelakuanmu, Ratih?" Tatapnya penuh intimidasi.

Ratih menggeleng. "Bagus! Kalau begitu katakan yang sebenarnya kepada ibumu, Si Bu Tut yang terhormat."

Ratih terdiam sejenak. Melihat anaknya seperti itu Bu Tut sudah paham bahwa apa yang dikatakan Rani memang benar.

"Gimana? Masih mau menuntut saya, Bu Tut yang terhormat?" Bu Tut tak mampu berkata-kata. Dia begitu sangat menyayangi Ratih, dia tak ingin semua warga tau kemudian anaknya dicap sebagai pelakor. Bu Tut tak bisa membayangkan kalau itu benar terjadi.

"Kalau kalian menuntut siap-siap saja merasakan akibatnya," ancam Rani.

"Kalau begitu saya permisi dulu! Dan ingat, Ratih, sekali lagi kamu berani mencoba menggoda Mas Irwan, yang lebih besar dari gagang spatula tadi akan masuk ke 'liang gatalmu'. Assalamualaikum," ucapnya ketus kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.

Ratih ketakutan, sementara Bu Tut merasa kesal. Rani yang selama ini dikenal pendiam, sekarang menjadi lebih bar-bar.

"Ayo, Mas! Kita pergi dari sini," ajaknya kepada Irwan.

Semenjak itu, hubungan Bu Tut dan Rani menjadi semakin panas. Rani yang dulu tidak pernah terpancing meskipun Bu Tut menggosipkannya secara terang-terangan, sekarang membuat Rani lebih berani membalas.

****

"Sudahlah, nggak usah diladenin lagi, ya, Yank? Biarin aja Bu Tut beserta gengnya. Kan sudah jadi kebiasaan mereka seperti itu. Suka ngomongin orang, jadi kamu anggap biasa aja lah." Irwan kembali membujuk istrinya.

Rani hanya terdiam. Dia heran kenapa gengnya Bu Tut itu seperti benci sekali dengannya. Semenjak pindah ke kampung ini tak pernah sekalipun Bu Tut bersikap ramah kepada Rani, padahal Rani selalu berusaha berbaur dengan warga sini termasuk kepada Bu Tut dan gengnya.

Ia juga selalu berusaha memberikan bantuan kepada siapa saja yang memerlukan bantuan keluarganya.

Sejak dulu kalau ketemu sama Rani, bawaannya sewot mulu. Tapi, kalau dengan suaminya biasa saja.

Manisnya hanya ketika setiap mau minjam duit saja, tapi setelah dikasih pinjam langsung kembali ke mode galak.

Tak jarang Bu Tut dan gengnya menyebarkan berita bohong bahkan sampai memfitnah Rani.

Awalnya bualan Bu Tut hanya sekedar mengatakan Rani penikmat uang suami, tetangga sombong dan sebagainya, tapi setelah itu entah bagaimana ceritanya sampai Rani mendengar desas desus fitnah Rani open BO menjadi wanita panggilan dan memakai pesugihan. Wajah Rani yang memang cantik dari sananya, dikira hasil memakai susuk.

Rani memang tidak pernah menanggapi semua desas desus itu. Dia juga hanya menganggap angin lalu akan rumor itu.

Maka dari itu sekarang Rani tak ingin lagi diam. Kalau dibiarkan akan semakin melunjak.

****

Bu Tut yang masih kesal dengan kejadian di tukang sayur tadi lekas pergi menuju rumahnya. Meletakkan dengan kasar belanjaannya.

"Awas kamu, Rani!" umpatnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status