“Kamu sakit?”tanya Nara yang baru tiba di kantor saat melihat wajah pegawainya yang pucat.
Nadira mengejap pelan lalu mengatur napasnya,”Mbak fotonya Lili dan Roni kena rembesan dari plafon yang bocor.”jelasnya panik. Nara berusaha memahami situasi,”Seberapa parah? Mbak Embun sudah datang?”tanyanya pelan. “Belum ada yang datang mbak.”jawab Nadira. “Kapan fotonya mau diambil?”tanya Nara memastikan. Nadira Kembali memasang wajah panik,”Harusnya sore ini.”jelasnya. “Coba aku lihat dulu.”ajak Nara sambil berjalan masuk ke dalam kantor. Noda cokelat yang menghiasi foto klien mereka terlihat begitu jelas dan karena permukaan kain yang digunakan sebagai media untuk mencetak foto, noda itu bisa menyerap dengan sempurna. Nara memutar matanya,”Kamu coba hubungi pihak studio untuk minta mereka cetak lagi lalu tanya kapan bisa selesai. Biar Lili dan Roni nanti aku yang hubungi.”katanya pada Nadira.# Embun dan ZiaNara memandang sahabat kakaknya dengan kesal.“Kamu enggak mau pulang? Ayo aku antar.”ujar Ara santai tanpa peduli dengan tatapan tajam yang diarahkan kepadanya.“Tolong dijelaskan bagaimana mobil ini bisa enggak menarik perhatian tetangga dan seisi rumahku?”tanya Nara dingin menunjuk ke arah mobil mahal milik Ara.Ara memamerkan deretan giginya,”Kita ke rumahku dulu kalau begitu.”ujarnya cepat.“Enggak usahlah mas. Aku naik taxi saja.”sahut Nara menunjuk deretan taxi di depan lobi hotel.“Jangan dong inikan sudah jam sepuluh malam. Masa kamu mau pulang naik taxi sendirian.”sahut Ara melarang.“Kalau kita harus ke rumah mas dulu juga akan makin malam aku pulangnya.”gerutu Nara datar.“Tenang kita hanya akan ganti mobil.”ujar Ara ringan sambil mendorong Nara masuk ke dalam mobil.#“Kata mas kita akan langsung ke rumahku?”protes Nara sebal dengan suara berbisik agar ibu Ratih tidak mendengar kata-katany
Arka yang sedang bersiap-siap untuk makan malam kini menatap adik bungsunya yang tiba di rumah tidak lama setelah dirinya dengan wajah bingung,”Kamu bilang mau pulang tepat waktu karena capek?”tanyanya dengan alis terangkat sebelah mengingat Nara menolak untuk menunggu dirinya yang masih harus menanggani pasien di ruang ICU.Nara hanya tersenyum bodoh saat melihat Arka dengan tangan yang sedang sibuk menyendok nasi di meja makan bertanya kepadanya. Bagaimana dirinya bisa mengatakan kalau ia sekarang ini sangat ingin memasukkan sahabat kakaknya itu ke dalam kotak lalu melemparkannya ke samudra Hindia karena setiap kali selalu saja membawa masalah untuknya.“Kamu kok belakangan jadi sering makan malam-malam?”tanya Arka heran begitu melihat Nara mengambil piring dan ikut bergabung dengannya.Tiba-tiba ibu Linda yang keluar dari kamar untuk mengambil air minum malah ikut bergabung di meja makan begitu mendengar pembicaraan kedua anaknya,“Iya kamu d
Nara memandang pantulan dirinya di cermin, menghela napas karena melihat kalung itu kembali melingkar di lehernya. Matanya tiba-tiba membesar dengan cepat ia berlari membuka tas kerjanya lalu mengeluarkan sebuah amplop,”Aku lupakan memberikan ini ke mas Ara.”ocehnya pada dirinya sendiri,”Atau sebaiknya aku jual juga kalung ini?”gumam Nara lagi. Namun, lagi-lagi Nara menghela napas panjang bagaimana caranya menjual kalung berlian yang surat-suratnya bahkan tidak ada padanya, bisa-bisa nanti disangka barang curian. Ia juga belum mengembalikan gaun sewaan ke butik Khansa. Kenapa sekarang kamarnya jadi dipenuhi barang-barang mahal? Gerutu Nara lelah.#Pagi ini ibu Linda yang sedang sarapan bersama suami dan kedua anaknya tiba-tiba sibuk menyadari akan sesuatu,”Sejak kapan kamu pakai kalung? Baru ya?”tanyanya sambil menunjuk ke arah leher putri bungsunya.Nara nyaris tersedak bubur ayam yang ada di mu
“Jadi pacar mas itu mbak Davina?”tanya Nara begitu sahabat kakaknya itu selesai bercerita tentang alasannya datang ke rumah sakit lain siang tadi.Ara mengangguk,”Baru tiga minggu? Kurang lebih.”jawabnya tidak yakin,”Tunggu kok kamu bisa kenal sama Davina?”tanyanya heran.Nara mengangguk pelan,”Enggak kenal cuma pernah ketemu waktu mas Arka lagi tugas di Bandung.”jelasnya singkat lalu dengan cepat memutar badannya menghadap ke arah kursi kemudi,”Jadi kapan mas akan kasih tahu tante Ratih tentang masalah ini?”tanyanya sambil melipat kedua tangan di bawah dada.“Secepatnya.”jawab Ara cepat, ia agak sedikit terkejut karena tiba-tiba Nara mengubah topik pembicaraan. Beruntung mereka sudah sampai di restoran cepat saji yang ditunjuk Nara jadi ia menghentikan mobilnya,”Kamu enggak mau pesan makanan.”katanya segera mengalihkan perhatian Nara dengan menunjuk benda besar berbentuk kotak dan berwarna hitam yang mempersilahkan pelanggan untuk memesan makanan. K
“Kamu besok bisa tolong papa sebelum berangkat ke rumah sakit?”tanya pak Alex pada putra sulungnya.Ara mengalihkan pandangan dari layar laptopnya,”Ke lokasi proyek pa?”tanyanya menebak maksud ayahnya.Pak Alex mengangguk,”Nathan besok pagi harus ketemu pemasok kopi di kedainya.”jelasnya memberi alasan.“Hanya perlu mengambil beberapa foto dari semua bagiankan?”tanya Ara memastikan tujuannya pergi ke lokasi yang dimaksud oleh ayahnya.#Zia dan Embun menopang dagu dengan kedua tangan mereka masing-masing menunggu Nara melanjutkan ceritanya. Mata Nara mengejap-ngejap melihat tingkah kedua rekannya itu.“Ini kalau aku enggak lanjutin ceritanya kalian enggak bakal kerja?”tanya Nara sebelum melanjutkan ceritanya.Keduanya dengan kompak menganggukkan kepala.“Karena bekerja dengan dipenuhi rasa penasaran itu tidak baik.”sahut Zia
Untuk kedua kalinya Ara menyesali keputusannya membantu Nara malam ini karena Arka langsung memandangnya dengan tatapan curiga,”Kamu bukannya tadi buru-buru pulang karena harus menjemput tante Ratih?”tanyanya dengan mata menyipit,”Lalu kenapa kalian bisa pulang sama-sama?”tanyanya lagi.“Kamu tahukan teori persamaan waktu yang biasa kita sebut kebetulan.”jawab Ara dengan wajah bodoh dan senyum aneh.Arka menghela napas panjang,”Teori Relativitas Einstein itu hanya berlaku untuk luar angkasa.”jelasnya dengan wajah datar,”Tidak ada hubungannya dengan kebetulan.”kata Arka sengaja bicara dengan nada rendah dan dalam.#Nara menjatuhkan diri ke atas tempat tidurnya, setelah berhasil untuk memaksa diri mandi dan berganti pakaian. Kini saat berencana untuk segera pergi tidur tiba-tiba ia mendengar bunyi gemuruh di dalam perutnya,”Kamu lapar ya?”tanya Nara sambil menatap perutnya. Mengingat bahwa dirinya tadi tidak bisa benar-benar menikmati makan malam N
Setelah kembali dari makan siang ketiga mbak bos beserta dua pegawai harus kembali berhadapan dengan tumpukan barang-barang yang menghampar di seluruh ruang kantor.“Aduh ini apa mau sekalian kita bereskan?”tanya Nara begitu masuk ke dalam kantor.Embun mengangguk,”Kayaknya begitu. Apa sekalian saja kita pilih-pilih mana barang yang harus disimpan dan dibuang hari ini?”ajaknya.Galang memandang para bosnya sambil tersenyum,”Kalau begitu nanti ada camilan sore dong mbak?”tanyanya dengan penuh harap.Nadira langsung mengangguk setuju dengan pertanyaan rekan seperjuangannya.“Kita bicara setelah selesai beres-beres.”kata Zia sambil merangkul kedua pegawainya itu.#“Aduh dia bunyi lagi.”gerutu Nara begitu mendengar suara ponselnya sedang kedua tangannya penuh karena membawa sebuah kardus.Zia dengan cepat mengambil ponsel yang ada di saku belakang celana rekannya itu,”Mas Ara.”katanya sambil menunjuk layar ponsel N
“Kamu habis dari mana?”tanya ibu Linda begitu melihat putri bungsunya pulang dengan pakaian penuh dengan noda debu di mana-mana,”Kotor amat bajumu?”tanyanya dengan dahi berkerut.“Hari ini beres-beres di kantor ma.”jelas Nara sambil berjalan masuk dengan mulut yang menguap lebar.“Eh masmu pulang tuh.”kata ibu Linda yang berjalan di belakang Nara begitu mendengar ada bunyi pagar .Nara mengangguk sambil menuang air ke dalam gelas lalu meminumnya.#“Kamu pulang sama Nara?”tanya Arka pada adiknya begitu masuk ke ruang makan.Nara langsung tersedak air yang sedang diminumnya. Benar juga kakaknya pasti tadi melihat mobil mas Ara,”Bayaran sudah kasih tahu tukang mas.”jawabnya sambil menyeka air tercecer di sekitar mulutnya dengan tisu.Arka mengerutkan dahinya,”Balas jasa kok kamu yang diantar pulang?”tanyanya bingung.“Aku yang jadi sopir mas.”jelas Nara singkat.“Tetap saja.”gumam Arka tetap merasa