Share

Bab 5

Penulis: Dee
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-03 17:31:42

Ratna keluar dengan muka ditekuk. “Bisa-bisanya mereka bergibah di depanku,” gerutu Ratna sambil menuruni anak tangga yang berada di teras rumah mewah tersebut.

Wanita yang mengenakan sepatu berhak 5 centi itu berjalan sambil mengentakkan kakinya, tanpa ia sadar anak tangga yang ia lalui terdapat kulit pisang dan mengakibatkan ia terpeleset hingga terduduk. Ratna menggeram, melihat kiri dan kanan, malu jika sampai teman-temannya melihat, bergegas ia masuk ke mobil yang sejak tadi menunggunya. Tanpa disadari Ratna, beberapa temanya mengintip dari jendela dan tertawa melihat ia terjatuh.

Bimo yang menunggu di mobil terkekeh melihat ibunya jatuh. Ia langsung pura-pura memainkan ponsel saat Ratna membuka pintu dan membantingnya dengan keras. Bimo tersentak.

“Kenapa Mama terlihat kesal?” tanya Bimo.

“Mama gak mau Laila berjualan di stasiun lagi. Mulai besok dia gak boleh lagi berada di sana. Mama malu!” oceh Ratna.

“Ada apa, Ma?”

“Istri kamu itu bikin Mama malu, semua teman Mama tahu kalau Laila jualan gorengan di stasiun. Kamu juga, istri bikin malu keluarga malah diam aja bukannya dilarang! Harusnya kamu suruh dia kerja yang lebih elit biar Mama gak malu,” gerutu Ratna. “Dan yang bikin Mama kesal, bisa-bisanya mereka bilang papa kamu terlibat kasus!”

Bimo hanya diam, apa yang dikatakan ibu-ibu itu semua ada benarnya, tetapi mana mungkin dia mengatakan kalau Laila jualan karena tidak pernah diberi uang, bisa-bisa ibunya malah menginterogasi, bukankah selama ini ia mengatakan bahwa Laila diberi jatah 3 juta setiap bulannya. Bimo menghela napas, mendengarkan Ratna yang masih saja mengomel. Ditariknya tuas kopling dan menginjak gas,mobil silver itu meluncur meninggalkan pekarangan rumah.

***

Baru saja Bimo melangkah masuk, Laila tiba-tiba melemparkan sebuah surat ke arahnya. Ia terkejut, lalu menatap istrinya dengan raut wajah bingung sekaligus marah. Bukannya disambut dengan senyuman, tetapi malah wajah masam dan lemparan yang ia terima. Bimo memungut kertas yang jatuh di hadapannya. Surat peringatan dari kantor kades dan juga tagihan hutang dari tempat Bimo berjudi.

“Dari mana kamu seharian ini, Mas? Tadi Bu Tina dateng ke sini mau besuk kamu.” Belum sempat Bimo duduk, Laila sudah menodongnya dengan pertanyaan.

“Bisa gak biarkan aku duduk dan sediakan aku minum dulu! Suami baru pulang sudah ditanya-tanya, malah dilempar lagi, durhaka kamu sama suami!”

“Suami modelan kayak kamu gak apa dilempar-lempar, gak perlu disopani, gak akan durhaka, yang ada kamu durhaka sama istri dan anak. Kalau modelan Nabi Muhammad baru aku durhaka kalau kurang ajar.”

“Songong kamu, ya, dibilangi!” Bimo meninggalkan Laila yang masih berdiri di hadapannya. Ia menuju kamar dan merebahkan tubuh.

Laila mendengus kesal karena tidak dihiraukan oleh Bimo. Sambil menggerutu ia berjalan ke dapur, menyelesaikan kue yang akan dijual besok. Baru saja ia akan menungkan tepung ke dalam baskom, terdengar suara ketukan dari arah depan. Laila melihat jam di dinding, pukul 17.45 menit, siapa yang bertamu menjelang magrib pikirnya. Ia meletakkan sisa adonan, mencuci tangan, dan bergegas ke arah pintu karena ketukan itu berubah menjadi sebuah gedoran yang sangat kuat.

Dua orang pria bertubuh besar dengan tato di tangannya, mengenakan kaos ketat hingga membentuk dadanya yang bidang. Salah satu pria dengan kepala plontos dan kalung rantai kapal di lehernya, sedangkan pria satunya berambut gondrong dengan jambang lebat di wajahnya.

Laila sedikit ngeri melihat penampilan keduanya yang seperti tukang pukul. Namun, seramah mungkin ia menyambut tamunya agar tidak kentara bahwa ia sebenarnya takut.

“Cari siapa?” tanya Laila.

“Mana Bimo? Dia janji hari ini akan melunasi hutangnya,” ujar pria plontos itu.

“Hutang?” Laila bingung, tadi siang baru saja ada orang yang mengantarkan tagihan hutang, lalu ini ada lagi yang menagih hutang. Sebenarnya apa yang dilakukan Bimo diuar rumah.

“Cepat panggil Bimo atau aku hancurkan isi rumah ini!” bentaknya lagi sambil menendang kursi yang berada tepat di sebelah mereka.

Laila terlonjak, sambil terbata-bata ia mengangguk dan masuk memanggil Bimo. Ia membuka kasar pintu, Bimo yang sedang merebahkan diri dengan celana pendek dan kaos oblongnya, terkejut karena benturan pintu di dinding.

Laila melotot ke arah Bimo. “Siapa preman-preman di depan itu, Mas?” tanya Laila penuh selidik.

Bimo bangkir dari tidurnya, ia mengernyitkan dahi dan mengangkat kedua bahu, seolah-olah tidak paham maksud sang istri.

“Jangan pura-pura tidak tahu! Mereka datang menagih hutang,” ujar Laila.

Sontak Bimo beranjak dari tempat tidur dan berjalan cepat menemui 2 orang preman yang menunggunya di teras.Laila mencegat lengan Bimo, sejenak ia terhenti dan menoleh.

“Aku tidak mau terlibat dalam urusanmu!” Laila memberi peringatan. Bimo tidak menghiraukan perkataan istrinya. Ia hanya dia dan menepis tangan Laila.

Terdengar sedikit cekcok dari luar, Laila sengaja menguping dan mengintip dari balik gorden jendela. Ia menutup mulut dengan kedua tangan saat melihat suaminya dipu*kul oleh pria plontos itu. Ada sedikit iba yang dirasakannya, meski Bimo sering berbuat kasar, tetapi ia tidak tega melihat sang suami dipu*kul orang. Dua orang itu menunjuk ke arah Bimo, lalu pergi. Cepat-cepat Laila berjalan ke dapur, takut ketahuan Bimo jika ia sedang mengintip.

Laila berpura-pura sedang mengadon kue, ia melirik, sekilas Bimo sudah berdiri tidak jauh dibelakangnya. Laila tidak menghiraukan Bimo yang tampak gelisah, seolah-olah ada yang ingin disampaikan. Laila masih sibuk dengan tepung, mentega, dan telur, ia sengaja tidak mendengar saat suaminya memanggil. Tangannya dengan lihai dan cekatan membentuk kue jajanan pasar, mondar-mandir mengambil barang, tanpa menghiraukan Bimo yang sejak tadi berdiri di dekatnya.

Kesal tidak dihiraukan, Bimo menarik Laila saat melintas di depannya. Laila menatap Bimo dengan pandangan menantang.

“Sudah aku katakan, aku tidak mau terlibat dalam masalahmu!” Seolah-olah paham dengan maksud Bimo, Laila menepis cengkeraman suaminya, lalu berbalik dan menuju tempat mencuci piring.

“Tolong bantu aku, aku butuh 10 juta hari ini, kalau tidak mereka akan membu*nuhku. Apa kamu mau Naya tumbuh tanpa ayah?” bujuk Bimo.

“Ada atau tanpa ayah pun, tidak ada bedanya bagi Naya,” jawab Laila tanpa mengalihkan pandangannya, ia sibuk mencuci piring yang sudah menumpuk.

“Aku mohon, cuma 10 juta, gak banyak, kok.”

“Cuma 10 juta katamu, Mas? Bagimu uang 10 juta gak banyak, tapi bagiku uang 10 juta bisa untuk aku dan Naya makan selama berbulan-bulan. Lagian, untuk apa, sih, kamu hutang sebanyak itu? Kasih nafkah juga gak. Minta aja sama Mama atau Papa kamu!”

“Kamu itu istri aku, kalau suami dalam masalah, istri wajib membantunya.”

“Suami yang gimana dulu? Suami mokondo kayak kamu? Kapok aku, udah cukup selama 6 tahun ini aku membiayai semua kebutuhan kamu. Sekarang gak, Mas!” ucap Laila penuh penankanan.

Wajah Bimo menjadi merah, ia merasa terhina dengan ucapan Laila, tetapi lebih tepatnya adalah malu karena apa yang dikatakan istrinya adalah suatu kebenaran. Ia tidak pernah memberi nafkah, selama ini Laila lah yang memerinya makan dan mencukupi kebutuhannya, sedangkan uang gaji, sepenuhnya ia berikan kepada Ratna. Begitu pun jika ia mendapatkan bonus dari beberapa proyek, ia akan memberikan uang itu kepada sang ibu tanpa sepengetahuan Laila. Bukan hanya bentuk baktinya, tetapi Ratna akan marah jika Bimo tidak memberinya uang. Ibunya akan mengatakan bahwa ia anak yang durhaka dan lebih mementingkan istri dari pada ibu.

Bimo menarik paksa kalung yang melingkar di leher Laila. Wanita yang sedang membereskan alat masaknya itu terkejut saat tangan kekar Bimo menarik benda berharga miliknya. Kalung satu-satunya milik Laila, pemberian dari ibunya.

“Mas, kembalikan kalungku!” teriak Laila

Bimo berlari keluar setelah menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Namun sayang, saat hendak ia mengeluarkan mobil, sebuah sepeda motor menghadang jalan. Bimo memukul kemudi mobil dan mengacak rambut dengan kasar.

“Sial!” teriaknya

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!   Bab 70

    Di pintu keberangkatan internasional, Aminah, Rossa, dan Andara mengantar kepergian Laila dan Gio yang akan terbang ke Turki."Jaga diri baik-baik di sana, ya!" seru Aminah dengan mata berkaca-kaca."Iya, Bu. Jangan khawatir, kami akan baik-baik saja," balas Laila, tersenyum lembut.Sementara itu, Naya yang berada dalam pelukan Gio tak kalah antusias melambaikan tangan. Wajah gadis kecil itu berseri-seri, matanya berbinar penuh kegembiraan."Bunda, kita liburan ke luar negeri lagi, ya?" tanya Naya penuh semangat.Laila mengangguk, mengusap lembut rambut putrinya. "Iya, Sayang. Ini perjalanan spesial buat kita.""Bro, jangan lupa pulang bawa jagoan buat temen gue gelut," bisik Andara sambil tertawa."Tenang, gue udah bawa jamu yang banyak," balas Gio santai. "Oh iya, nanti aku bawain sesuatu yang spesial buat pernikahan kalian," lanjutnya, melirik Rossa yang tersenyum malu.Setelah berbicara sebentar, mereka bertiga masuk ke dalam area pemeriksaan. Aminah, Rossa, dan Andara melambaikan

  • Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!   Bab 69

    Jhon membungkukkan tubuh saat memasuki ruang makan, di mana Gio dan Laila sedang menikmati sarapan mereka."Semua dokumen sudah siap, Tuan. Hari ini isbat pernikahan Tuan dan Nyonya akan dilakukan di Pengadilan Agama," lapor Jhon dengan sopan.Gio meletakkan sendoknya, lalu menatap Laila sambil menyentuh tangannya. "Sayang, hari ini kita akan meresmikan pernikahan kita. Kamu siap?"Senyum dan binar bahagia terpancar dari wajah Laila. Ia mengangguk mantap."Kabari Ibu dan Andara, kita akan menjemput mereka," lanjut Gio."Baik, Mas."Di ruang sidang Pengadilan Agama, Gio dan Laila duduk berdampingan. Pengacara Gio sudah menyiapkan semua dokumen agar proses berjalan lancar.Setelah mendengar kesaksian mereka, hakim akhirnya mengetuk palu."Dengan ini, pernikahan saudara Gio dan Laila dinyatakan sah secara hukum negara. Buku nikah akan segera diterbitkan."Laila menghela napas lega. Tangannya digenggam erat oleh Gio, seolah meyakinkan bahwa semua ini nyata. Kini mereka telah sah, bukan ha

  • Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!   Bab 68

    Laila menatap Gio dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia kini mengerti betapa berat beban yang selama ini dipikul oleh suaminya. Dengan suara yang bergetar, ia berkata, "Pasti berat banget kamu bertahan selama ini, ya, Mas? Maaf ... aku sudah marah-marah sama kamu dan gak ngerti perasaan kamu."Gio tersenyum kecil, lalu mengangkat tangannya untuk membelai pipi Laila dengan lembut. "Kamu gak perlu minta maaf, Sayang. Aku paham, kamu hanya ingin kejujuran dan kepastian. Aku yang salah karena menutupi semuanya darimu," ucapnya lirih.Air mata Laila jatuh tanpa bisa ia tahan. Dengan perlahan, ia melingkarkan tangannya di leher Gio, memeluknya erat seakan ingin menyalurkan seluruh perasaannya. "Aku hanya ingin kamu percaya padaku, Mas. Aku ingin jadi bagian dari hidupmu, sepenuhnya," bisiknya.Gio membalas pelukan itu lebih erat, membenamkan wajahnya di bahu Laila, menghirup aroma tubuhnya yang selalu membawa ketenangan. "Selama ada kamu di sampingku, semuanya akan baik-baik saja," ucapny

  • Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!   67

    Malam itu, Gio duduk di teras rumah sederhana, menatap langit yang bertabur bintang. Udara segar dari pepohonan di sekitar terasa menyejukkan, diiringi suara jangkrik yang bersahutan. Begitu berbeda dengan suasana rumahnya di kawasan elit. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menghela napas berat. Pikirannya dipenuhi semua perkataan Laila. Baru menikah, tapi ia sudah menghadapi ujian besar.Rasa bersalah dan penyesalan menggelayut dalam hatinya. Rahasia yang selama ini ia simpan kini menjadi bumerang dalam rumah tangganya. Ia ingin jujur, tapi di saat yang sama, ia belum siap. Bagaimana jika setelah ia mengungkapkan segalanya, Laila justru semakin membencinya dan benar-benar pergi? Bayangan itu terus menghantuinya.Tiba-tiba, kursi di sebelahnya bergeser. Rossa menariknya dan duduk, menghela napas panjang sebelum berbicara."Capek, ya, Mas?" sapanya mencoba mencairkan suasana.Gio membuka matanya yang sempat terpejam, menoleh ke arah Rossa. "Sedikit," jawabnya singkat."Sampai kapan lu

  • Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!   Bab 66

    Gio menangkap bayangan di balik pintu. Seketika matanya menyipit, lalu memberikan isyarat kepada Jhon untuk menghentikan pembicaraan.Ia berbalik, melangkah pelan menuju pintu.Di luar, Laila tersentak saat melihat suaminya bergerak ke arahnya. Panik, ia segera membalikkan badan, berusaha pergi sebelum ketahuan. Namun, ia kalah cepat. Sebelum sempat melangkah lebih jauh, tangan Gio mencengkeram pergelangannya dengan kuat."Laila," suara Gio terdengar dalam dan berat.Laila menelan ludah, jantungnya berdetak tak beraturan. Perlahan, ia berbalik, menatap suaminya yang berdiri tegak di depannya."Sejak kapan kamu di sana?" suara Gio terdengar tajam, mencurigai.Sekilas, rasa takut menyelimuti Laila, tetapi ia segera menguasai dirinya. Dengan cepat, ia menepis tangan suaminya, menatapnya penuh selidik."Apa yang sedang kamu rencanakan, Mas?" suaranya bergetar, tetapi nadanya penuh penuntutan.Mata Gio tetap mengunci pandangan istrinya. "Kamu mendengar semuanya?""Jawab aku, Mas!" Laila se

  • Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!   Bab 65

    Sudah lebih dari seminggu Laila dan Naya berada di Italia bersama Gio. Selama di sana, mereka tidak hanya menikmati keindahan Verona, tetapi juga menjelajahi berbagai kota dengan pesona yang memukau—Venezia dengan kanal-kanalnya yang romantis, Florence yang penuh seni, hingga pesona pedesaan di Tuscany yang begitu tenang. Bagi Naya, perjalanan ini terasa seperti dongeng. Bocah itu selalu ceria, berlarian di antara bangunan bersejarah, menikmati gelato di bawah sinar matahari sore, dan tertawa lepas saat melihat burung merpati beterbangan di Piazza San Marco. Sementara itu, Laila menyimpan perasaan campur aduk. Ada kebahagiaan saat melihat Naya begitu senang, tetapi juga ada kepedihan di sudut hatinya. Hidup yang tenang seperti ini terasa asing baginya, berbeda jauh dari kenyataan yang selama ini ia jalani. Namun, ia tetap menjaga kebahagiaan di depan Naya. Sesekali ia membagikan momen-momen itu di media sosial, memperlihatkan senyum tulus Naya yang bercahaya dalam setiap foto. Namun

  • Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!   Bab 64

    Gio duduk di kursinya, menatap Jhon yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi serius.“Bagaimana dengan Sintya?” tanyanya datar.Jhon menunduk sedikit sebelum menjawab, “Sesuai perintah, kami memperlakukannya dengan baik. Anda ingin bertemu dengannya, Tuan?”Gio mengangguk tanpa ragu. Jhon pun memberi isyarat agar ia mengikutinya.Saat mereka keluar dari ruang kerja, tanpa sengaja Laila melihat keduanya berjalan melewati ruang tengah, tetapi bukannya masuk, mereka berbelok ke arah lain. Laila mengernyit, memperhatikan langkah mereka yang berhenti di depan sebuah dinding kayu. Namun, bukan sekadar dinding biasa—ada sesuatu yang tersembunyi di sana.Jantungnya berdegup lebih cepat saat melihat Jhon menarik sebuah pajangan di rak, dan tiba-tiba, sebuah pintu tersembunyi terbuka.Laila menahan napas. Tangannya refleks menutup mulutnya agar tidak bersuara. Ketika Gio dan Jhon menghilang di balik pintu itu, ia mendekat perlahan. Tangannya meraba pajangan yang tadi disentuh Jhon, dan dengan

  • Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!   Bab 63

    "Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan dariku, Mas?" tanya Laila penuh curiga. Gio terdiam. Otaknya berputar cepat, mencari alasan yang tepat agar Laila tidak semakin curiga. "Aku melihat semuanya, Mas." Laila menatap tajam. "Aku melihat Mas dan Jhon keluar rumah bersama beberapa pengawal. Apa yang sebenarnya Mas lakukan? Kenapa baju Mas penuh darah? Siapa Mas sebenarnya?" Gio menarik napas dalam, mencoba tetap tenang. "Sayang, dengarkan Mas dulu." Ia mencoba merangkul Laila, tetapi wanita itu menghindar. "Jelaskan, Mas!" "Semalam Mas ada panggilan mendadak. Salah satu karyawan mengalami kecelakaan, jadi Mas harus segera ke Turin." Laila menatapnya tajam, mencoba menangkap kebohongan jika ada. "Kamu gak bohong, 'kan, Mas?" "Tentu, Sayang." "Lalu, darah ini dari mana?" "Mas menolong mereka yang kecelakaan dan harus membawa mereka ke rumah sakit. Maaf Mas gak bilang, Mas takut ganggu tidur kamu." Gio akhirnya berhasil meraih Laila dalam pelukannya. Perempuan itu tidak

  • Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!   Bab 62

    "Kalian istirahat aja duluan, Mas masih ada pekerjaan," ujar Gio.Laila, yang sedang menemani Naya di tempat tidur, hanya terdiam. Tadinya ia berpikir malam ini akan menjadi malam pertama yang istimewa bagi mereka, tetapi lagi-lagi Gio tampak tidak peduli. Bukannya bersama istrinya, pria itu justru memilih keluar tanpa banyak bicara.Laila hendak bertanya, tapi mengurungkan niatnya. Ia takut hal itu hanya akan membuat Gio semakin menjauh. Akhirnya, ia memilih diam dan membiarkan suaminya pergi.Laila menghela napas saat pintu tertutup. Ia menatap wajah putrinya yang mulai terpejam, lalu membelai kepalanya dengan lembut. "Selamat tidur, Sayang," bisiknya pelan.***Di bagian lain vila, yang tersembunyi di balik perpustakaan, Gio dan Jhon berkumpul di ruang taktis yang telah lama ia siapkan. Ruangan itu minim cahaya, hanya diterangi lampu meja dan layar monitor besar yang menampilkan peta elektronik. Beberapa senjata tersusun rapi di rak besi di sudut ruangan, bersama peralatan komunika

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status