Mlathi berjalan terburu-buru menuju ruangan si bos dengan secangkir kopi di tangannya. Seketika langkahnya memelan saat kedua maniknya melihat wanita cantik yang tadi juga masuk ke ruangan Eric. Dahinya mengerinyit ketika melihat wanita itu sedikit kesal.
'Apakah ia habis bertengkar dengan kekasihnya? Ah bahkan, aku tidak tau namanya siapa?!' pikir Mlathi sembari menggeleng. Ia menampilkan senyum ketika mereka kembali saling bertemu.
Wanita dengan lipstik merah merona itu hanya menatap tajam sembari mendengus tidak suka, membuat Mlathi hanya menaikkan kedua bahunya tidak acuh.
Mlathi kembali berjalan cepat menuju ruangan si bos. 'Bukankah hanya secangkir kopi, ini tidak terlalu sulit, 'kan. Bahkan tidak butuh waktu lima menit, aku sudah mendapatkannya.' girang Mlathi dalam hati sembari mengetuk pintu ketika telah sampai.
"Masuk!" Suara berat nan tegas terdengar dari dalam, membuat ia perlahan membuka pintu dan masuk.
"Tuan, aku sudah mendapatkan kopi yang kau minta," ucap Mlathi sembari meletakkan kopi itu di meja Eric.
Eric hanya menaikkan satu alisnya sembari melihat kopi yang Mlathi bawa.
"Kopi hitam!" seru Eric yang hanya di angguk cepat oleh Mlathi.
"Tuan, saya sudah melakukan tugas yang Anda berikan. Sekarang biarkan saya pergi untuk melakukan pekerjaan saya," pamit Mlathi sembari hendak melangkah pergi.
"Hey! Bahkan kau tidak bertanya, apakah aku menyukai kopi hitam?" ucap Eric keras sembari menatap tajam tubuh yang kini kembali menghadap ke arahnya.
"Hm, bukankah semua lelaki menyukai kopi hitam?!" gumam Mlathi hati-hati.
"Kau menyamaiku dengan lelaki lain! Kuberitahu yah, aku sang bos yang sangat jauh berbeda dari kebanyakan lelaki di luar sana. Seleraku berkelas, cepat pergi dan cari kopi yang ku mau!" perintah Eric lagi yang membuat Mlathi kembali mengangguk dan segera pergi ke luar.
Eric terkekeh melihat si gadis polos yang dengan gampangnya ia perintahkan, bahkan gadis itu hanya mengangguk patuh seperti seekor anjing.
Sedang di sisi lain, Mlathi yang kini telah keluar dari perusahaan menghentakkan kakinya kesal sembari berjalan menuju kafe di seberang kantornya.
"Uh dasar, kuberitahu yah, aku sang bos besar. Seleraku berkelas, bla, bla, bla," ucap Mlathi meniru cara bicara Eric tadi yang terkesan begitu sombong dengan nada mengejek.
"Memangnya kenapa kalau kau bos besar?! Lagi pula jika tidak demi pekerjaan ini, aku tidak akan sudi melakukan perintah konyol mu itu. Ini semua ku lakukan untuk keluargaku di kampung," ucap Mlathi dengan nada sedih.
Mlathi menarik napas dalam kemudian menghembusnya perlahan. Menyemangati diri agar tidak mengeluh, ia harus bisa mempertahankan pekerjaan ini sampai setidaknya ia bisa memberi uang banyak untuk kedua orang tuannya.
"Bukankah hanya kopi dengan kualitas yang berkelas, 'kan?! Aku memang tidak tau kopi berkelas itu seperti apa, tapi aku bisa bertanya pada orang pemilik kafe itu, mereka pasti tau," ucap Mlathi lagi sembari melangkah cepat ke kafe itu.
"Kopi dengan kualitas berkelas telah siap, tara!" seru Mlathi girang sembari meletakkan kopi latte itu di atas meja.
Eric hanya menaikkan satu alisnya dan melirik sekilas ke arah kopi itu dan kembali menggeleng. Mlathi menghela napas kecewa ketika melihat tangan Eric terayun mengisyaratkan dirinya untuk kembali mencari kopi berkelas yang tepat untuk si bos.
Mlathi kembali keluar, berjalan cepat dan kembali dengan tangan membawa secangkir kopi yang lain. Namun, ia kembali melakukan hal yang sama ketika si bos menggeleng lagi, lagi dan lagi hingga sudah berapa puluh kali ia bolak balik dengan membawa berbagai macam kopi hingga stuck kopi di kafe telah habis.
Mlathi kembali menghela napas kecewa sekaligus kesal dengan napas yang memburu ketika Eric masih menggeleng saat ia meletakkan kopi yang terakhir.
"Tuan, ini adalah jenis kopi terakhir yang ada di kafe itu. Sedang Anda masih menggeleng, lalu jenis kopi seperti apa lagi yang Anda inginkan?!" ucap Mlathi kesal sembari menghapus peluh yang bercucuran di dahi.
Eric tertawa penuh kemenangan karena ia berhasil mengerjai si gadis polos yang sudah berani mencari masalah dengannya.
"Benar, kau berhasil membawa semua jenis kopi yang ada di kafe itu. Tapi, kopi yang kuinginkan telah lama berada di atas meja ini bahkan aku sudah menyesapnya beberapa kali." Eric mengulurkan tangannya untuk mengambil cangkir kopi kedua yang Mlathi bawa.
Mlathi membulatkan matanya sekaligus menatap tajam ke arah si bosnya ketika lelaki arogan itu menyesap dengan santai kopi latte yang ia bawa tadi.
"Dasar br*ngs*k!" umpat Mlathi dalam hati dengan tangan yang terkepal kuat di bawah sana.
Bahkan kakinya terasa ingin patah saat bolak-balik ke lantai 20 ke lantai bawah beberapa kali, tapi lelaki arogan itu malah dengan santainya tanpa sedikit pun merasa bersalah. Mlathi tidak bisa melampiaskan amarahnya kepada si bos, jika tidak maka pekerjaan yang susah payah ia dapatkan ini akan hilang begitu saja.
"Jika kau bukan bos di perusahaan ini, maka wajah tampanmu itu akan aku cabik-cabikkan menggunakan cakar tajamku ini!" ucap Mlathi dalam hati seraya melihat kuku-kuku panjang dan tajam miliknya.
"Kenapa? Kau marah padaku, kenapa tidak kau keluarkan saja langsung, bukankah kau gadis yang berani?!" ucap Eric menantang sembari menatap ke arah Mlathi.
Mlathi hanya cengengesan, berusaha menutupi amarah dalam dirinya. "Ah, Tuan. Apa yang Anda katakan. Untuk apa aku marah, aku lega akhirnya kopi berkelas yang Anda inginkan itu sudah ada."
"Aku juga sangat ingin rasanya menerkammu dan mencakar habis tubuhmu itu!" geram Mlathi dengan suara yang pelan, namun masih terdengar jelas di telinga Eric yang tajam itu.
"Kau mengatakan sesuatu?"
"Benar, aku mengatakan bahwa jika kau menginginkan sesuatu dan meminta seseorang untuk melakukannya maka sebutkan nama merknya, biar orang itu tidak membuang tenaganya dengan percuma." ucap Mlathi mencoba menyindir halus bosnya itu. Eric terus tersenyum puas mengerjai gadis OB yang sempat memperburuk moodnya.
"Bagus, kau sudah berhasil mengembalikan moodku dengan mengerjaimu dan aku sangat puas melihat kau kesulitan!" Eric bangkit dari duduknya dan keluar meninggalkan gadis yang kini menahan beribu gejolak kesal dalam dirinya.
Saat pintu telah tertutup, Mlathi langsung membaringkan tubuh lelahnya di lantai.
"Oh, Tuhan. Kenapa kau harus memberikanku pekerjaan dengan bos arogan plus mengesalkan seperti dia!"
Mlathi mendorong sepedanya melewati gang menuju rumahnya. Dengan langkah gontai dan sesekali merenggangkan leher dan pinggangnya karena masih terasa sakit setelah mendapatkan sikap usil dari bos arogannya itu.Mlathi menyenderkan sepedanya pada tembok bercat putih yang telah memudar, kemudian segera mencari anak kunci rumah untuk membuka pintu itu. Setelah terbuka, Mlathi segera berlari ke kamarnya dan merebahkan tubuh kecilnya ke atas kasur."Uh, leganya. Tubuhku berasa retak tak bertulang, bahkan betis kakiku terasa dikuliti dengan kasar," rengek Mlathi sembari memijit betis kakinya dan sesekali memukul betis itu."Lelaki arogan itu benar-benar membuat hidupku semakin sulit, jika bukan karena ia si bos besar, aku pasti telah mencakar wajahnya itu! Aku rasa tidak akan ada wanita yang bisa bertahan lama hidup dengannya. Bahkan jika aku diberi miliyaran uang pun untuk menikahinya, aku tidak akan pernah mau, tidak!" ucap Mlathi sembari menggeleng
Eric benar-benar sudah kehilangan otak untuk berpikir karena pengaruh alkohol yang begitu banyak. Meski Mlathi telah terisak bahkan memohon, namun lelaki yang telah dikuasai dengan nafsu yang bergejolak tidak mengubris hal itu. Eric membuka kancing kemejanya dengan kasar lalu melepaskan dan melempar ke sembarang tempat. Hingga memperlihatkan otot-otot dada yang begitu menggiurkan, namun Mlathi tidak berpikir ke arah situ, yang terus ia pikirkan adalah bagaimana nasibnya setelah melewati malam ini.Mlathi sudah mengerahkan seluruh tenaganya agar bisa lepas dari jeratan lelaki brengsek itu. Namun, tenaga Eric begitu besar hingga ia kewalahan untuk melawan. Sekarang hanya rintihan memohon belas kasih agar lelaki itu melepaskan dirinya."T-tuan tolong lepaskan saya, sadarlah Tuan! Anda sudah melewati batasnya!" teriak Mlathi saat Eric hendak mencumbui bibirnya lagi.Namun, Eric tidak mengubris dan kembali melakukan aksinya, yang ada di otaknya s
Setelah beberapa jam Eric bermain dengan tubuh Mlathi, setelah merasa puas dan lelah. Eric dengan santainya melemparkan tubuhnya ke samping wanita yang terus terisak sembari menahan rasa sakit.Kini kedua mata Mlathi bengkak dan merah karena terus menangis tanpa henti. Dengan tubuh yang sangat lemah, ia berusaha menggapai selimut tebal di ujung kakinya kemudian menutupi seluruh tubuhnya yang kini tanpa sehelai benangpun. Wanita itu memiringkan tubuhnya dari lelaki yang telah merenggut kesuciannya dengan paksa.Tidak tahu lagi sudah ke berapa kali ia menetes air bening itu, hingga kini kedua matanya terasa sakit bahkan untuk memejamkannya saja. Mlathi terus terisak dengan perasaan yang hancur, entah nasib apa yang akan ia dapatkan setelah ini. Jika kedua orang tuanya tahu mengenai kejadian ini, maka hanya kutukan dan caci maki yang akan ia dapatkan dari mereka. Sungguh begitu miris takdir yang diberikan Tuhan padanya.Setelah beberapa menit mena
"Baiklah, jika tidak ada lagi pendapat. Rapat pagi ini kita tutup sampai di sini. Saya akan memberikan keputusan di pertemuan minggu depan!" Suara berat nan tegas itu langsung membuat semua orang yang ada di ruangan itu segera membereskan semua berkas dan menunduk hormat ketika bos besar mereka melangkah pergi yang kemudian disusul oleh asistennya."Woahh, tampan sekali! Mata tajamnya itu benar-benar membuat semua hati para wanita klepek-klepek!" seru seorang karyawan wanita sembari menatap punggung Eric dengan binar kekaguman."Kau benar, bahkan aku hampir tidak fokus saat menatap langsung wajahnya itu, hatiku terus berdetak dengan cepat. Andai dia milikku," sahut wanita lain di sebelahnya dengan helaan kasar."Mustahil! Lelaki berhati dingin seperti bos besar itu sangat sulit disentuh. Bahkan sekretarisnya yang memiliki lekuk tubuh aduhai saja tidak bisa mengalihkan tatapan datar si bos. Aku penasaran, wanita beruntung mana yang akan berhasil me
"Lalu, kemana dia?"Eric menautkan jemarinya di depan dada, tatapannya datar lurus ke depan. Berpikir apa sebenarnya yang diinginkan wanita OB itu."Apa perlu mencari informasi lengkap tentang wanita itu?" tanya Tony ketika melihat bosnya tampak berpikir. Eric menggeleng."Pergilah! Aku akan memanggilmu lagi jika aku membutuhkanmu!" ucap Eric yang lansung membuat Tony membungkuk kemudian pergi meninggalkan ruangan.Ketika pintu telah tertutup kembali, Eric kembali berusaha mengingat alasan apa yang membuat wanita itu tidak datang bekerja hari ini. Entah kenapa ia merasa ketidak hadiran wanita itu berhubungan dengannya.Tiba-tiba saja kedua maniknya menangkap gelang perak yang tergeletak di bawah meja. Karena penasaran, Eric langsung meraih gelang itu untuk melihatnya lebih jelas."Rasanya tidak asing," gumam Eric sembari berpikir.Pikirannya menelaah saat wanita OB itu memasuki ruangannya, saat itu
Seorang lelaki tampan berjalan dengan jijik melewati gang yang sempit, sesuai alamat yang di dapat oleh asistennya itu. Eric terpaksa turun dari mobilnya karena mobil tidak bisa masuk ke dalam. Dengan menghela napas berat dan kemudian menutupi hidungnya karena saat ia mulai memasuki gang itu, bau busuk mulai menyerbu indra penciumannya."Oh, Tuhan! Bagaimana bisa wanita itu bertahan hidup di tempat seperti ini," gerutunya saat Eric telah melewati gang sempit itu dan kini di depannya terdapat rumah kecil yang bercat putih kekuningan itu.Eric mengambil napas sebanyak-banyaknya karena tadi terus menahannya. "Kau tunggulah di sini, aku akan memanggilmu jika aku membutuhkanmu!" perintah Eric yang langsung di anggukkan oleh Tony.Eric melangkah lebar ke arah rumah bercat putih itu, sedikit berjalan hati-hati takut mengotori sepatu fantolennya. Setelah tepat di depan pintu berwarna kecoklatan dan tampak rapuh itu. Eric langsung mengetuknya dengan kedua jarinya. Menget
<span;>Restoran bintang tujuh, <span;>Lelaki dengan wajah datarnya, menyedekapkan kedua tangannya di depan dada sembari menatap lurus ke arah wanita yang kini tengah melahap makanan yang dua menit lalu dipesan. Lelaki dengan aura dingin itu sampai geleng-geleng kepala ketika melihat wanita di depannya itu yang makan menggunakan kedua tangan hingga belepotan kemana-mana. <span;>"Hey, tidak ada yang mau merebut makananmu! Makanmu sangat mirip seperti anjing kelaparan!" ketus Eric tidak tahan melihat tingkah laku Mlathi. Untung saja ia memesan ruang VVIP, jika tidak maka ia juga akan malu oleh wanita di depannya itu. <span;>Mlathi mendongak sembari mulutnya mengunyah daging ayam yang baru saja ia gigit, sekitarnya belopotan penuh dengan saus. Membuat Eric memandang jijik. <span;>"Hah, maaf. Aku sangat lapar. Sudah dua hari aku tidak makan." Mlathi berucap dalam keadaan mulut yang penuh hingga kalimatnya tidak
<span;>"Udah ngak usah banyak cincong, cepat tanda tangan itu. Dan biar semuanya cepat selesai!" Suara berat Eric menggema di gendang telinga Mlathi, membuat wanita itu tersadar dari lamunannya. <span;>Mlathi kembali menatap map yang berisi kontrak di hadapannya. Menikah hanya dilakukan sekali seumur hidup, itu yang selalu wanita itu pegang sebagai prinsip hidupnya. Pandangan Mlathi tertunduk ke bawah dengan tangan yang mengelus perut datarnya, namun terdapat nyawa di dalamnya yang harus ia jaga. Mlathi mengigit bibir bawahnya untuk keputusan yang baginya begitu sulit. <span;>"Beri aku waktu untuk memikirkannya." Hanya kata itu yang akhirnya berhasil keluar dari bibir Mlathi. Membuat Eric yang mendengar sangat jelas menyatukan alisnya sekaligus terkejut. <span;>"What! Dari sekian banyaknya wanita di seluruh penjuru dunia yang rela mengantri ingin jadi istriku, dan kau malah butuh waktu untuk memikirkannya! Benar-benar gila!