Share

Mendapatkan Pekerjaan

Gadis bertubuh kecil kini tidak lagi mengayuh sepedanya, dengan gontai ia mendorong di atas trotoar. Sesekali menghapus keringat di dahi karena sinar matahari siang itu menerpa tubuh mungilnya. Tidak peduli dengan kulitnya yang kini sudah tidak terawat lagi. Jangankan sekedar untuk memikirkan atau merawat kulit, membeli pakaian saja ia musti memikirkan dua kali. 

Mlathi berhenti sembari menghela nafas berat, sedari tadi ia keluar masuk toko berharap akan ada yang menerimanya untuk bekerja. Namun, nihil, semua jawabannya mengecewakan. Zaman sekarang, sangat langkah sebuah toko atau perusahaan menyediakan lowongan kerja. Apalagi untuk dirinya yang hanya tamatan SMA, semakin sulit untuk mencarinya. 

Gadis dengan rambut hitam sepinggang itu kembali berjalan mencari tempat teduh untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Ia menuju sebuah warung sekedar membeli minuman dan roti untuk menganjal perutnya yang sejak tadi pagi belum makan secuil apapun. 

"Terima kasih, Bu," ucap Mlathi setelah membayar sebotol aqua dan sebungkus roti. 

Mlathi duduk di kursi tepatnya di bawah pohon rimbun. Bernapas lega karena akhirnya kerongkongan itu tersiram air. Setelah menghabiskan setengah botol, kini ia membuka bungkusan roti untuk segera ia lahap. 

Namun, belum sepenuhnya memasuki mulut, netra hitam itu menangkap sosok anak kecil yang sedang melihat dirinya sembari memegang perut. Mlathi menurunkan tangannya dan mengurungkan niat untuk makan. Sepertinya bocah laki-laki itu sangat lapar dan tidak punya uang untuk membeli makanan. Hati nurani itu seketika muncul, tidak tega melihat anak kecil itu kelaparan. 

"Dek, kamu mau makan?" tanya Mlathi lembut. Anak kecil dengan pakaian kumal itu hanya mengangguk. 

"Ini untukmu!" Mlathi tanpa ragu memberikan bungkusan roti yang tadi hendak ia makan. Padahal sedari tadi perut itu terus berbunyi. 

"Kakak bagaimana? Bukannya Kakak juga kelaparan?" tanya anak kecil itu. Mlathi hanya tersenyum. 

"Bukankah hanya roti, Kakak bisa membeli lagi nanti. Ini untukmu, dimakan yah," ucap Mlathi kembali, hingga akhirnya tangan kecil dan kumal itu perlahan mengambil roti  kemudian memakannya dengan lahap. 

Mlathi tersenyum, hatinya terenyuh melihat nasib malang bocah kecil ini. Bahkan  anak sekecil ini saja sudah mengalami nasib yang sangat buruk, bukankah seorang anak kecil itu dianggap malaikat dan membawa keberuntungan tersendiri? Mengapa Tuhan begitu tega memberi nasib buruk pada bocah yang tidak berdosa ini? 

Seketika ia merogohkan tasnya, dan mengambil amplop yang tadi ia terima. Dibukanya dan terlihat hanya ada tiga lembar kertas berwarna merah. Mengingat bulan ini kontraknya belum dibayar, sedang kini ia masih belum mendapatkan pekerjaan. Membuat gadis bernetra hitam itu sedikit ragu. Namun, ketika netranya kembali melihat bagaimana bocah kecil itu makan dengan lahapnya semakin membuat hatinya tersentuh. 

***

Senja sudah hampir tenggelam di ufuk barat. Mlathi dengan mendorong kendaraan satu-satunya itu berjalan menuju rumah kontrakannya yang ia tempati dua tahun lalu. Sejak ia memutuskan untuk mengadu nasib di kota yang ternyata dipenuhi dengan orang-orang yang kejam. 

Suara deheman membuat gadis lapuk itu mendongak, ia terkejut ketika melihat seorang wanita paruh baya yang memiliki berat badan mungkin mencapai 60-an kg. Menatap tajam ke arahnya. Wanita itu bernama ibu Ratna, pemilik rumah yang sekarang ia tempati.

Setelah menyenderkan sepedanya di tembok, Mlathi berjalan mendekati Ibu kos sembari memainkan jemarinya. Perasaannya mulai tidak tenang, keributan dan cacian sebentar lagi akan terlontar dari bibir merah dan tebal itu untuk dirinya. Bagaimanapun selama ini ia selalu mendapatkan perlakuan seperti itu, jadi dirinya sudah sedikit kebal dengan perkataan buruk mengenainya. 

"S-selamat malam, Bu Ratna. Eh, mari masuk Bu," ucap Mlathi berbasa basi. 

"Siapa kau?! Berani-beraninya mengaturku di rumahku sendiri. Jangan mengalihkan pembicaraan, kau pasti tau betul tujuanku kemari. Ayo mana!" tukas Ratna sembari mengulurkan telapak tangannya meminta sesuatu. 

Mlathi nyengir. "Uang kontrakan yah, Bu."

Mlathi mengeluarkan amplop kuning itu kemudian dengan ragu memberikannya pada Ratna. Dengan kasar, wanita gemuk itu menyambar amplop kemudian membukanya. Matanya membulat kala melihat uang di dalamnya, kemudian menatap tajam ke arah Mlathi yang kini menunduk takut. 

"Apaan ini! Kau sudah nunggak satu bulan. Total semuanya adalah satu juta, dan kertas selembar ini mana cukup buat bayar kontrakan ini!" bentak Ratna penuh emosi sembari memegang uang sebesar seratus ribu yang tadi ia ambil di dalam amplop kuning itu. 

Tentu saja, uang tiga ratus yang Mlathi dapatkan dari mantan bosnya itu habis ia berikan ke anak kecil yang kelaparan tadi dan juga untuk membeli nasi bungkus buat ia makan malam ini. 

"Ma-maaf, Bu. Saya cuman punya uang segitu. Saya janji, setelah saya bisa mengumpulkan uang yang banyak, saya akan langsung memberikannya pada Ibu. Tolong beri saya waktu lagi yah Bu. Saya mohon!" pinta Mlathi memohon sembari menangkupkan kedua tangannya di depan dada dan berdoa dalam hati berharap Ibu kosnya itu akan sedikit luluh. 

"Mlathi! Jangan coba untuk membuat saya memberi keringanan lagi padamu! Kau fikir, selama kau tinggal di sini, aku tidak mengeluarkan uang sepersen pun. Tagihan listrik itu harus dibayar!" bentak Ratna lagi, mencoba untuk tidak memberi hati lagi pada gadis kumuh itu. 

"Baiklah, kalo begitu saya tidak usah memakai listrik lagi. Matikan saja listriknya asal saya masih bisa tinggal di sini. Saya mohon, Bu. Setelah nanti saya mendapatkan uang, saya akan membayar dengan harga yang normal." Mlathi masih berusaha membujuk, tidak apa malam ini dan seterusnya ia tidur dalam kegelapan. Dari pada ia harus tidur di luar. 

"Baiklah! Aku beri kau waktu dua minggu lagi. Jika masih belum bisa membayar, kau harus segera angkat kaki dari kontrakan ini!" ucap Ratna tegas sembari melangkah pergi. 

"Terima kasih, Terima kasih," sahut Mlathi senang sembari membungkuk hormat. 

Mlathi menatap punggung wanita gemuk itu yang mulai hilang di balik pepohonan. Gadis malang itu bernapas gusar, sembari memegang kepalanya yang sedari tadi terasa sakit. Kedua mata itu mulai berkaca-kaca karena masih belum memenuhi janjinya untuk menjadi orang sukses dan membanggakan kedua orang tuanya. Bahkan kini, hidupnya lebih buruk dari pada saat ia masih tinggal di kampung. 

Mlathi segera menghapus air matanya yang berhasil jatuh mengenai pipi yang kini mulai agak gelap dan kasar. Selama nyawa masih ada, tidak ada kata menyerah. Mungkin usaha itu masih belum terlalu banyak untuk menggapai sukses. 

Bukankah pepatah mengatakan 'Berakit-rakit kehulu, berenang-renang kemudian.'

Mlathi selalu percaya akan pepatah itu, dan tidak lama lagi keberuntungan akan segera berpihak padanya. 

***

Ponsel yang masih memiliki tombol, di jaman era globalisasi yang semakin berkembang ini. Tentu ponsel model seperti itu sudah jauh ketinggalan dan sangat sulit ditemukan. Namun, seorang Mlathi masih merawat baik ponsel jadul yang ketinggalan jaman itu. Baginya ponsel itu sudah cukup baik jika masih bisa digunakan untuk menelpon, meski terkadang selalu hinaan yang ia dapat ketika memakai ponsel seperti itu, namun tidak cukup untuk membuat Mlathi mencampakkannya. 

Mlathi segera mengangkat ponsel itu ketika ada panggilan masuk yang ternyata dari Karin mantan rekan kerjanya. 

"Ya, hallo," sapa Mlathi dalam keadaan setengah sadar. 

Kedua mata itu langsung terbuka sempurna ketika mendengar penuturan dari seberang. 

"Benarkah!" serunya berbinar kemudian segera duduk. 

"Tidak apa, apapun itu asalkan bisa menghasilkan uang. Aku bisa melakukannya," ucapnya dengan nada yang begitu senang. 

"Baiklah, besok pagi aku akan pergi ke sana untuk melamar. Terima kasih Karin, kau baik sekali." Setelah mengucapkan selamat malam. Mlathi menutup telepon itu dengan senyum yang terus mengembang. 

Setidaknya setelah apa yang terjadi hari ini, semuanya berakhir dengan kabar baik. Berharap setelah ini tidak ada lagi kendala untuk mengumpulkan uang yang banyak. 

Nada dering kembali berbunyi dari ponselnya, sebuah pesan dari Karin. Segera mungkin Mlathi membukanya untuk membaca pasan itu yang ternyata berisi sebuah alamat perusahaan yang membuka lowongan kerja. 

"Perusahaan Gold Grub." Bibir tipis itu membaca nama perusahaan itu. Dahinya mengerinyit ketika merasa nama perusahaan ini tidak asing di telinganya. 

Seketika Mlathi menutup mulutnya menggunakan telapak tangannya ketika ia baru mengingat bahwa perusahaan itu adalah perusahaan yang terkenal, perusahaan yang di dambakan semua orang untuk bisa berkesempatan bekerja di sana. Senyum itu semakin mengembang, jika besok pagi ia bisa masuk dan diterima bekerja ke dalam perusahaan dengan bangunan megah itu, maka hidupnya telah berada dalam keberuntungan. 

"Apapun yang terjadi, besok aku harus menggapai keberuntungan itu!" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status