Di sebuah gedung pencakar langit, seorang lelaki sekitar umur 25 tahun berdiri di dekat jendela dengan menyedekapkan tangannya. Tatapannya lurus ke depan tanpa ekspresi, entah apa yang sedang ia pikirkan.
Sebuah ketukan tidak mampu membuat lelaki perjaka itu menoleh, bahkan bergerak seinci pun tidak. Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, nyaris membuat pintu itu terbuka. Suara high heels mulai terdengar, seiring dengan terus melangkah, suara ketukan itu seperti bernada.
"Tuan Eric, setelah makan siang nanti ada rapat penting dengan kolega," ucap suara yang di lembut-lembutkan seperti seorang yang sedang menggoda.
Hanya suara deheman yang terdengar, wanita dengan stelan kemeja dan rok mini berwarna merah mencolok, meletakkan dokumen ke atas meja. Setelah itu, mulai melangkah mendekati sang bos besar.
Meski hanya diam bak patung, namun Eric bisa menebak bahwa sekretarisnya itu akan kembali menggodanya menggunakan tubuh modisnya. Sebenarnya lelaki dengan tekstur tubuh atletis itu sungguh malas berhadapan lebih lama dengan sekretarisnya, mengingat bagaimana liciknya wanita itu yang hanya ingin mengambil keuntungan darinya. Meski ia memiliki tubuh yang ideal dan termasuk menggoda, bahkan nafsunya tidak selera untuk menyentuhnya.
Padahal hampir tiap malam Eric selalu bergonta-ganti wanita dan meniduri mereka. Dengan bayaran yang begitu besar, hingga membuat banyak para wanita dengan suka rela memberikan harta berharga mereka kepada lelaki kaya nan tampan itu.
"Aku punya teman yang menjual anggur merah dengan rasa yang sangat langkah, jika kau ingin minum bersamaku malam ini, maka kau akan menikmati malam yang sangat panjang." Suara lembut dengan nada menggoda itu berbisik halus tepat di daun telinga. Namun, tidak mampu membuat geli yang empunya. Bahkan lelaki berahang tegas itu tidak bergeming dari tempatnya.
Tangan halus nan putih itu terus bermain di bahu kekar hingga ke dada. Mencoba memberikan rasa gairah dengan menyentuh bagian-bagian sensitif. Lelaki bernetra coklat hanya diam tanpa menghentikan permainan wanita licik itu. Sudah ia duga bahwa semuanya hanya permainan yang menjebak, dan tentunya tidak akan mampu memperdaya seorang bos besar yang juga memiliki otak yang lebih licik.
Bibir tipis itu mulai melengkungkan sebuah senyum, kemudian menoleh dan menatap datar manik coklat milik wanita penggoda itu.
"Tawaran yang sangat menggiurkan, Mirsya." Eric mulai menjalankan trik liciknya.
"Maka siapkan tempat yang sangat bagus dan tentunya dengan anggur merah yang kau ucapkan tadi," lanjut Eric sembari menaikkan satu alisnya.
Wanita yang dipanggil Mirsya, tersenyum senang. Tidak disangka, hari ini bos super dinginnya itu mau menerima ajakannya. Selama ini sudah beribu usaha untuk menaklukkan hati sang bos, maka kali ini ia tidak akan melewatkan kesempatan yang akan membawa ia terus terjerat di kehidupannya. Mirsya tersenyum licik saat memikirkan jika rencananya akan segera berhasil.
"Baik, akan aku siapkan dengan sebagus mungkin hingga membuatmu tidak ingin pergi dari sana," ucap Mirsya dengan nada yang di lembut-lembutkan sembari mengelus wajah tampan itu.
Mirsya menggigit bibir bawahnya penuh nafsu sembari menatap bibir tipis nan ranum itu. Rasanya tidak sabar untuk segera melumat bibir itu. Perlahan tangannya menarik wajah tampan itu agar bertatapan dengannya. Kini, hanya tinggal seinci. Mirsya terus mendekat hingga hidung mancung itu saling bertemu.
Bukannya tidak sadar atau tergoda dengan perlakuan Mirsya, hanya saja untuk hari ini Eric membiarkan wanita licik itu memainkan permainan liciknya. Hingga membuat ia menyadari bahwa lawannya bukanlah tandingannya.
Napas hangat saling bermain di wajah masing-masing, perlahan Mirsya mendekatkan bibir merahnya kemudian segera melumat bibir tipis itu dengan kasar. Layaknya seekor hewan yang menemukan makanan langkah dan tidak ingin kehilangan makanan itu.
Eric masih diam, tidak membalas ataupun menghentikan. Ia hanya membiarkan wanita itu melakukan aksinya. Tidak disangka, ternyata wanita penggoda itu sangat berbakat dalam berciuman. Bahkan seorang Eric yang jijik akan wanita itu akhirnya ikut tergoda dan mulai membalas ciuman itu hingga berakhir ke atas sofa.
Gadis bertubuh kecil kini tidak lagi mengayuh sepedanya, dengan gontai ia mendorong di atas trotoar. Sesekali menghapus keringat di dahi karena sinar matahari siang itu menerpa tubuh mungilnya. Tidak peduli dengan kulitnya yang kini sudah tidak terawat lagi. Jangankan sekedar untuk memikirkan atau merawat kulit, membeli pakaian saja ia musti memikirkan dua kali.Mlathi berhenti sembari menghela nafas berat, sedari tadi ia keluar masuk toko berharap akan ada yang menerimanya untuk bekerja. Namun, nihil, semua jawabannya mengecewakan. Zaman sekarang, sangat langkah sebuah toko atau perusahaan menyediakan lowongan kerja. Apalagi untuk dirinya yang hanya tamatan SMA, semakin sulit untuk mencarinya.Gadis dengan rambut hitam sepinggang itu kembali berjalan mencari tempat teduh untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Ia menuju sebuah warung sekedar membeli minuman dan roti untuk menganjal perutnya yang sejak tadi pagi belum makan secuil apapun."
Matahari kembali datang, kembali melakukan tugasnya tanpa merasa lelah. Di sebuah kamar hotel VVIP, seorang wanita dengan senyum yang terus mengembang sembari memorinya terus bermain memikirkan kejadian tadi malam. Tidak disangka, bos dingin dan super cuek itu ternyata begitu gesit dan ganas di atas ranjang. Bahkan untuk seorang wanita yang sudah biasa melakukan hal seperti itu bisa kewalahan dan merasa puas terhadap gerakan-gerakan yang menggairahkan itu.Jemari lentiknya perlahan bermain di wajah putih nan tegas itu yang masih tertidur di sampingnya, dengan tubuh mungil yang kini telah tertutup selimut tebal."Sayang, mulai kini selamanya kau akan menjadi milikku! Kau tidak akan bisa berbuat seenaknya lagi!" gumam Mirsya tersenyum miring sembari mengalihkan pandangannya ke sebuah kamera tersembunyi.Mirsya terlonjak saat tangan kekar memegang pergelangan tangannya dengan erat, sedikit terasa nyeri hingga terdengar suara ringisan.
Setelah rapi dengan stelan jas biru dongker dengan dasi arsir putih tergantung rapi di bawah kerah kemeja putihnya. Kini, lelaki dengan paras yang memesona melangkah masuk ke sebuah gedung pencakar langit. Di setiap langkah kakinya, semakin membuat lelaki itu berkharisma dan elegan. Semua para pegawai membungkuk hormat ketika lelaki itu melewati mereka."Selamat pagi, Tuan!" sapa Tony yang tidak lain adalah orang terpercaya sekaligus asisten pribadi Eric.Eric hanya menampilkan senyum tipisnya sembari masuk ke dalam lift, diikuti oleh Tony di belakangnya. Setelah masuk, Tony segera menekan tombol 20, tepat dimana ruangan CEO itu berada."Tuan, hari ini. Seorang klien ingin bertemu dengan Anda di lapangan golf," tutur Tony yang hanya dijawab anggukan oleh Eric."Siapkan semua keperluanku." Titah Eric dengan tatapan lurus ke depan tanpa ekspresi."Baik."Di sisi lain, seorang gadis yang kini berstatus sebagai OB s
Eric menghempaskan tubuhnya di atas kursi kekuasaanya sembari mendengus kesal. Tidak disangka hari ini seorang OB bisa membuat moodnya menjadi buruk.'Kau seperti seorang office boy, apakah kau ke sini untuk mengantar kopi para pegawai?'Kalimat gadis OB itu kembali terngiang di telinganya, membuat wajah putih glowing itu terlihat memerah. Rahangnya mengeras sembari kedua tangan itu telah terkepal kuat."Berani sekali gadis dekil itu mengataiku seorang office boy!" gumamnya geram dengan gigi yang telah menggelatuk.Ketukan pintu membuat Eric menoleh kemudian berkata datar. "Masuk!"Seorang lelaki berjas dengan ciri khas tahi lalat kecil di samping dagu, membuat lelaki itu sungguh manis. Tony berjalan menghampiri bosnya dengan dokumen di tangannya."Tuan, Anda yakin ingin membatalkan pertemuan ini. Klien kita kali ini bukan klien biasa," tutur Tony mencoba agar Eric kembali berpikir dengan keputusannya yang tiba-tiba berubah
Mlathi berjalan terburu-buru menuju ruangan si bos dengan secangkir kopi di tangannya. Seketika langkahnya memelan saat kedua maniknya melihat wanita cantik yang tadi juga masuk ke ruangan Eric. Dahinya mengerinyit ketika melihat wanita itu sedikit kesal.'Apakah ia habis bertengkar dengan kekasihnya? Ah bahkan, aku tidak tau namanya siapa?!' pikir Mlathi sembari menggeleng. Ia menampilkan senyum ketika mereka kembali saling bertemu.Wanita dengan lipstik merah merona itu hanya menatap tajam sembari mendengus tidak suka, membuat Mlathi hanya menaikkan kedua bahunya tidak acuh.Mlathi kembali berjalan cepat menuju ruangan si bos. 'Bukankah hanya secangkir kopi, ini tidak terlalu sulit, 'kan. Bahkan tidak butuh waktu lima menit, aku sudah mendapatkannya.' girang Mlathi dalam hati sembari mengetuk pintu ketika telah sampai."Masuk!" Suara berat nan tegas terdengar dari dalam, membuat ia perlahan membuka pintu dan masuk."
Mlathi mendorong sepedanya melewati gang menuju rumahnya. Dengan langkah gontai dan sesekali merenggangkan leher dan pinggangnya karena masih terasa sakit setelah mendapatkan sikap usil dari bos arogannya itu.Mlathi menyenderkan sepedanya pada tembok bercat putih yang telah memudar, kemudian segera mencari anak kunci rumah untuk membuka pintu itu. Setelah terbuka, Mlathi segera berlari ke kamarnya dan merebahkan tubuh kecilnya ke atas kasur."Uh, leganya. Tubuhku berasa retak tak bertulang, bahkan betis kakiku terasa dikuliti dengan kasar," rengek Mlathi sembari memijit betis kakinya dan sesekali memukul betis itu."Lelaki arogan itu benar-benar membuat hidupku semakin sulit, jika bukan karena ia si bos besar, aku pasti telah mencakar wajahnya itu! Aku rasa tidak akan ada wanita yang bisa bertahan lama hidup dengannya. Bahkan jika aku diberi miliyaran uang pun untuk menikahinya, aku tidak akan pernah mau, tidak!" ucap Mlathi sembari menggeleng
Eric benar-benar sudah kehilangan otak untuk berpikir karena pengaruh alkohol yang begitu banyak. Meski Mlathi telah terisak bahkan memohon, namun lelaki yang telah dikuasai dengan nafsu yang bergejolak tidak mengubris hal itu. Eric membuka kancing kemejanya dengan kasar lalu melepaskan dan melempar ke sembarang tempat. Hingga memperlihatkan otot-otot dada yang begitu menggiurkan, namun Mlathi tidak berpikir ke arah situ, yang terus ia pikirkan adalah bagaimana nasibnya setelah melewati malam ini.Mlathi sudah mengerahkan seluruh tenaganya agar bisa lepas dari jeratan lelaki brengsek itu. Namun, tenaga Eric begitu besar hingga ia kewalahan untuk melawan. Sekarang hanya rintihan memohon belas kasih agar lelaki itu melepaskan dirinya."T-tuan tolong lepaskan saya, sadarlah Tuan! Anda sudah melewati batasnya!" teriak Mlathi saat Eric hendak mencumbui bibirnya lagi.Namun, Eric tidak mengubris dan kembali melakukan aksinya, yang ada di otaknya s
Setelah beberapa jam Eric bermain dengan tubuh Mlathi, setelah merasa puas dan lelah. Eric dengan santainya melemparkan tubuhnya ke samping wanita yang terus terisak sembari menahan rasa sakit.Kini kedua mata Mlathi bengkak dan merah karena terus menangis tanpa henti. Dengan tubuh yang sangat lemah, ia berusaha menggapai selimut tebal di ujung kakinya kemudian menutupi seluruh tubuhnya yang kini tanpa sehelai benangpun. Wanita itu memiringkan tubuhnya dari lelaki yang telah merenggut kesuciannya dengan paksa.Tidak tahu lagi sudah ke berapa kali ia menetes air bening itu, hingga kini kedua matanya terasa sakit bahkan untuk memejamkannya saja. Mlathi terus terisak dengan perasaan yang hancur, entah nasib apa yang akan ia dapatkan setelah ini. Jika kedua orang tuanya tahu mengenai kejadian ini, maka hanya kutukan dan caci maki yang akan ia dapatkan dari mereka. Sungguh begitu miris takdir yang diberikan Tuhan padanya.Setelah beberapa menit mena