Diam-diam Rosa berhitung.Satu kali, Rosa terima. Dua kali, dia masih sabar. Tiga kali?Hah. Bersiap-siaplah.“Pergi ke panti asuhan langsung jika kamu mau beramal. Di sini tidak ada yang ingin menerima uang kotormu,” ucap Rosa disertai lirikan malas.Giselle tertawa tidak habis pikir. “Kotor? Kau bilang uangku kotor?”Rosa menghela napas. “Jangan tanya berulang-ulang. Kau kelihatan bodoh.”“Sok pintar kau!” hardik Giselle kencang. Tangannya terjulur panjang dan telunjuknya mengarah sejajar dengan hidung Rosa. Jika tidak dihadang oleh temannya, Giselle akan menyerbu maju.Rosa hanya tersenyum tipis. Dengan sengaja berujar santai, “Setidaknya lebih baik daripada kau.”Perkataan Rosa bagai palu yang memukul kelemahan Gisellle, mengekspos perasaan inferiornya dan bayangan bahwa Rosa lebih hebat darinya. Rosa bisa mendapatkan Devon. Rosa bisa disayang oleh satu-satunya orang yang Giselle harus mati-matian mengemis restunya.Perasaan buruk rupa Giselle yang tidak ingin diketahui oleh siap
"Lihat siapa ini?" Rosa berbalik, lalu melihat segerombolan wanita yang masing-masing menenteng tas belanja. Tanpa harus menebak, Rosa tahu siapa yang barusan bicara dengan nada mengejek tersebut. Rosa menatap datar Giselle. Wanita itu berada di tengah-tengah mereka dan berdiri di garda terdepan. Rosa memperhatikan sekilas satu per satu teman-temannya di belakang. Setelah itu, menyeringai sinis.'Tipikal penggertak.'Giselle mengamati Rosa dari pucuk kepala hingga ujung kaki. Giselle merasa jijik bahwa wanita seperti Rosa bisa mengenakan gaun itu dengan sangat memukau seolah-olah gaun itu tercipta hanya untuknya. Dia membenci penampilan Rosa yang mengalahinya. "Aku penasaran. Kamu mau beli gaun yang menempel di tubuhmu itu? Memangnya sanggup?" ucap Giselle meremehkan."Nggak," balas Rosa singkat.'Well, bukan aku yang beli. Tapi Devon. Dia yang akan membayarnya. Jadi benar, kan.'Tawa Giselle dan teman-temannya meledak saat itu juga. Mereka saling meledek dengan mengulang kata-kata
Devon dengan ahli mengendalikan emosi yang terselip di ekspresinya dan menghapus bersih sisa-sisa kekagetan yang ada. "Barusan ... kamu panggil aku apa?"Rosa memiring kepalanya sedikit, tak menangkap maksud Devon. "Yang mana? Aku panggil kamu Sayang.""Bukan," sanggah Devon. "Mmm. Aku nggak tau," kata Rosa pasrah. Tapi dibanding pasrah, Rosa sedang enggan meladeni Devon. Mungkin karena dia masih mengantuk dan AC di ruangan ini suhunya sangat sesuai. Tidak terlalu dingin, juga tidak membuat gerah, nyaman sekali. Rosa mengusap-usap mata, menahan kantuk. Sementara Devon hanyut dalam ingatannya. Dia sungguh ingat Rosa memanggilnya 'Suami saya'. Kapan terakhir kali Rosa menyebutnya seperti itu? Kalau yang ini Devon tak ingat. Namun, jelas sudah lama sekali. Ah, tepatnya, sebelum Devon meminta Rosa bertemu di restoran laknat tempatnya disambar petir. Karena begitu mereka sampai ke topik perceraian, nada dan sebutan Rosa dalam sekejap berubah pedas.Rasanya sekarang agak aneh mendengar
Rosa dan Devon saling diam-diaman sejak mereka berada di mobil. Tak ada yang berminat membuka percakapan duluan, meski Rosa dengan natural meraih lengan Devon untuk dipeluk, lalu dia bersandar di bahu Devon. "Kita mau kemana, Sayang?" Devon melihat Rosa sudah memejamkan mata. Beristirahat tenang setelah bertanya kemana. "Ke mall," ucap Devon seadanya. Rosa bergumam pelan di sela istirahatnya. Gumamannya mendekati suara bersenandung manis, ketimbang orang berkumur-kumur. Beberapa detik kemudian, Devon mendengar suara napasnya menjadi halus teratur. Dan, kaitannya di lengan Devon mengendur perlahan. Tanpa sadar, bagian tubuh Devon yang disandari Rosa berubah kaku. Entah karena tidak ingin membangunkan wanita itu atau sekadar menahan kram di lengan. Tetapi, ketika merasakan berat yang menibani dia ringan bagai tak berbobot, pikiran Devon lantas teralihkan. Devon memalingkan muka ke luar jendela. Situasi hening ini akhirnya datang. Setelah lama hilang semenjak kehadiran Rosa yang se
Nima mengedip mati-matian demi memperingati Ola. Tapi apa mau dikata, kalau yang dituju tidak peka. Ola terlalu sibuk mendengarkan teguran Rosa agar jangan memanggilnya 'Bu'. Panggilan itu membuat Rosa mendadak merasa seperti tante-tante. "Siap, Nona!" "Good. Nah, sekarang namanya mantannya siapa?""Seingat saya namanya Kirana, deh. Saya nggak begitu kenal, sih. Soalnya saya baru masuk waktu itu, jadi nggak terlalu memperhatikannya. Mungkin Kak Nima tau?" jawab Ola yang diakhiri dengan pertanyaan seraya menunjuk Nima. Nima tersenyum kaku, dia sungkan membahas masa lalu bosnya. Takut-takut nanti dia mengikuti jejak Rama yang sering uring-uringan terjebak di antara Devon dan Kakek Haryanto. Rosa ingin tertawa karena ekspresi Nima sangat terbaca. Dia berusaha menenangkan gadis itu, "Jangan takut. Devon nggak bakal tau obrolan kita. Aku akan merahasiakan semua yang kita bicarakan di sini."'Cepet, cepet, kasih tau aku! Asli aku penasaran banget kayak gimana mantan tunangan ini. Nggak
Ucapan Sani membuat wajah Rosa langsung kehilangan ekspresi. Dia tampak datar dan dingin. Rosa tertawa sinis. "Mustahil.""Kamu belom coba. Jadi jangan bicara seperti itu. Tidak ada yang mustahil di dunia ini, Rosa. Binatang saja tidak akan menelantarkan anak-anaknya," ujar Sani menasehati. "Tapi orang itu, iya. Dia nggak peduli hidup dan matiku," kata Rosa sambil menatap Sani dengan serius. Sani terdiam dan memandang prihatin Rosa. Meski begitu, dia tetap tidak ingin Rosa merasa menyesal di kemudian hari. Baginya, tidak ada yang lebih baik dari bermaaf-maafan. "Rosa ... Dulu aku juga pernah berantem dengan ibuku. Kami berhenti bicara ke satu sama lain selama seminggu. Walau aku sudah nggak marah lagi, aku dan ibuku masih nggak akur. Kami malah semakin mengganggap masing-masing dari kami itu egois," ujar Sani.Sani meneruskan ceritanya, "Kamu tau bagian tersulitnya? Itu adalah memulai duluan," Sani mengambil napas, "Aku mengerti posisi kamu. Mungkin menjadi orang pertama yang mencob