Devon menyodorkan surat cerai tepat ke depan muka Rosa. Pria itu tak terlihat main-main. Pada akhirnya pernikahan yang mereka lalui tidak berhasil meskipun Rosa sudah mencoba sebisanya. Rosa menginginkan Devon. Sangat membutuhkan kekuasaan keluarga Wijaya yang berada di genggaman Devon. Dia tak bisa pergi, tak akan mau. Ketika Rosa tengah memutar otak untuk menunda perceraian ini, tiba-tiba saja petir menyambar Devon secepat kilat! "Ja-jangan mati!!!! Ambulans! Tolong, siapa saja panggil ambulans!" jerit Rosa dengan derai air mata bercucuran. Sementara itu, Devon bergeming di tempatnya. Asap-asap hitam mengepul keluar dari sekujur tubuh dan perickan listrik seperti melompat-lompat di atasnya. Namun bukan itu yang penting. Sebuah suara melengking yang pria itu kenal jelas, merasuki kepalanya dengan kurang ajar. Devon bisa mendengar suara isi pikiran Rosa tanpa sepengetahuan wanita itu. Dan darahnya dibuat mendidih. 'Siapa bilang laki-laki ganteng di dunia ini cuma Devon? Cuih! Manusia macam dia mending bertapa di gunung jadi biksu. Percuma dikasih istri secantik aku kalo matanya nggak dipake,' ujar Rosa dalam hati. Gigi Devon bergemeletuk menahan amarah. "ROSA!!"
Lihat lebih banyak"Kita harus cerai."
Rosa nyaris tersedak. Dia buru-buru menelan sisa makanan di mulutnya, lalu mengusap bibir dengan cepat. Gerakannya tidak seperti Devon yang mengusap bibir dengan elegan seolah tidak terganggu sama sekali dengan perpisahan mereka.
Jantung Rosa berdegup tak beraturan saat menyaksikan betapa serius air muka Devon. "... Sayang?"
Mata Rosa membulat. Kata-kata Devon terlalu di luar prediksinya. Rosa sangat terkejut sampai kesulitan mencerna maksud Devon. Waktu kian berlalu, tetapi dia masih terpaku, menatap pria di hadapannya.
Suara halus Rosa mengalir di udara, "Kenapa?"
"Bukannya hubungan kita baik-baik aja?" tambah Rosa dengan wajah bingung.
Devon menatap datar sepasang mata coklat di hadapannya. "Kau pikir begitu?"
Kesabarannya telah tergerus habis. Kini yang Devon inginkan hanya menceraikan wanita yang dijodohkan dengannya dan terlepas dari belenggu pernikahan paksa ini. Dia juga muak mendengar kata "cucu" terucap dari mulut kakeknya.
"... Apa harus sampai cerai?"
"Aku bisa melakukannya dengan atau tanpa persetujuanmu."
Kening Rosa lantas berkerut samar. Dia langsung mengerti kalau Devon sedang memperingatinya. Rosa menggigit bibir. "Kakek tidak akan setuju."
Situasi restoran memang tidak ramai sampai- sampai Rosa bisa mendengar suara angin berhembus di area outdoor itu. Terpaannya mengenai kedua sisi lengan Rosa, membuatnya bergidik kecil. Ketika dia memperhatikan raut wajah Devon yang tampak tak bergejolak, Rosa merasa tambah tidak nyaman.
"Itu urusanku," jawab Devon dingin.
"T-tapi! Apa nggak bisa kita bicarakan lagi?"
"Tidak."
"Aku melakukan kesalahan?"
Devon terdiam. Mata elangnya menyipit tajam. Rosa tak yakin apakah itu artinya benar atau tidak, jadi ia mencecar, "Benar? Aku menyinggungmu? Atau bagaimana? Biar aku perbaiki. Aku janji tidak mengulanginya."
"Tidak ada yang bisa kau ubah," balas Devon tanpa menunggu lama.
Rosa sekali lagi mencoba mengubah pikiran Devon. Ragu-ragu, ia berbisik, "Kamu serius?"
"Hm," gumam Devon yakin.
Devon melipat kaki dan menaruh kedua tangan di pangkuan. Postur badannya tegap dengan dagu terangkat serta pandangan lurus. Sementara bola matanya berputar ke bawah seakan sedang menatap sesuatu yang tidak layak mendapat perhatiannya.
Devon berujar kepada asisten pribadinya, "Bawa ke sini."
Asisten Rama yang berdiri tak jauh dari mereka menyerahkan sebuah amplop coklat. Devon menerima amplop itu dan dengan enteng melemparnya ke Rosa. Ia berkata, "Buka."
Rosa menatap amplop itu tanpa berniat menyentuhnya sama sekali. "Ini ...?"
Asisten Rama menjelaskan, "Nona hanya perlu menandatangani surat cerai tersebut. Saya dan Pengacara Lin akan mengurus sisanya."
Rosa tertegun lama. Dia menundukkan kepala dalam-dalam. Helai-helai rambut berjatuhan menutupi wajahnya, menutupi sebagian ekspresi Rosa. Walau Asisten Rama tahu dia harus memaksa Rosa menandatanganinya, dia juga tahu saat ini bukanlah waktu yang tepat.
'Nona pasti masih syok dan butuh waktu untuk memproses,' batin Asisten Rama iba.
Devon tersenyum sinis menantikan reaksi Rosa. Akan lebih bagus jika Rosa tahu diri dan menerima keputusan ini. Dengan begitu, Devon jadi tidak perlu merasa kasihan.
Sejujurnya, selain tidak ingin mempunyai anak dalam waktu dekat, dia tidak suka Rosa.
Rosa terlalu penurut dan penjilat bagi Devon. Usaha Rosa dalam mendekati Devon terlalu berlebihan, membuatnya mual. Senyumnya yang terpasang tiap menyambut Devon terlihat begitu palsu. Kehangatannya saat menghadapi Devon, malah membuatnya tak habis pikir. Bahkan caranya bersikap seperti seorang tuan putri di rumah semakin meyakinkannya kalau Rosa tidak berbeda dengan wanita di luar sana.
Mereka semua hanya mendambakan harta dan kedudukan seorang menantu di keluarga Haryanto. Para wanita itu, termasuk Rosa, selalu mencoba menampilkan perangai yang tak sesuai dengan posisi mereka.
Devon lanjut menyesap kopi dengan tenang. Dia rasa semua telah selesai, hingga dia pun lengah.
Diam-diam, mata Rosa terpaku menatap kosong tanggal di map surat cerai. Tak ada yang tahu pasti apa yang sedang ia pikirkan. Yang jelas, sinar matanya yang tadi redup kini berkelip dalam sekejap.
Rosa mendongak dan memandang Devon lekat-lekat. Lalu bertanya pelan, "Keputusanmu udah final?"
Devon menunjuk surat cerai di depan Rosa dengan dagu. Wajah tanpa ekspresi pria itu dibubuhi bercak-bercak kesombongan. "Tanda tangan."
Keheningan mengambil alih ruangan dengan kedua pasang mata yang saling beradu pandang. Rosa menegakkan badan dan balas menatap lurus Devon. Selang beberapa waktu, Rosa melontarkan pertanyaan, "Berapa lama proses cerai ini?"
Devon yang semula percaya diri, terdiam sesaat begitu mendengar tanggapan Rosa.
Aneh.
Raut wajah wanita itu terlampau tenang dan pandangannya seolah menyimpan sesuatu yang tidak Devon mengerti.
Perasaan waswas muncul. Tetapi belum sempat Devon memikirkannya, Rosa dengan cepat berujar, "Aku belum beresin barang-barangku, belum cari tempat tinggal yang baru juga. "
Devon menilik dengan curiga, tapi dengan sabar menunggu Rosa menyelesaikan kalimatnya. Rosa terbatuk kecil sebelum melanjutkan, "Kamu terlalu mendadak. Aku butuh waktu untuk siap-siap."
"Minimal, kasih aku waktu sebulan."
"Lalu?"
Tatapan Rosa terpaku pada Devon. Kemudian dia berkata, "Akan kutandatangani surat cerainya dan angkat kaki dari rumah kamu."
Alis Devon tertarik menyatu. Tawaran yang menarik.
Devon berpikir sejenak dan merasa satu bulan akan berlalu dengan cepat. Devon sanggup menahan diri asal dia tidak pulang ke rumah dan bertemu Rosa. Namun yang membuatnya ragu adalah sikap tenang Rosa.
Devon masih mempertanyakan tanggapan Rosa yang terlihat biasa saja ketika Rosa tiba-tiba merapikan bajunya.
"Kau-"
Panggilan Devon menghentikan Rosa yang sedang beranjak bangun. Rosa melirik sekilas. Dia tidak berkata apa-apa dan hanya memandangi Devon dalam diam, sebelum akhirnya tetap melangkah pergi karena Devon tak kunjung bicara.
Tawa yang bercampur amarah nyaris tersembur keluar dari bibir Devon. Emosinya tiba-tiba meradang melihat Rosa melenggokkan badan, meninggalkan ruang outdoor restoran tanpa beban.
Kenapa jadi seperti dia yang dicampakkan?
"Kembali kesini!" seru Devon dengan nada tertahan.
Sayangnya Devon perlu lebih dari perintah agar Rosa berbalik. Dan mungkin, Tuhan sedang membukakan jalan untuknya.
JDERR!!
BOOM!
BZZZTT
Tanpa hujan, tanpa mendung, petir datang menyambar pria itu.
Rosa terhempas beberapa meter dari dorongan angin kencang. Guncangan petir pada permukaan lantai memaksa Rosa jatuh bertumpu dengan kedua lutut dan telapak tangannya menempel lantai.
Wusss
Klak. Klak. Bunyi bebatuan kecil yang terjatuh.
"Kyaaaaaa!"
Ditemani teriak histeris seorang wanita, Rosa spontan menoleh ke belakang. Kelopak matanya perlahan-lahan membesar tidak percaya dan bertubrukan dengan Devon yang sama-sama membulatkan mata tercengang.
"......"
"......"
Asisten Rama memekik, "Tuan Muda!"
Pengunjung restoran bersusulan menjerit-jerit, menyaksikan peristiwa aneh yang menimpa Devon. Percikan-percikan listrik kadang terlihat mencetus di sudut-sudut tempat terbuka itu, hingga menyambar beberapa tanaman dan menyebabkan kebakaran kecil.
Para pelayan restoran berlari kelabakan tidak tahu mesti bagaimana. Ada yang buru-buru menelepon pemadam kebakaran, berusaha mematikan api sendiri, dan ada pula yang langsung berlari keluar restoran untuk mencari bala bantuan. Tapi tak seorang pun menelepon ambulans.
Yah, mereka tidak salah juga.
Sosok Devon sudah menyerupai sebongkah arang yang diletakkan begitu saja.
Kaku, tidak bergerak. Yang apabila seseorang berani menyenggol pria itu, dia akan segera tumbang tanpa perlawanan.
Rosa mencubit pelan pipinya, lalu menggosok-gosok kedua matanya dengan harapan ia sedang bermimpi.
Namun, hasilnya?
Pemandangan ajaib ini terus berlangsung.
Keringat dingin menetes dari ujung dagu Rosa. Di tengah keributan restoran dan kepanikan orang-orang, waktu Rosa berjalan slow motion. Ia bisa melihat jeli keterkejutan petir tadi menarik fokus Devon darinya.
Namun bagi Rosa hanya ada satu hal penting.
Apakah Devon mati berdiri?!
Eh, bukan.
Apakah Devon mati terduduk?!
"Dev-devon?"
"Uhuk!" kepulan asap hitam keluar dari mulut pria itu.
Untungnya, firasat buruk Rosa tidak terkabul.
Saking hebatnya dia. Devon memukau semua penonton yang tidak ikut repot menolong. Dia selamat, meski harus terbatuk-batuk keras.
Rosa berusaha menutup mata dari rambut kribo Devon yang mengeluarkan asap hitam mengebul. Sambil merasa setengah panik, setengah kagum dengan ketangguhan Devon, Rosa lekas berlari menghampirinya. Ia menepis jauh perasaan takjub itu dan mulai mengucurkan derai air mata.
"Ja-jangan mati!!!! Ambulans! Tolong, siapa saja panggil ambulans!" jerit Rosa setelah memeluk kepala Devon ke dalam dekapannya.
"Suami saya sekarat!!"
"Ah ... Sayang ... Semua ini bercanda, kan? Uh ... Kamu masih hidup kan??"
Rosa heboh meraung-raung dan menangis sembari bergelantungan di lengan Devon. Air mata Rosa begitu deras sampai berjatuhan seperti air terjun yang mengalir turun membasahi wajah Devon.
Isak tangis Rosa bak sedang menghadapi langit runtuh. Terdengar sangat menderita dan menyayat hati. Tetapi pria itu tidak bergeming.
Bagaimana tidak?
'Haihh, untungnya Devon belum mati. Dia belum boleh mati dulu, walau tadi aku berharap dia dapat ganjarannya gara-gara bikin aku kesel. Aku nggak nyangka begitu balik badan, beneran kesambar petir si Devon.'
'Siapa suruh minta cerai? Hahaha! Makan, tuh, cerai! Rasain kamu. Hitam gosong gini jadi jelek.'
"G-gimana ini? Hik ...." racau Rosa dengan sesenggukan.
'Bau gosong, ih! Huek!'
'Sampe rumah aku harus cepet-cepet mandi karena kotor abis megang Devon. Terus tiduran di kasur sambil scroll I* cowok-cowok ganteng! Hihi, cuci mata. Siapa bilang laki-laki ganteng di dunia ini cuma Devon? Cuih! Manusia macam dia mending bertapa di gunung jadi biksu. Percuma dikasih istri secantik aku kalo matanya nggak dipake.'
"...."
Gigi Devon bergemeletuk menahan amarah.
Entah kenapa, dia bisa mendengar suara isi pikiran Rosa.
"ROSA!!" Teriakan Devon bergemuruh keras.
Bagai tak mendengar geraman memekak Devon, Rosa terus melanjutkan isak tangisnya.
'Hm? Kenapa marah-marah? Nggak jelas.'
'Oh iya, udah lama aku nggak ke bar. Aku mau pegang otot six-packs cowok ganteng lain!' pikir Rosa asal.
Devon sedang terbujur kesakitan tetapi pikiran Rosa malah melalang buana. Lagi pula, dia masih hidup dan mereka belum berpisah. Wanita itu sudah berani melirik dan memegang tubuh laki-laki lain?!
Harga diri Devon terinjak-injak, merasa kalah dengan lelaki liar di luar sana.
"Awas ka-!"
Devon pingsan duluan sebelum selesai bicara.
"Kenapa ... mendadak?" Devon mengangguk ringan. "Sesekali aku harus pulang menengok keadaan rumah."Rosa serta merta menghembuskan napas panjang dan lega. 'Mungkin dia cuma mau nginap semalam. Nggak apa-apa. Aku masih tahan kalo sehari doang.'Namun, Devon seperti tak puas. Dia melemparkan bom berikutnya. "Aku akan tinggal di rumah sampai waktunya kita cerai."Air muka Rosa berubah keruh. Bibirnya membentuk sebuah senyuman kaku saat berkata, "Sayang, aku bahagia banget kamu mau pulang. Tapi, apartemen kamu gimana? Tempat tinggal yang lama dibiarkan kosong bakal memancing hawa buruk."Devon menaikkan sedikit sebelah alisnya. Dia bertanya skeptis, "Sirkulasi udaranya bagus. Apanya yang hawa buruk?""Sayang, setan.""Kamu ngatain aku setan?""Bukan, Sayang. Setan suka tempat-tempat kosong tak berpenghuni," ucap Rosa sambil memasang ekspresi meyakinkan. Devon lantas mencibir, "Kebanyakan nonton film horor.""Kamu belum ngalamin kejadian mistis, jadi nggak tahu seberapa menakutkannya hal
'Memang ada maksud terselubung, sih. Tau dari mana dia?'Rosa membalas polos, mengedikkan bahu. "Agendaku hari ini cuma nemenin kamu aja. Emangnya kamu ada ide lain? Aku nggak masalah, sih, mau kemana pun itu. Ke kantor langsung boleh, ke restoran dulu buat sarapan juga bagus."'Intinya, aku nggak akan melepaskanmu! Biarlah dianggap hama sekalipun. Peduli apa aku,' lanjut Rosa dalam hati. Senyum Devon tak mampu mencapai ujung. Hanya sekilas bertengger sebelum lenyap seketika. "Kamu pikir aku tidak bisa melakukan apa-apa padamu, huh?"Rosa bergeming dan menunjukkan ekspresi murung. Tetapi, ocehannya bagai menginjak pedal gas. Meracau kencang tanpa henti. 'Sini! Di otakmu itu aku pegawaimu, kah? bawahanmu, begitu? Kalau kau suruh pergi ke barat, terus aku harus ke barat? Bah! Camkan ini, ya, aku akan pergi ke timur! Kau suruh aku lompat, aku akan berguling! Berguling menyerudukmu bahkan.'Rosa mengultimatum, "Sayang, dengar ya. Aku nggak sanggup nyerah, kecuali kamu ketemu perempuan
Lalu, selanjutnya apa?Petanyaan kakek memantul di benak Rosa dan kali ini dia bisa menjawab dengan pasti, "Aku akan membuat Devon berubah pikiran."Agar Rosa tetap berada di samping Devon, dia mengatakan mantap-mantap, "Aku akan mengusahakan yang terbaik."Guratan-guratan halus di wajah kakek Haryanto tertarik karena senyumnya mengembang. Kakek berkata, "Yasudah jika itu yang kamu inginkan. Tapi, jangan sungkan untuk bilang ke Kakek kalau kamu tidak mau lagi bersama Devon, ya. Nanti biar Kakek carikan suami baru yang lebih baik dari dia!"Rosa tergelak. "Devon cucu Kakek, kan?""Iya. Tapi anak itu benar-benar tidak bisa diatur! Dia terlalu kaku jadi orang dan tidak ada lucunya sama sekali. Masih bagus Kakek jodohkan dengan kamu.”Rama yang sedari tadi sibuk menyimak, tidak bisa menahan diri lagi untuk menyahut, "Kalo ada yang bilang Tuan Muda lucu, mungkin matanya katarak.""Diam kamu!" hardik kakek Haryanto sembari mengayunkan tongkat jalannya untuk menggetok paha Rama yang sedang b
Tak ada satu pun ide cemerlang yang muncul, meski Rosa sudah berusaha menggali-gali otaknya. Tapi dia tahu, dia tidak bisa membuat Devon terus menunggu karena kesabaran Devon setipis tisu dibelah dua. Sebelum Rosa kehilangan kesempatan emas ini, dia harus segera berdalih. Alasan apa saja, deh. "Karena ... hmm ... kamu bakal dijodohin lagi sama orang lain abis cerai sama aku?" kata Rosa tak yakin. Tetapi, setelah diucapkan dengan keras, perkataan Rosa ada benarnya juga. Alis Devon bertaut kencang seolah membenci asumsi Rosa dan reaksi Devon itu segera tertangkap mata jeli Rosa. Tatapan Rosa berbinar. 'Itu dia!'Seperti lahan tandus yang akhirnya tersiram hujan, Rosa merasa lega telah mendapat ide. Dia menghasut Devon dengan bersemangat. "Belum tentu orang itu sesuai kriteria kamu dan nggak ada yang bisa jamin, kan, yang dijodohin sama kamu itu bukan orang jahat?" "Percaya orang nggak dikenal itu bahaya," tambah Rosa dengan suara pelan yang menjerat.Namun, siapa sangka Devon malah b
Tidak terlihat lengkungan senyum di lipatan kelopak mata Devon, maupun kerutan di kedua ujungnya. Sepasang mata hitam pekat itu tampak tak berperasaan. Hidung mancung dan indah, dipadu bibir tipisnya yang bergelombang sempurna itu sekilas memikat perhatian Rosa.Rosa hendak mengatakan sesuatu untuk mematahkan suasana canggung ini. Tetapi, begitu melirik ekspresi Devon yang tidak biasa, Rosa menelan lagi kata-katanya. Disisi lain, saat Devon mendengar sapaan Rosa, terdapat sekelebat cahaya aneh melintasi kedalaman matanya. Devon menyipit. Mulutnya membentuk sebuah garis lurus. Wanita ini tidak pernah memanggil namanya secara langsung. Paling tidak, dia selalu memakai 'Sayangku' atau 'Suamiku' setiap bertemu Devon. Panggilan yang selalu membuat perut Devon bergejolak waktu mengingatnya. Devon menatap Rosa selama beberapa menit tanpa berkedip seakan-akan enggan melewati setiap perubahan kecil di mimik wajahnya. 'Ngapain dia ngeliatin aku gitu banget? Apa dia belum sepenuhnya sadar?'
"Mmm," Rosa bergumam. Sambil berjalan mondar-mandir di depan ruang periksa Devon, Rosa sesekali menyempatkan diri untuk mengintip melalui lubang kunci pintu. Dia tidak peduli dengan citranya yang terlihat seperti penguntit atau lirikan ganjil perawat yang berlalu-lalang. Setelah semalaman menunggu kabar, Rosa tidak kuat lagi. Rasa penasarannya menggebu-gebu. Namun, pintu terbuka dan Rama muncul tepat di waktu Rosa ingin menerobos masuk. Mukanya kusut dan kemejanya mencuat di sana-sini. "Oh, Nona," kata Rama lelah. Rosa bertanya cemas, "Jadi? Gimana keadaan Devon??" Rama menarik napas dalam-dalam sebelum memberikan senyum menenangkan. "Nona bisa tenang, keadaan Tuan Muda Devon baik-baik saja." "Yang benar?" "Betul, Nona. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan kalau saya boleh bilang, saya sendiri ikut heran kenapa bisa begitu," ujarnya seraya membuka mata lebar dan alis terangkat tinggi. Rama menatap Rosa tanpa menutupi ketakjubannya. Mereka beralih pindah ke bangku dan me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen